Anda di halaman 1dari 8

Hari, tanggal : Kamis, 14 November 2019

Kelompok : Pagi-4 (Lab Isotop)


Dosen : Dr. Drh. Koekoeh Santoso
Asisten :

OTOT II

Anggota kelompok:

1. Muhammad Nico Ghossani ( B04180069 ) ..................

2. Feri Irawan ( B04180072 ) ..................

3. Lesti Juliska Jesifa ( B04180076 ) ..................

4. Anis Arifatu Mufida ( B04180085 ) ..................

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
OTOT II

PENDAHULUAN
Dasar Teori
Otot merupakan sebuah jaringan dalam tubuh manusia dan hewan yang
berfungsi sebagai alat gerak aktif yang menggerakkan tulang. Otot diklasifikasikan
menjadi tiga jenis yaitu otot lurik, otot polos dan otot jantung. Fungsi otot antara lain
membuat gerakan tubuh, mempertahankan postur tubuh bersama rangka,
menstabilkan hubungan antar tulang, mempertahanakan suhu tubuh, melindungi
jaringan dalam tubuh dan menyimpan sedikit nutrisi. Kontraksi otot dibagi menjadi
kontraksi isometrik dan kontraksi isotonik. Kontraksi isometrik (jarak sama),
besarnya tekanan meningkat saat proses kontraksi, tetapi panjang otot tidak berubah.
Di sisi lain, pada kontraksi isotonik (tekanan sama), besarnya tekanan yang dihasilkan
otot adalah konstan saat kontraksi, tetapi panjang otot berkurang (otot memendek)
(Rahilly 2000).
Otot dapat berkontraksi apabila potensial aksi yang diterima oleh tiap serabut
otot mencapai batas ambang tertentu. Apabila potensial aksi yang sampai di unit
motoris mencapai batas ambang, maka otot akan berkontraksi secara keseluruhan.
Namun apabila potensial aksi tidak mencapai batas ambang, maka potensial aksi
tersebut dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan respon yang signifikan. Hal inilah
yang disebut sebagai hukum All or None pada setiap kontraksi otot (Campbell 2004).
Kontraksi otot dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang menghasilkan suatu
tegangan dalam otot. Biasanya kontraksi itu disebabkan oleh suatu impuls saraf.
Neuron dan serabut-serabut otot yang dilayani merupakan suatu unit motor. Serabut
otot secara individu merupakan satuan struktural otot kerangka, ini bukanlah
merupakan satuan fungsional. Semua neuron motor yang menuju otot kerangka
mempunyai akson-akson yang bercabang, masing-masing berakhir dalam sambungan
neuromuskular dengan satu serabut otot. Impuls saraf yang melalui neuron dengan
demikian akan memicu kontraksi dalam semua serabut otot yang padanya cabang-
cabang neuron itu berakhir (Hickman 1999).

Tujuan

Praktikum bertujuan mempelajari rangsangan subminimal, minimal,


submaksimal, maksimal dan supramaksimal serta kontraksi minimal, submaksimal
dan maksimal yang dihasilkannya; mempelajai terjadinya kontraksi yang berturut-
turut (tetanus) dan kelelahan yang diakibatkan; dan menghitung kerja luar otot
dengan pembebanan di belakang dan pembebanan di muka.

METODE
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sediaan otot saraf (n.
ischiadicus dan m. gastrocnemius) dan larutan garam faali (NaCl 0.65%). Alat yang
digunakan pada praktikum ini adalah kimograf, stimulator, alat pencatat kontraksi,
dan alat pencatat rangsangan (yang terakhir tidak mutlak perlu).

