Anda di halaman 1dari 6

Nama: Muhammad Iqbal

NPM: 1902101010033

Kelas: 02

MK: Higiene Makanan

ASAL DARI RESIDU ANTIBIOTIK, HORMON, DIOKSIN, TIMBAL,


FORMALIN PADA DAGING, SUSU, DAN TELUR

Residu adalah segala sesuatu yang tertinggal, tersisa atau berperan sebagai
kontaminan dalam suatu proses kimia tertentu. Residu mungkin dapat berupa
materi yang tersisa setelah proses penyiapan, pemisahan, atau pemurnian, seperti
distilasi, penguapan, atau filtrasi. Istilah ini juga dapat merujuk pada produk
sampingan yang tidak diinginkan dari suatu reaksi kimia. Bergantung pada nilai
kegunaannya, residu tersebut mungkin dapat digunakan kembali dalam proses
lainnya agar menghasilkan produk yang lebih menguntungkan atau hanya sebagai
limbah pengotor yang tidak berguna.
A. Residu Antibiotik pada Telur, Daging dan Susu

Penggunaan antibiotika di peternakan memberikan manfaat bagi hewan


dan peternak, namun dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat jika
pemakaiannya tidak sesuai aturan. Risiko tersebut berupa adanya residu
antibiotika pada daging, susu dan telur akibat penggunaan antibiotika yang tidak
sesuai dengan dosis dan/atau tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal
time). Residu antibiotika adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat
dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari
antibiotika tersebut. Jadi, residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang
tidak berubah, metabolit dan/atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat
diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya,
namun beberapa diketahui lebih toksik. Ancaman potensial residu antibiotika
dalam makanan terhadap kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu (1) aspek
toksikologis, (2) aspek mikrobiologis dan (3) aspek imunopatologis. Menurut
Haagsma (1988), residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam
bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat veteriner,
aspek teknologi dan aspek lingkungan.

Antibiotik yang diberikan peternak kepada hewan sebagai pencegah


penyakit atau disalahgunakan sebagai pendorong pertumbuhan juga dapat
meninggalkan residu. Perilaku menyimpang peternak itu menyumbang
permasalahan kesehatan baru bagi manusia. Ketika antibiotik digunakan tidak
sesuai aturan, maka bakteri yang ada di tubuh hewan akan resisten. Penelitian
dalam Journal Antimicrobial Chemotherapy pada 2004, menjelaskan bahwa
bakteri resisten bisa menyebar melalui limbah, hewan, dan akhirnya ke manusia
lewat rantai makanan. Antibiotik pada hewan akan menjadi residu dan membuat
produk daging, susu, dan telur terpapar bakteri resisten.

Pemakaian antibiotika sebagai pengobatan atau terapi atau sebagai


imbuhan pakan seperti telah disebutkan diatas dapat meningkatkan produksi
ternak sehingga dapat mengejar target yang diinginkan bagi para peternak. Tetapi
disisi lain pemakaian antibiotika dapat menyebabkan beberapa masalah, apabila
pemberian antibiotika tidak beraturan yang dapat menyebabkan residu dalam
jaringan-jaringan atau organ hewan. Residu ini dapat membahayakan bagi
kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, karena dapat menyebabkan reaksi
alergi, reaksi resistensi akibat mengkonsumsi dalam konsentrasi rendah dalam
jangka waktu yang lama.

Susu dapat mengandung residu antibiotik diperkirakan sebagai akibat


pengobatan pada hewan yang mengalami penyakit mastitis. Hal ini disebabkan
karena prevalensi kasus mastitis masih sangat tinggi di Indonesia. Mastitis
disebabkan oleh beberapa kuman yang terkait dengan sanitasi kandang maupun
kondisi ternak yang kurang baik (Bahri dkk, 2005). Adanya residu antibiotika ini
dapat meningkatkan bahaya resistensi bakteri, yang dapat terjadi pada intestinal
manusia dalam jangka waktu tertentu. Ketidakseimbangan mikrobiota yang
terjadi, dapat mengarah pada terjadinya proliferasi dari bakteri berbahaya dan
patogen oportunistik. Kejadian yang lebih buruk yaitu apabila bakteri dalam usus
telah resisten, kemudian berkembang biak dengna jumlah yang cukup banyak,
maka penyakit-penyakit yang disebabkan karena bakteri tersebut akan dapat
menyebabkan kematian karena tidak dapat diobati.

