Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH MIKOLOGI

Tentang
MIKOTOKSIN DAN SITOTOKSIN JAMUR

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nama Kelompok :
Ainun Amilia R.
Imelda Golu Wola.
Era Fitria Y.
Dita Arsella I.
Aviani Rinda
Heny Putri S.

PROGRAM STUDI DIPLOMA 4 ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT ILMU KESEHATAN
KEDIRI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini banyak masyarakat yang sangat mengkhawatirkan zat- zat kimia yang
banyak terkandung dalam makanan- makanan baku maupun makanan- makanan
olahan (instan). Padahal keberadaan toksin alami dalam makanan yang dihasilkan

oleh mikroorganisme juga sangat perlu diperhatikan karena toksin ini

bersifat

karsinogenik yang lebih potensial. Salah satu toksin alami yang bisa terkandung
dalam makanan adalah mikotoksin. Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk
merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin
didefinisikan sebagai racun atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur
yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia
dan hewan.Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan
atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan mikotoksin?
2. Apa saja jamur yang menghasilkan mikotoksin?
3. Bagaimana cara pencegahan dan penanganan

jamur yang mengandung

mikotoksin?
4. Apa yang dimaksud dengan sitotoksin?
5. Bagaimana cara uji sitotoksin pada jamur?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan mikotoksin.
2. Untuk mengetahui jamur yang menghasilkan mikotoksin.
3. Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengananan jamur yang mengandung
mikotoksin
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sitotoksin.
5. Untuk mengetahui prosedur uji sitotoksin pada jamur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN MIKOTOKSIN
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang
dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau
toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan.
Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan
yang telah tercemar mikotoksin.

Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin.
Jamur dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan, dan pertumbuhannya akan
menyebabkan terjadinya kerusakan pangan yang bersangkutan, diantaranya kerusakan
flavor, warna, pelunakan, dan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik. Kerusakan
tersebut disebabkan karena jamur dapat menghasilkan enzim ekstraseluler yang akan
memecah senyawa tertentu pada pangan yang bersangkutan, serta dapat menghasilkan
metabolit sekunder yang bersifat toksik, disebut mikotoksin. Penelitian tentang jamur
yang berpotensi menghasilkan metabolit beracun ini baru dimulai pada tahun 1960
dengan suatu kasus kematian ribuan ternak kalkun di Inggris yang dikenal dengan
"Turkey X disease", yang disebabkan karena pakan ternak tersebut telah tercemar oleh
aflatoksin, suatu metabolit racun yang dihasilkan oleh jamur (mikotoksin) Aspergillus
flavus.
Walaupun penelitian tentang mikotoksin sampai sekarang masih belum tuntas,
sudah lebih dari 400 macam mikotoksin berhasil diidentifikasikan. Tidak setiap
pangan yang tercemar oleh jamur selalu mengandung mikotoksin, sebab banyak
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan maupun pembentukan mikotoksin pada
pangan. Namun demikian, karena sangat banyaknya spesies jamur yang bersifat
toksigenik, cemaran jamur pada pangan perlu mendapat perhatian serius.
Beberapa kelompok jamur diketahui bertahan pada perlakuan pengawetan
pangan misalnya Wallemia sebi pada ikan asin, Cladosporium herbarium pada daging
yang disimpan dingin, Byssochlamis fulva pada makanan kaleng, serta Penicillium
requeforti yang tahan terhadap sorbat.
B. Jamur pada Bahan Pangan
16 Genera yang umum terdapat dalam pangan :
1. Alternaria : mengkontaminasi produk dari tanaman
2. Aspergillus : beberapa spesies menghasilkan aflatoksin yang
bersifat karsinogenik
3. Botrytis
: banyak mengkontaminasi buah dan sayuran
4. Cladosporium
: salah satu spesies C.
herbarium
memproduksi spot hitam pada daging
5. Fusarium
: mengkontaminasi buah dan sayuran
6. Geotrichum : biasanya terdapat dapat keju dan menentukan
flavor dan aroma beberapa jenis keju
2

7. Gloesporium :

dapat menyebabkan anthracnoses pada

tanaman
8. Helminthosporium : merupakan patogen tanaman dan saprofit
9. Monilia
: dapat menyebabkan brown rot pada buahbuahan
10. Mucor
: dapat ditemukan pada sebagian besar makanan
11. Cephalosporiu
12. Penicillium
: jamur ini penting dalam pembuatan
beberapa jenis keju, beberapa spesies dapat menghasilkan
antibiotik, tersebar pada tanah, udara, debu, dan makanan
(roti, kue, buah).
13. Rhizopus : dapat tumbuh pada berbagai jenis makanan
14. Sporotrichum

seperti buah, kue, dan roti


: dapat tumbuh pada suhu < 0 C, beberapa spesies

menyebabkan spot pada daging simpan dingin


15. Thamnidium
: ditemukan pada daging simpan dingin, menyebabkan suatu
kondisi yang disebut "whiskers". Dapat ditemukan pada berbagai jenis makanan
yang mudah membusuk seperti telur
16. Trichothecium (Cephalothecium) : biasa mengkontaminasi buah dan sayuran
Jamur penghasil mikotoksin biasanya termasuk dalam genus seperti
Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium. Mikotoksin yang diproduksi Aspergillus
dapat terbentuk sebelum atau sesudah panen, sedangkan jamur Fusarium, dan
Penicillium lebih banyak mengkontaminasi sebelum panen dibanding sesudah panen.
Kurang lebih 400 mikotoksin telah dilaporkan dan diproduksi oleh berbagai jenis
jamur, akan tetapi beberapa mikotoksin penting dalam pangan.
C. Potensi Bahaya yang Ditimbulkan Cemaran Jamur Pangan.
Cemaran jamur pada pangan memerlukan perhatian yang serius, bukan hanya
karena menyebabkan kerusakan pangan tetapi berkaitan dengan potensi jamur tersebut
untuk menghasilkan mikotoksin serta membentuk konidia yang bersifat patogen atau
penyebab alergi. Sampai sekarang sudah diketahui labih dari 400 macam mikotoksin
yang dapat dihasilkan oleh berbagai jenis jamur, masing-masing memiliki toksisitas
yang bervariasi, yang umumnya bersifat kronis, atau menimbulkan mikotoksisitas.
Efek toksik yang terpenting adalah sebagai penyebab kanker dan penurunan imunitas.
Beberapa mikotoksin memiliki sifat sebagai antibiotik, yang dapat menyebabkan

