Mata Kuliah
: Toksikologi Veteriner
Kelompok
: 2 (dua)
Waktu
: 11.30-14.00 WIB
Dosen Pembimbing
B04120038
Tri Agustin
B04120047
Neni Fitriyani
B04120053
Noer Firmansyah
B04120045
B04128008
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Intoksikasi merupakan kejadian yang paling ditakuti oleh manusia jika terjadi pada
manusia itu sendiri maupun pada hewan. Pengetahuan mengenai senyawa-senyawa yang
mengandung toksik sangatlah penting, terutama senyawa yang terkandung didalam bahan
pakan atau pangan. Mekanisme kerja dari senyawa toksik tersebut juga penting untuk
diketahui karena dapat menjadi bahan pemikiran untuk menentukan cara mencegah dan
menanggulagiintoksikasi , maupun mencari tau antidotanya.
Sianida merupakan zat beracun yang mematikan. Efek racun ini
sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu
yang singkat. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan
ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida
dapat
diproduksi
oleh
bakteri,
jamur
dan
ganggan.
Sianida
juga
konvensional atau terapi standar untuk intoksikasi sianida adalah dengan kombinasi senyawa
NaNO2 (natrium nitrit) dan Na2S2O3 (natrium tiosulfat) disuntik secara bergantian dengan rute
intravena (IV).
B. Tujuan
Tujuan praktikum kali ini adalah
TINJAUAN PUSTAKA
Kematian ternak umumnya disebabkan oleh penyakit, baik yang infeksius (berasal
dari mikroorganisme seperti virus dan bakteri) maupun yang tidak infeksius (defisiensi,
keracunan atau yang lainnya). Pada kasus keracunan, hewan dapat mati mendadak (bersifat
akut), atau menderita sakit yang berkepanjangan (bersifat kronis). Hal tersebut tergantung pada
dosis racun yang masuk dalam tubuh hewan, sifat fisik dan kimia racun, lamanya kontak terkena
racun, spesies hewan, umur, ukuran, dan jenis kelamin hewan, serta keadaan fisiologis hewan.
Salah satu racun yang dapat mematikan ternak dan banyak terkandung dalam tanaman pakan
adalah sianida. Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Racun sianida telah
digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Sianida juga banyak digunakan pada saat perang dunia
pertama. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka
waktu beberapa menit.. Mekanisme daya kerja (mode of action) sianida adalah mengahambat
enzim yang berperan didalam respirasi jaringan (cytochrome oksidase) sehingga oksigen tidak
dapat digunakan oleh jaringan (tetap dalam sirkulasi darah). Akibat keadaan tersebut adalah
jaringan kekurangan oksigen (histotoksi hipoksisa atau anoksia) dan sebagai vasokonstriktor.
Sianida yang telah diabsorbsi , sebagian diekskresi melalui paru-paru. Proses detoksikasi sianida
adalah sianida dirubah menjadi thiocyanate (SCN) oleh enzim rhodanase.( Roder 2001)
Hidrogen sianida (HCN) atau prussic acid atau sianida adalah senyawa kimia yang
bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling aktif dalam tubuh sehingga dapat
menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (Yuningsih 2007). Beberapa tanaman yang
mengandung glikosida sianogenik adalah apel, singkong, picung, jagung, rumput Sudan,
dorgum, dan lain-lain). Sumber-sumber sianida lainnya dapat berasal dari berbagai racun ikan,
seperti NaCN dan KCN, pestisida (HCN, Ca(CN 2)), pupuk (Kalsium siananida) dan sisa-sisa
buangan industri. Sianida masuk ke tubuh melalui pernapasan, kulit, dan jumlah terbanyak
melalui saluran pencernaan (Egekeze & Oehme 1980). Gejala klinis yang dapat ditimbulkan
akan tampak beberapa saat setelah hewan ternak terpapar oleh racun ini. Gejalanya antara lain
terjadi peningkatan frekuensi napas (dyspnoe), tremor, ataksia, hewan meronta dan jatuh disertai
konvulsi, pupil berdilatasi, membran mukosa nampak merah cerah disertai salivasi, defekasi dan
urinasi (Widodo 2010).
