Anda di halaman 1dari 10

Dosen : drh.

Min Rahminiwati, MS, PhD


Hari, tanggal : Rabu, 21 September 2022
Jam : 14.30 - 17.00
Tempat : RP. FIFARM-1
Kelompok :6

Laporan Praktikum Toksikologi Veteriner


KERACUNAN SIANIDA

Monica Silva Jerica B04190052


Mumtasya Karima Putri B04190055
Nevy Aurelia Kharenindha B04190059
Salsa Dwi Anjani B04190075
Septiyan Andi Gunawan B04190078
Rievandi Dwi Ardianto B04190098

LABORATORIUM TOKSIKOLOGI
DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sianida merupakan zat yang bekerja cepat dan secara tradisional dikenal
sebagai racun (Graham dan Taylor 2022). Sianida menjadi salah satu racun anorganik
yang paling kuat dan bekerja cepat dan dapat menyebabkan keracunan pada hewan,
terutama pada ruminansia. Sianida dilepaskan ke lingkungan dalam berbagai bentuk
dengan sumber alami ion sianida dari tanaman yang mengandung glikosida sianogenik
yang cukup adalah penyebab paling penting dari hidrogen keracunan sianida pada
ternak ruminansia (Gensa 2019).

Gejala klinis yang diakibatkan oleh paparan dari sediaan ini dapat berupa rasa
nyeri kepala, mual, sesak nafas, koma, hingga kematian pada manusia. Hewan dapat
menunjukkan salivasi berlebihan, sesak nafas, hingga kematian karena daya kerja nya
yang menghambat utilisasi oksigen pada sel tubuh hewan. Toksikokinetika dan
toksikodinamika dari eksposur sianida secara oral sangat unik yang mengakibatkan
eksposur dosis dalam skala tinggi menunjukkan gejala klinis yang parah dengan onset
simptom yang lambat (Hendry-Hofer et al. 2019). Penanganan keracunan akut sianida
pada hewan harus langsung ditangani dan pada kasus emergensi hanya harus dilakukan
hanya berdasarkan diagnosis klinis (Lawson-Smith et al. 2011)

1.2 Tujuan

Praktikum bertujuan mengetahui gejala klinis keracunan sianida dan efek


antidota sodium nitrite (NaNO2) dan sodium thiosulfate (Na2S2O3) yang diujikan pada
kelinci serta identifikasi CN dalam tanaman menggunakan kertas pikrat dan identifikasi
larutan NaCN atau KCN.

1.3 Metode

Alat dan bahan

Alat yang dipersiapkan pada praktikum ini yaitu syringe, tabung reaksi, mortar,
penangas air, kertas pikrat, penjepit tabung reaksi, dan sumbat tabung reaksi. Bahan
yang digunakan yaitu kelinci, NaCN, NaOH, NaNO2, FeSO4, FeCl3, HCl, Na2S2O3,
serta daun singkong.

Metode

● Mengidentifikasi kandungan CN dalam tanaman

Mula-mula menyiapkan tiga buah tabung reaksi yang masing-masing masing


tabung secara berurutan diisi oleh Aquades, campuran NaCN dan HCl, serta hasil
gerusan daun singkong. Tabung berisi aquades dimaksudkan sebagai kontrol negatif,
sementara tabung yang berisi campuran NaCN dan HCl digunakan sebagai kontrol
positif. Selanjutnya meletakkan kertas pikrat pada ujung tabung reaksi kemudian
tutup tabung reaksi dengan sumbat. Ketiga tabung reaksi selanjutnya dipanaskan pada
penangas air kemudian dilakukan pengamatan pada perubahan warna kertas pikrat.
Kertas pikrat yang berubah warna menjadi warna bata merah mengindikasikan tabung
reaksi mengandung sianida (CN).

