Anda di halaman 1dari 9

PROFIL HORMON ESTROGEN PADA KELINCI NEW ZEALAND

WHITE SETELAH DISUPEROVULASI DENGAN


FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH) DAN HUMAN CHORIONIC
GONADOTROPIN (hCG)

Zahra Shafa Hudzaifa (1902101010180)


Prof. Dr. drh. Tongku N. Siregar, MP dan Dr. drh. Sri Wahyuni, M.Si.

ABSTRAK
Superovulasi menggunakan follicle stimulating hormone (FSH) dapat memengaruhi
konsentrasi estrogen akibat terjadinya perkembangan dan peningkatan jumlah folikel pada
ovarium. Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan dan fluktuasi konsentrasi hormon
estrogen pada kelinci New Zealand White (NZW) setelah diinduksi superovulasi dengan follicle
stimulating hormone (FSH). Dalam penelitian ini digunakan enam ekor kelinci betina NZW
dewasa dengan bobot badan 2-3 kg dan sudah pernah beranak. Penelitian ini juga menggunakan
satu ekor kelinci jantan NZW. Kelinci dibagi atas dua kelompok perlakuan yakni kelompok
kontrol (NZW1, n=3) diinjeksi dengan 0,2 ml NaCl fisiologis dan kelompok perlakuan yang
diinjeksi dengan FSH (NZW2, n=3). Dosis total NaCl dan FSH masing-masing sebanyak 28 mg
yang dibagi menjadi lima kali penyuntikan secara intramuskulus dengan interval 12 jam selama
tiga hari berturut-turut dengan urutan dosis (mg) yaitu 4:4+4:8+8 mg. Dua puluh empat jam
setelah injeksi FSH terakhir, kelinci NZW2 diinjeksi dengan 100 IU hCG dan dikawinkan dengan
kelinci jantan, sedangkan pada NZW1 kelinci dikawinkan setelah penyuntikan NaCl terakhir
namun tidak diberikan hCG. Koleksi sampel darah dilakukan pada hari ke-1, 3 dan 5 setelah
perkawinan lalu konsentrasi estrogen diukur menggunakan metode Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dan data dianalisis dengan uji T. Hasil penelitian menunjukkan
konsentrasi estrogen pada hari ke- 1, 3, dan 5 pada kelompok NZW 1 dan NZW 2 masing masing
adalah 16.72 ± 2.21 dan 20.22 ± 5.84 pg/ml (P>0.05); 17.66 ± 1.75 dan 12.46 ± 1.35 pg/ml
(P<0.05) serta 16.26 ± 4.06 dan 16.31 ± 8.94 pg/ml (P>0.05). Disimpulkan bahwa terdapat
fluktuasi konsentrasi hormon estrogen pada kelinci NZW setelah disuperovulasi dengan FSH.

Kata Kunci: Kelinci New Zealand White, superovulasi, follicle stimulating hormon, FSH,
estrogen.

1
ESTROGEN HORMONE PROFILE IN NEW ZEALAND WHITE RABBITS
AFTER SUPEROVULATION WITH FOLLICLE STIMULATING
HORMONE (FSH) AND HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hCG)

ABSTRACT
Superovulation using follicle stimulating hormone (FSH) can affect estrogen concentration
due to the development and increase in the number of ovarian follicles. This study aims to
determine the increase and fluctuation of estrogen hormone concentrations in NZW rabbits after
superovulation with FSH hormone. In this study, six NZW female rabbits were used with the
category of having given birth, weighing between 2-3 kg and one NZW male rabbit. Rabbits were
divided into two treatment groups, the control group (NZW1) injected with 0.2 ml of physiological
NaCl, while the group injected with FSH (NZW2) with a total dose of 28 mg. Injections in both
groups were performed five times intramuscularly at 12-hour intervals for three consecutive days.
Physiological NaCl injection in NZW1 and FSH for superovulation of the NZW2 group was first
performed at 20:00 WIB. In NZW2, each injection is given FSH at a dose (mg) of 4:4+4:8+8 mg,
respectively. Twenty-four hours after the last FSH injection, NZW2 was injected with 100 IU of
hCG and mated with males, while in NZW1 mated without hCG administration. Blood samples
were collected on days 1, 3 and 5 after mating and then measured using the Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) technique and data were analyzed by T test. The results showed
estrogen concentrations on days 1, 3 and 5 in groups NZW 1 and NZW 2 were 16.72 ± 2.21 and
20.22 ± 5.84 pg/ml (P>0.05); 17.66 ± 1.75 and 12.46 ± 1.35 pg/ml (P<0.05) and 16.26 ± 4.06 and
16.31 ± 8.94 pg/ml (P >0.05). It was concluded that there were fluctuations in the concentration of
the hormone estrogen in NZW rabbits after induced superovulation using FSH.