Mengobati keracunan dilakukan untuk mencegah terjadinya ikatan yang kuat antara
enzim sitokrom oksidase dengan ion sianida. Telah diketahui bahwa ion sianida berikatan dengan
Fe3+, tetapi tidak dengan Fe2+. Dalam tubuh Na-nitrit akan merubah ion Fe2+ pada hemoglobin
menjadi ion Fe3+ (methemoglobin). Methemoglobin ini dapat berikatan dengan CN- membentuk
sian-methemoglobin. Ikatan CN-methemoglobin ini tidak menimbulkan keracunan. Terjadi
kompetisi antara methemoglobin dan sitokrom 97 oksidase untuk mengikat CN, dengan
demikian pengikatan CN oleh sitokrom oksidase menjadi minimal. CN dalam ikatan CNmethemoglobin ini selanjutnya dikeluarkan dengan memberi injeksi Na-thiosulfat. CN
bersenyawa dengan Natiosulfat membentuk tiosianat yang tidak beracun dan mudah dikeluarkan
lewat urin( Widodo 2010)
Prosedur Kerja
PERCOBAAN 1: Mengamati Gejala Klinis Keracunan Sianida dan Memberikan Antidotanya
Alat dan Bahan:
Larutan NaCN/KCN 1%
Larutan NaNO2 1%
Larutan Na2S2O3 5%
Prosedur Kerja:
Kelinci ditimbang untuk menentukan dosis sianida (NaCN 1%) yang akan diberikan
ke kelinci. Larutan NaNO2 1% dan Na2S2O3 5% disediakan dalam spuit sebanyak 2,5 ml. NaCN
1% dimasukkan ke dalam spoit dengan dosis 5-10 mg/kgBB. Gejala-gejala klinis yang timbul
dicatat dan kemudian dengan hati-hati disuntikkan antidotanya secara intravena (dimulai dari
NaNO2 1% kemudian Na2S2O3 5%).
PERCOBAAN 2: Identifikasi CN dalam Tanaman (Uji Kertas Pikrat atau Picrate PaperStrip
Methode)
Alat dan Bahan:
Daun singkong
NaCN 1%
HCl
Tutup gabus
Pemanas air
Prosedur Kerja:
Disediakan tiga buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama diisi dengan aquades dan
diletakkan kertas pikrat pada lubang tabung dan dijepit dengan tutup gabus. Tabung reaksi
pertama ini digunakan sebagai kontrol negatif. Tabung reaksi kedua diisi dengan NaCN 1% +
HCl sambil diletakkan kertas pikrat seperti pada tabung reaksi pertama. Tabung reaksi ketiga
diisi dengan gerusan daun singkong dan diletakkan juga kertas pikrat seperti pada tabung reaksi
pertama dan kedua. Setelah itu, ketiga tabung dipanaskan dalam air panas (water bath). Adanya
sianida ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna kertas pikrat dari kuning menjadi merah
bata.
Hasil
3.1.1
Diketahui :
BB kelinci
: 1,3 kg
Dosis obat
: 5 mg/kg BB
Konsentrasi obat
:1%
V = BB Kelinci x Dosis
Obat
1 g/100 ml
= 1,3 kg x 5 mg/kg
10 mg/ml
= 0,65 ml
Gejala klinis tiga menit setelah pemberian NaCN peroral: pupil berdilatasi, kelinci
menjadi lemas, tremor, depresi, serta frekuensi nafas meningkat dan dangkal.
3.1.2
Tabung
Hasil
(Negatif)
1 (Aquades)
tidak
mengandung
sianida
Warna
Kuning
Merah
Bata
Merah
Gambar 2 (kiri ke kanan) kontrol positif NaCN/KCN 1% + HCl 1 ml (merah), percobaan gerusan
daun singkong (merah bata), kontrol negatif aquades (kuning)
Pembahasan
Asam sianida merupakan senyawa racun yang memiliki mekanisme kerja menghambat
enzim yang berperan dalam respirasi jaringan (enzim sitokrom) dan vaso konstriktor. Kelinci
disuntik NaCN secara intravena yaitu pada vena auricularis menunjukkan gejala pupil
berdilatasi, frekuensi nafas meningkat dan dangkal, kelinci menjadi lemas, tremor, dan depresi.
