Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL

Alimentary Risk of Mycotoxins for Humans and Animals

Disusun oleh:
Kelompok 16

Ebit Mudumi B04170206


Oscar Daniel Kusumo Digyo B04190066
Rizal Maulana B04190073
Sasqia Mallikah Aulia Reza B04190076
Septiyan Andi Gunawan B04190078

DIVISI MIKROBIOLOGI MEDIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN
DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang (1)


Saat ini, walaupun banyak metode untuk monitoring dan pencegahan kontaminasi
pada makanan, tetapi masih ada ancaman yang masih belum bisa sepenuhnya tereliminasi.
Salah satu contoh ancaman tersebut berasal dari metabolit sekunder yang diproduksi oleh
jamur, yang disebut sebagai mikotoksin. Sebutan ini berasal dari bahasa yunani yaitu mycos
yang berarti jamur, dan dari bahasa latin yaitu toxicum yang berarti racun. Beberapa
mycotoxin penting yang sering mengkontaminasi makanan yaitu aflatoxin, deoxynivalenol,
fumonisin, zearalenone, dan ochratoxin A. Bentuk dasar dari mikotoksin ini dapat berubah
menjadi metabolit dengan sifat fisikokimia dan biologis yang berbeda. Bentuk modifikasi
dari mikotoksin dapat berasal dari bahan mentah yang akan digunakan dalam produksi
makanan maupun dari proses pengolahan makanan (Humpf et al. 2019).
Mikotoksin diketahui memiliki stabilitas yang baik terhadap perubahan kondisi
lingkungan dan memiliki toksisitas yang tinggi (Daou et al. 2021). Kadar yang rendah dari
mikotoksin dalam makanan dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan yang serius,
terutama karena sebagai zat dengan bobot molekul rendah dan termostabil, mikotoksin tahan
terhadap sebagian besar proses pengolahan makanan, misalnya pemasakan, penggorengan,
pemanggangan, distilasi, dan fermentasi. Setiap harinya baik manusia maupun hewan
terpapar oleh mikotoksin dalam dosis rendah (Karlovsky et al. 2016).
Keberadaan mikotoksin tidak hanya mempengaruhi kesehatan konsumen, namun
juga memberi pengaruh terhadap perdagangan global. Paparan mikotoksin dalam jangka
waktu panjang dalam pakan hewan diketahui dapat menurunkan produksi susu, daging, wool,
dan perubahan aktivitas pertumbuhan serta reproduksi (Kępińska-Pacelik dan Biel 2021).
Kontaminasi mikotoksin pada pakan dapat menyebabkan penurunan berat badan, penekanan
sistem imun, dan penurunan kemampuan reproduksi pada babi dan ayam (Peivatesh-
Roudsari et al. 2021).

1.2 Tujuan (5)


Pembuatan makalah ini bertujuan mengetahui risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh
mikotoksin dalam makanan, makanan hewan, dan pakan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Mycotoxin Contamination
Menurut Eskola et al. (2020), diperkirakan 25% dari produksi tanaman di dunia dan
20% produksi tanaman di Eropa terkontaminasi dengan mikotoksin. Mikotoksin yang
paling sering ditemukan berasal dari genus Aspergillus, Fusarium, dan Alternaria.
Pembentukan mikotoksin ini bergantung pada sifat strain jamur (fisiologis, genetik, dan
biokimia), serta faktor eksternal seperti kelembaban dan suhu. Berikut ini adalah jenis
mikotoksin yang sering mengkontaminasi makanan serta jamur yang memproduksinya:

Gambar 1 Jenis-jenis jamur yang memproduksi mikotoksin (Kępińska-Pacelik dan Biel


2021)

Produk tumbuhan yang paling sering terkontaminasi mikotoksin yaitu sereal,


sayuran, buah-buahan, kacang, kopi, cokelat, dan teh. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya
ditemukan pada produk tumbuhan, melainkan juga pada produk yang berasal dari hewan,
seperti susu dan daging (Muaz et al. 2021). Toksin dari kapang memiliki karakteristik berupa
bobot molekul yang rendah (M < 1,5 kDa). Substansi ini dapat diabsorbsi melalui saluran
pencernaan dan pernapasan, serta kulit dan membran mukus. Mikotoksin dapat bersifat
genotoxic, mutagenic, dan teratogenic. Penyakit yang disebabkan oleh mikotoksin disebut
dengan mikotoksikosis (Janik et al. 2020). Level kontaminasi maksimal pada makanan di
Eropa diregulasi oleh Commision Regulation (EC) No. 1881/2006. Berikut ini merupakan
tabel yang berisi level maksimum kontaminasi mikotoksin pada beberapa produk makanan
atau bahan mentah:
Tabel 1 Level maksimum kontaminasi mikotoksin pada beberapa jenis makanan
Mikotoksin Produk makanan/ bahan mentah Level maksimum [µg/kg]

Aflatoksin B1, B2, Kacang tanah dan kacang-kacangan 4


G1, dan G2 serta hasil olahannya

Jagung 10

Buah kering dan olahannya, 4

Ochratoxin A Sereal yang belum diproses 5

Biji kopi sangrai dan kopi sangrai 5


bubuk

Makanan olahan berbahan dasar 0.5


sereal dan makanan bayi

Deoxynivalenol Sereal yang belum diproses 1250-1750

Pasta 750

Roti, kue, biskuit, sereal snack 500

Makanan olahan berbahan dasar 200


sereal dan makanan bayi

Zearalenone Roti, kue, biskuit, sereal snack 50

Makanan olahan berbahan dasar 20


jagung
Fumonisins B1 dan Jagung yang belum diproses 2000
B2
Makanan olahan berbahan dasar 200
jagung

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mikotoksin dapat mencemari banyak


produk tumbuhan. Contohnya adalah daun teh hijau, yang infusanya merupakan salah satu
minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Penelitian Jai et al. (2021) menemukan
bahwa 56% sampel teh hijau di marok terkontaminasi oleh paling tidak satu jenis mikotoksin.
Mikotoksin yang paling banyak ditemukan yaitu zearalenone (ZEN). Walaupun telah
ditemukan mikotoksin pada sampel, probable daily intake menunjukkan ingesti mikotoksin
melalui teh hijau tidak menimbulkan risiko signifikan pada populasi.

3. Efek Mikotoksin yang Membahayakan bagi Manusia dan Hewan


3.1 Klasifikasi
Klasifikasi mikotoksin digolongkan bermacam-macam. Menurut Pitt dan Miller
(2017), efek toksik yang ditimbulkan dari metabolit jamur kapang tersebut sangat beragam
dan bergantung pada struktur kimianya. Efek yang ditimbulkan tergantung pada organ yang
rusak, mikotoksin dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu dermatotoksin yang dapat merusak
selaput lendir dan kulit, hepatotoxins yang dapat menyebabkan kerusakan hati, kardiotoksin
yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, nefrotoksin yang dapat merusak ginjal,
neurotoksin yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, pulmotoksin yang dapat
menyebabkan edema paru. Selain itu, terdapat juga klasifikasi mikotoksin yang berbeda,
yaitu imunotoksin yang dapat berdampak negatif pada sistem imunologi, mikohormon yang
dapat mempengaruhi regulasi hormonal secara negatif; senyawa karsinogenik yang dapat
menyebabkan pembentukan neoplasma (Negash 2018).

