Disusun oleh
Ari Akhdan Ruska P
1402101010172
Nelma Sari
1402101010173
Ahmad Wahyudi
1402101010180
Muhammad Wahyudi
1402101010181
1402101010194
Sri Wahyuli
1402101010085
(c) trikotesena mencegah sintesa protein dan pada dosis rendah menurunkan
pembentukan faktor koagulan imunoglobulin,
(d) zearalenon terikat pada reseptor estrogen yang berpengaruh terhadap transkripsi inti
sel
Mekanisme pencemaran jamur dan mikotoksin
Bahan baku ransum, terutama jagung biasanya disimpan dahulu sebelum digunakan
untuk menyusun ransum. Umumnya bahan baku tersebut disimpan dalam gudang dengan kondisi
kelembaban tinggi sehingga berpotensi tercemar jamur dan mikotoksin yang dihasilkan. Proses
pencemaran jamur pada bahan baku ransum, terutama jagung, dimulai saat spora (konidia) jamur
beterbangan di udara terbawa oleh angin dan serangga, kemudian menempel secara langsung
atau tidak langsung pada tanaman jagung. Bila suhu dan kelembaban sesuai maka jamur akan
tumbuh dan berkembang biak pada tanaman jagung yang masih ada di lapangan. Ketika jagung
dipanen, jamur dan mikotoksin yang dihasilkan sudah menginfeksi hasil panen. Spora jamur
sebagian juga beterbangan di udara dan menjadi sumber infeksi selanjutnya (Cotty dan JaimeGarcia 2007; Reddy dan Waliyar 2008).
Dari sekian banyak jenis jamur yang menghasilkan metatoksin ada beberapa jamur yang
paling sering menyebabkan sakit terhadap hewan ternak diantaranya :
Mikotoksin
Alfatoksin
Zearalenon
Oktratoksin
Toksin T-2
Deoksinivalenol
sitrinin
Ergot
Pada ternak
1) Alfatoksin
pengaruh
Hepatoksin dan
imunosupresan
Estrogenic dan kelainan
reproduksi
Nefrotoksin
Lesi dimulut, kehilangan
nafsu makan
Dermatotoksin, penolakan
pakan
tall fescue toxicosis
Aflatoksin berasal dari Aspergillus flavus toxin. Kapang utama penghasil aflatoksin
adalah A. flavus yang tumbuh pada kisaran suhu 10 - 43C dan ditemukan di mana-mana serta
memproduksi aflatoksin B1 danB2 pada kisaran suhu 15-37C.
Pada keracunan akut oleh aflatoksin, di hati terjadi kegagalan metabolisme karbohidrat
dan lemak dan sintesa protein, sehingga terjadi penurunan fungsi hati karena adanya perombakan
pembekuan darah, ikterus dan penurunan sintesis protein serum. Sementara itu, pada keracunan
kronik akan menyebabkan imunosupresif yang diakibatkan penurunan akitivitas vitamin K dan
penurunan aktivitas fagositas (phagocytic) pada makrofak. Setiap spesies hewan mempunyai
kepekaan yang berbeda terhadap keracunan akut aflatoksin, dengan nilai LD50 yang bervariasi
antara 0,3 hingga 17,9 mg/kg berat badan (Tabel 2) dan organhati merupakan target utama yang
terserang.
Spesies
Anak itik
Kucing
Babi
Kambing
Keberadaan aflatoksin
Aflatoksin B1 yang diserap di saluran cerna dari hewan ternak akan mengalami proses
metabolisme dan detoksifikasi di hati oleh sitokrom P-450 setelah diserap dari usus (digestive
tract), menjadi bentuk yang kurang atau bahkan tidak toksik dibandingkan dengan AFB1 seperti
aflatoksin M1 (AFM1), aflatoksin P1, aflatoksin Q1, aflatoksin B2a dan aflatoksikol seperti yang
terlihat dalam Gambar 1. Proses metabolisme aflatoksin melibatkan tiga fasa yaitu (1)
Bioaktivasi; (2) Konjugasi; dan (3) Dekonjugasi (Biomin 2009). Pada fasa bioaktivasi, aflatoksin
menjadi beberapa metabolit hidroksilasi. Jalur metabolik AFB1 meliputi proses o-demetalisasi
menjadi AFP1, proses reduksi menjadi aflatoksikol dan proses hidroksilasi menjadi AFB1-8,9
epoksida (bersifat toksik akut, mutagenik dan karsinogenik), AFM1, AFQ1 atau AFB2 (keduanya
relatif tidak toksik). Aflatoksin B1-8,9 epoksida bersifat sangat tidak stabil, sehingga beberapa
reaksi dapat terjadi bergantung kepada molekul kedua yang ada. Dengan adanya molekul air,
AFB1-8,9 epoksida terhidrolisa menjadi aflatoksin B1 1-8,9-dihidrodiol dan menjadi terikat
dengan serum protein seperti lisin dan albumin. Mekanisme ini yang menjelaskan efek toksik
dari aflatoksin. Pada fasa konjugasi terjadi detoksifikasi dan dihasilkan AFB1-glukuronida dan
AFB1-sulfat yang dieksresikan ke urin dan AFB1-glutation yang diekresikan ke empedu.
