Anda di halaman 1dari 11

MIKOTOKSIKOSIS

Disusun oleh
Ari Akhdan Ruska P

1402101010172

Nelma Sari

1402101010173

Ahmad Wahyudi

1402101010180

Muhammad Wahyudi

1402101010181

Renji Mailisa Wahyuni

1402101010194

Sri Wahyuli

1402101010085

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2016

Mikotoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin, dan penyakit


tersebut timbul jika unggas mengkonsumsi pakan atau bahan yang mengandung mikotoksin.
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan jamur dan terdapat pada hampir
semua jenis komoditi hasil pertanian di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 300 jenis mikotoksin
telah teridentifikasi yang berasal lebih dari 100.000 spesies jamur.
Mikotoksin di sintesis dan dikeluarkan selama proses pertumbuhan jamur tertentu. Dan
jika jamur mati, maka produksi mikotoksin akan berhenti, tetapi mikotoksin yang sudah
terbentuk tidak akan hilang. Hal tersebut karena mikotoksin memiliki struktur kimiawi yang
stabil pada berbagai kondisi lingkungan, sehingga tahan terhadap suhu panas yang ekstrim dan
tahan lama pada proses penyimpanan bahan baku serta tahan terhadap berbagai proses
pengolahan dalam pembuatan pakan ternak. Yang menjadikan mikotoksin menjadi ancaman yang
merugikan adalah kemampuannya mengganggu dan merusak organ sistem kekebalan tubuh
ayam, meskipun mikotoksin tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat rendah (nanogram
sampai microgram pergram bahan bakar).
Keberadaan mikotoksin dalam pakan ternak berdampak terhadap kesehatan ternak berupa
penurunan produksi, reproduksi dan berat badan, mempengaruhi sistem imunosupresi dan
menimbulkan kerusakan organ serta dapat menimbulkan residu yang dapat membahayakan
manusia. Efek toksik dari mikotoksin tergantung banyak hal diantaranya (1)dosis dan lamanya
pemaparan mikotoksin yang dikonsumsi, (2) rute pemaparan, (3) spesies, (4) umur, (5) jenis
kelamin, dan (6) efek status kesehatan dan gizi (Osweiler et al., 1985). Setiap jenis mikotoksin
dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu organ (hewan maupun manusia), namun terdapat
bagian yang paling menderita yangdisebut juga sebagai target-organ yang menyebabkan organ
tersebut menjadi tidak berfungsi atau rusak.
Mekanisme kerja mikotoksin adalah:
(a) aflatoksin mencegah sintesa RNA di hati yang menyebabkan nekrosis pada manusia
dan hewan,
(b) okratoksin berinteraksi dengan Fe membentuk suatu kompleks yang menghasilkan
radikal hidroksil yang menyebabkan lipo oksidasi,

(c) trikotesena mencegah sintesa protein dan pada dosis rendah menurunkan
pembentukan faktor koagulan imunoglobulin,
(d) zearalenon terikat pada reseptor estrogen yang berpengaruh terhadap transkripsi inti
sel
Mekanisme pencemaran jamur dan mikotoksin
Bahan baku ransum, terutama jagung biasanya disimpan dahulu sebelum digunakan
untuk menyusun ransum. Umumnya bahan baku tersebut disimpan dalam gudang dengan kondisi
kelembaban tinggi sehingga berpotensi tercemar jamur dan mikotoksin yang dihasilkan. Proses
pencemaran jamur pada bahan baku ransum, terutama jagung, dimulai saat spora (konidia) jamur
beterbangan di udara terbawa oleh angin dan serangga, kemudian menempel secara langsung
atau tidak langsung pada tanaman jagung. Bila suhu dan kelembaban sesuai maka jamur akan
tumbuh dan berkembang biak pada tanaman jagung yang masih ada di lapangan. Ketika jagung
dipanen, jamur dan mikotoksin yang dihasilkan sudah menginfeksi hasil panen. Spora jamur
sebagian juga beterbangan di udara dan menjadi sumber infeksi selanjutnya (Cotty dan JaimeGarcia 2007; Reddy dan Waliyar 2008).
Dari sekian banyak jenis jamur yang menghasilkan metatoksin ada beberapa jamur yang
paling sering menyebabkan sakit terhadap hewan ternak diantaranya :
Mikotoksin