3.2 Aflatoksin
Aflatoksin merupakan cemaran alami yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari
fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan lembap, terutama
pada suhu 27-40°C (80-104° F) dan kelembapan relatif 85% (Ameur et al. 2020).
Gambar 1. Struktur kimia aflatoksin (Ameur et al. 2020)

Menurut Nazhand et al. (2020), berbagai kelas aflatoksin, seperti B1, B2, G1, dan G2
dapat dikenali. Huruf kapital mengacu pada warna yang diambil di bawah sinar UV (biru =
B, hijau = G). Aflatoksin dapat ditemukan terutama pada kacang tanah, biji jagung, dan
minyak sayur. Aflatoksin B1 adalah senyawa yang paling umum dan paling beracun di antara
aflatoksin. Perubahan menjadi aflatoksin M1 terjadi di hati, yang kemudian diekskresikan ke
dalam susu mamalia menyusui termasuk hewan perah. Aflatoksin M1 telah terbukti menjadi
penyebab toksikosis akut dan kronis. Kehadiran aflatoksin M1 dalam susu dan produk susu
merupakan perhatian dunia karena bahkan sejumlah kecil metabolit ini mungkin penting
sebagai paparan jangka panjang yang bersangkutan (Taranum et al. 2020). Aflatoksin juga
dapat ditemukan pada daging. Wabah 100.000 kalkun pada tahun 1960 di peternakan unggas
di Inggris menghasilkan revisi mendasar dari penilaian efek metabolit jamur pada organisme
lain dan meningkatkan minat pada mereka, karena ternyata penyakit "X" disebabkan oleh
aflatoksin. Aflatoksin dianggap sebagai mikotoksin yang paling banyak dipelajari (Pauletto
et al. 2021).
Konsekuensi keracunan aflatoksin bervariasi, terutama karena jumlah dosis dan
apakah itu kontak jangka pendek atau kronis. Efek keracunan sangat serius dan bisa berakibat
fatal. Gejala yang paling umum adalah sakit perut, muntah, perdarahan, kerusakan hati,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, defisiensi imun, edema paru dan ekstremitas,
melemahnya pembuluh darah, dan koma. Sejauh ini di antara mikotoksin yang diketahui,
aflatoksin memiliki efek karsinogenik terkuat. Kehadiran kronisnya dalam produk makanan
yang dipasok ke tubuh berkontribusi pada pembentukan kanker hati (Negash et al. 2018).
Agency for Research on Cancer (IARC) telah mengklasifikasikan B1 sebagai
"kelompok I" karena toksisitasnya yang tinggi, teratogenisitas, hepatokarsinogenisitas, dan
mutagenisitasnya. Aflatoksin B1 diubah menjadi metabolit hidroksilasi dasar yang disebut
aflatoksin M1di hati ternak oleh superfamili enzim yang disebut sitokrom P450 dan konsumsi
pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1dapat menyebabkan ekskresi aflatoksin M1 dalam
susu. Bergantung pada toksisitas dan karsinogenisitas, pada tahun 2012, IARC juga
mengklasifikasikan aflatoksin M1sebagai "grup I" (IARC 2012). Toksisitas aflatoksin B
yang hebat1didasarkan pada proses bioaktivasinya. AFB1diaktifkan secara biologis oleh
sejumlah sitokrom P450 (CYPs), yaitu CYP1A dan CYP3A, menjadi turunan yang sangat
reaktif dan elektrofilik, Aflatoksin B1-8,9-epoksida (Aflatoksin BO), yang mengikat DNA
dan protein. Adisi Aflatoksin BO-DNA dan Aflatoksin BO-protein semacam itu
menghambat RNA dan sintesis protein, yang pada akhirnya menyebabkan toksisitas parah
dan akhirnya perkembangan kanker. Asupan aflatoksin hewan selalu menyertai produksi
spesies oksigen reaktif (ROS) dan kerusakan oksidatif yang dihasilkan dapat menjadi pemicu
utama hasil yang merugikan (Pauletto et al. 2021).
Efek aflatoksin B1 pada hewan bervariasi sesuai dengan konsentrasi dan lama kontak
dengan mikotoksin dalam makanan. Konsentrasi tinggi racun ini mematikan, konsentrasi
sedang menyebabkan keracunan kronis. Sejak sekitar seperlima belas dari BTA yang
dikonsumsi1 diekskresikan dalam susu sebagai aflatoksin M1, dan perlakuan panas berbeda
yang digunakan dalam pembuatan produk susu yang berbeda tidak mengurangi jumlah
AFM1, selalu ada kemungkinan keracunan racun ini dengan mengkonsumsi susu yang
terkontaminasi (Negash 2018).

3.3 Ochratoxin A
Paparan n okratoksiberasal dari konsumsi bahan makanan yang berasal dari
tumbuhan dan hewani. Mikotoksin terpenting dari kelompok ini adalah ochratoxin A (OTA).
OTA sangat tahan terhadap perlakuan panas dan stabil dalam lingkungan asam.OTA
ditemukan di banyak makanan seperti biji jagung, gandum,gandum hitam, beras, tepung,
kopi,kakao, kacang-kacangan.OTA juga terdapat di produk fermentasi, seperti anggur, bir,
kecap. OTA juga dapat mencemari produk hewani, seperti susu dan daging, terutama daging
babi, yang konsumsinya berisiko menimbulkan nefropati OTA dan kanker saluran kemih.
OTA cenderung menumpuk di jaringan hewan karena larut dalam lemak (Stoev 2002).OTA
sangat beracun, menyebabkan efek neurotoksik dan teratogenik, merusak kekebalan, dan
terutama merusak ginjal dan hati mengakibatkan penghambatan sintesis protein normal
sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA. Bahaya OTA disebabkan oleh kerusakan
permanen pada nefron, yang dapat menyebabkan kematian.Hewan ternak, babi adalah yang
paling rentan terhadap akumulasi OTA, yang terjadi pengendapan jaringan seperti ginjal,
hati, otot,lemak. Paparan OTA (in vitro atau in vivo) telah dikaitkan dengan kelebihan
produksi spesies oksigen reaktif (ROS), serta kerusakan oksidatif (lipid, protein, dan DNA).
Selain itu, OTA dapat mengurangi pertahanan antioksidan sel dengan mengurangi GSH dan
enzim sitoprotektif.OTA menyebabkan penyakit berbahaya yang disebut nefropati endemik
menurut Vahedi (2018) selama beberapa tahun sekarang, perhatian telah diberikan pada
kontaminasi OTA anggur putih dan merah di Italia dan wilayah Mediterania lainnya. Spesies
utama yang bertanggung jawab untuk produksi mikotoksin ini adalah jamur Aspergillus
carbonarius (Bainier) Thom, yang tumbuh pada buah anggur selama panen.