beberapa bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik yang banyak digunakan


sekarang ini.
Mikotoksin telah menimbulkan beberapa jenis penyakit pada manusia dan
hewan. Mengkonsumsii makanan yang tercemar mikotoksin dapat menyebabkan
keracunan akut (jangka waktu pendek) dan kronik (jangka waktu sedang atau lama)
dan dapat mengakibatkan kematian sampai gangguan kronis seperti gangguan syaraf
pusat, sistem kardiovaskular dan paru-paru, dan saluran pencernaan. Beberapa
mikotoksin bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan immunosuppresive.
Aflatoksin B adalah toksin yang berpotensi sebagai hepatokarsinogen.
Efek pada Manusia
Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia
melalui makanan, salah satunya adalah kontaminasi citrinin pada produk keju karena
proses fermentasi keju yang melibatkan P. citrinum dan P. expansum penghasil
citrinin.Pada manusia dan hewan, citrinin dapat menyebabkan penyakit kronis, di
antaranya dapat terjadi akibat toksisitas padaginjal dan terhambatnya kerja enzim
yang berperan dalam respirasi.Aflatoksin merupakan senyawa karsinogenik yang
dapat memicu timbulnya kanker liverpada manusia karena konsumsi susu, daging,
atau telur yang terkontaminasi dalam jumlah tertentu.Kehilangan tanaman pangan
akibat kontaminasi aflatoksin juga sangat merugikan manusia, baik petani maupun
kalanganindustri hasil pertanian di dunia.Pada laki-laki, kandungan ochratoxin A yang
terlalu tinggi di dalam tubuhnya dapat menyebabkan kanker testis.

Efek pada hewan


Aflatoksin dapat menyebabkan penyakit liver pada hewan (terutama aflatoksin
B1) yang ditandai dengan produksi telur, susu, dan bobot tubuh yang menurun.Untuk
mereduksi atau mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, dapat digunakan amoniasi
dan beberapa molekul penyerap. Pada ayam petelur, babi, sapi, tikus, dan mencit,
toksin fumonisin sulit siserap namun penyebarannya sangat cepat dan ditemukan
dapat tertimbun di hati dan ginjalhewan hingga menyebabkan kerusakan
oksidatifSenyawa ochratoxin A bersifatkarsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan
mampu menimbulkan gejalaimunosupresif pada berbagai hewan. Pada ternak babi,
senyawa zearalenone dapat menyebabkan kelainan reproduksi yang disebut
vulvovaginitis.
D. Jenis-Jenis Jamur Penghasil Mikotoksin
4

1. AFLATOKSIN
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus Flavus Toxin. Toksin ini
pertama kali diketahui berasal dari jamur Aspergillus Flavus yang berhasil diisolasi
pada tahun 1960. Aspergillus Flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya
hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2)

Sedangkan

Aspergillus Parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. Dimana


dibedakan berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi
lapisan tipis dibawah sinar UV, yang memberikan warna biru (blue) untuk B,
sedangkan warna hijau (green) untuk yang G. Aspergillus Flavus dan Aspergillus
Parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-12 0C
sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan ph optimum 6.
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang
paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik
sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan
sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Alfatoksin berupa kristal yang larut dalam pelarut polar separti kloroform,
methanol dan dimetil sulfoksida. Kristal alfaktosin stabil pada kondisi tanpa cahaya
dan pada suhu sampai lebih dari 1000C, bersifat termotoleran pada sampao 2500C
dan peka terhadap basa (NaOH, NH3). Keefektifan proses penurunan konsentrasi
alfatoksin pada bahan pangan dipengaruhi oleh factor seperti protein, pH, suhu,
dan lamaya pengolahan. Toksisitas alfatoksin dipengaruhi oleh beberapa factorfaktor, diantaranya lingkugan, rute pemaparan, dosis, lama pemaparan, umur, jenis
kelamin, kondisi kesehatan dan status target.
Jenis mikotoksik ini sering terdapat dalam jagung dan hasil olahannya, biji
kacang, susu, tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain
itu juga terdapat pada pasta dan mie instan.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan
pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan
metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti, telur, dan daging ayam.
Telah dilaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang
wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang
goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi
pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 g/kg.
5

2. CITRININ
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium Citrinum oleh Thom pada
tahun 1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung,
beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat
dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama
oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan
tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama
yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin
citrinin oleh Monascus perlu dicegah.
3. FUMONISIN
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh jamur
Fusarium spp., terutama Fusarium Moniliforme dan Fusarium Proliferatum.
Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari Fusarium
Moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988). Selain Fusarium
Moniliforme dan Fusarium Proliferatum, terdapat pula jamur lain yang juga
mampu

memproduksi

fumonisin,

yaitu

Fusarium

Nygamai,

Fusarium

Anthophilum, Fusarium Diamini dan Fusarium Napiforme.


Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu
Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.
Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga
dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah
cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh Fusarium
Proliferatum. Fumonisin pertama kali ditemukan dalam jagung pada pertengahan
tahun 1980-an. Keberadaannya juga terdapat pada komoditas pangan lain seperti
beras dan sorgum namun konsentrasinya lebih rendah dibanding pada jagung.
Batasan fumonisin dalam jagung mentah sendiri dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti suhu, kelembaban, stres terhadap kekeringan dan hujan selama
periode sebelum panen dan periode panen, kondisi penyimpanan, dan gangguan
serangga.
Konsentrasi fumonisin biasanya meningkat pada musim panas dan kering
dan pada periode dimana kelembaban tinggi. Pada jagung yang disimpan, jika
kelembabannya berkisar antara 18 % - 23 % biasanya produksi jamur meningkat
sebanding dengan konsentrasi fumonisinnya.
6

Gangguan serangga meningkatkan produksi fumonisin. Namun pada jagung


hibrid jarang terinfeksi oleh Fusarium karena disisipi oleh gen dari Bacillus
Thuringiensis yang memproduksi protein yang toksik terhadap serangga sehingga
konsentrasi fumonisin yang terdapat pada jagung hibrid lebih rendah daripada
jagung non hibrid.
Struktur kimia fumonisin ialah hidrokarbon panjang yang dihidroksilasi dan
mengandung gugus metil dan amino dengan berat molekul 721. Substansi murni
fumonisin berbentuk bubuk hidroskopik berwarna putih dan larut dalam air,
metanol dan asetonitril-air. Fumonisin sulit larut dalam pelarut organik seperti
kloroform. Fumonisin stabil dalam metanol jika disimpan pada -18 C atau pada
suhu 25 C dalam asetonitril-air 1:1 selama lebih dari 6 bulan. Pada suhu diatas 25
C akan terdegradasi. Mikotoksin ini sering terdapat bersamaan dengan mikotoksin
lain seperti aflatoksin, DON dan zearalenon. Fumonisin cukup stabil dan cukup
tahan terhadap panas.
Fumonisin diperkirakan bersifat toksik karena mempengaruhi sintesi
sphingolipid. klop; Perubahan rasio dasar sphingolipid terjadi karena fumonisin
menghambat enzim eramide sythetase. Efek fumonisin pada hewan target setelah
mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi yaitu hilang nafsu makan, lesu dan
mengalami gangguan saraf.
Pada tikus yang diberi pakan mengandung fumonisin dari FUSARIUM
moniliforme menunjukkan terjadi perkembangan karsinoma hepatoseluler primer.
Efek yang sama juga terjadi saat digunakan FB 1,FB2 dan FB3. Fumonisin B1 (FB1)
akan mempengaruhi janin pada tikus yang hamil, yaitu menyebabkan berat janin
rendah dan perkembangan tulang fetus terhambat dibandingkan dengan kontrol.
Efek lain pernah ditemukan pada organisme lain, dimana FB1 menghambat
pertumbuhan sel, menyebabkan akumulasi sphingoid dan merubah metabolisme
lemak pada Saccharomycescereviceae.
Fumonisin juga bersifat fitotoksik, merusak membran sel dan mengurangi
sintesis

klorofil.

Selain

itu

fumonisin

juga

mengganggu

biosintesis

sphingolipid pada tanaman dan bersifat patogen pada jagung yang terinfeksi
spesies Fusarium. Fumonisin dapat menyebabkan penyakit sporadis yang fatal
pada kuda dan spesies lain yang dikenal sebagai Eguine Leucoencephalomalacia
(ELEM). ELEM merupakan indikator keberadaan fumonisin.
Hasil otopsi pada hewan percobaan menunjukkan fumonisin menyebabkan
7

udema pada otak dan peradangan pada organ hati (terjadi fibrosis pada
centrilobular (area). Pada babi, menginduksi

oedema

paru-paru

dan

hidrotoraks dimana rongga toraks berisi cairan berwarna kuning. Selain itu terdapat
juga masalah dalam pernapasan dan kematian pada janin.
Sebetulnya tidak ada bukti mengenai efek fumonisin terhadap kesehatan
manusia. Namun diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi jagung yang
tinggi di beberapa daerah didunia dengan terjadinya kanker esofagus. Tetapi perlu
dilakukan studi epidemi yang lebih dalam mengenai peranan Fusarium
Moniliforme dan metabolitnya (fumonisin) terhadap kanker esofagus yang banyak
terjadi di Transkei Cina dan Italia Utara, karena pada studi-studi ini kontrol yang
digunakan masih kurang, sehingga belum dapat disimpulkan sepenuhnya.
4. DEOKSINIVALENOL
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis trikotesena
tipe B yang paling polar dan stabil. Jenis mikotoksin ini diproduksi oleh jamur
Fusarium Graminearium (Gibberella zeae) dan Fusarium Culmorum, dimana
keduanya merupakan patogen pada tanaman. DON merupakan suatu epoksisesquiter-penoid yang mempunyai 1 gugus hidroksil primer dan 2 gugus hidroksil
sekunder serta gugus karbonil berkonjugasi yang membedakannya dengan
trikotesena tipe lain.
Keberadaan DON kadang-kadang disertai pula oleh mikotoksin lain yang
dihasilkan oleh Fusarium seperti zearalenon, nivalenol (dan trikotesena lain) dan
juga fumonisin. DON merupakan salah satu penyebab terjadinya mikotoksikosis
pada hewan. Merupakan mikotoksin yang stabil secara termal, oleh karena itu
sangat sulit untuk menghilangkannya dari komoditi pangan yang rentan
terkontaminasi senyawa ini, seperti pada gandum. DON banyak terdapat pada
tanaman biji-bijian seperti gandum, barley, oat, gandum hitam, tepung jagung,
sorgum, tritikalus dan beras. Pembentukan DON pada tanaman pertanian
tergantung pada iklim dan sangat bervariasi antar daerah dengan geografi tertentu.
Konsentrasi DON yang pernah dideteksi pada bahan pangan yaitu pada
barley mencapai 0,004 mg/kg -9 mg/kg, 0,003 mg/kg -3,7 mg/kg pada jagung,
0,004 mg/kg 0,76 mg/kg pada oat, 0,006 mg/kg - 5 mg/kg pada beras, 0,013
mg/kg - 0,240 mg/kg pada gandum hitam, dan 0,001 mg/kg -6 mg/kg pada
gandum.
8

Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula ditemukan pada produk sereal
seperti sereal untuk sarapan, roti, mi instan, makanan bayi, malt dan bir. Transfer
DON dari pakan ternak ke dalam daging dan produk hewan lainnya sangat rendah.
Selain itu produk dari hewan ini tidak mempunyai kontribusi yang nyata terhadap
manusia.
Toksisitas akut DON diperlihatkan pada babi dengan gejala keracunan
seperti muntah-muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan diare.
Intoksikasi akut menyebabkan nekrosis pada beberapa jaringan seperti saluran
pencernaan, jaringan limfoid dan sumsum tulang.
Penelusuran subkronik secara oral pada beberapa hewan percobaan seperti
babi, mencit dan tikus juga menunjukkan terjadi penurunan asupan makan dan
peningkatan berat badan menjadi sangat lambat serta terjadi perubahan pada
beberapa parameter darah seperti pada serum immunoglobin.
DON dapat dimetabolisme melalui de-epoksidasi dan glukuronidasi
menjadi metabolit yang tidak terlalu toksik serta mempunyai efek terhadap
kesehatan setelah diberikan secara tunggal, jangka pendek ataupun jangka panjang.
Pada pemberian tunggal, efek toksikologinya mempunyai 2 karakter yaitu
menurunkan konsumsi makanan (anoreksia) dan muntah (emesis). Selain itu dapat
mengganggu proses pembelahan sel dan merusak saluran pencernaan.
Efek yang paling tampak dalam pemberian DON adalah menurunya
pertumbuhan hewan target. Pada dosis yang lebih tinggi akan berefek terhadap,
thymus, limpa dan hati. Pada studi selama 2 tahun terhadap mencit, pemberian
dengan dosis rendah (0,1 mg/kg BB/hari) menyebabkan menurunnya berat badan.
Namun hasil ini secara biologi tidak nyata, karena tidak ada perubahan lain pada
dosis ini, maka Observed Effect Level (NOEL)-nya ialah 0,1 mg/kg BB/hari.
DON tidak mutagenik pada bakteri, namun pada studi in vivo dan in vitro
ditemukan adanya penyimpangan pada kromosom yang mengindikasikan DON
genotoksik. Memiliki sifat teratogenik tetapi tidak diturunkan. Hal ini berdasarkan
studi pada mencit yang sedang hamil yang diberi 5 mg/kg BB/hari DON secara
gavage selama periode gestasi 8 hari -11 hari. Namun saat diberi dosis 2,5 mg/kg
BB/hari hal ini tidak berlaku. Jika DON ditambahkan pada pakan, NOEL untuk
toksisitas maternal dan toksisitas feto-nya ialah 0,38 mg/kg BB/hari.
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, DON dapat berefek tidak baik
terhadat sistem kekebalan tubuh. DON tidak menyebabkan efek karsinogen,
9

mutagen ataupun teratogen karena bukti ilmiahnya belum pernah ditemukan baik
melalui percobaan hewan di laboratorium maupun pada hewan target.
5. PATULIN
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies
yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum.
Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama
adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan
tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan Contohnya
adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin.
Selain itu, fermentasialkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin.
Merupakan mikotoksin yang dapat mengkontaminasi berbagai jenis buah
(apel,anggur, pir), sayuran, jagung kering, sereal dan makanan ternak. Sumber
utama patulin yang membahayakan manusia terdapat pada apel dan jus apel,
terutama yang dibuat dengan pemerasan secara langsung. Produk lain yang
mengandung apel seperti selai, pie juga mengandung patulin dalam konsentrasi
rendah. Cider manis juga dapat mengandung patulin jika ke dalamnya ditambahkan
jus apel. Patulin yang terdapat pada apel busuk yang terkontaminasi oleh jamur dan
juga pada cider apel manis yang diperjualbelikan mencapai 45 mg/liter.
Pada studi akut dan jangka pendeknya, patulin menyebabkan hyperaemia,
pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan. Berdasarkan
studi toksisitas yang telah dilakukan selama 13 minggu pada tikus yaitu 0,8 mg/kg
BB/hari, menyebabkan melemahnya fungsi ginjal. Selain itu juga menyebabkan
hyperaemia di duodenum pada kelompok tikus yang diberi dosis menengah dan
tinggi. Dua studi toksisitas reproduktif pada tikus dan studi teratogenitas pada
mencit dan tikus sudah dilakukan. Hasilnya tidak ada efek reproduktif ataupun
teratogenik yang terjadi pada mencit ataupun tikus pada dosis sampai 1,5 mg/kg
BB/hari. Namun peningkatan frekuensi resorpsi fetal dan toksisitas maternal
ditemukan pada perlakuan dosis tinggi yang mengindikasikan patulin toksik pada
embrio.
Pada tikus, dosis patulin yang diberikan pada umumnya akan hilang setelah
48 jam pada feses maupun urin; dan kurang dari 2 % akan terekspirasi sebagai
CO2; sekitar 2 % dari dosis yang diberikan itu akan tetap ada setelah 7 hari, dan
biasanya terdapat dalam eritrosit.
10

Kera ekor babi (Macacanemestrina) dapat mentoleransi konsumsi patulin


sampai

0,5 mg/kg BB/hari selama 4 minggu tanpa efek yag merugikan.