Spesies yang peka

Alfatoksin

Semua hewan dan ungags

Zearalenon

Terutama babi dan sapi

Oktratoksin

Terutama babi dan ungags

Toksin T-2

Terutama babi dan ungags

Deoksinivalenol

Terutama babi dan ungags

sitrinin
Ergot

Pada ternak

1) Alfatoksin

pengaruh
Hepatoksin dan
imunosupresan
Estrogenic dan kelainan
reproduksi
Nefrotoksin
Lesi dimulut, kehilangan
nafsu makan
Dermatotoksin, penolakan
pakan
tall fescue toxicosis

Aflatoksin berasal dari Aspergillus flavus toxin. Kapang utama penghasil aflatoksin
adalah A. flavus yang tumbuh pada kisaran suhu 10 - 43C dan ditemukan di mana-mana serta
memproduksi aflatoksin B1 danB2 pada kisaran suhu 15-37C.
Pada keracunan akut oleh aflatoksin, di hati terjadi kegagalan metabolisme karbohidrat
dan lemak dan sintesa protein, sehingga terjadi penurunan fungsi hati karena adanya perombakan
pembekuan darah, ikterus dan penurunan sintesis protein serum. Sementara itu, pada keracunan
kronik akan menyebabkan imunosupresif yang diakibatkan penurunan akitivitas vitamin K dan
penurunan aktivitas fagositas (phagocytic) pada makrofak. Setiap spesies hewan mempunyai
kepekaan yang berbeda terhadap keracunan akut aflatoksin, dengan nilai LD50 yang bervariasi
antara 0,3 hingga 17,9 mg/kg berat badan (Tabel 2) dan organhati merupakan target utama yang
terserang.
Spesies
Anak itik
Kucing
Babi
Kambing
Keberadaan aflatoksin

LD50 (mg/kg berat badan)


Zona kerusakan hati
0,335
periportal
0,55
periportal
0,62
sentralobular
1,0
sentralobular
pada pakan akan menyebabkan terpaparnya ternak unggas

terutama ayam yang mengkonsumsi pakan tersebut, sehingga dikhawatirkan mengganggu


produktivitas dan kesehatan ternak tersebut.Bahri dkk ( 2005) menyebutkan bahwa Pemberian
pakan komersial yang mengandung 200 ppb aflatoksin selama 4 bulan telah menyebabkan
rendahnya titer antibodi terhadap ND, IB dan IBD dibandingkan titer antibodi pada ayam kontrol
yang diberi pakan tidak mengandung aflatoksin. Pengaruh imunosupresif dari aflatoksin ini
sebetulnya sudah banyak dilaporkan sebelumnya, yaitu dengan adanya hubungan antara ayam
yang mengkonsumsi pakan tercemar aflatoksin dengan kepekaan terhadap berbagai serangan
penyakit infeksius, seperti penyakit Mareks, Parathypoid dan IBD. Terganggunya sistem
kekebalan (daya imunitas) ayam juga telah dibuktikan pada ayam-ayam anak yang menetas dari
telur yang terekpose AFB1. Walaupun ayam tersebut dapat tumbuh dan berkembang cukup baik,
tetapi sistem imunitas/kekebalannya menjadi terganggu, terutama pada sistem CMI (DIETERT et
al., 1985; GHOSH et al., 1991; YAROSHENKO et al., 2003 sitasi oleh Bahri (2005)).
Mekanisme terjadinya efek toksik