3.4 Trichothecenes
Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam golongan
trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys, Myrothecium,
Trichodesma, dan Cephalosporium. Toksin ini ditemukan pada berbagai serealia dan biji-
bijian di Amerika, Asia, dan Eropa.Toksin ini stabil dan tahan terhadap pemanasan maupun
proses pengolahan makanan dengan autoclave. Selain itu, apabila masuk ke dalam
pencernaan manusia, toksin akan sulit dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral
(Selma 2008).Berdasarkan struktur kimia dan cendawan penghasilnya, golongan
trichothecene dikelompokan menjadi 4 tipe ,Beberapa trichothecenes telah dideskripsikan;
namun, sejauh ini hanya racun DON, T-2, dan HT-2 yang menarik perhatian untuk kesehatan
masyarakat (Stroka 2019). Dalam hal struktur kimia, mereka dibagi menjadi empat
kelompok: A, B, C, dan D. Yang paling umum dan dipelajari dengan baik adalah
deoxynivalenol (DON), yang biasanya terjadi bersama dengan dua turunannya (3-asetil dan
asetil-deoxynivalenol). Ini sebagian besar terjadi sebagai akibat dari infeksi jamur dari genus
Fusarium pada jagung, gandum, dan sereal lainnya yang tumbuh di daerah beriklim sedang.
Kontak dengan DON pada manusia menyebabkan: muntah, diare, sakit perut, sakit kepala,
pusing dan demam .Telah terbukti bahwa bayi dan anak-anak paling rentan terhadap investasi
DON ( Srey et al 2014)
Paparan DON, serta trichothecenes lainnya, dapat memiliki efek mengganggu
endokrin, seperti,penurunan berat badan, perubahan neuroendokrin, dan mereka juga
mengerahkan modulasi kekebalan. Paparan akut dapat menyebabkan leukositosis,
perdarahan, dan, dengan paparan yang sangat tinggi, bahkan kematian. Inilah alasan
mengapa, beberapa tahun yang lalu, para peneliti mengajukan pertanyaan tentang keamanan
DON pada kelompok berisiko tinggi yang terpapar,termasuk anak-anak dan vegetarian (
Sharma 2021 )
3.5 Zearalenone
jamur dari genus Fusarium merupakan sumber zearalenone (ZEN), sering ditemukan
di jagung, gandum, tepung, dan sereal lainnya (Ropejko et al. 2021). Kontaminasi ZEN
sering terjadi bersamaan dengan kontaminasi DON dan lebih jarang dengan AFs (Stroka et
al. 2019). ZEN stabil di suhu normal pada saat memasak dan sebagian tereliminasi pada suhu
tinggi (Alshannaq dan Yu 2017). Karena itu terdapat kesamaan struktural dengan estrogen
yang terjadi secara alami, dan dapat digambarkan sebagai estrogenik mikotoksin (Bennett
dan Klich 2003). Hal Ini menyebabkan perubahan pada sistem reproduksi (Ropejko et al.
2021). Karena sifat estrogenik nya, ZEN diklasifikasikan sebagai estrogen non-steroid atau
mycoestrogen, tetapi metabolitnya dapat menunjukkan aktivitas estrogenik 10 kali lipat lebih
tinggi daripada ZEN itu sendiri. Metabolit utamanya adalah zearalanone (ZAN), α-
zearalenol (αZOL), β-zearalenol (βZOL), α-zearalanol (αZAL), dan β-zearalanol (βZAL).
Mirip dengan trichothecenes, ZEN cepat diserap oleh saluran pencernaan dan di
metabolisme. Pada hewan, ada dua rute utama biotransformasi ZEN: hidroksilasi, yang
mengarah ke pembentukan αZOL dan βZOL, serta konjugasi ZEN dengan asam glukuronat.
ZEN dan metabolitnya dapat menyebabkan perubahan profil metabolisme sel yang
bergantung pada steroid, seperti sel granulosa folikel ovarium (Pałubicki et al. 2021). ZEN
dapat merusak keseimbangan hormonal (Kowalska et al. 2016). Bergantung pada dosisnya,
gejala seperti peningkatan berat rahim dan jumlah folikel antral dalam ovarium telah teramati
pada tikus (Yang et al. 2016). Potensi estrogenik kedua jenis metabolit ZEA berbeda. α-ZOL
menunjukkan kapasitas pengikatan yang lebih tinggi pada reseptor estrogen dibandingkan
dengan ZEA induk. Pada akhirnya, β-ZOL memiliki afinitas pengikatan terendah dari ketiga
senyawa tersebut. Tingkat konversi ZEA spesifik spesies menjadi α-ZOL dapat dianggap
sebagai reaksi bio-aktivasi sedangkan transformasi ZEA menjadi β-ZOL sebagai reaksi
inaktivasi (Złoch et al. 2020).

3.6 Fumonisins
Fumonisins (FB) adalah family lebih dari 25 mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
dari genus Fusarium, yang paling umum adalah fumonisin B1 (FB1) dan B2 (FB2)
(Munkvold et al. 2019). Biji jagung adalah yang paling rentan terhadap infeksi, meskipun
keberadaan mikotoksin ini bisa juga ditemukan dalam sorgum, gandum, tepung, kedelai,
asparagus, buah ara, dan teh hitam. mikotoksin paling umum pada biji jagung (Garcia-Diaz
et al. 2020). FB adalah mikotoksin hidrofilik. Mereka secara struktural berbeda dari
kebanyakan mikotoksin lainnya yang dapat larut sepenuhnya dalam pelarut organik. Karena
hidrofilisitasnya, FB tidak masuk ke dalam susu, tetapi sebagian kecil terakumulasi dalam
jaringan hewan, yang kemudian digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan. FB
merusak fungsi ginjal. Mereka juga diklasifikasikan sebagai neurotoksin karena merusak
jalur biosintetik sphingosine yang merupakan komponen otak dan jaringan saraf
(Stockmann-Juvala et al. 2006). FB1 dapat menyebabkan berbagai macam penyakit pada
hewan, misalnya leukoencephalomalacia pada kuda , sindrom edema paru-paru pada babi,
tumor hati pada tikus, akut dan nefrotoksisitas fatal serta hepatotoksisitas pada domba.
Berbagai tingkat reaksi toksik (misalnya, penurunan berat badan, peningkatan mortalitas,
pengurangan ukuran bursa Fabricius, timus dan limpa, degenerasi miokard, perdarahan
miokard, perubahan dalam mekanisme hemostatik dan nekrosis hepatosit) telah diamati pada
ayam, bebek, dan ayam kalkun. Oleh karena itu, mikotoksin ini tidak hanya menimbulkan
ancaman serius bagi manusia dan kesehatan hewan, tetapi juga mempengaruhi keamanan
pangan dan membatasi produksi hewan (Lumsangkul et al. 2019).

