Anda di halaman 1dari 23

Tanggal Praktikum : Rabu, 10 Februari 2021

Kelompok / Paralel :7/2


Dosen Pembimbing : Dr. Drh. Aulia Andi
Mustika, MSi.

Teknik Handling, Cara Pemberian Obat pada Hewan dan Pengenalan


Fungsi Otak

Oleh :

1. M. Fikram (B04180058) ………………..


2. Oktaviani Putri (B04180060) ………………..
3. Niken Hardiyanti (B04180073) ………………..
4. Taufiqul Hafiz (B04180086) ………………..
5. Faraditha Nakita P. (B04180091) ………………..

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi ……………………………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………. 3
1.2 Tujuan …………………………………………………………………………….. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Handling hewan coba …………………………………………………………….. 5
2.2 Sistem Saraf ………………………………………………………………………. 5

BAB III METODOLOGI


3.1 Percobaan 1: Keadaan Umum Katak Normal ……………………………………. 7
3.2 Percobaan 2: Penekanan Fungsi Susunan Saraf Pusat Katak Secara Mekanis ……8
3.3 Percobaan 3: Handling dan Pemberian Obat pada Tikus ………………………… 9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil …………………………………………………………………………….... 17
4.2 Pembahasan ………………………………………………………………………. 19

BAB V SIMPULAN
5.1 Simpulan ………………………………………………………………………….. 21

Daftar Pustaka ………………………………………………………………………… 22

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup. Respon tubuh yang muncul
terhadap obat sangat beragam tergantung pada target kerja obat, sifat fisikokimia obat dan kondisi
tubuh target.Sarat utama untuk memunculkan efek obat adalah adanya interaksi langsung antara
obat dengan target untuk kemudian menginisiasi terjadinya perubahan.sifat fisiko kimia obat dan
target obat yang berbeda menyebabkan cara pemberian obat pun berbeda. Beberapa cara
pemberian obat yang dikenal selama ini diantaranya peroral, parenteral, perinhalasi, perektal dan
topikal. Hal yang tidak kalah pentingnya dengan teknik pemberian obat adalah handling hewan.

Cara handling hewan dan teknik pemberian obat juga harus diperhatikan ketika kita
dihadapkan dengan hewan percobaan yang digunakan untuk menguji khasiat dan keamanan obat.
Seringkali kedua teknik yang tidak memadai menyebabkan sebaran data yang diperoleh
mempunyai bias yang cukup besar dan dampaknya pada pengambilan keputusan tentang hasil
percobaan tersebut cukup besar. Ada beberapa hewan laboratorium yang digunakan selama ini
yaitu katak, mencit, tikus, kelinci, kucing dan anjing, babi. Katak, mencit dan tikus adalah hewan
yang paling sering digunakan dalam percobaan terkait pengujian obat secara praklinis
dibandingkan dengan hewan lainnya. Pemilihan hewan coba harus diketahui sifat-sifat hewan coba
maupun cara penanganannya serta cara pemberian obat. Seorang dokter hewan harus memiliki
kemampuan dalam hal cara pemberian obat yang baik sesuai dengan jenis hewan coba tersebut.

Katak merupakan hewan percobaan yang jarang dipakai dalam penelitian-penelitian


farmakologi, namun dalam praktikum untuk mahasiswa di laboratorium, katak memiliki peran
yang penting, antara lain karena harga katak relatif murah dibandingkan dengan hewan-hewan
percobaan lainnya. Meskipun susunan saraf pusat katak lebih sederhana dibandingkan dengan
mamalia, tetapi prinsip-prinsip dasar susunan saraf pusat dapat dipelajari dengan menggunakan
katak. Seperti halnya pada hewan yang berderajat tinggi, susunan saraf pusat katak dapat dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu prosensefalon, mesensefalon, rhombensefalon, dan medulla
spinalis. Lebih lanjut prosensefalon masih dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu telensefalon dan
diensefalon. Telensefalon setelah melampaui masa embrional akan berkembang menjadi