2) Okratoksin
Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin
B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di
alam.Okratoksin A (OA) adalah mikotoksin yang dihasilkan terutama oleh Aspergillus ochraceus
yang tumbuh pada kisaran suhu 8 - 37C (pertumbuhan optimumpada25-31C)serta
pembentukan okratoksinApada kisaran suhu 15-37C (pembentukanoptimum pada25-28C).
Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus.
Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian,
kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh
Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman 1996). P. viridicatum tumbuh pada suhu antara 0-31
0C dengan suhu optimal pada 20 0C dan pH optimum 6-7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara
8-37 0C. Hewan yang memiliki kepekaan tinggi terhadap okratoksin adalah anjing dan babi.
Peckham dkk (1971) disitasi oleh Wartazoa (2006) dalam hasil penelitiannya menyebutkan
okratoksin A yang diberikan pada anak ayam dengan dosis 100 ug peoral maupun 400 ug secara
subcutan dapat menyebabkan kematian dengan kerusakan utama pada visceral, dan secara
mikroskopik terlihat adanya nefrotis yang akut, degenerasi hati, dan enteritis.
3) Zearalenon
Zearalenon merupakan salah satu mikotoksin Fusarium yang dihasilkan terutama oleh
F .graminarum. Zearalenon ditemukan pada 30% dari 2271 sampel jagung lapang yang dikoleksi
di Propinsi Buenos Aires dan Santa Fe, Argentina pada tahun 1983 hingga 1994, dengan
konsentrasi rata-rata sebesar 165 gg/kg (variasi tahunan, 46 - 300 g/kg) dan konsentrasi
maksimum sebesar 2000 g/kg (RESNIK et al., 1996 sitasi oleh Widiastuti., 2006). Zearalenon
ditemukan mengkontaminasi jagung maupun pakan di berbagai tempat di seluruh dunia seperti
Argentina (GONZALEZet al., 1999), Bangladesh(Dawlatan et al., 2002 sitasi oleh Widiastuti.,
2006), Italia (Pietri et al., 2004 sitasi oleh Widiastuti., 2006), Korea (SOHN et al., 1999 sitasi
oleh Widiastuti., 2006), Slovakia(LABUDA et al., 2005 sitasi oleh Widiastuti., 2006) maupun
Indonesia (ALI et al., 1998; WIDIASTUTI dan FIRMANSYAH, 2005 sitasi oleh Widiastuti.,
2006). Kontaminasi zearalenon biasanya ditemukan bersama-sama dengan deoksinivalenol dan
umumnya
konsentrasi
deoksinivalenol
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
zearalenon
(SHOTWELL et al., 1977 sitasi oleh Widiastuti., 2006). Zearalenon mempunyai aktivitas
estrogenik terhadap babi, sapi perah, anak kambing, ayam, kalkun dan kelinci, namun hewan
yang paling peka terhadap zearalenon adalah babi.
4) Trikotesena
Mikotoksin golongan trikotesena mempunyai gugus 12,13-epoksitrikotesene dan ikatan
olefinik yang tersubtitusi pada berbagai sisi rantai (BENNET dan KLICH, 2003 sitasi oleh
widiastuti . 2006). Mikotoksin golongan ini terdiri atas 200 - 300 senyawaan sejenis yang
bersifat toksik melalui penghambatan sintesis protein pada ribosom. Dua jenis mikotoksin yang
paling dikenal dari golongan trikotesena adalah toksin T-2 dan deoksinivalenol (DON). Toksin T2 dihasilkan terutama oleh F .sporotrichiodes ataupun F. graminearum dengan suhu optimal
pembentukannya antara24 -26'C. Tanda-tanda klinis keracunan trikotesena dibagi dalam 5
kelompok yaitu:
5) Citinin
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun 1931.
Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan
gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies
Monascus dan
hal
ini
menjadi
perhatian
terutama
oleh
menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan
untuk
diekstraksi
pigmennya
(terutama
yang
berwarna
merah)
dan
dalam
proses
6) Ergot Alkaloid
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis jamur, namun yang utama adalah
golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat menyebabkan
epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua bentuk, yaitu bentuk
gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive). Pembersihan serealia secara mekanis tidak
Menurut Hamilton (1984), tidak terdapat batas kandungan yang aman untuk mikotoksin.