Prosedur Praktikum
A. Pengaruh besarnya rangsangan terhadap kekuatan kontraksi
Sediaan otot saraf disiapkan untuk percobaan pencatatan kontraksi seperti
pada percobaan. Pengatur kecepatan drum diatur pada netral. Kemudian saraf atau
otot dirangsang dengan rangsangan tunggal (single shock). Drum diputar dengan
tangan. Rangsangan diperbesar kemudian diulang kembali rangsangan tunggal dan
geser atau putar drum. Rangsangan diperbesar lagi dan rangsangan tunggal kemudian
geser atau putar drum diulang kembali. Di bawah garis dasar diberi tanda setiap kali
memberi rangsangan jika tidak menggunakan pencatat rangsangan.

B. Kontraksi tetanus dan kelelahan


Rangsangan diatur maksimal atau sedikit di atasnya. Kecepatan kimograf
diatur pada kecepatan 3. Kemudian rangsangan dibuat dengan frekuensi rendah
sampai tinggi sambil melakukan pencatatan. Dapat pula dihentikan dahulu setiap kali
melakukan perubahan frekuensi. Setelah terjadi tetanus komplit, perangsangan
diteruskan sampai kontraksi menurun. Kemudian dihentikan dan diberikan tanda-
tanda seperlunya.

C. Kerja luar otot dengan pembebanan di depan dan pembebanan di belakang


Kecepatan kimograf diatur pada netral. Besar rangsangan diatur sedikit di atas
maksimal. Penahan pencatat kontraksi diatur sedemikian sehingga: Pada
pembebanan dibelakang penahan ini harus menahan pencatat setiap kali penambahan
beban dan pada pembebanan dimuka penahan ini dikendurkan agar otot dapat
terenggang oleh beban sebelum dirangsang. Pencatatan kontraksi dibuat dengan
beban dari 0 - 60 gram. Tinggi pengangkatan beban adalah tinggi kontraksi otot itu
dengan pembebanan dan dapat dihitung sebagai berikut: tinggi kontraksi otot
berbanding tinggi pencatatan kontraksi sama dengan jarak pengumpil ke pengikat
otot berbanding jarak pengumpil ke ujung alat pencatat. Kemudian diberi tanda-tanda
seperlunya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk
bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam
kegiatannya saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara
reseptor dan efektor (Franson 1992).
Tabel 1 Pengaruh besarnya rangsangan terhadap kekuatan kontraksi

Intensitas Rangsangan Voltase Tinggi Kontraksi Keterangan


Subminimal 6 – 10 V 0,3 Kontraksi Subminimal
Minimal 18 V 0,7 Kontraksi Minimal
Submaksimal 20 V 1,5 Kontraksi Submaksimal
Maksimal 23 V 1,9 Kontraksi Maksimal
Supramaksimal 25 V 1,9 Kontraksi Maksimal
Berdasarkan besarnya, rangsangan terbagi atas subminimal, minimal,
submaksimal, maksimal, dan supramaksimal. Setiap rangsangan ini akan
menghasilkan kontraksi dengan kekuatan yang berbeda pada otot. Rangsangan
subminimal merupakan rangsangan terkecil yang belum ada kontraksi satu unit
motoris (Aspinall dan O’Reilly 2004). Data yang kami gunakan adalah data sekunder
yang berasal dari Lab Farmako. Hasil percobaan menunjukkan pada tegangan 6-10 V
sudah terjadi kontraksi yang diasumsikan oleh praktikan sebagai kontraksi
subminimal, sedangkan pada tegangan 0-5 V belum menghasilkan kontraksi.
Seharusnya, rangsangan subminimal terjadi pada tegangan 0-5 V. Namun praktikan
salah mencatat awal terjadinya kontraksi, sehingga terjadi kesalahan pada data.
Percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwasannya pada rangsangan
subminimal tidak ditemukan adanya kontraksi oleh otot m. gastrocnemius. Keadaan
ini disebabkan karena rangsangan subminimal tidak mencapai nilai ambang timbul
potensial aksi, walaupun masih terjadi peristiwa depolarisasi dan repolarisasi (Guyton
& Hall 2006). Fenomena “All or None” menjelaskan jika nilai ambang dapat tercapai,
peningkatan waktu dan amplitudo potensial aksi akan selalu sama, tidak peduli
intensitas dari rangsangan tersebut, sehingga dalam kontraksi all or none hanya ada
dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu serabut otot tidak dapat berkontraksi dan
serabut otot dapat berkontraksi (Irawati 2015).
Rangsangan minimal merupakan rangsangan yang membuat unit motoris
mulai mengalami kontraksi sehingga terjadi kontraksi otot untuk pertama kali (Klein
2013). Hasil percobaan menunjukkan bahwa rangsangan minimal dicapai pada
tegangan 18 V. Rangsangan maksimal adalah rangsangan yang mengakibatkan
seluruh unit motoris pada otot berkontraksi sehingga dengan rangsangan yang lebih
besar, otot tidak dapat mengalami kontraksi lebih lanjut (Campbell et al 2010).
Rangsangan maksimal ditunjukkan dengan garis tertinggi yang dihasilkan pada
kimograf. Apabila voltase rangsangan ditambah, maka tidak akan menghasilkan garis
yang lebih tinggi karena sudah mencapai kontraksi maksimal.
Percobaan kedua yaitu kerja luar otot dengan pembebanan di muka dan
pembebanan di belakang. Data pada Tabel 2 didapatkan dengan merangsang otot
sebesar 15 volt. Nilai kerja luar didapatkan dari hasil perkalian tinggi pencatatan
kontraksi (h) dengan beban. Saat pembebanan di depan ataupun di belakang kerja luar
paling tinggi dilakukan saat beban sebesar 30 gram. Pembebanan di depan
menghasilkan kerja luar yang lebih optimal dibandingkan dengan pembebanan di
belakang sesuai hukum starling.