3
cerebrum. Daerah cerebrum merupakan pangkal dari saraf otak I (nervus olfaktorius) dan saraf
otak II (nervus optikus). Bagian kulit serebrum (korteks serebri) terdiri atas berpuluh – puluh area
dengan fungsi yang berbeda – beda, antara lain sebagai pusat sensorik, pusat motorik, pusat
asosiasi, pusat kesadaran, pusat penerima rangsang penglihatan, pusat pengatur tingkah laku dan
pada hewan yang berderajat lebih tinggi, juga merupakan pusat refleks bersyarat.

1.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengenali cara handling, mengetahui teknik pemberian obat pada
hewan percobaan, serta mengetahui fungsi cerebellum, cerebrum dan medulla oblongata terhadap
fungsi fisiologis pada tubuh.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Handling Hewan Coba

Teknik handling merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh manusia kepada hewan
dengan tujuan mengendalikan hewan sesuai dengan yang kita inginkan tanpa menyakiti hewan
tersebut dan tanpa mencederai pelaksana handling. Teknik handling sering diterapkan pada hewan
coba. Konsep penelitian penggunaan hewan coba harus memenuhi kaidah kesrawan yaitu,
replacement, reduction, dan refinement. Penggantian atau penggunaan metode alternatif non-
hewan adalah konsep replacement, sedangkan reduction diartikan sebagai penggunaan hewan coba
dalam jumlah seminimal mungkin yang memberikan konklusi yang akurat. Prinsip refinement
diwujudkan dengan prinsip lima kebebasan atau 5 F (five freedom) yaitu bebas dari rasa lapar dan
haus, bebas dari rasa ketidaknyamanan kronik (chronic discomfort), bebas dari rasa sakit, luka,
dan penyakit, bebas dari rasa takut dan stres, serta bebas untuk mengekspresikan tingkah laku
alamiah hewan (FAWC 2009). Penerapan kesrawan diharapkan dapat mengurangi cekaman dan
ketidaknyamanan yang dirasakan oleh hewan sehingga mampu meminimalisasi reaksi
ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh hewan berupa gerak, suara,dan getaran (Darusman et al.
2018).

2.2 Hewan Coba

Hewan laboratorium atau hewan coba merupakan hewan yang sengaja dipelihara atau
diternakkan untuk mendukung suatu kegiatan penelitian biologi. Hewan coba banyak
dimanfaatkan untuk mendukung sebuah penelitian bidang kedokteran. Suatu hewan coba
diperlukan untuk melakukan pengamatan, mempelajari, dan menyimpulkan semua yang terjadi
pada makhluk hidup secara utuh. Penggunaan hewan coba dalam suatu penelitian memerlukan
pengetahuan dan keterampilan yang memadai berkaitan dengan berbagai aspek tentang sarana
biologis dalam hal pemanfaatan hewan coba di laboratorium (Intan dan Khariri 2020).

5
2.3 Obat

Obat adalah bahan atau panduan yang dimaksudkan untuk mendapatkan diagnose,
mencegah, menghilangkan, menyembuhkan gejala penyakit, kelainan badaniah atau rohaniah pada
manusia atau hewan untuk memperelok bahan atau bagian tubuh manusia (Mujiati 2014).
Pemberian obat harus memperhatikan pasiennya, jenis obat yang diberikan, dosis yang tepat,
waktu pemberian, dan rute pemberian yang tepat. Rute pemberian obat pada hewan dapat
dilakukan secara peroral, subkutan, intravena, intramuskular, parenteral, topikal, inhalasi,
intravaginal, intra rectal, dan intra uterine (Arief 2018).

2.3 Sistem Saraf

Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan aktivitas
tubuh seperti berjalan, menggerak kan tangan, mengunyah makanan dan lainnya. Sistem saraf
tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistem saraf merupakan
salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk
dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf dibagi ke dalam dua macam yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat adalah sistem tubuh yang menerima dan
memproses semua informasi dari seluruh bagian tubuh (Marcos dan Kusumastuti 2016).