Keywords: New Zealand White rabbit, superovulation, follicle stimulating hormone, FSH,
estrogen.

2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Superovulasi adalah metode yang digunakan untuk meningkatkan,
mengembangkan, dan mematangkan folikel di dalam sel ovum. Metode
superovulasi juga dapat meningkatkan jumlah ovulasi sel ovum pada siklus estrus
yang sama (Supriatna, 2018). Superovulasi dilakukan untuk meningkatkan
reproduksi dengan memperoleh anak dengan kualitas genetik yang lebih baik dan
banyak. Penggunaan kelinci sebagai hewan laboratorium lebih disukai karena
karakteristik reproduksinya yang menguntungkan dan biaya
pengembangbiakannya yang rendah (Saratsi et al., 2002).
Hormon yang digunakan dalam metode superovulasi adalah hormon
gonadotropin. Dalam melakukan superovulasi, hormon gonadotropin digunakan
untuk meningkatkan stimulasi pertumbuhan folikel. Hormon yang umum
digunakan adalah follicle stimulating hormone (FSH). Hormon lain yang memiliki
kerja yang mirip dengan follicle stimulating hormone (FSH) adalah pregnant
mare’s serum gonadotropin (PMSG) (Partodihardjo, 1987).
Perlakuan superovulasi menggunakan hormon follicle stimulating hormone
(FSH) memiliki respons yang sangat baik, tetapi karena waktu paruhnya yang
sangat singkat yakni 2-5 jam, maka penyuntikan perlu dilakukan secara berulang
kali. Induksi hormon FSH pada sapi biasanya diawali pada hari ke-7 sampai hari
ke-10 dengan dosis menurun (Djunaedi et al., 2018). Waktu ideal penggunaan
hormon gonadotropin akan memberikan hasil optimum serta efisiensi waktu,
tenaga, biaya, dan penggunaan donor (Liamanu et al., 2018). Di samping itu,
faktor dosis follicle stimulating hormone (FSH) yang diberikan juga memengaruhi
hasil dan efisiensi biaya. Beberapa laporan superovulasi pada kelinci
menggunakan follicle stimulating hormone (FSH) memiliki beberapa variasi dosis
dan jumlah penyuntikan. Zhang et al. (2017) menggunakan dosis sebesar 30
IU/kelinci yang diberikan dalam 6 kali injeksi selama 3 hari berturut-turut.
Kauffman et al. (1998) menyatakan bahwa pemberian 4 hari follicle stimulating
hormone (FSH) pada superovulasi kelinci dapat meningkatkan efisiensi
bioteknologi reproduksi kelinci setelah cryopreservasi embrio. Namun,
Techakumphu et al. (2002) melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah
ovulasi dan folikel yang berkembang pada kelinci New Zealand White (NZW)
yang diinduksi dengan follicle stimulating hormone (FSH) dosis 21, 28, dan 40
mg follicle stimulating hormone (FSH) dengan 5 kali penyuntikan dengan interval
12 jam.
Keberhasilan dalam superovulasi dengan hormon gonadotropin dibuktikan
dengan meningkatnya jumlah anak yang dilahirkan (Nur et al., 2016), konsentrasi
hormon estrogen dan progesteron (Amiruddin et al., 2013), dan peningkatan
jumlah korpus luteum (Siregar et al., 2020). Folikel yang bertumbuh dan
berkembang akibat stimulasi gonadotropin-releasing hormone (GnRH) akan
merangsang pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH) yang selanjutnya akan menstimulasi perkembangan folikel dan
sekresi estrogen. Estrogen kemudian dilepaskan dalam aliran darah hingga hewan

3
akan menampakkan gejala estrus (Suartini et al., 2013). Usqa (2021) melaporkan
bahwa konsentrasi kelinci bunting yang diinduksi dengan pregnant mare's serum
gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG) mengalami
fluktuasi pada tingkatan hari. Konsentrasi tertinggi dicapai pada hari ke-2 pasca
perkawinan, menurun pada hari ke-4 dan kembali mengalami peningkatan pada
hari ke-6 dan ke-8. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang profil
hormon estrogen pada kelinci NZW setelah disuperovulasi follicle stimulating
hormone (FSH) dengan dosis 28 mg dengan lima kali pemberian.