Asupan mikotoksin sekecil apapun, akan terakumulasi. Efek yang ditimbulkan mikotoksin akan
berpengaruh secara bertahap sesuai jumlah asupan mikotoksin. Mikotoksi pertama-tama akan
menyebabkan penurunan daya tanggap kekebalan tubuh atau imunosupresi, kemudian gangguan
metabolisme,
berlanjut
menimbulkan
gejala
klinis
dan
berakhir
dengan
kematian.
Mekanisme kerusakan jaringan akibat mikotoksikosis belum diketahui secara pasti, akan tetapi
diketahui mengganggu proses sintesa protein sehingga dapat menyebabkan gangguan
metabolisme. Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin.
Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan ayam, gangguan
produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit,
kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi.
Konsekuensi terjadinya penurunan daya tanggap kebal atau imunosupresi akan meningkatkan
resiko terjadinya penyakit, meningkatkan derajat keparahan penyakit, meningkatkan tingkat
kesulitan pengobatan, respon imun yang buruk, dan mengaktivasi pembentukan tumor.
Sulit mendeteksi keberadaan mikotoksin pada bahan baku pakan karena sifat mikotoksin
yang tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berasa. Toxin seperti zearalenone, akan berikatan
dengan komponen nutrisi yang berbeda-beda, seperti glycosides, glocuronides, atau fatty acid
esters. Bila terjadi ikatan zearalenone-glycoside, akan sulit dideteksi dengan metode
konvensional, akibatnya bahan baku atau pakan dianggap tidak terkontaminasi . Kemudian
ikatan zearalenone-glycoside akan terurai setelah tercampur dengan empedu pada duodenum.
Zearalenone tersebut kemudian akan menjadi toksik kembali. Proses ikatan antara toksin dan
komponen nutrisi disebut masked mycotoxins. Contoh masked mycotoxins yang lain adalah
adalah mahal, hasil tidak pasti dan hilangnya kandungan nutrien pakan.
Perlakuan penambahan zat kimia
Amonia sangat efektif untuk menekan pertumbuhan kapang Aspergillus dan cemaran
aflatoksin atau okratoksin pada kacang tanah dan jagung. Penggunaan amonia 2% pada
temperatur 20 - 50C selama 6 minggu dapat mengurangi kandungan aflatoksin lebih dari
90% (Chelkowski et al., 1981), begitu pula penggunaan sodium bisulfit 1%pada
kelembaban 15% (Ghosh ei al., 1996). Bahan kimia lain seperti hidrogen peroksida juga
sering
digunakan
untuk
mengurangi
cemaran
berbagai
mikotoksin,
namun
penggunaannya pada suhu kamar kurang efektif sehingga dibutuhkan pemanasan atau
suasana alkalis (Fouler et al., 1994). Kalsium hidroksida, monometilamin, dan amonium
hidroksida dilaporkan efektif menekan kontaminasi zearalenon (ZEN) pada jagung,
namun sodium bikarbonat 10 - 50% yang diikuti pemanasan 1 10C selama 12hari
kurang efektif untuk menurunkan zearalenon (Lauren dan Smith, 2001). Asam propionat
0,3 - 1% dapat mencegah pertumbuhan kapang Fusarium culmorum dan F. gramineraum
penghasil zearalenon pada jagung selama penyimpanan 1 - 4 bulan pada suhu 10 - 20C
dan kelembaban 19- 40%. Bahan ini diaplikasikan hanya pada produk pertanian yang
digunakan sebagai bahan pakan ternak (Muller dan Thaler, 1981).
Bahan pengikat mikotoksin seperti arang aktif (activated charcoal), sodium bentonit,
zeolit, aluminosilikat, gamma amino butyric acid (GABA) dan polimer seperti Polyvinyl
dicampur dalam pakan efektif menghambat toksisitas aflatoksin pada ayam broiler.
Penggunaan bahan alami, zat gizi dan vitamin
Beberapa bahan alami seperti bawang putih, kunyit dan ekstrak daun sambiloto efektif
menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan dan mencegah aflatoksikosis pada unggas
DAFTAR PUSTAKA
Bahri. S, R. Widiastuti, Y. Mustikaningsih. 2005. Efek Aflatoksin B1 (AFB1) pada Embrio
Ayam. JITV. Vol. 10 (2) : 160-168
Machdum,
Nurvidia.
2016.
Penyebab
Dan
Dampak
Imunosupresi
Pada
http://www.majalahinfovet.com/2007/08/ternak-sehat-ternak-produktif.html.
Ayam.
Diakses