Eksperimen in vitro dan in vivo mengindikasikan bahwa patulin mempunyai sifat


imunosupresan. Namun dosis yang menyebabkan efek ini, lebih tinggi daripada
NOEL dalam studi toksisitas jangka pendek dan studi gabungan antara toksistas
reproduktif-toksisitas jangka panjang-studi karsinogenitas.
Meskipun terdapat data mengenai genotoksisitas, sebagian besar pengujian
menggunakan sel mamalia memberikan hasil positif sedangkan pengujian dengan
bakteri memberikan hasilnegatif. Beberapa studi mengindikasikan bahwa patulin
mengganggu sintesis DNA. Efek genotoksisitas berkaitan dengan kemampuan dan
afinitas patulin yang kuat dengan kelompok sulfidril dan akibatnya enzim yang
terlibat dalam replikasi DNA terhambat aktivitasnya. Dengan kata lain, dari data
yang ada patulin merupakan senyawa genotoksik. Toksisitas patulin yang terbentuk
dengan sistein lebih rendah daripada senyawa yang tidak dimodifikasi dalam hal
toksisitas akut, teratogenitas dan mutagenitas.
Patulin yang diinjeksi dalam dosis tinggi selama lebih dari 2 bulan berefek
karsinogen,ditandai terbentuknya sarkoma pada lokasi injeksi. Pada studi jangka
panjang dengan dosis rendah, efek karsinogen ini tidak terjadi. Patulin juga bersifat
immunotoksik dan neurotoksik. IARC (1986) menyimpulkan tidak ada evaluasi
yang dibuat mengenai karsinogenitas patulin pada manusia dan tidak ada hasil
percobaan terhadap hewan yang mendukung. Berdasarkan studi jangka panjang
mengenai karsinogenitas pada tikus dan mencit, JECFA menetapkan PTWI sebesar
7 g/kg BB.
Pada studi gabungan tentang toksisitas reproduktif, toksisitas jangka
panjang/karsinogenitas pada tikus, dosis patulin sebanyak 0,1 mg/kg BB/hari tidak
memberikan efek terhadap penurunan berat badan pada tikus jantan. Namun
patulin yang diberikan 3 kali seminggu selama 24 bulan mempunyai NOEL 43
g/kg BB/hari.
Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, patulin akan memberikan
hasil sensitif jika diberikan sebanyak 3 kali per minggu; dan ini menghasilkan
PTWI yang berubah menjadi PMTDI; hal ini disebabkan karena patulin tidak
terakumulasi dalam tubuh. Berdasarkan pada nilai NOEL 43 g/kg BB/hari dan
nilaisafety factor 100, nilai PMTDI yang didapat ialah 0,4 g/kg BB.
Patulin dapat menyebabkan

hyperaemia,

pendarahan,

peradangan
11

dan pembengkakan pada saluran pencernaan; selain itu juga karena afinitasnya
yang kuat dengan kelompok sulfidril; patulin dapat menghambat enzim yang
terlibat dalam replikasi DNA sehingga proses sintesis DNA terganggu. Patulin
dalam dosis tinggi berefek karsinogen. Patulin juga bersifat immunotoksik dan
neurotoksik.
6. OCHRATOXIN
Ochratoxin dihasilkan oleh jamur dari genus Aspergillus, Fusarium, and
Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia,
babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat tiga
macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling
banyak dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang
lainnya.
Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa
ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air
susu induknya.Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di
dalam tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang
besar.Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk
ke saluran pernapasan.Okratoksin A mempunyai nomor CAS 303-47-9 berupa
senyawa berbentuk kristal tidak berwarna dengan titik leleh 168 C dan larut dalam
kloroform, metanol, asetonitril, natrium bikarbonat cair. Jenis mikotoksik

ini

pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari jamur Aspergillus ochraceus. Secara
alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada bijibijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain Aspergillus ochraceus, OA juga
dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum yang terdapat pada biji-bijian di
daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.
Penicillium viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 31 0 C dengan suhu optimal
pada 200C dan pH optimum 6 7. Aspergillus ochraceus tumbuh pada suhu antara
8 370C. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A
(OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). Okratoksin A adalah yang
paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.
7. TRICHOTHECENES
Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam
golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys,
12

Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium.Toksin ini ditemukan pada


berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa Toksin ini stabil dan
tahan terhadapa pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan
autoclave.Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit
dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral. Berdasarkan struktur kimia dan
jamur penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan menjadi 4 tipe, yaitu A
(gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C
(epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan
C15 dengan 2 ikatan ester).
8. ERGOT ALKALOID
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama
adalah golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan
dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui
dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive).
Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi
terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang
ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap Claviceps
purpurea, penghasil ergot alkaloid.

Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat

menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu,
kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun.
9. ZEARALENONE
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh jamur dari
genus Fusarium seperti Fusarium graminearum dan Fusarium culmorum dan
banyak mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia
dan produk tumbuhan.Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan,
penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat
suhu tinggi. Salah satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada
manusia adalah berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen.
10. GRISEOFULVIN
Ditemukan oleh oxford pada tahun 1939 dari miselia. Dihasilkan oleh
spesies jamur Penicillium Griseofulvum dan spesies lainnya yang meliputi

13

spesies Penicillium Patulum, Penicillium albidum, Penicillium Raistrickii,


Penicillium Brefeldianum, dan Penicillium Viridi-cyclopium.

11. RUBRATOXIN
Hasil metabolit Penicillium Rubrum diisolasi dari tanah, bahan pangan
,pakandihasilkan oleh dua spesies yaitu Penicillium Rumrum dan Penicillium
Purpurogenum
12. BUTENOLIDE
Merupakan mikotoksin yang diisolasi dari jamur Fusarium Equiseti dan
spesies lainnya adalah Fusarium Tricinotum, Fusarium Nivale, Fusarium Roseum,
Fusarium Semitectum, Fusarium Lateritium.
13. LUTEOSKYRIN
Merupakan mikotoksin penyebab hepatotoksik dan hepato carcinogenik,
dihasilkan oleh Penicillium Istandicum
14. RUGULOSIN
Rugulosin merupakan metabolit antraquinoid jamur. Mikotoksin ini
diisolasi dari jamur penicillium Rugulosum dan spesies lainnya yaitu Penicillium
brunneum dan Penicillium tardum
15. CITREOVIRIDIN
Merupakan mikotoksin bersifat neurotoksikdihasilkan oleh Penicillium
citreo viride. Jenis mikotoksin ini ditemukan oleh miyeke pada tahun 1940.
Species lainnya penghasil citreoviridin adalah Penicillium ochrosalmoneum,
Penicillium fellutanum dan Penicillium pulvillorum.
E. Pencegahan Pencemaran Pangan Oleh Jamur
1. Menghambat pertumbuhan dan inaktivasi
Mengingat mudahnya pangan tercemar oleh jamur, maka salah satu
langkah untuk mencegah pencemaran lanjut yakni menghambat pertumbuhan dan
14

