Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keracunan Sianida Pada Ternak

2.1.1 Sianida

Hidrogen sianida (HCN) atau prussicacid atau sianida adalah senyawakimia


yang bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalamtubuh
sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (akut). Senyawa
sianida yang ditemukan di alam umumnya dalam bentuk sintetis,terutama dalam
bentuk garam [NaCN,KCN, dan Ca(CN)2]. (Cahyawati, 2017)

Sianida merupakan salah satu racun (toksin) yang paling berbahaya di alam dan
dapat meracuni hewan termasuk ternak. Ruminansia dapat dengan mudah terkena
racun ini karena pemberian pakan. Penyebab utama keracunan sianida pada
ruminansia yaitu menelan tanaman yang mengandung zat yang disebut “glikosida
sianogenik”. (Kurniasih, 2011)

2.1.2 Gambar

Beberapa contoh tanaman yang mengandung glikosida sianogenik yaitu


singkong, ubi kayu, sorgum, biji almond, lima beans (sejenis kacang polong). Potensi
sianogenik tanaman dipengaruhi oleh spesies dan berbagai tanaman, cuaca,
kesuburan tanah, dan tahap pertumbuhan tanaman. Tanaman muda, tunas baru, dan
pertumbuhan kembali tanaman setelah pemotongan sering mengandung glikosida
sianogenik tertinggi. Risiko terjadinya keracunan menurun pada hijauan yang telah
masak atau tua.
Helaian daun memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan pelepah daun atau
batang daun, daun bagian atas memiliki risiko lebih tinggi daripada daun yang lebih
tua, dan kepala biji dianggap berisiko rendah. Beberapa herbisida juga telah terbukti
meningkatkan potensi tanaman sianogenik. Pengeringan tanaman menurunkan
potensi sianogenik dari waktu ke waktu sehingga jerami jarang berbahaya jika
dikeringkan dalam waktu yang cukup. Memproses hijauan menjadi silase dapat
menurunkan kandungan glikosida sianogenik. (Kurniasih, 2011)

2.1.3 Glikosida sianogenik (Bahan aktif)

Glikosida sianogenik adalah senyawa hidrokarbon yang terikat dengan gugus


CN dan gula. Beberapa tanaman tingkat tinggi dapat melakukan sianogenesis, yakni
membentuk glikosida sianogenik sebagai hasil sampingan reaksi biokimia dalam
tanaman Keberadaan glikosida sianogenik pada tanaman memiliki fungsi penting
terhadap kelangsungan hidup tanaman tersebut. Glikosida sianogenik berperan
sebagai sarana protektif terhadap gangguan predator terutama herbivora. Adanya
kerusakan jaringan pada tanaman akibat hewan pemakan tumbuhan akan
menyebabkan pelepasan HCN yang mengganggu kelangsungan hewan tersebut. Pada
Trifolium repens, keberadaan glikosida sianogenik berfungsi untuk melindungi
kecambah yang masih muda agar tidak dimakan siput dan keong. (Yuningsih, 2012)

2.1.4 Gejala Klinis


Racun sianida sangatlah kuat. Jika sejumlah besar kandungan sianida terserap
cepat, mekanisme pengeluaran racun dari tubuh akan kewalahan dan hewan dapat
mati dengan cepat. Hewan yang teracuni jarang bertahan hidup lebih dari 1 – 2 jam
bila mengonsumsi tanaman sianogenik melebihi batas takaran. Biasanya hewan akan
mati dalam waktu 5 – 15 menit setelah timbul gejala klinis keracunan. Gejala yang
timbul yaitu bernafas cepat (nampak ngos-ngosan), denyut nadi tidak teratur, mulut
berbuih, pupil mata membesar, kejang otot, dan sempoyongan. Selaput lendir
berwarna merah terang karena kejenuhan oksigen dari hemoglobin. (Yuningsih,
2012)