3.7 Modified and Masked Mycotoxins


Menurut Kovaˇc et al. (2018), menyatakan bahwa tingkat kandungan mikotoksin
yang ditemukan di dalam makanan mungkin diremehkan karena adanya mikotoksin yang
termodifikasi (modified mycotoxins). Modified mycotoxins merupakan metabolit dari kapang
yang biasanya tidak terdeteksi ketika dilakukan uji terhadap mikotoksin induk. Bentuk dari
modified mycotoxins ini dapat diproduksi oleh cendawan itu sendiri atau dihasilkan sebagai
bagian dari mekanisme pertahanan tanaman yang terinfeksi. Pada beberapa kasus, modified
mycotoxins terbentuk selama pemrosesan makanan. Tahapan pemrosesan makanan yang
berbeda memengaruhi kadar mikotoksin yang ada pada produk (Freire et al. 2018). Penelitian
menunjukkan bahwa beberapa modified mycotoxins dapat diubah menjadi mikotoksin induk
dalam proses pencernaan pada manusia dan hewan serta dapat merugikan bagi kesehatan.
Senyawa yang dihasilkan bahkan mungkin lebih beracun jika bioavailabilitasnya lebih besar
dari mikotoksin induk. Meskipun data toksikologi terhadap modified mycotoxins langka,
peluang perubahan modified mycotoxins menjadi mikotoksin bebas dapat menimbulkan
potensi risiko kesehatan pada manusia dan hewan (Freire et al. 2018). Masked mycotoxins
merupakan derivat mikotoksin yang tidak terdeteksi dengan teknik analisis konvensional
karena struktur mikotoksinnya berubah di tumbuhan (Freire et al. 2018). Metode
konvensional, seperti ELISA, dapat mendeteksi bentuk masked mycotoxins, tapi metode
berbasis HPLC tidak dapat mendeteksi masked mycotoxins. Masked mycotoxins mungkin
tidak terdeteksi selama analisis karena sifat fisikokimia molekulnya mengalami perubahan
atau alterasi (Berthiller et al. 2013). Masked mycotoxins termasuk dalam toksikologi yang
penting karena dalam produk makanan menunjukkan adanya perkiraan toksisitas generik
yang harus dikembangkan untuk digunakan oleh regulator dan produsen makanan dalam
melindungi kesehatan konsumen.
Berdasarkan sifat kimiawinya, masked mycotoxins yang paling umum dalam
makanan dan pakan adalah deoxynivalenol-3-glucoside (DON-3-G) dan zearalenone sulfat
(ZEA-S). Sifat toksikologi yang menjadi perhatian utama terkait dengan konversi DON-3-G
menjadi DON dan ZEA-S menjadi UEA oleh mikrobiota saluran pencernaan (Dall’Erta et
al. 2013). Sampai saat ini, tidak ada peraturan mengenai tingkat aman mikotoksin tersebut
dalam makanan dan pakan serta masih dilakukan studi terhadap penilaian risiko. Selain itu,
tidak ada indikasi yang jelas tentang toksisitas metabolit sekunder cendawan lainnya.
Mikotoksin yang sering ditemukan dalam sereal, seperti aurofusarin (AUR) dan coulmorin
(CULM). Selain itu, informasi terhadap masked mycotoxins dan metabolit sekunder
cendawan dalam produk jagung dan produk sampingan yang merupakan bahan baku penting
dalam makanan industri, produksi makanan, dan pakan ternak masih terbatas.
Perlu dipahami bahwa banyak zat yang secara struktural berkaitan dengan modified
mycotoxins, yang dihasilkan oleh metabolisme tanaman atau cendawan, pengolahan
makanan dan hidup berdampingan dengan bentuk aslinya. Manusia dan hewan berpotensi
terpapar oleh satu atau lebih mikotoksin atau bentuk modifikasi mikotoksin lainnya karena
mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Berdasarkan studi yang dilakukan Palumbo et
al. (2020), keberadaan bentuk modified mycotoxins lebih sering dilaporkan dalam makanan
dibandingkan dengan pakan. Selain kehadiran ZEN dan bentuk modifikasinya
biotransformasi fase I dan fase II, hanya sejumlah kecil data kuantitatif tersedia untuk bentuk
modifikasi lainnya, misalnya turunan asetil DON, FB terhidrolisis, fase I metabolit T2 dan
NIV3G. Selain itu, data yang dilaporkan belum merata, meskipun terjadi peningkatan
kesadaran akan kontribusi bentuk yang dimodifikasi terhadap toksisitas mikotoksin. Saat ini
terdapat kemajuan di bidang metode analisis yang merupakan indikator positif dalam
penentuan simultan beberapa mikotoksin, baik bentuk yang asli maupun modifikasi. Namun
metode analisis masih menjadi faktor penghambat dalam pendataan yang lengkap, baik dari
segi biaya maupun kekurangan protokol yang sesuai (Palumbo et al. 2020).