Tindakan pencegahan dan pengendalian residu antibiotik antara lain


kebijakan jenis antibiotik di kedokteran hewan (tidak menggunakan jenis
antibiotik yang digunakan manusia untuk hewan), pengawasan pemakaian
antibiotik, penerapan good practices sepanjang rantai pangan (from farm to table),
penerapan jaminan keamanan pangan di unit usaha pangan asal hewan, serta
pelaksanaan pemantauan dan surveilans residu antibiotik pada pangan asal hewan.

B. Residu Hormon pada Telur, Daging dan Susu

Protein kuning telur disintesis di dalam hati atas pengaruh hormon


estrogen. Estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang berkembang selanjutnya
dibawa oleh darah menuju hati. Asam-asarn amino yang diserap dari pakan di
dalam hati ayam akan dibentuk menjadi protein yang selanjutnya ditransportasi
menuju ovarium dalam proses pernbentukan telur terjadi di magnum yang
merupakan stimulasi dari saluran reproduksi untuk mensekresikan albumen dan
akan terjadi sintesis protein telur. Sintesis protein telur terjadi karena konsentrasi
RNA dan kecepatan sintesis albumen dari granuler tubular meningkat pada saat
pembentukan telur. Albumen padat yang kaya akan mucin disekresikan oleh sel
goblet yang terletak pada permukaan mukosa magnum dan jumlah albumen yang
disekresikan sekitar 40 sampai 50% total albumen telur (Antoni, 2003). Asam
amino yang akan menuju ke protein telur adalah bagian nitrogen, karbon dan
lemak. Bagian nitogen diuraikan menjadi asam urat, urea dan amonia, bagian
nitrogen ini akan dibawa menuju ke ginjal untuk disekresikan, diantaranya untuk
membentuk protein telur. Bagian karbon diuraikan menjadi glikogen otot untuk
menuju ke jaringan telur dan membentuk lemak telur. Bagian telur lemak
diuraikan menjadi lemak tubuh untuk diuraikan lagi menjadi lemak telur
(Widodo, 2002). Hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisa anterior
terdiri dari Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing hormone (LH).
Hormon FSH mempengaruhi pertumbuhan folikel muda menjadi folikel masak.
Selanjutnya hormon FSH juga mempengaruhi sekresi steroid yaitu esterogen dan
progesteron yang dihasilkan oleh sel theca dan sel granulosa, yang penting untuk
pembentukan kuning telur, albumen dan cangkang telur. Hormon LH dapat
mendorong pertumbuhan folikel menjadi folikel praovulasi dan diikuti terjadinya
ovulasi. Hormon progesteron juga berperan dalam pertumbuhan saluran
reproduksi (oviduk) dan proses peletakan telur (Latifah, 2007).

C. Residu Dioksin pada Telur, Daging dan Susu

Dioksin merupakan senyawa kimia yang terbentuk dari proses


pembakaran, termasuk kebakaran pada hutan dan aktivitas gunung berapi. Zat ini
adalah faktor pemicu dari berbagai penyakit serius di antaranya kardiovaskular,
kanker, diabetes, dan endometriosis. Sementara PBDEs dan SCCPs dikaitkan
dengan gangguan fungsi endokrin dan reproduksi. PFOS menyebabkan kerusakan
imun serta sistem reproduksi. masuk ke tubuh manusia lewat makanan, selebihnya
melalui air, udara dan tanali yang kontribusinya kurang dari 10 %. Dosis rata-rata
per hari adalah sekitar 1-3 pglkg bb dari kompotien mirip dioksi~i yang ekuivalen
toksisitasnya dengan 2.3,7,8- tctraclilorodibenzodioxin (TCDD). Selain itu
tlischutk;ln pula baliwa sebagian besar (97,5 %) dioksin dite~iiukan pada daging
sapi, ayam, ikan, telur, susu dan produk olaliannya.