2.1.5 Patomekanisme

Asam sianida dapat menghambat pernafasan sel adalah adanya penghambatan


terhadap reaksi bolak-balik pada enzim-enzim yang mengandung besi dalam status
ferri (Fe3+) di dalam sel. Enzim yang sangat peka terhadap inhibisi sianida ini adalah
sitokrom oksidase. Semua proses oksidasi dalam tubuh sangat tergantung kepada
aktivitas enzim ini. Jika di dalam sel terjadi kompleks ikatan enzim sianida, maka
proses oksidasi akan terblok, sehingga sel menderita kekurangan oksigen. Jika asam
sianida bereaksi dengan hemoglobin (Hb) akan membentuk cyano-Hb yang
menyebabkan darah tidak dapat membawa oksigen. Tambahan sianida dalam darah
yang mengelilingi komponen jenuh di eritrosit diidentifikasikan sebagai
methemoglobin. Kedua sebab inilah yang menyebabkan histotoxic-anoxia dengan
gejala klinis antara lain pernafasan cepat dan dalam. (Cahyawati, 2017)

Oleh karena adanya ikatan ini, O2 tidak dapat digunakan oleh jaringan sehingga
organ yang sensitif terhadap kekurangan O2 akan sangat menderita terutama jaringan
otak. Akibatnya akan terlihat pada permulaan suatu tingkat stimulasi daripada
susunan saraf pusat yang disusul oleh tingkat depresi dan akhirnya dapat timbul
kejang oleh hipoksia dan kematian oleh kegagalan pernafasan . Kadang-kadang dapat
pula timbul detak jantung yang ireguler . (Cahyawati, 2017)

Sianida mempunyai afinitas yang tinggi terhadap besi dalam bentuk ion feri.
Jika terabsorpi maka zat ini akan segera besi trivalent sitokrom oksidase di
mitokondria. Dengan demikian maka respirasi sel akan terhambat, dan menyebabkan
asidosis laktak dan hipoksia sitotoksik. Karena penggunaan O2 terintangi maka darah
dalam vena menjadi teroksigenasi dan warnanya menjadi lebih merah seperti warna
darah di arteri. Pernapasan terangsang karena sel kemoreseptor seperti terhadap
penurunan oksigen. Tahap perangsangan Sistem Saraf Pusat (SSP) yang berlangsung
singkat disertai hiperpnea dan sakit kepala, hingga akhirnya terjadi kejang hipoksik
dan jika tidak tertolong maka terjadi kematian akibat pernapasan berhenti.
(Cahyawati, 2017)

Senyawa sianida dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu lewat pernafasan,
absorbsi kulit dan saluran pencernaan. Apabila sianida terabsorbsi ke dalam tubuh
maka akan menghambat pengambilan oksigen sel dengan cara menghalangi enzim
sitokrom oksidase, yaitu suatu enzim yang berfungsi untuk transportasi oksigen
seluler atau jaringan. Akibat dari keadaan ini, akan menyebabkan pernafasan sel
terganggu dan akhirnya terjadi kematian sel. Sianida di dalam tubuh dapat
dimetabolisir oleh hati, ginjal dan jaringan tubuh lainnya menjadi senyawa tiosianat
yang kurang toksik. Metabolisme sianida menjadi tiosianat ini terjadi karena adanya
enzim sulfurtransferase (rodanase) pada organ-organ tersebut. Kadar tiosianat akan
meningkat dalam waktu lebih dari 20 menit pasca pemberian sianida. (Cahyawati,
2017)

2.1.6 Diagnosa Banding

Menurut literatur saat ini belum ada gold standard untuk diagnosis
keracunan sianida. Peneliti dan klinisi masih terus mencoba mencari teknik
dan metode diagnosis yang tepat, spesifik dan cepat untuk mendeteksi kasus
keracunan sianida. Beberapa metode yang digunakan untuk diagnosis kasus
keracunan sianida, diantaranya:
 Mengamatitanda-tanda dan gejalaklinisspesifik dari keracunan
sianida,termasuk bau almond pahit, yang merupakan karakteristik dari
sianida. Temuan tanda-tanda dan gejala spesifik ini memiliki nilai
prediksi diagnostik yang tinggi. Namun, banyak juga kasus
keracunan asam hidrosianat yangtidak berbau seperti almond pahit,
oleh karenaadanya pengaruh genetic dalam perbedaan kemampuan
mengenali baunya, sehingga dibutuhkan metode diagnosis yang lebih
spesifik. (Cahyawati, 2017)
 Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa pengukuran kadar
karboksihemoglobin, sianida serum,pemeriksaan darah lengkap, kadar
laktat serum serta tekanan parsial oksigen (PO2). Pasien
didefinisikan mengalami keracunan akut sianida bila kadar sianida
serumnya 0.5 mg/L. Tapi kadar sianida serum tidak bisa dijadikan
parameter untuk menentukan tingkat keparahan, hal ini terkait dengan
waktu paruh eliminasi sianida yang sangat pendek. Parameter lain
yang juga digunakan untuk memperkuat diagnosis terkait tingkat
keparahan adalah kadar laktat serum. Pasien dengan kadar laktat
serum >8 mmol/L bisa dikatakan mengalami keracunan akut
sianida dan kemungkinan membutuhkan pengulangan terapi antidot.
Adapun pemeriksaan PO2 pada kasus keracunan sianida akan
dikarakterisasi dengan adanya penurunan tekanan parsial PO2yang
menandakan terjadinya asidosis laktat. (Cahyawati, 2017)