4. Metode Pencegahan Sintesis Mikotoksin


Strategi utama melawan kehadiran mikotoksin pada makanan dan pakan hewan yaitu
dengan mencegah tumbuhnya kapang yang memproduksi mikotoksin. Saat ini banyak
metode yang telah digunakan seperti praktik pertanian yang lebih baik, budidaya tanaman
yang resisten, dan penggunaan rekayasa genetika. Aspek penting lainnya dalam pencegahan
sintesis mikotoksin yaitu pemantauan cuaca untuk memprediksi terbentuknya mikotoksin.
Langkah-langkah agroteknik dapat dilakukan untuk mencegah pembentukan mikotoksin,
antara lain dengan pemupukan yang tepat dan rotasi tanaman (Bocianowski et al. 2020).
Langkah-langkah pencegahan lain yaitu melindungi tanaman dari pertumbuhan
gulma dan serangga. Gulma dapat menyediakan tempat berlindung bagi jamur, sedangkan
serangga dapat mentransfer spora jamur serta merusak jaringan tanaman sehingga
memfasilitasi penetrasi patogen. Pemanenan perlu dilakukan tepat waktu, dalam kondisi
kelembaban yang minimal. Penyimpanan bahan baku juga harus dilakukan pada kondisi yang
tepat untuk mencegah tumbuhnya kapang yang dapat memproduksi mikotoksin (Cleveland
et al. 2003).
Penyortiran adalah metode paling aman untuk menangani mikotoksin dalam kasus
bahan mentah yang sudah dipanen. Penyortiran terdiri dari pemisahan benih yang rusak,
berubah warna dan tampak tidak normal. Konsentrasi mikotoksin dapat berkurang secara
signifikan dengan pencucian dan penggilingan biji-bijian. Metode lain untuk menghilangkan
kapang adalah penggunaan gamma dan radiasi UV, namun cara ini tidak dapat mengurangi
kadar mikotoksin yang sudah diproduksi, melainkan hanya membatasi perkembangan jamur
(Wagacha dan Muthomi. 2008).
Metode kimiawi dilakukan dengan mengandalkan penggunaan senyawa kimia untuk
menyerap, menggantikan, atau menonaktifkan mikotoksin. Beberapa senyawa kimia yang
digunakan yaitu amonia, hidrogen peroksida, dan sulfur (IV) oksida digunakan, meskipun
sebenarnya penggunaan senyawa tersebut dapat mengubah nilai gizi produk dan menciptakan
risiko berupa residu berbahaya. Saat ini tersedia aditif komersial (tanah liat, zeolit, karbon
aktif) yang dapat menyerap racun dalam saluran pencernaan, sehingga mikotoksin tidak
diserap ke dalam aliran darah (Wagacha dan Muthomi 2008).
Metode biologis juga digunakan sebagai strategi pencegahan terhadap mikotoksin.
Metode biologis yang dipakai yaitu penggunaan mikroorganisme yang memiliki kemampuan
untuk menghilangkan berbagai racun dari lingkungan. Mikroorganisme ini bekerja dengan
memetabolisme mikotoksin tanpa risiko menghasilkan metabolit sekunder yang berbahaya
bagi manusia dan hewan. Harapan tinggi ditempatkan pada penggunaan bakteri
Lactobacillus dan Bifidobacterium yang selain memetabolisme mikotoksin tetapi juga
memiliki sifat untuk meningkatkan kesehatan. Bakteri L. rhamnosus merupakan strain yang
paling efektif dalam mengikat aflatoksin (AF). Bakteri L. acidophilus dan B. Bifidum
diketahui juga dapat mengurangi jumlah AFB1 (Luo et al. 2020). Penelitian lain
menunjukkan bahwa spesies L. salivarius, L. delbrueckii subsp. bulgaricus dan B. bifidum
dapat mengurangi jumlah okratoksin A (OTA) (Sadiq et al. 2019).
Eliminasi total mikotoksin dari pakan tidak mungkin dilakukan, sehingga mitigasi
yang efektif yaitu mengurangi bioavailabilitas mikotoksin pada saluran pencernaan hewan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Semenov et al. (2021) mengevaluasi pengaruh berbagai
konsentrasi campuran zeolit dan indukan lebah sebagai diet ayam pedaging di bawah
pengaruh mikotoksin T-2. Campuran zeolit dan indukan lebah ke dalam ransum ayam broiler
memiliki pengaruh positif yang signifikan pada peningkatan berat dan parameter darah, serta
mengurangi efek negatif dari mikotoksin.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antioksidan alami dapat menjadi
pilihan yang baik untuk pencegahan dan pengobatan berbagai jenis toksikasi. Diet
antioksidan adalah sumber potensial untuk menetralkan stres oksidatif dan mempertahankan
homeostasis redoks. Antioksidan alami dapat berupa vitamin (E dan C), metalloprotein
(feritin, laktoferin dan albumin), zat aktif biologis lainnya (flavonoid, karotenoid dan
anthocyanin), atau mineral. Salah satu pendekatan kunci untuk melindungi tubuh dari
kerusakan oksidatif adalah untuk memasukkan antioksidan alami ke dalam makanan sehari-
hari (Ramos-Tovar dan Muriel 2020).

5. Makanan
Kesadaran orang-orang di seluruh dunia tentang makanan yang aman dan sehat
semakin meningkat, yang berkontribusi pada terciptanya program untuk mendeteksi dan
memperingatkan tentang deteksi zat berbahaya. Di Uni Eropa, strategi keamanan pangan
mencakup Rapid Alert System of Food and Feed (RASFF). Informasi yang diperoleh dari
sistem RASFF memungkinkan pencegahan risiko dan tindakan perbaikan dini. Berfungsinya
sistem didasarkan pada pengumpulan dan penyebaran informasi yang cepat tentang produk
makanan dan pakan. Kontaminasi mikotoksin pada bahan makanan adalah penyebab dari
sebagian besar notifikasi (sekitar 20% di jaringan RASFF Eropa) Piglowski (2019).
Sereal menjadi ancaman khusus bagi manusia sebagai sumber potensial mikotoksin.
Konsumsi pseudocereals (quinoa dan kañiwa) saat ini meningkat, meskipun sedikit yang
diketahui tentang kerentanan tanaman ini terhadap kontaminasi mikotoksin. Menurut studi
yang dilakukan oleh Ramos-Diaz et al. (2021), menentukan kadar mikotoksin dan metabolit
jamur kapang dalam biji-bijian Andes (quinoa dan kañiwa) dibandingkan dengan biji-bijian
sereal (barli, oat, dan gandum), yang tumbuh baik di Amerika Selatan (Bolivia dan Peru) dan
Eropa Utara (Denmark, Finlandia, dan Latvia). Sebanyak 101 analit pada tingkat yang
berbeda terdeteksi, terutama diproduksi oleh jamur dari generaPenicilliumspp., Fusariumspp.
danAspergillusspp. Kehadiran mereka bergantung pada jenis tanaman, lokasi geografis, dan
praktik pertanian yang digunakan. Secara umum, pseudocereals dari Amerika Selatan kurang
terkontaminasi dengan mikotoksin dibandingkan dari Eropa Utara, sedangkan sereal
sebaliknya. Profil kontaminasi mikotoksin menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
pseudocereals dan sereal, bahkan ketika dipanen dari daerah yang sama.
Daging dan produk daging juga dapat terkontaminasi mikotoksin, terutama organ
hewan, seperti ginjal dan hati, yang merupakan organ utama dalam detoksifikasi xenobiotik.
Alaboudi et al. (2022), menganalisis daging dan jeroan beku dan segar (hati, ginjal),
menunjukkan adanya mikotoksin (AFB1, OTA, ZEN, FB1, dan DON) di semua sampel.
Perlu ditekankan bahwa ZEN dan AFB1melebihi MRL masing-masing 14% dan 2%, pada
sampel otot ayam beku. Hati mengandung ZEN, dan ginjal mengandung ZEN, FB1, dan
DON. Tingkat ZEN lebih tinggi di hati (30,0%) dibandingkan sampel ginjal (8,0%). Analisis
dan data tersebut mungkin berguna bagi otoritas pengawas makanan negara untuk
menerapkan pemantauan dan pengendalian residu mikotoksin di semua produk daging
unggas. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua jeroan dapat terkontaminasi
mikotoksin, karena seperti yang ditunjukkan oleh van Deventer et al. (2021), kurangnya
mikotoksin diamati pada jaringan penanda (hati dan ginjal) dan pada jaringan otot yang
diperoleh dari rumah jagal terdaftar di Afrika Selatan.
Kepekaan bayi terutama pada makanan yang aman sangat penting, terutama dalam
kasus mereka. Susu mamalia mungkin mengandung kontaminan dari paparan ibu. Memis et
al. (2021), menunjukkan adanya AFM1, OTA, ZEN, dan DON dalam ASI. Juga ditunjukkan
bahwa tingkat OTA yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan merokok (lingkungan, ibu
merokok). Kesimpulannya adalah bahwa mikotoksin dapat masuk ke dalam ASI dan paparan
ibu terhadap rokok dapat berdampak pada situasi ini. Paparan mikotoksin yang disebutkan di
atas juga dapat menyebabkan masalah laktasi. Studi tentang pengganti susu [80] menemukan
adanya 17 mikotoksin, termasuk AFB1, ZEN, DON, dan FB1. Susu formula bayi kurang
terkontaminasi dibandingkan produk biji-bijian. Ditemukan batas makanan bayi untuk
AFB1terlampaui dalam tepung. Menariknya, dua racun yang sebelumnya tidak dijelaskan
dalam literatur, yaitu aflatoxicol dan sterigmatocystin, masing-masing teridentifikasi pada
3% dan 17% makanan bayi.