D. Residu Timbal pada Telur, Daging dan Susu

Klobot jagung masih lebih baik dibandingkan dengan rumput lapang.


Namun, dikhawatirkan penggunaan sampah pasar be-rupa klobot jagung sebagai
bahan pakan ternak sapi perah akan mencemari air susu sapi, mengingat sampah
tersebut kemungkinan mengandung cemaran logam berat seperti Pb dan As.
Permasalahan keamanan pangan dari sumber daging diantaranya adalah
banyaknya sapi yangdigembalakan di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
yang dicurigai dagingnya terkontaminasi logam berat dari bahan pakannya yaitu
sampah di lokasi TPA. Pencemaran daging hewan ternak oleh logam berat dapat
menimbulkan bahaya kesehatan pada manusia. Efek gangguan logam berat
terhadap kesehatan manusia tergantung pada bagian mana dari logam berat
tersebut yang terikat dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Beberapa penyakit
yang disebabkan oleh keracunan logam berat adalah anemia, gangguan pada
berbagai organ tubuh dan penurunan kecerdasan.

Sapi-sapi tersebut setelah diteliti dagingnya mengandung residu logam berat,


yakni timbal. Penelitian yang dilakukan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
terhadap sapi di TPA Putri Cempo menunjukkan kandungan timbal tinggi pada
darah, feses, daging, ginjal, hati, dan usus sapi. Mereka memakan sampah organik
dan minum air limbah di TPA. Bahkan setelah peneliti membedah lambung sapi,
tak hanya sampah organik yang menjadi sumber makanan mereka, tapi juga
sampah anorganik seperti plastik. Plastik yang terkonsumsi sapi tidak dapat
dicerna atau dikeluarkan bersama feses. Kadang-kadang malah terbawa saat
eruktasi dan keluar melalui mulut.

Karantina sapi selama tiga bulan nyatanya tak mampu mengeliminasi


residu kontaminan hingga ambang batas toleransi aman konsumsi. Sapi pemakan
sampah tak layak menjadi sumber pangan manusia karena bisa memicu penurunan
kecerdasan anak, pembengkakan hati, dan jadi media penyebaran bakteri serta
virus jahat. “Supaya layak dikonsumsi, sapi pemakan sampah harus dikarantina
enam bulan dengan pakan alami dan terjamin dengan sertifikasi sehat," jelas
Pulung Haryadi, saat itu masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Pangan
Kelautan dan Perikanan, Bantul, dilansir dari Mongabay, Juli 2018. Kandungan
protein dari rumput akan menetralisir timbal dan meluruhkan kontaminan lewat
kotoran atau urin. Terbukti dari hasil penelitian, kandungan timbal berangsur
turun setelah sapi diberi pakan konvensional berupa rumput raja dan konsentrat
komersial.

E. Residu Formalin pada Telur, Daging dan Susu

Karakteristik Formalin, formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran


bahan yangmengandung karbon. Terkandung dalam asap pada kebakaran
hutan,knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi,
formaldehidadihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana
danhidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali
juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia.
Biasanyaformalin ditambahkan pada makanan tersebut untuk menambah
ketahanannya.Secara fisik, bahan makanan yang mengandung formalin dapat
tahan berhari-haritanpa basi.

REFERENSI

Bahri, S., Masbulan, E., Kusumaningsih, A. (2005). Proses praproduksi sebagai


faktor penting dalam menghasilkan produk ternak yang aman untuk
manusia. J. Litbang.Pertanian, 24(1), 27-35.

Budiarsaha, I., dan Sutama, I.K. (2014). Efisiensi Produksi Susu Kambing
Peranakan Etawah. JITV, 19(3): 1-5.

Detha, A. (2014). Pengujian Residu Antibiotik Pada Susu. J. Kajian Vet,


2(2):203-208.

Riti, N., dan Purnawati, D. (2014). Residu Antibiotika pada Pangan Asal Hewan,
Dampak dan Upaya Penanggulangannya. BBVet, Denpasar.
Meutia, N. (2016). Residu Antibiotika dalam Air Susu Segar Yang Berasal dari
Peternakan di Wilayah Aceh Besar. J. Ilmu Ternak, 16(1): 52-56.

Anda mungkin juga menyukai