Keracunan tersebut dikarenakan tidak adanya kecukupan sulfur dalam tubuh kelinci. Sianida
yang berikatan dengan sulfur akan membentuk SCN yang mudah didetoksikasi (Roder 2001).
Pemberian natrium nitrit (NaNO2) bertujuan untuk mengikat hemoglobin menjadi
methemoglobin yang memiliki afinitas lebih besar dibandingkan hemoglobin untuk mengikat
CN. Natrium tiosulfat (Na2S2O3) berperan sebagai donor S sehingga akhirnya akan terbentuk
SCN yang mudah diekskresikan via ginjal. Tahapan ini menyebabkan penyuntikan natrium nitrit
dan natrium tiosulfat harus dilakukan pada waktu yang berbeda (tidak boleh dicampur).
Reaksi kimia:
1. NaNO2 + Hb
Met.Hb (Methylen hemoglobin/ methemoglobinemia)
2. Met. Hb + CN (dari sitokrom oksidase)
Met. Hb CN (tidak toksik)
3. Met. Hb CN
Lepas CN + S (dari Na2S2O3)
SCN (tidak toksik), ekskresi
via ginjal
Selain sebagai antidota kimiawi, Na-nitrit (NaNO2) berfungsi sebagai vasodilatator. Dosis
NaNO2 yang diberikan tidak boleh berlebihan Karena akan menyebabkan keracunan nitrit dan
perubahan Hb menjadi Met. Hb hanya boleh dalam jumlah terbatas (Piska 1981).
Asam sianida juga terdapat pada permukaan daun hingga bagian dermis dari umbi akar
yang terbentuk secara enzimatis dari dua senyawa prekursor (linamarin dan lotaustarin) dimana
kedua senyawa ini jika kotak dengan enzim linamarase dan oksigen dari udara akan
merombaknya menjadi glukosa, aseton, dan asam sianida. Asam sianida merupakan asam yang
mudah larut dan mudah menguap (Roder 2001). Oleh karena itu, dari hasil praktikum diperoleh
kertas pikrat berubah menjadi warna merah bata. Hal ini karena pemanasan daun singkong akan
menguapkan kandungan asam sianida yang akan ditangkap oleh kertas pikrat.
Sianida banyak terkandung pada tanaman. Tanaman yang mengandung sianida antara lain
apel, singkong, picung, jagung, rumput Sudan, sorghum dan lain-lain. Hewan yang memakan
tanaman-tanaman ini dapat keracunan sianida. Ruminansia mempunyai mikroflora dalam rumen
yang mampu merubah senyawa sianogenik pada tanaman menjadi sianida. Gas toksik masuk ke
dalam aliran darah dan menghambat oksigen dilepaskan dari sel darah merah menuju jaringan.
Hewan akan mati karena kekurangan oksigen. Kandungan sianida dalam tanaman dapat
dihilangkan dengan beberapa cara, diantaranya pencacahan, penjemuran, perebusan, dan
pengukusan. Hal ini bisa diterapkan pada peternak sehingga dapat mengurangi risiko keracunan
sianida pada hewan ternaknya.
Kesimpulan
Keracunan sianida dapat menyebabkan frekuensi nafas meningkat dan dangkal, pupil
berdilatasi, kelinci menjadi lemas, tremor, dan depresi. Jika kasus berat dapat menimbulkan
kematian sekiranyatidak ditangani dengan pemberian antidota secara cepat dan tepat. Identifikasi
kandungan sianida dalam tanaman menunjukkan tanaman positif mengandung sianida.
Daftar Pustaka
Piska, Alois. 1981. Veterinary Toxicology. New York: Elsevier Scientific Publishing Company
Putra ED. 2003. Keracunan Bahan Organik dan Gas di Lingkungan Kerja dan Upaya
Pencegahannya. Sumatra Utara : Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Universitas Sumatera Utara.. . [internet].
Alam,
http://repository.usu.ac.id
Rahmawati M et al. 2011. Penuntun Praktikum Toksikologi Veteriner. Bogor: Fakultas
Kedokteran
Hewan, IPB.
http://wahyuwidodo.staff.umm.ac.id
Yuningsih. 2007. Kasus keracunan pada hewan di Indonesia dari tahun 1992-2005. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21-22 Agustus 2007. Pusat penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.