6. Pet Food and Feed


Selain manusia, hewan juga dapat terpapar bahaya mikrobiologis. Ini sangat mungkin
terjadi untuk hewan pendamping, terutama anjing dan kucing. Bahkan makanan kering
anjing dapat menjadi sumber kontaminan tersebut. Makanan hewan juga bisa menjadi
bahaya, dan tidak hanya karena kontaminasi bakteri. Saat ini, penelitian sedang dilakukan
untuk mendeteksi kontaminasi mikotoksin dalam makanan hewan peliharaan. Analisis
Pigłowski (2019) menunjukkan bahwa mikotoksin adalah kategori bahaya yang paling sering
dilaporkan dalam sistem RASFF dari 1981 hingga 2017. Sebagian besar laporan berkaitan
dengan AFB1. Dalam kasus makanan hewani, mikotoksin yang paling memprihatinkan
adalah AF, OTA, ZEN, dan FB. Namun, kelompok besar rekomendasi UE untuk tingkat
aman dalam produk hewani hanya berlaku untuk tiga mikotoksin saja.
Jumlah racun yang ada dan waktu paparan adalah faktor utama yang menentukan efek
dari mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh mikotoksin. AFB1 telah terbukti
memiliki efek hepatotoksik yang kuat dapat diminimalkan, misalnya dengan melengkapi
makanan dengan kurkumin. Pengendalian harus menjadi isu prioritas bagi produsen pangan,
baik manusia maupun hewan. Sebuah penelitian oleh Singh dan Chuturgoon [96], tujuannya
adalah untuk membandingkan mikrobiologi kualitas makanan hewan supermarket dengan
makanan premium, menunjukkan bahwa terlepas dari produsen, semua sampel makanan
terkontaminasi jamur (terutama Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus
parasiticus), serta metabolit sekundernya (paling sering AF dan FB). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa makanan anjing yang lebih mahal tidak memberikan kualitas
tertinggi, dan tidak menjamin kemurnian mikrobiologis. Telah terbukti bahwa dalam kasus
makanan hewani kering, proses ekstrusi dapat berkurang patogenisitas mikroorganisme tanpa
mempengaruhi daya cerna makanan.
Kontaminasi pakan dengan beberapa jenis FB sekaligus cukup umum terjadi. Harus
diingat bahwa mikotoksin menunjukkan efek sinergis. Terutama koeksistensi FB dengan
racun lain yang dihasilkan oleh Fusarium sp. Meningkatkan risiko. Penelitian oleh Witaszak
et al. (2020) menegaskan adanya lima mikotoksin dalam jumlah tersebut diizinkan oleh
peraturan UE. Meskipun demikian, kehati-hatian harus diperhatikan karena dosis rendah
mikotoksin tidak menghilangkan risiko pada makanan anjing, dan konsumsi harian jangka
panjang bahkan sejumlah kecil mikotoksin dapat menyebabkan kerusakan lambat pada tubuh
hewan dan perkembangan berbagai penyakit, termasuk kanker. Mikotoksin juga ditemukan
dalam makanan dalam studi Shao et al. (2018). Hanya satu dari 32 sampel yang bebas
kontaminasi mikotoksin. Selain itu, semua sampel lainnya terkontaminasi setidaknya dengan
tiga sampel berbeda jenis metabolit sekunder kapang. Penelitian oleh Tegzes et al. (2019)
bertujuan untuk membandingkan makanan anjing tanpa biji-bijian dan biji-bijian dalam hal
kandungan mikotoksin. Hasil analisis tersebut mengkonfirmasi keberadaan mikotoksin
dalam makanan biji-bijian kering untuk anjing, padahal tidak ditemukan dalam makanan
tanpa biji-bijian. Analisis ini menunjukkan bahwa risiko paparan mikotoksin lebih tinggi
dengan makanan anjing kering berbahan dasar biji-bijian. Untuk meminimalkan risiko,
produsen makanan anjing harus pilih jenis biji-bijian yang kurang rentan terhadap
mikotoksin.
Risiko yang paling penting adalah mikotoksin penyebab kejang. Penitrem A (PA) dan
roquefortine (RQ) disintesis oleh beberapa kapang (Penicillium spp., P. crustosum dan P.
roqueforti). Sumbernya adalah makanan berjamur, terutama serealia dan produknya,
misalnya roti, dan berbagai jenis kacang-kacangan (kenari, almond, kacang tanah), mungkin
juga produk susu yang berjamur. Penyebab anjing keracunan roquefortine juga dapat terjadi
karena keju yang matang dengan jamur biru. Toksin ini cepat diserap oleh saluran
pencernaan. Efek neurotoksiknya muncul segera setelah terpapar. Oleh karena itu,
sehubungan dengan informasi di atas, ada baiknya untuk memperhatikan isi tong sampah
rumah dan pembuat kompos taman. Makanan yang mudah rusak dapat menghasilkan racun
jamur yang dapat menimbulkan risiko serius bagi hewan pendamping.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Setiap hari manusia dan hewan mempunyai risiko terhadap mikotoksin. Konsumsi
produk biji-bijian dalam jumlah yang besar berpengaruh terhadap pentingnya pemeriksaan
pangan secara teratur untuk menjaga keamanan dan mendeteksi zat berbahaya. Salah satu
indikator penting dalam kualitas makanan, pakan hewan, dan pangan adalah kandungan
mikotoksin. Mikotoksin merupakan ancaman yang tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari
lingkungan sekitar. Adanya mikotoksin didukung oleh faktor lingkungan, seperti
kelembapan. Mikotoksin yang termodifikasi mempunyai peluang risiko yang sangat
signifikan, tapi belum ada peraturan yang sah tentang tingkat keamanan dalam makanan dan
pangan serta studi terhadap penilaian risiko masih berlangsung. Mikotoksin menunjukkan
adanya resistansi terhadap proses yang dilakukan oleh teknologi mesin dan mempunyai
kemampuan untuk terakumulasi di dalam jaringan.
Mikotoksin menyebabkan kerugian ekonomi dan penyakit pada manusia serta hewan
bahkan kadang menjadi penyebab kematian. Berdasarkan data literatur, susu, telur, dan
daging bukan merupakan ancaman utama bagi kesehatan dan kehidupan manusia jika
dikaitkan dengan mikotoksin. Pada kebanyakan kasus, sumber utama mikotoksin berasal dari