Tabel 2 Kerja luar otot dengan pembebanan di depan dan di belakang


Di depan Di belakang
Beban
l L Kerja Kerja
(gram) H (cm) h (cm) H (cm) H (cm)
luar luar
1 6 17 1,2 0,42 0,42 0,2 0,07 0,2
2 6 17 1,2 0,42 0,84 0,2 0,07 0,4
4 6 17 1,2 0,42 1,68 0,2 0,07 0,8
5 6 17 1 0,35 1,75 0,2 0,07 1
10 6 17 0,8 0,28 2,8 0,2 0,07 2
20 6 17 0,8 0,28 5,6 0,2 0,07 4
30 6 17 0,6 0,21 6,3 0,2 0,07 6
Percobaan kedua ini dapat mengetahui adanya kontraksi after loaded dan pre
loaded. Kontraksi after loaded adalah peregangan yang diberikan (dengan
penambahan beban) pada saat otot berkontraksi, sedangkan kontraksi pre loaded
adalah peregangan yang diberikan sebelum adanya kontraksi otot (Tortora &
Rerrickson 2007). Cameron (2006) menjelaskan bahwasannya peregangan dengan
beban pada saat terjadinya fase kontraksi akan memiliki hasil kerja luar yang lebih
besar dari pada hasil kerja luar dengan pembebanan sebelum kontraksi, sementara itu
peregangan yang diberikan sebelum kontraksi pada umumnya menyebabkan otot
lebih dulu mengalami kelelahan sebelum kontraksi, hal tersebut menyebabkan
terjadinya pemendekan otot dan bahkan dapat berakibat pada tidak adanya kontraksi
otot. Kerja oleh otot dapat meningkat seiring dengan bertambahnya beban sampai
batas optimal dan setelah itu kerja otot akan menurun.
Data yang telah didapat menunjukkan bahwa kerja optimal pada pembebanan
di depan ada pada pembebanan sebesar 30 gram yang ditandai dengan dengan nilai
kerja luar paling tinggi sebesar 6,3 Newton sementara itu pada pembebanan belakang,
kerja luar paling optimal berada pada pembebanan sebesar 30 gram dengan nilai kerja
luar sebesar 6 Newton. Hasil tersebut juga menunjukkan kerja luar (gaya yang
dikeluarkan untuk mengangkat beban yang diberikan) pada kontraksi after loaded
lebih besar dari pada data pada kontraksi pre loaded, seperti yang telah dinyatakan
oleh Cameron (2006).