inaktivasi. Usaha ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan
menggunakan fungisida pada saat sebelum panen, untuk bijian dan kacangan
dilakukan proses pengeringan yang baik dan menjaga kondisi dalam
penyimpanan tetap kering. Pada buah dilakukan pembungkusan dengan kertas
lilin yang mengandung fungisida seperti biphenyl. Namun penggunaan fungisida
ini harus mempertimbangkan residu fungisida pada bahan. Penyimpanan buah
pada suhu lebih rendah dari 5 C juga merupakan langkah yang dapat
dipergunakan untuk tujuan tersebut. Penggunaan pengawet asam organic efektif
untuk menghambat pertumbuhan jamur pada beberapa produk jam, roti, dan
beberapa produk berbentuk pasta. Perlakuan pasteurisasi cukup untuk inaktivasi
sebagian besar jenis jamur, dan harus segera dikemas yang baik untuk mencegah
terjadinya rekontaminasi.
2. Pencegahan kontaminasi selama proses produksi
Pencegahan kontaminasi jamur pada proses produksi hanya dapat
dilakukan dengan membuat rencana pelaksanaan HACCP yang baik, dimulai dari
membuat diskripsi proses, penentuan jenis bahaya, tingkat CCP, criteria kontrol,
cara-cara memonitor dan menentukan tindakan yang diperlukan. Pengendalian
kondisi gudang penyimpanan bahan mentah sangat penting untuk menghambat
pertumbuhan

jamur pencemar, demikian pula pemeriksaan terhadap bahan

mentah sangat penting mengingat prevalensi cemaran yang cukup tinggi. Suhu
dan lama waktu pemanasan merupakan kriteria kontrol untuk mengeliminir jamur
pada bahan mentah. Pengendalian yang ketat terhadap ruangan proses perlu
dilakukan karena udara meruapak media utama terjadinya bahaya rekontaminasi
oleh spora jamur. Sterilisasi udara untuk tujuan aerasi memberikan kontribusi
pada kemungkinan terjadinya cemaran pada proses fermentasi. Karena
spora/konidia jamur juga berbahaya bagi kesehatan karyawan, maka diperlukan
upaya untuk mencegah terjadinya penyebaran spora baik di ruangan produksi
maupun lingkungannya, khususnya pada industri-industri fermentasi yang
menggunakan jamur sebagai agensia fermentasi. Upaya-upaya

tersebut

diantaranya modifikasi penggunaan inokulum dalam bentuk suspensi spora,


penggunaan "negative pressure system" untuk mengumpulkan spora yang
mungkin terdapat dalam ruang fermentasi, dan menggunakan filter pada
"outlenya.
15

F. Detoksifikasi Mikotoksin
Ammonia, baik dalam bentuk padat maupun cair adalah agensia detoksifikasi
mikotoksin (Park et a/., 1988). Akan tetapi reaksi antara ammonia dan aflatoksin
belum jelas. Detoksifikasi dengan ammonia ini dapat dikatakan aman, akan tetapi
persetujuan dari PDA belum keluar.
G. Uji Sitotoksin
Uji sitotoksin

merupakan

salah

satu

metode

pengembangan

untuk

memprediksi keberadaan senyawa yang bersifat toksik pada sel. Uji MTT (3-(4,5dimetihylthiazolyl-2)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) merupakan salah satu metode
yang digunakan dalam uji sitotoksik yang akan menghasilkan nilai IC50.
Metode MTT merupakan metode kolorimetrik, pereaksi MTT ini merupakan
garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh sistem suksinat
tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang
aktif pada sel yang masih hidup. Pemberian reagen stopper akan melarutkan kristal,
kristal formazan ini akan memberi warna ungu yang kemudian dapat diukur
absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader. Uji sitotoksik digunakan untuk
menentukan atau melihat nilai IC50. Nilai IC50 menunjukkan nilai konsentrasi yang
menghasilkan potensi toksik suatu senyawa terhadap sel kanker. Nilai ini menjadi
patokan untuk melakukan pengamatan kinetika sel.
Dalam pengembangan obat antikanker baru sebagai agen-agen kemoterapi
kanker, evaluasi preklinik merupakan salah satu hal yang penting untuk mengetahui
potensi aktivitas neoplastiknya. Evaluasi ini tidak hanya digunakan untuk obat-obat
antikanker, tetapi juga untuk obat-obat lainnya, kosmetik, zat tambahan makanan,
pestisida dan lainnya. Evaluasi yang telah terstandarisasi untuk menentukan apakah
suatu material mengandung bahan yang berbahaya (toksik) secara biologis disebut uji
sitotoksisitas.
Syarat yang harus dipenuhi untuk sistem uji sitotoksisitas diantaranya adalah
sistem pengujian harus dapat menghasilkan kurva dosis-respon yang reprodusibel
dengan variabilitas yang rendah, kriteria respon harus menunjukan hubungan linier
dengan jumlah sel serta informasi yang didapat dari kurva dosis-respon harus sejalan
dengan efek yang muncul pada in vivo. Salah satu metode yang umum digunakan
untuk menetapkan jumlah sel adalah metode MTT.
Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium
MTT (3-(4,5- dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromid) oleh sistem reduktase.
16

Suksinat tetrazolium yang termasuk dalam rantai respirasi dalam mitokondria sel-sel
yang hidup membentuk kristal formazan berwarna ungu dan tidak larut air.
Penambahan reagen stopper (bersifat detergenik) akan melarutkan kristal berwarna ini
yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Intensitas warna
ungu yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel hidup. Sehingga jika intensitas
warna ungu semakin besar, maka berarti jumlah sel hidup semakin banyak.
H. Operasional
1. Alat:
o
o
o
o
o
o
o

Mikropipet 200, 1000 L


Tabung reaksi kecil
Rak tabung kecil
96-well plate
Conical tube
Yellow tip dan blue tip
ELISA reader

2. Bahan:
o
o
o
o
o
o
o

Phosphat Buffer Saline 1x


Media Kultur (MK) (DMEM/RPMI/MEM)
DMSO
MTT 5mg/mL PBS (50 mg MTT and 10 mL PBS)
SDS 10% dalam 0,1 N HCl
Tissue makan
Aluminium foil

3. Prosedur Kerja
Ambil sel dari inkubator CO2, amati kondisi sel.
Panen sel sesuai dengan protokol panen.
Hitung jumlah sel dan buat pengenceran sel dengan MK sesuai kebutuhan

mengikuti protokol
penghitungan sel.
Transfer sel ke dalam sumuran, masing-masing 100 l.
Sisakan 3 sumuran kosong (jangan diisi sel). Untuk kontrol media.
Amati keadaan sel di mikroskop inverted untuk melihat distribusi sel dan

dokumentasikan.
Inkubasi sel di dalam inkubator selama semalam (agar sel pulih kembali
setelah panen).
Perlakuan sel dengan sampel dilakukan setelah sel kembali dalam keadaan
normal. Jika dalam waktu semalam kondisi sel belum pulih, inkubasikan
kembali.