konsumsi biji-bijian dan polong-polongan serta produk olahannya yang terkontaminasi. Pada
tingkat kasus yang lebih rendah, mikotoksin dapat berasal dari pangan asal hewani. Penelitian
telah membuktikan bahwa produk makanan (sereal, buah-buahan kering, bumbu, rempah,
dan anggur) yang ada di pasaran memenuhi persyaratan yang berlaku (bebas kontaminasi
mikotoksin) dan tidak menimbulkan ancaman terhadap kesehatan konsumen. Namun
permasalahan utama terdapat di negara tropis dan berkembang. Strategi utama untuk
melawan keberadaan mikotoksin dalam makanan, pakan hewan, dan pangan adalah dengan
mencegah pertumbuhan kapang agar mikotoksin tidak diproduksi. Banyak metode yang
digunakan dalam pencegahan, yaitu praktik pertanian yang lebih baik sampai budidaya
tradisional varietas tanaman yang tahan terhadap mikotoksin, dan penggunaan rekayasa
genetika. Metode inovatif yang dapat digunakan, yaitu penggunaan zeolit, antioksidan, dan
bakteri. Meskipun penelitian tentang produk yang mengandung mikotoksin ini membutuhkan
modal yang besar, pemeriksaan dan pengawasan perlu dilakukan dalam bidang ini untuk
meminimalkan risiko mikotoksin terhadap kesehatan hewan. Langkah pencegahan yang
diprioritaskan dan dapat dilakukan, yaitu pengujian bahan baku dan makanan terhadap
kandungan mikroorganisme berbahaya dan metabolit yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameur MS, Dahmane M, Brera C, Kardjadj M, Ben-Mahdi MH. 2020 Occurrence and
seasonal variation of aflatoxin M1 in raw cow milk collected from different regions
of Algeria. Vet World. 13(2): 433–439.
Alaboudi AR, Osaili TM, Otoum G. 2022. Quantification of mycotoxin residues in domestic
and imported chicken muscle, liver and kidney in Jordan. Food Control. 132(2):
108511.
Alshannaq A, Yu J.H. 2017. Occurrence, toxicity, and analysis of major mycotoxins in food.
Int. J. Environ. Res. Public Health. 14(1): 632.
Bennett JW, Klich M. 2003. Mycotoxins. Clin. Microbiol. Rev. 36, 497–516.
Berthiller F, Crews C, Dall’Asta C, Saeger SD, Haesaert G, Karlovsky P, Oswald IP,
Seefelder W, Speijers G, Stroka J. 2013. Masked mycotoxins: A review. Mol. Nutr.
Food Res. 57: 165–186.
Bocianowski J, Szulc P, Waśkiewicz A, Cyplik A. 2020. The effect of agrotechnical factors
on Fusarium mycotoxins level in maize. Agriculture. 10(11): 528-538.
Cleveland TE, Dowd PF, Desjardins AE, Bhatnagar D, Cotty PJ. 2003. United States
Department of Agriculture-Agricultural Research Service research on pre-harvest
prevention of mycotoxins and mycotoxigenic fungi in US crops. Pest. Manag. Sci.
59 (6-7): 629–642.
Daou R, Joubrane K, Maroun RG, Khabbaz LR, Ismail A, El Khoury A. 2021. Mycotoxins:
Factors influencing production and control strategies. AIMS Agric. Food . 6(1): 416–
447.
Dall’Erta A, Cirlini M, Dall’Asta M, Del Rio D, Galaverna G, Dall’Asta C. 2013. Masked
mycotoxins are efficiently hydrolyzed by human colonic microbiota releasing their
aglycones. Chem. Res. Toxicol. 26: 305–312.
Eskola M, Kos G, Elliott CT, Hajšlová J, Mayar S, Krska R. 2020. Worldwide contamination
of food-crops with mycotoxins: Validity of the widely cited ‘FAO estimate’ of 25%.
Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 60(16): 2773–2789
Freire L, Guerreiro T.M, Caramês ETS, Lopes LS, Orlando EA, Pereira GE, Lima Pallone
JA, Catharino RR, Sant’Ana AS. 2018. Influence of maturation stages in different
varieties of wine grapes (Vitis vinifera) on the production of Ochratoxin. A and its
modified forms by Aspergillus carbonarius and Aspergillus niger. J. Agric. Food
Chem. 66: 8824–8831.
Freire L, Sant’Ana A. 2018. Modified mycotoxins: An updated review on their formation,
detection, occurrence, and toxic effects. Food Chem. Toxicol. 111: 189–205.
Garcia-Diaz M, Gil-Serna J, Vázquez C, Botia MN, Patiño B. 2020. Comprehensive study
on the occurrence of mycotoxins and their producing fungi during the maize
production cycle in Spain. Microorganisms. 8: 141.
Humpf HU, Rychlik M, Cramer B. 2019. Modified mycotoxins: A new challenge? Food
Chem. 1: 393–400.
Jai EA, Juan C, Juan-García A, Mañes J, Zinedine A. 2021. Multi-mycotoxin contamination
of green tea infusion and dietary exposure assessment in Moroccan population. Int.
Food Res. J. 140:109958.
Janik E, Niemcewicz M, Ceremuga M, Stela M, Saluk-Bijak J, Siadkowski A, Bijak M. 2020.
Molecular aspects of mycotoxins—a serious problem for human health. Int. J. Mol.
Sci. 21(21): 8187.
Karlovsky P, Suman M, Berthiller F, De Meester J, Eisenbrand G, Perrin I, Oswald IP,
Speijers G, Chiodini A, Recker T et al. 2016. Impact of food processing and
detoxification treatments on mycotoxin contamination. Mycotoxin Res. 32(4):179–
205.
Kovaˇc M, Šubari´c D, Bulai´c M, Kovaˇc T, Šarkanj B. 2018. Yesterday masked, today
modified; what do mycotoxins bring next? Arh. Hig. Rada Toksikol. 69: 196–214.
Kowalska K, Habrowska-Górczyńska DE, Piastowska-Ciesielska AW. 2016. Zearalenone as
an endocrine disruptor in humans. Environ. Toxicol. Pharmacol. 48(1): 141–149.
Lumsangkul C, Chiang HI, Lo NW, Fan YK, Ju JC. 2019. Developmental toxicity of
mycotoxin Fumonisin B1 in animal embryogenesis. Toxins. 11: 114.
Luo Y, Liu X, Yuan L, Li J. 2020. Complicated interactions between bio-adsorbents and
mycotoxins during mycotoxin adsorption: Current research and future prospects.
Trends Food Sci. Technol. 96(4): 127–134.
Memiş EY, Yalçın SS. 2021. Human milk mycotoxin contamination: Smoking exposure and
breastfeeding problems. J Matern Fetal Neonatal Med. 34(2): 31–40.