Aflatoksin B1 yang diserap di saluran cerna dari hewan ternak akan mengalami proses
metabolisme dan detoksifikasi di hati oleh sitokrom P-450 setelah diserap dari usus (digestive
tract), menjadi bentuk yang kurang atau bahkan tidak toksik dibandingkan dengan AFB1 seperti
aflatoksin M1 (AFM1), aflatoksin P1, aflatoksin Q1, aflatoksin B2a dan aflatoksikol seperti yang
terlihat dalam Gambar 1. Proses metabolisme aflatoksin melibatkan tiga fasa yaitu (1)
Bioaktivasi; (2) Konjugasi; dan (3) Dekonjugasi (Biomin 2009). Pada fasa bioaktivasi, aflatoksin
menjadi beberapa metabolit hidroksilasi. Jalur metabolik AFB1 meliputi proses o-demetalisasi
menjadi AFP1, proses reduksi menjadi aflatoksikol dan proses hidroksilasi menjadi AFB1-8,9
epoksida (bersifat toksik akut, mutagenik dan karsinogenik), AFM1, AFQ1 atau AFB2 (keduanya
relatif tidak toksik). Aflatoksin B1-8,9 epoksida bersifat sangat tidak stabil, sehingga beberapa
reaksi dapat terjadi bergantung kepada molekul kedua yang ada. Dengan adanya molekul air,
AFB1-8,9 epoksida terhidrolisa menjadi aflatoksin B1 1-8,9-dihidrodiol dan menjadi terikat
dengan serum protein seperti lisin dan albumin. Mekanisme ini yang menjelaskan efek toksik
dari aflatoksin. Pada fasa konjugasi terjadi detoksifikasi dan dihasilkan AFB1-glukuronida dan
AFB1-sulfat yang dieksresikan ke urin dan AFB1-glutation yang diekresikan ke empedu.
2) Okratoksin
Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin
B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di
alam.Okratoksin A (OA) adalah mikotoksin yang dihasilkan terutama oleh Aspergillus ochraceus
yang tumbuh pada kisaran suhu 8 - 37C (pertumbuhan optimumpada25-31C)serta
pembentukan okratoksinApada kisaran suhu 15-37C (pembentukanoptimum pada25-28C).
Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus.
Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian,
kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh
Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman 1996). P. viridicatum tumbuh pada suhu antara 0-31
0C dengan suhu optimal pada 20 0C dan pH optimum 6-7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara
8-37 0C. Hewan yang memiliki kepekaan tinggi terhadap okratoksin adalah anjing dan babi.
Peckham dkk (1971) disitasi oleh Wartazoa (2006) dalam hasil penelitiannya menyebutkan
okratoksin A yang diberikan pada anak ayam dengan dosis 100 ug peoral maupun 400 ug secara

subcutan dapat menyebabkan kematian dengan kerusakan utama pada visceral, dan secara
mikroskopik terlihat adanya nefrotis yang akut, degenerasi hati, dan enteritis.

3) Zearalenon
Zearalenon merupakan salah satu mikotoksin Fusarium yang dihasilkan terutama oleh
F .graminarum. Zearalenon ditemukan pada 30% dari 2271 sampel jagung lapang yang dikoleksi
di Propinsi Buenos Aires dan Santa Fe, Argentina pada tahun 1983 hingga 1994, dengan
konsentrasi rata-rata sebesar 165 gg/kg (variasi tahunan, 46 - 300 g/kg) dan konsentrasi
maksimum sebesar 2000 g/kg (RESNIK et al., 1996 sitasi oleh Widiastuti., 2006). Zearalenon
ditemukan mengkontaminasi jagung maupun pakan di berbagai tempat di seluruh dunia seperti
Argentina (GONZALEZet al., 1999), Bangladesh(Dawlatan et al., 2002 sitasi oleh Widiastuti.,
2006), Italia (Pietri et al., 2004 sitasi oleh Widiastuti., 2006), Korea (SOHN et al., 1999 sitasi
oleh Widiastuti., 2006), Slovakia(LABUDA et al., 2005 sitasi oleh Widiastuti., 2006) maupun
Indonesia (ALI et al., 1998; WIDIASTUTI dan FIRMANSYAH, 2005 sitasi oleh Widiastuti.,
2006). Kontaminasi zearalenon biasanya ditemukan bersama-sama dengan deoksinivalenol dan
umumnya

