PEMBAHASAN
2.1.1 Sianida
Sianida merupakan salah satu racun (toksin) yang paling berbahaya di alam dan
dapat meracuni hewan termasuk ternak. Ruminansia dapat dengan mudah terkena
racun ini karena pemberian pakan. Penyebab utama keracunan sianida pada
ruminansia yaitu menelan tanaman yang mengandung zat yang disebut “glikosida
sianogenik”. (Kurniasih, 2011)
2.1.2 Gambar
2.1.5 Patomekanisme
Oleh karena adanya ikatan ini, O2 tidak dapat digunakan oleh jaringan sehingga
organ yang sensitif terhadap kekurangan O2 akan sangat menderita terutama jaringan
otak. Akibatnya akan terlihat pada permulaan suatu tingkat stimulasi daripada
susunan saraf pusat yang disusul oleh tingkat depresi dan akhirnya dapat timbul
kejang oleh hipoksia dan kematian oleh kegagalan pernafasan . Kadang-kadang dapat
pula timbul detak jantung yang ireguler . (Cahyawati, 2017)
Sianida mempunyai afinitas yang tinggi terhadap besi dalam bentuk ion feri.
Jika terabsorpi maka zat ini akan segera besi trivalent sitokrom oksidase di
mitokondria. Dengan demikian maka respirasi sel akan terhambat, dan menyebabkan
asidosis laktak dan hipoksia sitotoksik. Karena penggunaan O2 terintangi maka darah
dalam vena menjadi teroksigenasi dan warnanya menjadi lebih merah seperti warna
darah di arteri. Pernapasan terangsang karena sel kemoreseptor seperti terhadap
penurunan oksigen. Tahap perangsangan Sistem Saraf Pusat (SSP) yang berlangsung
singkat disertai hiperpnea dan sakit kepala, hingga akhirnya terjadi kejang hipoksik
dan jika tidak tertolong maka terjadi kematian akibat pernapasan berhenti.
(Cahyawati, 2017)
Senyawa sianida dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu lewat pernafasan,
absorbsi kulit dan saluran pencernaan. Apabila sianida terabsorbsi ke dalam tubuh
maka akan menghambat pengambilan oksigen sel dengan cara menghalangi enzim
sitokrom oksidase, yaitu suatu enzim yang berfungsi untuk transportasi oksigen
seluler atau jaringan. Akibat dari keadaan ini, akan menyebabkan pernafasan sel
terganggu dan akhirnya terjadi kematian sel. Sianida di dalam tubuh dapat
dimetabolisir oleh hati, ginjal dan jaringan tubuh lainnya menjadi senyawa tiosianat
yang kurang toksik. Metabolisme sianida menjadi tiosianat ini terjadi karena adanya
enzim sulfurtransferase (rodanase) pada organ-organ tersebut. Kadar tiosianat akan
meningkat dalam waktu lebih dari 20 menit pasca pemberian sianida. (Cahyawati,
2017)
Menurut literatur saat ini belum ada gold standard untuk diagnosis
keracunan sianida. Peneliti dan klinisi masih terus mencoba mencari teknik
dan metode diagnosis yang tepat, spesifik dan cepat untuk mendeteksi kasus
keracunan sianida. Beberapa metode yang digunakan untuk diagnosis kasus
keracunan sianida, diantaranya:
Mengamatitanda-tanda dan gejalaklinisspesifik dari keracunan
sianida,termasuk bau almond pahit, yang merupakan karakteristik dari
sianida. Temuan tanda-tanda dan gejala spesifik ini memiliki nilai
prediksi diagnostik yang tinggi. Namun, banyak juga kasus
keracunan asam hidrosianat yangtidak berbau seperti almond pahit,
oleh karenaadanya pengaruh genetic dalam perbedaan kemampuan
mengenali baunya, sehingga dibutuhkan metode diagnosis yang lebih
spesifik. (Cahyawati, 2017)
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa pengukuran kadar
karboksihemoglobin, sianida serum,pemeriksaan darah lengkap, kadar
laktat serum serta tekanan parsial oksigen (PO2). Pasien
didefinisikan mengalami keracunan akut sianida bila kadar sianida
serumnya 0.5 mg/L. Tapi kadar sianida serum tidak bisa dijadikan
parameter untuk menentukan tingkat keparahan, hal ini terkait dengan
waktu paruh eliminasi sianida yang sangat pendek. Parameter lain
yang juga digunakan untuk memperkuat diagnosis terkait tingkat
keparahan adalah kadar laktat serum. Pasien dengan kadar laktat
serum >8 mmol/L bisa dikatakan mengalami keracunan akut
sianida dan kemungkinan membutuhkan pengulangan terapi antidot.