2.1.7 Penanganan

Pengobatan dimaksudkan untuk mem-bantu menstabilkan transportasi


oksigenpada sel-sel jaringan dengan caramemecah ion sianida dalam level
tinggi(level berbahaya) dengan injeksi sodiumnitrit untuk membentuk
cyanmethaemo-globin. Senyawa tersebut kemudian di-ubah menjadi tiosianat
setelah penam-bahan tiosulfat yang secara langsungdikeluarkan melalui ginjal.
Pengobatan ulang dapat dilakukan biladiperlukan dengan dosis setengah
daridosis awal (Clarke dan Clarke 1977). Peng-obatan keracunan sianida telah
berhasildengan cara injeksi sodium tiosulfat 660mg/kg atau p-aminopropriofenon 1
mg/kgyang efektif menurunkan sianida leveltinggi. Kombinasi tiosulfat 660
mg/kgdengan sodium nitrit 22 mg/kg jugaefektif sebagai antidota sianida
leveltinggi. (Yuningsih, 2012)

Daftar Pustaka

Cahyawati, P.N. 2017. Keracunan Akut Sianida. Wicaksana, Jurnal Lingkungan &
Pembangunan. 1(1)

Kurniasih. 2011. Keracunan Asam Hidrosianat (HCN) Pada Ruminansia. Kuliah


Pengantar Blok XV

Yuningsih. 2012. Keracunan Sianida Pada Hewan Dan Upaya Pencegahannya. Balai
Besar Penelitian Veteriner
2.2 Baliziekte Pada Sapi

2.2.1 Baliziekte

Penyakit Baliziekte pertama kali ditemukan pada tahun 1925 Subberink dan Le
Cultre di beberapa tempat di Bali, yang kemudian juga ditemukan di sulawesi, Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Penyakit Baliziekte biasa ditemukan pada
musim kemarau pada sapi Bali, penyebab penyakit ini adalah suatu reaksi
hipersensitivitas fotosensitisasi yang disebabkan oleh tanaman –tanaman : Lantana
camara dan Medicago sp. Tanaman-tanaman ini sangat mudah tumbuh dan mampu
bertahan dalam situasi kering sehingga terkadang menjadi pilihan makanan oleh
ternak sapi yang dipelihara dengan pola penggembalaan. (Bidura, 2017)

2.2.2 Gambar
Lantana camara atau kembang telekan adalah tanaman yang selalu hijau dan
bertahan saat musim kemarau, sementara tanaman lain mengering. Pada daerah
padang gembala bila semua tanaman mengering, maka tanaman ini akan menarik
hewan untuk memakannya. Komponen-komponen beracun tanaman ini yaitu
Lantadene A (LA), Lantadene B (LB), Lantadene C (LC) dan Lantadene D (LD). Di
antara komponen tersebut LA dan LB yang paling toksik. Pada daerah kering,
keracunan Lantana sering dilaporkan bahkan menjadi wabah. Di Indonesia bahkan
pernah dilaporkan terjadi wabah keracunan Lantana pada sapi Bali di Kalawi,
Donggala tahun 1980. (Sobari, 2003)