● Mengidentifikasi kandungan CN dari sampel asal hewan

Tahapan pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan sebuah tabung reaksi yang
berisi larutan NaCN 1%. Setelah itu, menambahkan 1 mL NaOH 50%, 3 tetes FeSO4,
dan 3 tetes FeCl3 secara berurutan ke dalam tabung reaksi berisi NaCN 1 % yang
telah disiapkan sebelumnya. Tabung berisi campuran seluruh larutan tadi selanjutnya
dipanaskan dalam penangas air sekitar 1 menit kemudian didinginkan. Tabung reaksi
yang sudah dingin selanjutnya ditambahkan beberapa tetes HCl pekat hingga terlihat
perubahan warna menjadi biru berlin/prussian blue.

● Mengidentifikasi gejala klinis keracunan sianida dan mekanisme antidota sianida

Identifikasi gejala klinis keracunan sianida membutuhkan kelinci percobaan


yang telah ditimbang sebelumnya untuk menentukan volume sianida yang akan
diberikan. Setelah melakukan penimbangan berat badan kelinci, praktikan
menyiapkan antidota sianida terlebih dahulu yaitu larutan NaNO2 1% dan larutan
Na2S2O3 5% yang masing-masing disiapkan sebanyak 2,5 mL pada spuit/syringe
berbeda. Sianida yang diberikan yaitu larutan NaCN 1% dengan dosis 5 mg/kg BB
disiapkan sebanyak 0,5 mL. Pemberian sianida dilakukan secara per oral
menggunakan spuit yang sudah berisi 0,5 mL NaCN. Beberapa menit setelah
diberikan NaCN akan timbul gejala klinis pada kelinci percobaan, kemudian antidota
diberikan apabila gejala klinis yang timbul semakin parah. Antidota diberikan dengan
rute intravena melalui vena auricularis. Urutan pemberian antidota yaitu diberikan
larutan NaNO2 1% terlebih dahulu baru kemudian diberikan larutan Na2S2O3 5%.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sianida

Sianida adalah senyawa kimia dari kelompok Siano, yang terdiri dari 3 buah
atom karbon yang berikatan dengan nitrogen (C=N), dan dikombinasi dengan unsur-
unsur lain seperti kalium atau hidrogen. Sianida dapat terbentuk secara alami maupun
dibuat oleh manusia dan memiliki sifat racun yang sangat kuat dan bekerja dengan
cepat (Cahyawati et al. 2017). Senyawa sianida terurai menghasilkan asam sianida
(HCN), yang dapat menghambat penyerapan oksigen pada sistem pernafasan sehingga
terjadi kekejangan tenggorokan yang kemudian diikuti sesak nafas, hilang kesadaran
bahkan kematian (Sari et al. 2018). Tingkat ketoksikan sianida ditentukan jenis,
konsentrasi dan pengaruhnya terhadap organisme hidup. Kompleks sianida kurang
toksik bila dibandingkan dengan sianida bebas. Sianida sederhana secara cepat dapat
membebaskan sianida bebas dan menjadi sangat toksik, sedangkan kompleks sianida
yang stabil tidak bersifat toksik selama tidak terurai menjadi sianida bebas (Pitoi 2015).

2.2 Natrium Tiosulfat

Natrium tiosulfat merupakan donor sulfur yang dapat meningkatkan perubahan


sianida menjadi tiosianat, yang kurang toksik oleh enzim sulfur transferase, rodanase.
Tidak seperti nitrit, tiosulfat tidak bersifat toksik dan dapat diberikan secara empiris
untuk orang yang diduga keracunan sianida. Natrium tiosulfat diasumsikan secara
intrinsik nontoksik tetapi produk detoksifikasi yang dibentuk dari sianida, tiosianat
dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal. Pemberian natrium
tiosulfat 12,5 g i.v. biasanya diberikan secara empirik jika diagnosis tidak jelas (Suciadi
2008).