Sistem saraf pada amphibi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat meliputi otak yang disebut encefalon dan medulla spinalis
atau yang biasa kita sebut sumsum tulang belakang. Berdasarkan srukturnya, fungsi otak secara
umum berkaitan dengan fungsi vital somatik, otomomik, reflek, dan suatu fungsi vegetatif agar
dapat bertahan hidup dan memelihara kehidupan (Aji 2007). Secara anatomis, otak terbagi
menjadi 3 bagian utama yaitu: otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(brainstem) (Amin 2018).

Cerebrum terdiri dari dua hemispherium cerebri, merupakan bagian terbesar dari
encephalon. Kedua hemispherium cerebri dipisahkan oleh celah yang dalam yang disebut fisura
longitudinale. Cerebrum terdiri dari beberapa lobus sesuai letak tulang yang berada di atasnya,
yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis, dan lobus occipitalis serta lobus pyriformis

6
yang terletak di ventral. Hemispherium cerebri dipisahkan dari cerebellum dengan adanya fissura
transversa. Pada permukaan dorsal terdapat banyak lipatan konveks yang disebut gyri. Gyri
merupakan tonjolan-tonjolan yang dipisahkan oleh parit-parit yang dinamakan fisura atau sulkus.
Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area
sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau
merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan
sensorik (Purnamasari dan Dwi 2017).

Otak kecil (cerebellum) terletak dibagian belakang kepala, dibawah lobus occipital
dekat dengan ujung leher bagian atas. Ia terhubung ke otak melalui pedunculus cerebri.
Cerebellum bertanggung jawab dalam proses koordinasi dan keseimbangan. Batang otak
(brainstem), posisinya berada didalam tulang tengkorak bagian dasar dan memanjang sampai
ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Batang otak tersusun atas otak tengah,
pons, dan medulla. Didalamnya terdapat inti syaraf kranial dan jalan naik-turunnya pertukaran
informasi dari otak, otak kecil, dan tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar
kehidupan seperti pernafasan, denyut jantung, suhu tubuh, proses pencernaan, dan lain-lain
(Amin 2018).

Medulla spinalis berfungsi untuk menghantarkan impuls sensoris dari saraf perifer ke otak
dan menyampaikan impuls motoris dari otak ke saraf perifer. Sumsum tulang belakang juga
merupakan pusat dari refleks (Omar 2011). Menurut Timang et al. (2010) bahwa saat kita
melakukan perusakan terhadap sum-sum tulang belakang akan menyebabkan rusaknya tali-tali
spinal sebagai jalur-jalur syaraf. Oleh karena itu jika syaraf tersebut rusak maka respon terhadap
stimulus tidak ada terjadi. Semakin lebar kerusakan sum-sum tulang belakang maka respon akan
semakin melemah.

7
BAB III
METODOLOGI

3.1 Percobaan 1 : Keadaan Umum Katak Normal


Alat dan Bahan
Alat dan bahan pada percobaan ini terdiri atas katak, papan katak, sungkup gelas,
jarum/alat penusuk (sonde), dan asam encer (H2SO4 atau HCl 0,5 N)