Muaz K, Riaz M, de Oliveira CAF, Akhtar S, Ali SW, Nadeem H, Park S, Balasubramanian
B. 2021. Aflatoxin M1 in milk and dairy products: Global occurrence and potential
decontamination strategies. Toxin Rev. 41(2): 1–18.
Munkvold GP, Arias S, Taschl I, Gruber-Dorninger C. 2019. Mycotoxins in Corn:
Occurrence, Impacts, and Management. In Corn: Chemistry and Technology, 3rd ed.;
Serna-Saldivar, S.O., Ed.; AACC International Press: Washington, DC (USA) pp.
235–287.
Nazhand A, Durazzo A, Lucarini M, Selatan EB, Santini A. 2020. Characteristics,
occurrence, detection and detoxification of aflatoxins in foods and feeds. Food
Journal. 9(1): 644.
Negash D. 2018. A review of Aflatoxin: Occurrence, prevention, and gaps in both
food and feed safety. J Appl Microb Res. 1(2): 35– 43.
Kępińska-Pacelik J, Biel W. 2021. Alimentary risk of mycotoxins for humans and animals.
Toxins. 13(11): 822-838.
Pałubicki J, Kosicki R, Twaruzek M, Ałtyn I, Grajewski J. 2021. Concentrations of
zearalenone and its metabolites in female wild ˙ boars from woodlands and farmlands.
Toxicon. 196(1): 19–24.
Palumbo R, Crisci A, Venâncio A, Cortiñas Abrahantes J, Dorne J.-L, Battilani P, Toscano
P. 2020. Occurrence and co-occurrence of mycotoxins in cereal-based feed and food.
Microorganisms. 8: 74.
Pauletto M, Giantin M, Tolosi R, Bassan I, Barbarossa A, Zaghini A, Dacasto M. 2021.
Discovering the protective effects of resveratrol on aflatoxin B1-induced toxicity: A
whole transcriptomic study in a bovine hepatocyte cell line. Antioxidants. 10(2):
1225.
Peivasteh-Roudsari L, Pirhadi M, Shahbazi R, Eghbaljoo-Gharehgheshlaghi H, Sepahi M,
Alizadeh MA, Jazaeri S. 2021. Mycotoxins: Impact on health and strategies for
prevention and detoxification in the food chain. Food Rev. Int. 1: 1–32.
Pigłowski M. 2019. Comparative analysis of notifications regarding mycotoxins in the Rapid
Alert System for Food and Feed (RASFF). Qual Assur Saf Crop Foods. 11(2): 725–
735.
Pitt J, Miller JD. 2017. A concise history of mycotoxin research. J Agric Food Chem. 65
(21): 7021–7033.
Ramos-Diaz, JM, Sulyok M, Jacobsen SE, Jouppila K, Nathanail AV. 2021. Comparative
study of mycotoxin occurrence in Andean and cereal grains cultivated in South
America and North Europe. Food Control. 130(3): 108260.
Ramos-Tovar E, Muriel P. 2020. Free radicals, antioxidants, nuclear factor-E2-related factor-
2 and liver damage. J. Appl. Toxicol. 40(1): 151–168.
Ropejko K. Twaruzek M. 2021. Zearalenone and its metabolites-general overview,
occurrence, and toxicity. ˙ Toxins 13(1): 35.
Sadiq FA, Yan B, Tian F, Zhao J, Zhang H, Chen W. 2019. Lactic acid bacteria as antifungal
and anti-mycotoxigenic agents: A comprehensive review. Compr. Rev. Food Sci.
Food Saf. 18(5): 1403–1436.
Semenov EI, Mishina NN, Saitov VR, Perfilova KV, Kashevarov GS, Tanaseva SA, Idiyatov
II, Tarasova EY, Matrosova LE, Shlyamina OV et al. 2021 Effect of bee brood and
zeolite on broiler chickens exposed by mycotoxin t-2. Nat. Volatiles Essent. Oils.
8(4): 3520–3531.
Selma Yazar, Gülden Z. Omurtag.2008. Fumonisins, Trichothecenes and Zearalenone in
Cereals". Int. J. Mol. Sci.: 2062–2090
Sharma, V.Patial, V. 2021.Food mycotoxins: Dietary interventions implicated in the
prevention of mycotoxicosis. Food Sci. Technol.1(2):1717–1739
Shao M, Li L, Gu Z, Yao M, Xu D, Fan W, Yan L, Song S. 2018. Mycotoxins in commercial
dry pet food in China. Food Addit. Contam. 11: 237–245.
Stoev, S.D.; Paskalev, M.; MacDonald, S.; Mantle, P.G. Experimental one-year ochratoxin
A toxicosis in pigs. Exp. Toxicol. Pathol.53 (3): 481–487.
Stockmann-Juvala H, Naarala J, Loikkanen J, Vähäkangas K, Savolainen K. 2006.
Fumonisin B1-induced apoptosis in neuroblastoma, glioblastoma and hypothalamic
cell lines. Toxicology. 225: 234–241.
Stroka, J.; Goncalves, C. 2019. Mycotoxins in food and feed: An overview. Food Chem. 1,
401–419.
Srey, C.Kimanya, M.E.Routledge, M.N.Shirima, C.PGong, Y.Y.2014. Deoxynivalenol
exposure assessment in young children in Tanzania. Mol. Nutr. Food Res. 58, 1574–
1580.
Tarannum N, Nipa MN, Das S, Parveen S. 2020. Aflatoxin M1 detection by ELISA in raw
and processed milk in Bangladesh. Toxicol Reputation. 7(1): 1339–1343.
Tegzes JH, Oakley BB, Brennan G. 2019. Comparison of mycotoxin concentrations in grain
versus grain-free dry and wet commercial dog food. Toxicol. Commun. 3: 61–66.
Vahedi, H.2018. A Study on rice and bread contamination with ochratoxin A, Balkan
Endemic Nephropathy agent. Clin. Exc.7, 28–46
Van Deventer MM, Pretorius B, Schönfeldt HC. 2021. A preliminary study on mycotoxin
contamination in red meat from registered abattoirs in South Africa. Mycotoxin Res.
37(2): 105–108.
Wagacha JM, Muthomi JW. 2008. Mycotoxin problem in Africa: Current status, implications
to food safety and health and possible management strategies. Int. J. Food Microbiol.
124(1): 1–12.
Witaszak N, Waskiewicz A, Bocianowski J, Stepien Ł. 2020. Contamination of pet food with
mycobiota and Fusarium mycotoxins Focus on dogs and cats. Toxins. 12: 130.
Yang R, Wang YM, Zhang L, Zhao ZM, Zhao J, Peng SQ. 2016. Prepubertal exposure to an
oestrogenic mycotoxin zearalenone induces central precocious puberty in immature
female rats through the mechanism of premature activation of hypothalamic
kisspeptin-GPR54 signaling. Mol. Cell Endocrinol. 9(1): 62–74.
Złoch M, Rogowska A, Pomastowski P, Railean-Plugaru V, Walczak-Skierska J, Rudnicka
J, Buszewski B. 2020. Use of Lactobacillus paracasei strain for zearalenone binding
and metabolization. Toxicon. 181(1): 9–18.

Anda mungkin juga menyukai