konsentrasi

deoksinivalenol

lebih

tinggi

dibandingkan

dengan

zearalenon

(SHOTWELL et al., 1977 sitasi oleh Widiastuti., 2006). Zearalenon mempunyai aktivitas
estrogenik terhadap babi, sapi perah, anak kambing, ayam, kalkun dan kelinci, namun hewan
yang paling peka terhadap zearalenon adalah babi.

4) Trikotesena
Mikotoksin golongan trikotesena mempunyai gugus 12,13-epoksitrikotesene dan ikatan
olefinik yang tersubtitusi pada berbagai sisi rantai (BENNET dan KLICH, 2003 sitasi oleh
widiastuti . 2006). Mikotoksin golongan ini terdiri atas 200 - 300 senyawaan sejenis yang
bersifat toksik melalui penghambatan sintesis protein pada ribosom. Dua jenis mikotoksin yang
paling dikenal dari golongan trikotesena adalah toksin T-2 dan deoksinivalenol (DON). Toksin T2 dihasilkan terutama oleh F .sporotrichiodes ataupun F. graminearum dengan suhu optimal
pembentukannya antara24 -26'C. Tanda-tanda klinis keracunan trikotesena dibagi dalam 5
kelompok yaitu:

(1) menyebabkan penolakan pakan.


(2) menyebabkan nekrosis kulit,
(3) menyebabkan gangguan pencernaan
(4) menyebabkan koagulopati.
(5) menyebabkan gangguan imunologik (OSWEILLER et al., 1985).
DON atau sering disebut vomitoksin merupakan mikotoksin trikotesena yang rendah
toksisitasnya (LD50 untuk ayam pedaging betina secara oral adalah 140 mg/kg berat badan dan
pada anak itik secara oral adalah 27 mg/kg berat badan). T-2 toksin adalah mikotoksin yang
paling toksik diantara trikotesena lainnya (LD50 untuk babi secara i.v adalah 1,21 mg/kg berat
badan dan untuk anak ayam secara oral adalah 1,75 mg/kg berat badan) (HUFF et al., 1981;
JECFA 47, 2001).

5) Citinin
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun 1931.
Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan
gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies
Monascus dan

hal

ini

menjadi

perhatian

terutama

oleh

masyarakat Asia yang

menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan
untuk

diekstraksi

pigmennya

(terutama

yang

berwarna

merah)

dan

dalam

proses

pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah (Wikipedia,2013).

6) Ergot Alkaloid
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis jamur, namun yang utama adalah
golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat menyebabkan
epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua bentuk, yaitu bentuk
gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive). Pembersihan serealia secara mekanis tidak

sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa


jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten
terhadap Claviceps purpurea, penghasil ergot alkaloid. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat
menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan
bobot tubuh, dan fertilitas menurun (Wikipedia,2013).

Menurut Hamilton (1984), tidak terdapat batas kandungan yang aman untuk mikotoksin.
Asupan mikotoksin sekecil apapun, akan terakumulasi. Efek yang ditimbulkan mikotoksin akan
berpengaruh secara bertahap sesuai jumlah asupan mikotoksin. Mikotoksi pertama-tama akan
menyebabkan penurunan daya tanggap kekebalan tubuh atau imunosupresi, kemudian gangguan
metabolisme,

berlanjut

menimbulkan

gejala

klinis

dan

berakhir

dengan

kematian.