Rumusan Masalah
1. Apakah induksi superovulasi kelinci NZW dengan FSH dan hCG akan
meningkatkan konsentrasi estrogen?
2. Apakah terdapat fluktuasi konsentrasi hormon estrogen kelinci NZW
setelah disuperovulasi dengan hormon FSH dan hCG?

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peningkatan estrogen kelinci NZW setelah induksi
superovulasi dengan FSH dan hCG.
2. Mengetahui fluktuasi konsentrasi hormon estrogen kelinci NZW setelah
disuperovulasi dengan hormon FSH dan hCG.

Hipotesis
1. Terdapat peningkatan konsentrasi estrogen NZW setelah induksi
superovulasi dengan FSH dan hCG.
2. Terdapat fluktuasi konsentrasi hormon estrogen kelinci NZW setelah
disuperovulasi dengan hormon FSH dan hCG.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan pengukuran keberhasilan
program superovulasi pada ternak melalui pengetahuan mengenai gambaran
hormon estrogen setelah superovulasi.

MATERIAL DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di UPT. Hewan Coba, Laboratorium Fisiologi dan
Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh pada bulan November 2022 sampai Januari 2023.

Alat dan Bahan Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang pemeliharaan kelinci
yang sebelumnya sudah dibersihkan dan diberikan larutan desinfektan, botol
minum, tempat pakan, dan tempat pembuangan kotoran. Peralatan lainnya adalah
disposable syringe 1 ml, vacutainer, alcohol swab, microtube, sentrifus, freezer,
microplate, micropipette, ELISA washer, ELISA reader, software MPM-6,
microtip, sealer, handscoon, masker, dan tisu.

4
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam ekor kelinci NZW
betina dan 1 ekor jantan, pakan kelinci 552 sp, air minum, hormon FSH
(Foltropin, Vetoquinol USA, Inc.) 28 mg, hormon hCG (Chorullon HCG) 100 IU,
NaCl fisiologis, dan ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA). Bahan lainnya
adalah kit ELISA Estradiol (DRG International Inc., Germany) yang terdiri atas:
larutan standar 50 µl, sampel 40 µl, antibodi anti-estradiol 10 µl, streptavidin-
HRP 50µl, larutan buffer 300 µl, larutan substrat A 50µl, larutan substrat B 50µl,
larutan standar 25 µl, konjugat enzim 100 µl, larutan pencuci 400 µl, larutan
substrat 100 µl, dan stop solution 50 µl.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan enam ekor kelinci betina NZW dengan kategori
sudah pernah beranak, berat badan antara 2-3 kg dan satu ekor kelinci jantan
NZW. Sebelum perlakuan, kelinci diadaptasikan selama tiga puluh hari pada
kandang yang terpisah (Kanayama et al., 1995). Kelinci diberi pakan serta air
minum secara ad libitum. Kelinci dibagi atas dua kelompok perlakuan (n=3) yakni
kelompok NZW1, sebagai kelompok kontrol, diinjeksi dengan 0,2 ml NaCl
fisiologis dan dikawinkan dengan pejantan sedangkan kelompok NZW2 diinjeksi
dengan FSH dengan dosis total sebanyak 28 mg. Penyuntikan pada kedua
kelompok dilakukan lima kali secara intramuskulus dengan interval 12 jam
selama tiga hari berturut-turut.

Prosedur Penelitian
Superovulasi
Injeksi NaCl fisiologis pada NZW1 dan FSH untuk superovulasi kelompok
NZW2 pertama kali dilakukan pada pukul 20.00 WIB dan diulang tiap 12 jam
sampai injeksi ke-5. Pada NZW2, tiap-tiap injeksi diberikan FSH dengan dosis
(mg) masing-masing adalah 4;4+4;8+8 (Techakumphu et al., 2002). Dua puluh
empat jam setelah injeksi FSH terakhir, kelinci NZW2 diinjeksi dengan 100 IU
hCG dan dikawinkan dengan pejantan, sedangkan pada NZW1 dikawinkan tanpa
pemberian hCG.