2.3 Natrium Nitrit

Natrium nitrit merupakan obat yang paling sering digunakan untuk keracunan
sianida. Dosis awal standar adalah 3 % larutan natrium nitrit 10ml, memerlukan waktu
kira-kira 12 menit untuk membentuk kira-kira 40% methemoglobin. Dosis awal untuk
natrium tiosulfat adalah 50ml. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa risiko karena bila
berlebihan dapat mengakibatkan methemoglobinemia yang dapat menyebabkan
hipoksia atau hipotensi. Untuk itu maka jumlah methemoglobin harus dikontrol.
Penggunaan natrium nitrit tidak direkomendasikan untuk pasien yang memiliki
kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6DP) dalam sel darah merahnya karena
dapat menyebabkan reaksi hemolisis yang serius (Suciadi 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji kualitatif kandungan sianida dilakukan menggunakan kertas pikrat. Sampel


yang digunakan dalam pengujian ini terdiri atas satu tabung reaksi yang berisi aquades
sebagai kontrol negatif, satu tabung reaksi yang berisi NaCN 1% dan HCl sebagai
kontrol positif, dan gerusan daun singkong sebagai perlakuan yang akan diidentifikasi.
Berdasarkan uji kandungan sianida tersebut, tidak terjadi perubahan warna pada kontrol
negatif yang berarti bahwa perlakuan tersebut tidak mengandung sianida, sedangkan
pada kontrol positif terjadi perubahan warna menjadi warna coklat. Terbentuknya
warna coklat pada kertas pikrat ini terjadi karena uap sianida yang terperangkap dalam
kertas pikrat sehingga mengakibatkan perubahan warna kertas menjadi merah coklat
bata atau coklat kehitaman (Wulandari dan Zulfadi 2017). Sementara itu, berdasarkan
hasil pengamatan pada tabung yang berisi gerusan daun singkong, terjadi perubahan
warna pada kertas pikrat menjadi kecoklatan seperti pada kontrol positif. Dengan
demikian, daun singkong yang diuji tersebut terbukti mengandung sianida. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa singkong merupakan tumbuhan yang termasuk kelas
Dicotyledoneae di mana di dalam daunnya maupun umbinya mengandung zat glikosida
cyanogenik. Zat ini dapat menghasilkan asam sianida (HCN) atau senyawa asam biru
yang sangat bersifat racun (Kurnia dan Marwatoen 2013).
Daun singkong (Manihot esculenta) merupakan jenis tanaman yang
mengandung nutrien, antioksidan, dan racun yaitu glikosida sianogenik. Kandungan
glikosida sianogenik yang terdapat pada daun singkong pada dosis tertentu dapat
berpotensi menimbulkan efek toksik. Zat yang terdapat pada glikosida sianogenik daun
singkong antara lain linamarin dan lotaustralin. Linamarin tersimpan dalam sel tanaman
singkong dan sebagian besar terdapat pada daun. Linamarin akan mengalami hidrolisis
menjadi glukosa dan aseton sianohidrin, lalu didekomposisi menjadi aseton dan
hidrogen sianida (HCN) (Saddamiah et al. 2018).
Selanjutnya adalah percobaan untuk mengidentifikasi CN dari sampel asal
hewan. Berdasarkan tabel diatas terjadi perubahan warna larutan menjadi biru berlin.
Pengujian menunjukkan hasil positif berupa terbentuknya lapisan berwarna biru berlin
atau Prussian blue ada tabung tersebut. Prussian Blue atau zat kimia biru prusia
merupakan pigmen biru tua dengan rumus kimia Fe7(CN)18. Senyawa ini dibuat dari
reaksi kimia antara larutan alkali ferrosianida dan larutan jenuh besi III klorida.
Kombinasi dari ion ferri berasal larutan jenuh besi III klorida dan ion ferro sianida
membentuk pigmen warna yang memiliki warna biru tua. Prussian Blue bersifat non-
toksik (tidak beracun) dan digunakan sebagai obat (Husna dan Zainul 2019).