Metode Kerja
Katak normal yang diletakkan bebas di atas papan katak atau di dalam wadah yang agak
luas. Katak tidak boleh diikat atau di tempatkan di wadah yang terlampau sempit agar dapat
bergerak secara bebas dan spontan. Mengamati dan mencatat keadaan dan sifat – sifat katak
sebagai berikut :
a. Bagaimana sikap duduk katak (posisi)
b. Hitung frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernapasannya.
c. Letakkan katak pada punggungnya dan perhatikan cara kembalinya ke sikap
(posisi) normal.
d. Perhatikan gerakan – gerakan spontannya (gerakan tanpa dirangsang) seperti
melompat dan sebagainya.
e. Bagaimana cara melompat dan besarnya rangsangan (stimuli) yang diperlukan
untuk mengadakan reaksi.
f. Letakkan katak dalam air di bak dan perhatikan cara katak berenang.
g. Letakkan sungkup kaca terbalik dalam bak air dan keluarkan udara dari dalam
sungkup sehingga sungkup penuh air; masukkan katak ke dalam sungkup dan
perhatikan cara katak berenang keluar dari dalam sungkup (refleks menghindar =
escape reflex).
h. Letakkan katak di atas papan katak dan perhatikan reaksinya bila papan
dimiringkan perlahan – lahan ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang.
i. Letakkan katak di atas papan katak dan gerakkan papan itu ke atas dan ke bawah
dengan cepat.
j. Tusuk selaput renang katak dengan sonde dan teteskan asam encer pada bekas luka
tusukan itu dan perhatikan reaksi katak setelah penetesan itu.
8
3.2 Percobaan 2 : Penekanan Fungsi Susunan Saraf Pusat Katak Secara Mekanis

Alat dan Bahan


Alat dan bahan pada percobaan ini terdiri atas katak, papan katak, gunting, sonde, dan asam
kuat (HCL)

Metode Kerja
Penekanan mekanis susunan saraf pusat katak dilakukan dengan merusak bagian – bagian
susunan saraf pusat mulai dari bagian cranial ke caudal, dengan menggunakan jarum penusuk.
Perhatikan dan lakukan seperti percobaan 1 setiap kali setelah merusak suatu bagian susunan saraf
pusat. Isilah tabel yang tersedia.

1. Perusakan serebrum

Serebrum katak dirusak dengan jarum penusuk, dengan cara merusak kepala ditengah
bagian tepat di belakang mata dan menggerakkan ujung jarum kearah cranial dan kiri
kanannya agar seluruh bagian serebrum rusak. Dapat pula dengan menggunting bagian
kepala di atas ruang mulut secara melintang tepat di belakang mata.

Biarkan selama 10 menit kemudian lakukan percobaan seperti percobaan 1, dapat


disimpulkan pusat – pusat apa yang rusak pada perusakan serebrum (deserebrasi).

2. Perusakan medulla oblongata

Untuk merusak medulla oblongata dapat dilakukan dengan menusukkan kepala dengan
jarum penusuk mulai dari foramen magnum ke semua bagian di cranialnya. memperhatikan
seperti percobaan 1 dan simpulkan pusat apa saja yang rusak. Perusakan medulla oblongata
juga dapat dilakukan dengan menggunting dan membuang seluruh bagian atas dari ruang
mulut dari ujung belakang rongga mulut ke atas tepat di belakang selaput pendengaran.

3. Perusakan medulla spinalis

Perusakan medulla spinalis dapat dilakukan dengan menusukkan jarum penusuk dari
foramen magnum ke caudal. Kerusakan sering kali kurang sempurna karena ada bagian
yang tidak ikut terrusakkan berhubung medulla spinalis sangat kecil dan panjang.
9
3.3 Percobaan 3: Handling dan Pemberian Obat pada Tikus

Alat dan Bahan

Alat dan bahan pada percobaan ini terdiri atas kain lap, sonde lambung tikus, dan spoit.
Langkah pertama adalah mengeluarkan tikus dari kandang dengan cara memegang ekornya
(setelah itu menutup bagian muka tikus dengan kain lap). Kemudian dengan tetap memegang ekor
bagian tekuk tikus difiksir dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Jika cara
pegang benar, tikus tersebut tidak akan dapat bergerak lagi. Dengan sonde lambung yang telah
dipasangkan pada ujung spuit obat dimasukkan melalui mulut ke esophagus masuk ke lambung.
Proses memasuk kan sonde lambung harus secara perlahan dengan mengikuti gerak menelan dari
hewan. Jika hewan tersebut memberikan refleks batuk, maka sonde ditarik keluar kembali karena
masuk ke saluran pernapasan. Setelah itu obat dimasukkan, sonde ditarik keluar dan tikus kembali
ke kandangnya.