2.2.3 Lantadene A

Lantadene A (22 β ‐ angeloyloxy ‐ 3 ‐ oxoolean ‐ 12 ‐ en ‐ 28 ‐ oic acid),


senyawa triterpenoid pentasiklik dari daun lantana (Lantana camara) telah diperoleh
dalam dua bentuk polimorfik I dan II. Formulir I memiliki kristal seragam putih,
halus, dan berbentuk batang. Partikel bentuk II tidak beraturan, bersinar, dan
polihedral. Kedua bentuk berbeda dalam perilaku leleh. Difraksi sinar-X serbuk
bentuk I menunjukkan puncak yang tajam sedangkan bentuk II tidak memiliki
puncak yang berbeda. Dari penentuan struktur sinar-X tiga dimensi kristal tunggal,
struktur molekul bentuk I telah ditetapkan. Cincin A / B dan B / C dari molekul
ditransfusi sementara cincin D / E disatukan. Pengemasan molekul distabilkan
dengan ikatan hidrogen. Bentuk I dari lantadene A tidak beracun bagi marmot pada
pemberian oral. Bentuk II menginduksi ikterisitas dan toksisitas yang terkait dengan
penurunan asupan pakan dan keluaran feses, hepatomegali, peningkatan bilirubin
plasma, dan aktivitas asam fosfatase. (Smith, 2000)

2.2.4 Gejala Klinis

(gejala Baliziekte, terlihat kerusakan kulit berupa eksim yang kering kemudian
mengelupas. Luka –luka tersebut muncul secara simetris)

Sapi yang menderita penyakit Baliziekte akan mengalami peningkatan suhu,


pucat, mata berlendir, dan hidung mengalami peradangan. Peradangan pada selaput
lendir akan menjadi luka yang tertutup keropeng. Akan terjadi kerusakan pada kulit
sapi terutama pada bagian tubuh sapi yang tidak ditumbuhi bulu atau pertumbuhan
bulunya jarang dan sering terkena sinar matahari.

Selain itu, bagian kulit sapi yang memiliki sedikit pigmen atau tidak berpigmen
seperti bagian telinga, muka, punggung, perut, paha bagian dalam, pantat. Kerusakan
yang ditimbulkan berupa eksim yang akan mengering, kemudian mengelupas
sehingga meninggalkan luka. (Bidura, 2017)

2.2.5 Patomekanisme

Setelah sapi mengkonsumsi terlalu banyak lantan camara yang bersifat racun
sehingga hati yang mempunyai fungsi untuk mendetoksikasi akan rusak
menghasilkan zat flourosence yang berpengaruh terhadap kulit. Sehingga kulit
menjadi sensitif terhadap sinar matahari saat sapi terkrna sinar matahari kulit akan
semakin gatal dan karena gatal kulit digaruk dengan menggunakan lidahnya, lidah
sapi bersifat keras sehingga menimbulkan luka bahkan sampai kulit terkelupas.
(Sobari, 2003)

2.2.6 Diagnosa Banding

 Penyakit ingusan (coryza ganggrenosabovum)


 MCF (malignan catarhar fever) : keruh kornea
 Jembrana : pada awal penyakit
 Demodekosis : tahap penyembuhan
(Sobari, 2003)

2.2.7 Penanganan

Pencegahan dilakukan dengan tidak memberi pakan yang menyebabkan


photosensitisasi (Medicago, Lantara camara, Hypericium). Sedangkan penanganan
sapi yang terlanjur terkena baliziekte dihindarkan dari sinar matahari, pada kulit yang
terserang dapat diberikan salep zinc oksida, untuk mecegah terjadinya infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik, arang aktif juga dapat diberikan untuk
pencegahan absorbsi toxin, pemberian air minum yang banyak. Pemberian pakan
detoksikasi seperti rambutan dan mentimun, dengan dosis 3 kg rambutan/mentimun
+ 3 sendok makan untuk sapi dewasa dengan berat 125 kg sampai 200 kg selama 3
hari berturut-turut, atau air kelapa dengan dosis 5 butir kelapa. (Bidura, 2017)

Daftar Pustaka

Bidura. 2017. Bahan Ajar Antinutrisi Dan Hijauan Pakan Beracuun Pada Ternak.
Universitas Udayana : Denpasar

Smith, B.L. 2000. Photosensitisation of Herbivores in Australi and New


Zealand.Proceedings No.103. Veterinary Clinical Toxicology. The University of
Sydney, N.S.W. 2006. pp:295-300

Sobari, 2003. Kasus Kematian Sapi Bali di Kabupaten Donggala Akibat Keracunan
Lantana camara. Hamera Zoa. 71(2): 141-146.

Anda mungkin juga menyukai