Mekanisme kerusakan jaringan akibat mikotoksikosis belum diketahui secara pasti, akan tetapi
diketahui mengganggu proses sintesa protein sehingga dapat menyebabkan gangguan
metabolisme. Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin.
Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan ayam, gangguan
produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit,
kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi.
Konsekuensi terjadinya penurunan daya tanggap kebal atau imunosupresi akan meningkatkan
resiko terjadinya penyakit, meningkatkan derajat keparahan penyakit, meningkatkan tingkat
kesulitan pengobatan, respon imun yang buruk, dan mengaktivasi pembentukan tumor.
Sulit mendeteksi keberadaan mikotoksin pada bahan baku pakan karena sifat mikotoksin
yang tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berasa. Toxin seperti zearalenone, akan berikatan
dengan komponen nutrisi yang berbeda-beda, seperti glycosides, glocuronides, atau fatty acid
esters. Bila terjadi ikatan zearalenone-glycoside, akan sulit dideteksi dengan metode
konvensional, akibatnya bahan baku atau pakan dianggap tidak terkontaminasi . Kemudian
ikatan zearalenone-glycoside akan terurai setelah tercampur dengan empedu pada duodenum.
Zearalenone tersebut kemudian akan menjadi toksik kembali. Proses ikatan antara toksin dan
komponen nutrisi disebut masked mycotoxins. Contoh masked mycotoxins yang lain adalah

deoxynivalenol-glycoside (pada bijian Sewald 1992), Hydroxylation dan glucosylation dari


Ochratoxin (pada gandum Ruhland 1994) dan fuminosin yang berikatan sebagian dengan
protein nutrisi.

Pencegahan dan pengendalian terjadinya mikotoksisitas


Tindakan dekontaminasi mikotoksin harus dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
mikotoksin. Ada dua jenis dekontaminasi, yaitu dengan perlakuan fisik dan perlakuan
penambahan zat kimia.

Perlakuan fisik misalnya dengan pencampuran bahan baku terkontaminasi mikotoksin


dengan bahan baku yang baik. Sehingga efek yang ditimbulkan diperkirakan akan
berkurang. Tindakan lain dengan pencucian, penggilingan ulang, pemisahan (dengan
ayakan atau kipas), pemanasan .dan radiasi sinar UV. Kekurangan perlakuan secara fisik

adalah mahal, hasil tidak pasti dan hilangnya kandungan nutrien pakan.
Perlakuan penambahan zat kimia
Amonia sangat efektif untuk menekan pertumbuhan kapang Aspergillus dan cemaran
aflatoksin atau okratoksin pada kacang tanah dan jagung. Penggunaan amonia 2% pada
temperatur 20 - 50C selama 6 minggu dapat mengurangi kandungan aflatoksin lebih dari
90% (Chelkowski et al., 1981), begitu pula penggunaan sodium bisulfit 1%pada
kelembaban 15% (Ghosh ei al., 1996). Bahan kimia lain seperti hidrogen peroksida juga
sering

digunakan

untuk

mengurangi

cemaran

berbagai

mikotoksin,

namun

penggunaannya pada suhu kamar kurang efektif sehingga dibutuhkan pemanasan atau
suasana alkalis (Fouler et al., 1994). Kalsium hidroksida, monometilamin, dan amonium
hidroksida dilaporkan efektif menekan kontaminasi zearalenon (ZEN) pada jagung,
namun sodium bikarbonat 10 - 50% yang diikuti pemanasan 1 10C selama 12hari
kurang efektif untuk menurunkan zearalenon (Lauren dan Smith, 2001). Asam propionat
0,3 - 1% dapat mencegah pertumbuhan kapang Fusarium culmorum dan F. gramineraum
penghasil zearalenon pada jagung selama penyimpanan 1 - 4 bulan pada suhu 10 - 20C
dan kelembaban 19- 40%. Bahan ini diaplikasikan hanya pada produk pertanian yang
digunakan sebagai bahan pakan ternak (Muller dan Thaler, 1981).
Bahan pengikat mikotoksin seperti arang aktif (activated charcoal), sodium bentonit,
zeolit, aluminosilikat, gamma amino butyric acid (GABA) dan polimer seperti Polyvinyl