17

Selalu amati kondisi sel sebelum perlakuan. Jangan melakukan treatment pada
sel yang kondisinya belum 80 %
Setelah sel normal kembali, segera buat seri konsentrasi sampel untuk
perlakuan (termasuk kontrol sel dan kontrol DMSO) sesuai dengan protokol
preparasi sampel.
Ambil plate yang telah berisi sel dari inkubator CO2.
Buang media sel (balikkan plate 180) di atas tempat buangan dengan jarak 15
cm, kemudian tekan plate secara perlahan di atas tisu makan untuk meniriskan
sisa cairan.
Masukkan 100 l PBS ke dalam semua sumuran yang terisi sel, kemudian
buang PBS dengan cara membalik plate kmudian Tiriskan sisa cairan dengan
tisu.
Masukkan seri konsentrasi sampel ke dalam sumuran (triplo).
Inkubasi di dalam inkubator CO2. Lama inkubasi tergantung pada efek
perlakuan terhadap sel. Jika dalam waktu 24 jam belum terlihat efek sitotoksik,
inkubasi kembali selama 24 jam (waktu inkubasi total: 24-48 jam).
Menjelang akhir waktu inkubasi, dokumentasikan kondisi sel untuk setiap
perlakuan Semua kelompok perlakuan difoto kecuali kontrol media
Siapkan reaagen MTT untuk perlakuan (0,5 mg/ml) dengan cara ambil 1 mL
stok MTT dalam PBS (5mg/mL), encerkan dengan MK ad 10 mL (untuk 1
buah 96 well plate).
Gunakan sarung tangan saat menggunakan reagen MTT. MTT bersifat
karsinogen.
Buang media sel, cuci PBS 1x dan tambahkan reagen MTT 100 L ke setiap
sumuran, termasuk kontrol media (tanpa sel).
Inkubasi sel selama 2-4 jam di dalam inkubator CO2. Inkubasi dilakukan
sampai terbentuk formazan
Periksa kondisi sel dengan mikroskop inverted. Jika formazan telah jelas
terbentuk, tambahkan stopper 100 L SDS 10% dalam 0,1 N HCl.
Bungkus plate dengan kertas atau alumunium foil dan inkubasikan di tempat
gelap pada temperatur kamar selama semalam
Hidupkan ELISA reader, tunggu proses progressing hingga selesai.
Buka pembungkus plate dan tutup plate. Masukkan ke dalam ELISA reader
Baca absorbansi masing masing sumuran dengan ELISA reader dengan

=550-600 nm (595 nm, tekan tombol START).


Matikan kembali ELISA reader. Simpan dan tempel kertas hasil ELISA pada
LOG BOOK. Setiap kali pembacaan di ELISA reader, catat di buku catatan
pemakaian ELISA READER.
18

Buat grafik absorbansi (setelah dikurangi kontrolmedia) vs konsentrasi.


Konsentrasi sampel tidak dalam luntuk melihat profil sel hidup.
Hitung prosentase sel hidup dan analisis harga IC50 dengan Excell (Regresi
linear dari log konsentrasi) atau SPSS (Probit/Logit).
4

Cara Perhitungan IC50

Pada percobaan diperoleh absorbansi 3 macam kontrol dan senyawa uji meliputi :
a. Kontrol sel berisi media kultur + sel
b. Kontrol pelarut berisi media kultur + sel + DMSO dengan konsentrasi
terbesar pada seri konsentrasi) % DMSO terbesar dilihat dari konsentrasi

DMSO dalam seri konsentrasi sampel yang paling pekat.


c. Kontrol media berisi media kultur
d. Senyawa uji berisi media kultur + sel + senyawa uji.
Langkah-langkah perhitungan IC50 :
1. Lihat apakah absorbansi kontrol pelarut lebih rendah dari kontrol sel atau
sama dengan kontrol sel. Jika absorbansi kontrol pelarut sama dengan kontrol
sel maka hitung prosentase sel hidup dengan rumus berikut :

Prosentase sel hidup = (Absorbansi perlakuan Absorbansi kontrol media) x 100%


(Absorbansi kontrol sel Absorbansi kontrol media)
Jika absorbansi kontrol pelarut lebih rendah dari absorbansi kontrol sel maka
hitung prosentase sel hidup dengan rumus berikut :
Prosentase sel hidup = (Absorbansi perlakuan Absorbansi kontrol media) x 100%
(Absorbansi kontrol pelarut Absorbansi kontrol media)
2. Buat grafik log konsentrasi vs prosentase sel hidup dengan chart type scatter
dan chartsubtype compare pairs of values.
3. Cari persamaan regresi linier dari grafik tersebut dengan menambilkan add
trendlineregresi linier.
4. Lihat parameter r pada persamaan regresi linier. Jika r lebih besar dari r tabel
maka persamaan regresi linier memenuhi standar untuk mencari IC50.
5. Masukan y = 50% pada persamaan regresi linier dan cari x nya kemudian
dihitung antilog dari konsentrasi tersebut sehingga diperoleh IC50.
Contoh perhitungan:
Data Hasil Uji Sitotoksik Ekstrak Etanolik Daun X terhadap Sel Kanker Payudara T47D
1. Kontrol sel dan kontrol media
Absorbansi
kontrol sel

Rata-rata
absorbansi

Absorbansi
kontrol media

Absorbansi
kontrol media

Absorbansi
kontrol sel
19

kontrol sel
0.290
0.290
0.307
0.286
0.317
0.305

0.304

dikurangi
kontrol media
0.290
0.111
0.132
0.115
0.120
0.117

0.118

0.186

2. Ekstrak etanolik daun X


Kadar
(g/ml)