Adapun pemeriksaan PO2 pada kasus keracunan sianida akan
dikarakterisasi dengan adanya penurunan tekanan parsial PO2yang
menandakan terjadinya asidosis laktat. (Cahyawati, 2017)
2.1.7 Penanganan
Daftar Pustaka
Cahyawati, P.N. 2017. Keracunan Akut Sianida. Wicaksana, Jurnal Lingkungan &
Pembangunan. 1(1)
Yuningsih. 2012. Keracunan Sianida Pada Hewan Dan Upaya Pencegahannya. Balai
Besar Penelitian Veteriner
2.2 Baliziekte Pada Sapi
2.2.1 Baliziekte
Penyakit Baliziekte pertama kali ditemukan pada tahun 1925 Subberink dan Le
Cultre di beberapa tempat di Bali, yang kemudian juga ditemukan di sulawesi, Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Penyakit Baliziekte biasa ditemukan pada
musim kemarau pada sapi Bali, penyebab penyakit ini adalah suatu reaksi
hipersensitivitas fotosensitisasi yang disebabkan oleh tanaman –tanaman : Lantana
camara dan Medicago sp. Tanaman-tanaman ini sangat mudah tumbuh dan mampu
bertahan dalam situasi kering sehingga terkadang menjadi pilihan makanan oleh
ternak sapi yang dipelihara dengan pola penggembalaan. (Bidura, 2017)
2.2.2 Gambar
Lantana camara atau kembang telekan adalah tanaman yang selalu hijau dan
bertahan saat musim kemarau, sementara tanaman lain mengering. Pada daerah
padang gembala bila semua tanaman mengering, maka tanaman ini akan menarik
hewan untuk memakannya. Komponen-komponen beracun tanaman ini yaitu
Lantadene A (LA), Lantadene B (LB), Lantadene C (LC) dan Lantadene D (LD). Di
antara komponen tersebut LA dan LB yang paling toksik. Pada daerah kering,
keracunan Lantana sering dilaporkan bahkan menjadi wabah. Di Indonesia bahkan
pernah dilaporkan terjadi wabah keracunan Lantana pada sapi Bali di Kalawi,
Donggala tahun 1980. (Sobari, 2003)
2.2.3 Lantadene A
(gejala Baliziekte, terlihat kerusakan kulit berupa eksim yang kering kemudian
mengelupas. Luka –luka tersebut muncul secara simetris)
Selain itu, bagian kulit sapi yang memiliki sedikit pigmen atau tidak berpigmen
seperti bagian telinga, muka, punggung, perut, paha bagian dalam, pantat. Kerusakan
yang ditimbulkan berupa eksim yang akan mengering, kemudian mengelupas
sehingga meninggalkan luka. (Bidura, 2017)
2.2.5 Patomekanisme
Setelah sapi mengkonsumsi terlalu banyak lantan camara yang bersifat racun
sehingga hati yang mempunyai fungsi untuk mendetoksikasi akan rusak
menghasilkan zat flourosence yang berpengaruh terhadap kulit. Sehingga kulit
menjadi sensitif terhadap sinar matahari saat sapi terkrna sinar matahari kulit akan
semakin gatal dan karena gatal kulit digaruk dengan menggunakan lidahnya, lidah
sapi bersifat keras sehingga menimbulkan luka bahkan sampai kulit terkelupas.
(Sobari, 2003)
2.2.7 Penanganan
Daftar Pustaka
Bidura. 2017. Bahan Ajar Antinutrisi Dan Hijauan Pakan Beracuun Pada Ternak.
Universitas Udayana : Denpasar
Sobari, 2003. Kasus Kematian Sapi Bali di Kabupaten Donggala Akibat Keracunan
Lantana camara. Hamera Zoa. 71(2): 141-146.