Tabel 1. Identifikasi sianida asal tanaman


Tabung Perubahan Warna pada Kertas
Pikrat

Aquades (kontrol negatif) Tidak terjadi perubahan warna

Gerusan daun singkong Coklat (+)

NaCN 1% + HCl (kontrol positif) Coklat (++)

NaCN 1% + NaOH 50% + FeSO4 + Biru


FeCl3

Pada pengamatan gejala klinis keracunan sianida, terlihat gejala awal pada
menit ke-0 setelah penginjeksian sianida pada kelinci berupa dyspnoea, peningkatan
frekuensi pernapasan, dan berdebar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Cahyawati et al. (2017) bahwa tanda-tanda awal keracunan sianida pada sistem
respirasi antara lain pernapasan yang cepat dan dalam. Perubahan pada sistem respirasi
ini disebabkan oleh adanya stimulasi pada kemoreseptor perifer dan sentral dalam
batang otak, dalam upaya mengatasi hipoksia jaringan. Sianida menginaktifkan enzim
3+
dalam bentuk Ferri (Fe ) dan kobalt sehingga menghilangkan integritas struktural dan
efektivitas enzim. Sianida juga menyebabkan kelinci mengalami hipoksia intraseluler
akibat ikatan irreversible dengan cytochrome oxidase a3 di mitokondria. Ikatan ini
menimbulkan hambatan enzim terminal dalam rantai respirasi, rantai transpor elektron
dan proses oksidasi fosforilasi. Fosforilasi oksidatif diperlukan untuk produksi ATP
dan respirasi seluler, sementara pada kondisi ini mitokondria tidak mampu
menggunakan oksigen sehingga tidak dapat menghasilkan ATP. Metabolisme sel akan
berubah menjadi anaerob dan menyebabkan timbunan asam laktat serta metabolik
asidosis. Keracunan sianida juga menyebabkan penghambatan enzim karbonik
anhidrase yang memperparah kondisi metabolik asidosis dan menimbulkan ikatan
dengan methemoglobin sehingga oksigen tidak mampu terangkut (Cahyawati et al.
2017). Pada menit ke-14, terjadi hipersalivasi pada kelinci. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Yuningsih (2012) bahwa gejala keracunan sianida ialah susah bernapas,
denyut nadi cepat, lemah, tremor, mata terbelalak, kembung, dan kadang-kadang terjadi
salivasi dan muntah, kejang-kejang, dan lapisan mukosa berwarna merah terang.
Antidota dari sianida yang digunakan pada praktikum keracunan sianida ialah
natrium tiosulfat dan natrium nitrit. Setelah pemberian kedua antidota tersebut, kelinci
kembali ke keadaan normal pada menit ke-23. Natrium tiosulfat adalah senyawa kimia
yang bekerja dengan mempercepat proses eliminasi. Natrium tiosulfat mengandung
sulfur persulfida yang berikatan dengan sianida pada tubuh kelinci dan berubah menjadi
tiosianat yang bersifat non toksik. Tiosianat ini nantinya akan diekskresikan oleh
kelinci melalui urin. Sementara itu, natrium nitrit merupakan antidota sianida yang
bekerja dengan mekanisme penghambatan distribusi. Natrium nitrit akan menyebabkan
pembentukan methemoglobin dan akan mengoksidasi sebagian hemoglobin.
Akibatnya, aliran darah akan mengandung ion ferri, yang oleh ion sianida akan diikat
menjadi sianmethemoglobin. Sianmethemoglobin selanjutnya akan mengaktifkan
kembali aliran oksigen (Saudah et al. 2015). Natrium nitrat dan natrium tiosulfat
memiliki efek antidota level tinggi, sehingga injeksi kombinasi tiosulfat dan sodium
nitrit merupakan pengobatan yang cukup efektif (Yuningsih 2012).