1. Cara Handling Tikus


a. Tikus adalah hewan yang pandai dan responnya baik bila dipegang dengan baik pula

b. Tikus tidak akan menyerang kecuali merasa terancam atau diprovokasi. Penggunaan
sarung tangan selain mengurangi resiko alergi, juga menghindari paparan feromone dan
dan senyawa kimia lain yang dapat menyebabkan tikus gugup

c. Angkat hewan lembut dengan menempatkan tangan Anda di sekitar dada bagian atas, tanpa
meremas. Tempatkan ibu jari Anda di bawah rahang hewan jika Anda takut digigit, tetapi
tidak memberikan tekanan pada tenggorokan

10
d. Tikus akan tetap santai jika perut dipijat lembut. Berbicara dengan tenang dan menghindari
suara bernada tinggi. Ingatlah untuk menahan bagian belakangnya hewan serta

Sumber : The Norwegian Reference Centre for Laboratory Animal Science & Alternative.

2. Cara Pemberian Obat

a. Pemberian secara oral, intra muskularintra peritonial dan intravena dilakukan


dengan cara yang sama seperti pada mencit.

b. Pemberian secara sub kutan dilakukan di atas kulit tengkuk atau kulit abdomen.

11
Percobaan 4: Handling dan Pemberian Obat pada Kelinci

Alat dan Bahan


Alat dan bahan pada percobaan ini terdiri atas kain lap, sonde lambung tikus, dan spoit.
Obat dapat diberikan pada kelinci dengan rute injeksi intravena pada vena auricularis atau
perinjeksi intra peritoneal. Terlebih dahulu mencari letak vena auricularis, setelah letaknya
ditemukan langkah selanjutnya adalah penyuntikan obat.

1. Cara Handling Kelinci


a. Kelinci harus diposisikan diatas handuk atau baju laboratorium. Pastikan Anda
memiliki kontrol penuh atas hewan setiap saat sehingga kelinci tidak dapat
membahayakan dirinya sendiri dengan melompat dari meja.

b. Pegang kulit di bagian leher kelinci.

12
c. Tahanlah bagian bawah kelinci dengan tangan anda yang lain.

d. Angkat bagian belakang kelinci dengan mendukung daerah pinggul antara kaki.

e. Lengan kanan dilepas untuk sementara, misalnya untuk membuka pintu kandang.
Kepala hewan harus ditutup setiap saat oleh siku.

f. Kelinci dapat dipegang menggunakan jas lab, handuk tebal atau kain yang melilit
hewan, sehingga memberikan rasa aman. Kelinci tidak suka ditinggalkan di
tempat- tempat terbuka.

13
g. Dalam contoh ini kelinci tertahan menggunakan kain longgar yang dieratkan
dengan menggunakan jarum rajut tumpul.

h. Mata dapat ditutup untuk menenangkan hewan lebih lanjut, tetapi perlu hati-hati
jika kelinci dibius, sebab depresi pernafasan yang disebabkan oleh banyak obat
penenang dapat berakibat fatal jika saluran udara terganggu.

14
2. CARA PEMBERIAN OBAT

RUTE GAMBAR

a. Oral

Pemberian obat dengan cara


oral pada kelinci dilakukan dengan
menggunakan alat penahan rahang dan
feeding tube no 6-8

b. Subkutan

Pemberian obat dilakukan


dengan menggunakan alat penahan
rahang dan feeding tube no 6-8.