Absorbansi*

% Sel hidup

SD

-8.06 -6.99

% Sel
hidup
ratarata
-5.91 -6.98

500 0.103

0.105 0.107

400 0.109

0.104 0.108

-4.84 -7.53

-5.38 -5.91

1.42

300 0.096

0.101 0.107

-11.83 -9.14

-5.91 -8.96

2.96

200 0.110
100 0.194

0.126 0.130
0.210 0.204

-4.30 4.30
40.86 49.46

6.45 2.15
46.24 45.52

5.69
4.34

50 0.270

0.261 0.264

81.72 76.88

78.49 79.03

2.46

1.07

10 0.284
0.310 0.327
89.25 103.22
112.36 101.61
* data diperoleh dari replikasi sebanyak tiga kali untuk masing-masing kadar

11.64

3. Kontrol pelarut
Absorbansi Rata-rata
kontrol
absorbans
pelarut
i
kadar
0,125 %
0.277
0.292
0.305
0.303
0.306
0.299
0.289
A = 184.2549088

% sel
hidup

81.18
97.31
89.25
94.62
96.23
95.16

Rata rata
%
sel
hidup

92.29

Absorbansi Rata-rata
kontrol
absorbansi
pelarut
kadar
0,025%
0.269
0.299
0.284
0.28
0.294
0.297
0.295

% sel
hidup

85.483
93.54
100.53
101.07
97.31
91.93

Ratarat
a
% sel
hidup

94.98

B = -72.67280501
R = -0.935840465
20

R2 = 0.875797376
Persamaan : y = -72.067 x + 184.255
Dimasukkan pada y nilai 50 %, cari antilog ketemu hasil 70 g/ml. 20
Profil efek sitotoksik ekstrak etanolik daun X
terhadap sel T47D dengan metode MTT.
Sel T47D diletakkan pada 96 well-plate kemudian diperlakukan dengan ekstrak dengan kadar
(10; 50; 100; 200; 300;
400; 500) g/ml dilanjutkan dengan pembacaan dengan ELISA reader pada 595 nm setelah
inkubasi 24 jam.
Sitotoksisitas ekstrak dinyatakan dengan % kehidupan yang ditampilkan sebagai rata-rata
SD dari tiga eksperimen

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang
dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun
atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan
perubahan

fisiologis

abnormal

atau

pathologis

pada

manusia

dan

hewan.Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan


atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin.
Adapun jenis-jenis mikotoksin adalah sebagai berikut aflatoksin, Citrinin,
fumonisin, deoksinivalenol, patulin, ochratoxin ,trichothecenes ,ergot alkaloid
,zearalenone ,griseofulvin ,rubratoxin ,butenolide ,luteoskyrin ,rugulosin Dan
citreoviridin.untuk mencegah bahaya daripada racun yang dihasilkan oleh jamur,
maka ada beberapa cara sebagai upaya pencegahan dan penanganan mikotoksin
21

yang meliputi kontrol kadar air, kontrol kondisi lingkungan tempat menyimpan
pakan, kontrol agar pakan tetap segar, kebersihan peralatan, penggunaan bahan
penghambat tumbuhnya jamur (mold inhibitor) ,penyimpanan makanan ternak serta
memperhatikan efek kandungan bahan-bahan pakan
Uji sitotoksin merupakan salah satu metode pengembangan untuk
memprediksi keberadaan senyawa yang bersifat toksik pada sel. Uji MTT (3-(4,5dimetihylthiazolyl-2)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) merupakan salah satu
metode yang digunakan dalam uji sitotoksik yang akan menghasilkan nilai IC50.
Metode MTT merupakan metode kolorimetrik, pereaksi MTT ini merupakan
garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh sistem suksinat
tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang
aktif pada sel yang masih hidup. Pemberian reagen stopper akan melarutkan kristal,
kristal formazan ini akan memberi warna ungu yang kemudian dapat diukur
absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader. Uji sitotoksik digunakan untuk
menentukan atau melihat nilai IC50. Nilai IC50 menunjukkan nilai konsentrasi yang
menghasilkan potensi toksik suatu senyawa terhadap sel kanker. Nilai ini menjadi
patokan untuk melakukan pengamatan kinetika sel.
Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium
MTT

(3-(4,5-

dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium

bromid)

oleh

sistem

reduktase. Suksinat tetrazolium yang termasuk dalam rantai respirasi dalam


mitokondria sel-sel yang hidup membentuk kristal formazan berwarna ungu dan
tidak larut air. Penambahan reagen stopper (bersifat detergenik) akan melarutkan
kristal berwarna ini yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA
reader. Intensitas warna ungu yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel hidup.
Sehingga jika intensitas warna ungu semakin besar, maka berarti jumlah sel hidup
semakin banyak.
B. SARAN
Perlunya penelitian lebih lanjut, sehingga nantinya dapat ditemukan obat atau
antitoksin dari mikotoksin. Mengingat manusia dapat juga memiliki peluang yang
cukup besar terkena efek berbahaya dari mikotoksin.

22

DAFTAR PUSTAKA
Ali, N., Sardjono, A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998. Natural occurrence of aflatoxins
and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn
from Indonesia. Jakarta:Food Add Contaminant. 15: 377-384.
Ariana, Yana. 2013. Dampak Mikotoksin terhadap kesehatan dan produktivitas hewan serta
solusi penanggulangannya. Jakarta: novindo.
Arisman. 2004. Gizi dalam daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Badan POM.2008. Kontaminasi Mikotoksin Dalam Pangan dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan. Jakarta: Media Indonesia.
Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya
dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Bogor: Kumpulan Makalah Lengkap
Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan
Temu Ilmiah. 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275
Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal
Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 51-57.
Maryam, Romsyah. 2006. Pengendalian Terpadu Kontaminasi Mikotoksin. Balai Pertanian
veteriner. 16:1.
Pilliang, W.G. 1995. Nutrisi Vitamin Volume II. Penerbit IPB. Bogor.

23

Anda mungkin juga menyukai