Gambar 1 Kontraksi tetanus dan kelelahan


Kontraksi tetani adalah kontraksi yang timbul dari penjumlahan kontraksi
yang berulang-ulang sehingga otot tidak sempat relaksasi dan bila dirangsang pada
frekuensi besar secara progresif, maka setiap serabut mempunyai resistensi yang
berbeda-beda dan menyebabkan bersatunya kontraksi (Guyton 2007).
Berdasarkan data pada grafik, kontraksi inkomplit terjadi di awal pemberian
frekuensi rangsangan dimana kontraksi baru terjadi dan relaksasi masih sempurna,
ditandai dengan masih adanya jarak waktu antar kontraksi. Kemudian terjadi
kontraksi komplit yang merupakan kontraksi kuat dan masa relaksasinya tidak
berlangsung sempurna. Selanjutnya, otot katak mengalami tetani lurus dimana
frekuensi rangsangan dinaikkan, kekuatan kontraksi akan mencapai tingkat
maksimumnya sehingga tambahan peningkatan apapun pada frekuensi diatas titik ini
tidak akan memberi efek peningkatan daya kontraksi lebih lanjut. Hal ini dikarenakan
terdapat cukup ion kalsium yang dipertahankan dalam sarkoplasma otot, bahkan
diantara potensial aksi, sehingga terjadi keadaan kontraksi penuh yang berlangsung
terus menerus tanpa memungkinkan adanya relaksasi apapun diantara potensial aksi
yang kemudian menyebabkan kelelahan pada otot (Guyton 2007).

SIMPULAN
Kontraksi yang terjadi pada otot sangat bergantung pada ransangan yang diterima
otot tersebut, semakin besar rangsangan yang diberikan maka akan semakin besar
pula kontraksi yang dihasilkan. Besarnya kontraksi rangsangan terhadap kekuatan
kontraksi dipengaruhi oleh stimulus ambang. Frekuensi rangsangan yang begitu
tinggi tanpa adanya relaksasi aka menyebabkan otot mengalami kontraksi tetanus.
Untuk menghitung kerja luar otot dengan pembebanan di belakang dan pembebanan
di muka dapat dilakukan dengan menggunakan alat kimograf. Pembebanan di depan
menghasilkan kerja luar yang lebih optimal dibandingkan dengan pembebanan di
belakang sesuai hukum starling.

DAFTAR PUSTAKA

Aspinall V, O’Reilly M. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology.


Bristol (UK): Elsevier.
Cameron JR. 2006. Fisika Tubuh Manusia. Edisi ke-2. Jakarta (ID): EGC.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi Edisi Kelima. Jakarta (ID):
Penerbit Erlangga.
Campbell NA, Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson
RB. 2010. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. Jakarta (ID): Erlangga.
Franson R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Hewan Ternak Edisi 4. Penerjemah:
Srigandono. Yogyakarta (ID): UGM Press.
Guyton JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID): EGC.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Medical Physiology 11th Edition. Philadephia: Elsevier
Saunder.
Hickman CP. 1999. Biology of Animal. Sant Louis: The C.V. Mos by Company.
Irawati L. 2015. Aktifitas listrik pada otot jantung. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2):
596 – 598.
Klein BG. 2013. Cunningham’s Textbook of Veterinary Physiology Fifth Edition.
Missoury (US): Elsevier Inc.
Rahilly. 2000. Anatomi Kajian Ranah Tubuh Manusia. Jakarta (ID): UI Press.
Tortora GJ, Rerrickson B. 2007. Principles of Anatomy and Physiology 11th Edition.
New Jersey: John and Sons.

Anda mungkin juga menyukai