Sumber : The Norwegian Reference Centre


for Laboratory Animal Science &
Alternative

15
c. Intravena

Penyuntikan dilakukan pada


vena marginalis di daerah dekat ujung
telinga. Sebelum penyuntikan, telinga
dibasahi terlebih dahulu dengan
alkohol atau air hangat.
Sumber : The Norwegian Reference Centre
for Laboratory Animal Science &
Alternative

d. Intramuskular

Pemberian intramuskular dapat


dilakukan pada otot paha belakang.
Hindari otot posterior femur karena
risiko kerusakan saraf siatik. Gunakan
jarum ukuran 25ga dan volume Sumber : The Norwegian Reference Centre
pemberian tidak lebih 0.5-1.0 for Laboratory Animal Science &
ml/tempat penyuntikan. Alternative

e. Intra peritonial

Posisi diatur sedemikian


rupa sehingga letak kepala lebih
rendah daripada perut. Penyuntikan
dilakukan pada garis tengah di muka
kandung kencing

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Aktivitas katak Normal Sesudah Sesudah Sesudah


Perusakan Perusakan Perusakan
Serebrum Medulla Medulla
Oblongata, Lobus Spinalis
Optikus, dan
Serebelum

Kesadaran +++ ++ + -

Gerakan Spontan +++ ++ + -

Posisi Waktu 45o 35o 10o 0o


Istirahat

Frekuensi Denyut 80 100 80 kali/menit 20 kali/menit


Jantung kali/menit kali/menit

17
Frekuensi 90 20 - -
Pernapasan kali/menit kali/menit

Keseimbangan +++ +++ - -

Reaksi Terhadap 1 3 4 -
Asam (detik)

Tonus Otot +++ ++ + -

Refleks – Refleks +++ +++ + -

Lain-lain - - - -

Keterangan : +++ : Sangat baik


++ : Baik
+ : Kurang
+ : Hampir tidak ada respon
- : Tidak ada respon

18
4.2 Pembahasan

Hewan coba berfungsi sebagai pengganti dan belum tentu semua hewan coba identik
dengan subjek yang dimodelkan. Oleh karena itu, pemilihan hewan coba yang tepat untuk
mempelajari dan memahami pengaruh lingkungan dan gen terhadap patogenesis suatu penyakit
sangat penting. Hewan coba yang ideal adalah hewan yang memiliki kesamaan dalam proses yang
ditiru, mudah dipelihara, mampu memproduksi keturunan yang banyak, biaya perawatan murah,
satu ekor dapat memberi sampel darah dan jaringan, komposisi genetiknya diketahui dan status
penyakitnya diketahui dan dapat dijelaskan (Husna 2019). Handling bertujuan mengendalikan
hewan sesuai dengan yang kita inginkan tanpa menyakiti hewan tersebut dan meminimalisir
terjadinya cedera pada pelaksana handling. Umumnya handling merupakan suatu metode
penanganan pada hewan yang membuat hewan terbatasi geraknya sehingga mudah untuk
dikendalikan baik dengan menggunakan bantuan alat bantu ataupun dengan hanya menggunakan
tangan (Awaludin 2017).

Obat adalah bahan atau sediaan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau kondisi patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan dari rasa sakit, gejala sakit, dan penyakit, untuk meningkatkan kesehatan
dan kontrasepsi (Tanjung dan Fahmi 2017). Sediaan obat terdapat dalam berbagai macam bentuk
diantaranya tablet, kapsul, sirup, pulveres, dan salep (Warnida et al. 2018). Pemberian obat harus
memperhatikan pasiennya, jenis obat yang diberikan, dosis yang tepat, waktu pemberian, dan rute
pemberian yang tepat. Rute pemberian obat pada hewan dapat dilakukan secara peroral, subkutan,
intravena, intramuskular, parenteral, topikal, inhalasi, intravaginal, intra rectal, dan intra uterine
(Arief 2018).