Koleksi dan Preparasi Darah


Pengambilan darah pada kelinci menggunakan disposable syringe 1 ml melalui
vena auricularis. Koleksi darah untuk pemeriksaan hormon estrogen dilakukan
pada hari ke- 1, 3, dan 5 setelah perkawinan pada jam yang sama, yakni pada
pukul 08.00 WIB. Analisis hormon estrogen untuk mengetahui profil hormon
estrogen dilakukan dengan metode ELISA.

Pengukuran Konsentrasi Hormon Estrogen


Prosedur pengukuran konsentrasi hormon estrogen dilakukan sesuai manual kit
ELISA estrogen (DRG, International Inc., Germany). Sebelum digunakan, semua
reagen harus dibiarkan pada suhu kamar (18-25°C), selanjutnya disiapkan larutan
standar dengan konsentrasi 25, 50, 100, 250, 500, 1000 dan 2000 pg/ml dan
larutan QC (quality control). Tahap berikutnya dimasukkan ke dalam masing-
masing sumur microplate sebanyak 25µl standar, sampel, dan QC (quality

5
control), ditambahkan 200µl konjugat enzim HRP Estradiol ke dalam setiap
sumur microplate, kemudian dikocok perlahan selama kurang lebih 10 detik, lalu
diinkubasi pada suhu kamar selama 120 menit. Setelah inkubasi, larutan pada
microplate dibuang dan dicuci dengan larutan pencuci (washing solution) dengan
volume 300µl setiap sumur. Setelah pencucian selesai, microplate dikeringkan
dengan cara dibanting secara perlahan pada kertas penyerap (absorbant paper).
Selanjutnya, ditambahkan 100 µl larutan substrat (TMB substrate) pada masing-
masing sumur plate, lalu diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruangan. Setelah
inkubasi dengan larutan substrat, reaksi enzimatis dihentikan dengan
menambahkan 50µl stop solution ke dalam setiap sumur plate. Setelah itu, nilai
absorbansi dibaca pada panjang gelombang 450 nm menggunakan ELISA reader
yang telah dilengkapi dengan program MPM6. Pembacaan dilakukan tidak lebih
dari 10 menit setelah penambahan stop solution.

Analisis Data
Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji T dan profil hormon estrogen akan
disajikan dalam bentuk gambar (grafik).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi hormon estrogen pada kelinci NZW kelompok kontrol yang


diinjeksi dengan 0,2 ml NaCl fisiologis (NZW1) dan kelompok yang diinjeksi
follicle stimulating hormone (FSH) dengan dosis total sebanyak 28 mg (NZW2)
pada hari ke-1, 3 dan 5 disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Rata-rata (±SD) konsentrasi estrogen kelinci NZW (pg/ml) pada kelompok kontrol (NZW1) dan
kelompok perlakuan dengan FSH (NZW2) yang diukur pada hari ke-1, 3 dan 5.

Hari Estrogen (pg/ml)


Pengukuran NZW1 NZW2
1 16.72±2.21 20.22±5.84
3 17.66±1.75 12.46±1.35
5 16.26±4.06 16.31±8.94

Tabel.1 dan Gambar.1 menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi hormon


estrogen pada hari ke-1, ke-3, dan ke-5 pada kelinci NZW1 dan NZW2.
Konsentrasi estrogen pada kelinci NZW1 dan NZW2 hari ke-1 sebesar 16.72 ±
2.21 pg/ml dan 20.22 ± 5.84 pg/ml, menunjukkan bahwa kadar estrogen kelinci
NZW1 dan NZW2 pada hari ke-1 secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05).
Konsentrasi estrogen pada kelinci NZW1 dan NZW2 pada hari ke-3 sebesar 17.66
± 1.75 pg/ml dan 12.46 ± 1.35 pg/ml, dan secara statistik berbeda nyata (P<0.05),
namun kadar estrogen pada hari ke-5 pada kelinci NZW1 dan NZW2 masing-
masing adalah 16.26 ± 4.06 pg/ml dan 16.31 ± 8.94 pg/ml, menunjukkan bahwa
kadar estrogen kelinci NZW1 dan NZW2 pada hari ke-5 secara statistik tidak
berbeda nyata (P>0.05). Meskipun nilai rata-rata antara NZW1 dan NZW2 pada
tabel terlihat berbeda, namun besarnya standar deviasi menyebabkan hasil uji
statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Variasi standar deviasi yang