Tabel 2. Pengamatan gejala klinis keracunan sianida pada kelinci


Waktu Gejala Klinis

0 menit Dyspnoea, frekuensi pernapasan


meningkat, berdebar

3 menit Telinga kelinci berdiri tegak

7 menit Dyspnoea, mata sayu, frekuensi


pernapasan meningkat setelah dilakukan
injeksi sianida tambahan sebanyak 0,5
mL

8 menit Vasodilatasi

11 menit Kesadaran menurun

14 menit Hipersalivasi

15 menit Konvulsi
23 menit Kelinci Kembali ke keadaan normal
setelah diinjeksikan antidota secara
intravena berupa Na2S2O3 sebanyak 2,5
mL pada menit ke-17 dan NaNO3
sebanyak 2,5 mL pada menit ke-21

SIMPULAN

Keracunan sianida dapat menyebabkan frekuensi nafas meningkat dan dangkal,


pupil berdilatasi, kelinci menjadi lemas, tremor, dan depresi. Jika kasus berat dapat
menimbulkan kematian sekiranyatidak ditangani dengan pemberian antidota secara
cepat dan tepat. Identifikasi kandungan sianida dalam tanaman menunjukkan tanaman
positif mengandung sianida.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyawati PN, Zahran I, Jufri MMI. 2017. Keracunan akut sianida. Jurnal Lingkungan
dan Pembangunan. 1(1): 80-87.

Gensa U. 2019. Review on cyanide poisoning in ruminants. Journal of Biology,


Agriculture and Healthcare. 9(6): 1-12.

Graham J, Traylor J. 2022. Cyanide Toxicity. Treasure Island(FL): StatPearls


Publishing.

Hendry-Hofer TB, Ng PC, Witeof AE, Mahon SB, Brenner M, Boss GR, Bebarta VS.
2019. A review on ingested cyanide: Risks, clinical presentation, diagnostics,
and treatment challenges. Journal of Medical Toxicology. 128-133.

Kurnia N, Marwatoen F. 2013. Penentuan kadar sianida daun singkong dengan variasi
umur daun dan waktu pemetikan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Kimia
“Hydrogen”. 1(2): 117-121.

Lawson-Smith P, Jansen EC, Hyldegaard O. 2011. Cyanide intoxication as part of


smoke inhalation - a review on diagnosis and treatment from the emergency
perspective. Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine.
19(14): 1-5.

Pitoi MM. 2015. Sianida: klasifikasi, toksisitas, degradasi, analisis (Studi Pustaka).
JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE. 4 (1): 1-4.

Saddamiah SFA, Normasari R, Abrori C. 2018. Toksisitas akut ekstrak etanol daun
singkong (Manihot esculenta) terhadap histopatologi hepar tikus putih galur
wistar. Journal of Agromedicine and Medical Sciences. 4(1): 45-49.

Sari FDN, Astili R. 2018. Kandungan asam sianida dendeng dari limbah kulit singkong.
Jurnal Dunia Gizi. 1(1): 20-29.

Saudah EN, Yusriana C S, Dewi T. 2015. Uji efektivitas ketepatan waktu pemberian
kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit sebagai antidotum ketoksikan
akut kalium sianida pada mencit (Mus musculus). Jurnal Permata Indonesia.
6(1): 21-28.
Suciadi BH. 2008. Dosis efektif kombinasi natrium tiosulfat sebagai antidot dan
diazepam sebagai terapi suportif keracunan sianida akut pada mencit jantan
galur Swiss [skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma.

Wulandari, Zulfadi. 2017. Uji kualitatif kandungan sianida dalam rebung


(Dendrocalamus asper), umbi talas (Colocasia esculenta), dan daun
singkong (Manihot utilissimaphol). Jurnal Edukasi Kimia. 2(1): 41-47.

Yuningsih. 2012. Keracunan sianida pada hewan dan upaya pencegahannya. Jurnal
Litbang Pertanian. 31(1): 21-26.

Anda mungkin juga menyukai