Perlakukan pertama, katak normal yang belum diberikan perlakuan apapun pada sistem
saraf pusatnya menunjukan kesadaran, gerakan spontan, keseimbangan, tonus otot, dan refleks
yang baik. Katak normal menunjukan hasil berupa postur (sikap badan) yang membentuk sudut
450 terhadap bidang datar. Katak normal juga menunjukkan respon bangkit ketika katak
diposisikan pada posisi yang tidak seimbang karena medula spinalisnya masih utuh (medula
spinalis berfungsi sebagai sirkuit lengkung refleks) (Campbell et al. 2010). Frekuensi denyut

19
jantung dan pernapasan pada katak normal adalah 80 kali/menit dan 90 kali/menit. Lalu, pada
perlakuan meneteskan asam kuat (HCl) pada selaput renang yang dilukai, katak normal secara
refleks menarik kaki. Reaksi refleks baru muncul setelah 1 detik. Perlakuan tonus otot, katak
normal bereaksi cepat menarik kakinya saat ditarik.
Perlakuan kedua, katak yang telah dihilangkan (dirusak) bagian cerebrumnya memiliki
kesadaran, gerakan spontan, keseimbangan, tonus otot, dan refleks yang menurun jika
dibandingkan dengan katak yang normal. Sikap badan katak yang tidak lagi normal yaitu
menunjukkan sudut 35o. Penurunan sikap badan tersebut terjadi karena katak mengalami
decerebrate rigidity. Ekstensi kaku anggota badan akibat dari lesi di batang otak bagian atas
(Studdert et al. 2008). Frekuensi denyut jantung 100 kali/menit dan frekuensi napas 20 kali/ menit
yang membuktikan bahwa pusat respirasi yaitu medulla oblongata masih berfungsi walau terjadi
penurunan frekuensi nafas secara signifikan. Perlakuan meneteskan asam kuat (HCl) pada selaput
renang yang dilukai, katak deserebrasi secara refleks menarik kaki setelah 3 detik. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa walau pusat rasa sakit (cerebrum) sudah mengalami kerusakan, namun pusat
refleks (medulla spinalis) masih berfungsi cukup baik.
Perlakuan ketiga, katak yang telah dirusak bagian cerebrum, cerebellum, medulla
oblongata dan lobus optikusnya memiliki kesadaran, gerakan spontan, denyut jantung,
keseimbangan, tonus otot dan refleks yang menurun. Posisi tubuh katak dengan bidang papan
katak membentuk sudut 10°. Frekuensi denyut jantung 80 kali/menit, namun frekuensi nafasnya
sudah tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pengendali respirasi yaitu medulla
oblongata sudah rusak sehingga frekuensi pernapasan turun signifikan hingga tidak ditemukan
lagi. Reaksi terhadap penetesan asam kuat (HCL) pada selaput renang yang dilukai, katak secara
refleks menarik kaki setelah 4 detik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa walau pusat rasa sakit
(cerebrum) sudah mengalami kerusakan, namun pusat refleks (medulla spinalis) masih berfungsi
cukup baik.
Perlakuan keempat, katak yang telah dirusak medulla spinalisnya. Pada pengamatan ini
katak mengalami penurunan secara drastis dari sifat-sifat normal katak. Sikap badan normal katak
menjadi sejajar dengan papan katak. Frekuensi denyut jantungnya 20 kali per menit dan frekuensi
nafasnya 0 kali per menit. Katak masih tetap bisa mendenyutkan jantungnya karena ada inisiasi
pacemaker jantung. Pacemaker bertanggung jawab dalam proses inisiasi potensial aksi secara
ritmik dan diteruskan ke atrium dan ventrikel melalui sistem konduksi jantung yang terdiri dari

20
nodus atrioventrikular dan berkas purkinje (Fox 2004). Refleks katak sudah tidak muncul ketika
diberi perlakuan penetesan HCl pada selaput renang dan ketika uji tonus otot dilakukan katak
sudah tidak bereaksi menarik kakinya. Hal ini dikarenakan pusat refleks yaitu medula spinalis telah
dirusak sehingga tidak ada refleks yang muncul.