polypyrrolidone (PVPP) digunakan untuk menurunkan mikotoksin dan mikotoksikosis


pada hewan. Arang aktif selain dapat mengikat aflatoksin, juga cukup efektif mengikat
okratoksin dan toksin T-2 (Dalvl dan Mcgowan, 1983; Jindal et al., 1994).
Penggunaan 1,5% arang aktif pada pakan yang mengandung 150 ppb aflatoksin
terbukti dapat menghindari terjadinya aflatoksikosis pada itik (BAHRI et al., 1990).
GABA juga cukup efektif terhadap aflatoksin, demikian pula dengan sodium bentonit dan
aluminosilikat. Penambahan zeolit pada pakan cukup efektif untuk mengikat aflatoksin,
toksin T-2 dan vomitoksin, tetapi senyawa ini tidak spesifik dan biasanya mengikat
berbagai toksin lainnya secara tidak sempurna (Devegowda et al., 1998; Kubena et al.,
1993). Sementara itu, CELIK et al. (2000) mengemukakan bahwa 3 g/kg PVPP yang

dicampur dalam pakan efektif menghambat toksisitas aflatoksin pada ayam broiler.
Penggunaan bahan alami, zat gizi dan vitamin
Beberapa bahan alami seperti bawang putih, kunyit dan ekstrak daun sambiloto efektif
menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan dan mencegah aflatoksikosis pada unggas

(Maryam et al., 1995; Sengngeng, 1996; Rachmawati et al., 1999).


Pemanfaatan mikroba
Penggunaan mikroba merupakan salah satu alternatif untuk menurunkan mikotoksin pada
bahan pangan/pakan atau untuk meminimalkan efek mikotoksin. Proses biodegradasi
dengan menggunakan berbagai jenis mikroba dilaporkan dapat menurunkan kandungan
mikotoksin secara in vitro dan in vivo.

DAFTAR PUSTAKA
Bahri. S, R. Widiastuti, Y. Mustikaningsih. 2005. Efek Aflatoksin B1 (AFB1) pada Embrio
Ayam. JITV. Vol. 10 (2) : 160-168

Machdum,

Nurvidia.

2016.

Penyebab

Dan

Dampak

Imunosupresi

Pada

http://www.majalahinfovet.com/2007/08/ternak-sehat-ternak-produktif.html.

Ayam.
Diakses

pada 15 November 2016.


Maryam. R. 2006. Pengendalian Terpadu Kontaminasi Mikotoksin. Balai Penelitian Veteriner.
Vol. 16 (1) : 22-30
Prabawati. S. Y. 2006. Aspek Kimiawi Racun Afiatoksin Dalam Bahan Pangan Dan
Pencegahannya. Kaunia. Vol. II(2) : 135-148.
Saputra, Dede. 2015. Mikotoksin Dan Bahaya Kontaminasinya Pada Bahan Pangan.
http://foodtech.binus.ac.id/2015/06/24/mikotoksin-dan-bahaya-kontaminasinya-padabahan-pangan/. Diakses pada 15 November 2016.
Sidiq. F, W. W. Wardani. 2014. Menghadapi Variasi Kualitas Bahan Baku Pakan Yang Beredar Di
Indonesia. ISSUE. Vol 1.
Widiastuti. R, 2006. Mikotoksin: Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak Dan Residunya Dalam
Produk Ternak Serta Pengendaliannya. Wartazoa. Vol 16(3) : 116-127
Widiastuti. R. 2014. Residu Aflatoksindan Metabolitnyapada Berbagai Produk PanganAsal
HewandanPencegahannya. WARTAZOA. Vol. 24(4) : 179-190.

Anda mungkin juga menyukai