BAB V
SIMPULAN
5.1 Simpulan
Handling hewan percobaan harus dilakukan dengan memperhatikan kesejahteraan hewan
coba dan keselamatan praktikan. Pemberian obat pada hewan laboratorium dilakukan sesuai
dengan jenis obat, jenis hewannya, dan jenis penyakit yang diobati. Susunan saraf pusat terdiri dari
bagian otak yaitu cerebrum yang berfungsi sebagai pengatur pusat kesadaran, cerebellum sebagai
pusat keseimbangan, medulla oblongata sebagai pusat pernapasan serta medulla spinalis sebagai
pusat gerak refleks dan tonus otot.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Bayu W. 2007. Kajian histomorfologi otak tikus putih pada kondisi hiperglikemia dan
pemberian vitamin E. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Skripsi].
Amin MS. 2018. Perbedaan struktur otak dan perilaku belajar antara pria dan wanita, eksplanasi
dalam sudut pandang neurosains dan filsafat. Jurnal filsafat Indonesia. 1(1): 38-43.
Arief M. 2018. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: UGM Press.
Awaludin A, Nugraheni YR, Nusantoro S. 2017. Teknik handling dan penyembelihan hewan
qurban. Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan. 2(2): 84-97
Campbel et al. 2010. Biologi. Ed ke-8. Terjemahan dari : Biology. Ed ke-8. Wulandari DT,
penerjemah; Hardani W, Adhika P, editor. Jakarta (ID): Erlangga.
Darusman HS, Nugroho SW, Munggaran FA, Sajuthi D. 2018. Teknik penanganan kendali
hewan sesuai kaidah kesejahteraan hewan meningkatkan akurasi pengukuran profil
hemodinamika tikus laboratorium. Jurnal Veteriner. 19(2):208-214.
[FAWC] Farm Animal Welfare Council. 2009. Five Freedoms - National Archives of United
Kingdom Government [Internet]. [Diunduh 2017 Juni 3]; Tersedia pada
http://webarchive.nationalarchives.gov.uk/20121007104210/http:/www.fawc.org.uk/fr
eedomhtm.
Intan PR, Khariri. 2020. Pemanfaatan Hewan laboratorium yang sesuai untuk pengujian obat dan
vaksin. Seminar Nasional Biologi di Era Pandemi COVID-19; 2020 Sep 19; Gowa,
Indonesia. Gowa (ID): Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Marcos H, Kusumastuti G. 2016. Sistem pakar diagnosis penyakit saraf pusat dengan metode
forward chaining. CITISEE. 1(2): 9-15.
Mujiati H. 2014. Analisis dan perancangan sistem informasi stok obat pada apotek arjowinangun.
Speed Journal. 11(2):24-28.
Omar SA. 2011. Iktiologi. Makassar (ID): Universitas Hasanudin Makassar.
Purnamasari R, Dwi RS. 2017. Fisiologi Hewan. Surabaya (ID): UIN Sunan Ampel.
Stefani H.2016. Pratikum Farmakologi. Jakarta (ID): Pusdik SDM Kesehatan
Studdert VP, Gay C, Blood DC. 2008. Comprehensive Veterinary Dictionary. Philadelphia:
W.B. Saunder Company.

22
Tanjung LM dan Fahmi A. 2017. Perhitungan peramalan pengadaan obat menggunakan metode
single exponential smoothing dan single moving average pada unit farmanin dinas
kesehatan Provinsi Jawa Tengah. JOINS. 2(2):234-243.
Timang Y. Sitti RA, Muhammad RA. Rispa YA. 2010. Sistem Sirkulasi Dan Jantung. Makassar
(ID): Universitas Hasanudin Makassar.
Warnida H, Sukawaty Y, Aulya MA. Evaluasi mutu fisik sediaan pulveres pada puskesmas di Kota
Balikpapan. Jurnal Ilmu Kesehatan. 6(1):36-43.

23

Anda mungkin juga menyukai