6
besar pada NZW2 dapat menunjukkan variasi yang besar antara individu. Salah
satu variasi individu yang dapat menjadi penyebabnya adalah kelinci pada NZW2
kemungkinan berasal dari galur (prolifikasi) yang berbeda.
25

20
Konsentrasi estrogen (pg/ml)

15
NZW2
NZW1
10

0
Hari 1 Hari 3 Hari 5

Gambar 1. Grafik profil estrogen kelinci NZW (pg/ml) pada kelompok NZW1 dan NZW2. Pengukuran
konsentrasi dilakukan pada hari ke- 1, 3 dan 5 setelah perlakuan.

Konsentrasi estrogen tertinggi dalam penelitian ini adalah sebesar 20,22 pg/ml
yaitu pada kelinci NZW2 yang diukur pada hari ke-1. Pada penelitian ini
didapatkan konsentrasi hormon estrogen yang cenderung berfluktuasi sesuai
dengan peningkatan usia kebuntingan. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Syafruddin et al. (2022) bahwa hormon estrogen pada kelinci lokal mengalami
fluktuasi setelah superovulasi sebesar 79,09 ± 5,28; 24,80 ± 5,15; 51,66 ± 9,93;
dan 77,60 ± 19,85 pg/ml pada hari ke- 2; 4; 6 dan 8. Fluktuasi konsentrasi
estrogen bertahan dalam dua hari sebelum dan setelah konsentrasi puncak. Dari
profil hormon estrogen ini ditemukan konsentrasi yang meningkat dan bertahan
beberapa hari, kemudian mengalami penurunan dan mengalami peningkatan
kembali dalam beberapa hari.
Estrogen yang disekresikan dengan jumlah meningkat oleh folikel yang sedang
mengalami pertumbuhan merupakan suatu sinyal hormonal ke uterus yang
mengakibatkan endometrium menebal (Campbell et al., 2004). Dalam hal ini
folikel dominan yang memiliki kandungan estrogen dan inhibin disertai dengan
konsentrasi yang tinggi akan memiliki hubungan dengan menekannya konsentrasi
FSH di salam sirkulasi darah (Hafizuddin et al., 2012). FSH ikut berperan dalam
merangsang folikel tersier di ovarium agar tumbuh membentuk folikel de Graaf,
lapisan sel granulosa dan sel teka interna di folikel de Graaf akan menghasilkan
estrogen. Semakin matang maupun semakin besar ukuran diameter folikel de
Graaf, maka semakin meningkat juga produksi estrogen (Narulita et al., 2017).
Sedangkan pada awal fase folikular, kadar estradiol yang rendah di dalam darah
menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi FSH dan menyebabkan hanya
folikel dominan yang akan matang (Neal, 2005).

7
Perbedaan konsentrasi puncak hormon estrogen yang terjadi mungkin dapat
juga disebabkan karena adanya faktor lingkungan, seperti adanya kehadiran
hewan jantan pada periode awal pengamatan. Hal tersebut dapat meningkatkan
rangsangan terhadap pembentukan hormon estrogen. Setelah hewan betina
dipisahkan dengan hewan jantan maka tidak ada lagi pengaruh luar sehingga
peningkatan hormon estrogen hanya atas pengaruh fisiologi hewan itu sendiri
(Nalley et al., 2011).

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
terdapat fluktuasi konsentrasi hormon estrogen pada kelinci NZW setelah
disuperovulasi dengan follicle stimulating hormone (FSH) dan human chorionic
gonadotropin (hCG).

Saran
Penelitian berikutnya perlu dilakukan dengan menggunakan dosis FSH dan
hCG yang tepat dalam menginduksi superovulasi.

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin., Siregar, T.N., Armansyah, T., Hamdan., Arismunandar dan Rifki, M.
(2013). Level steroid sapi Aceh yang diinduksi dengan pregnant mare’s serum
gonadotropin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Jurnal
Kedokteran Hewan, 7(2): 120-124.
Campbell, N.A., Reece, J.B. dan Mitchell, L.G. (2004). Biologi Edisi Kelima-Jilid
3. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Djunaedi, M., Handarini, R. dan Zamanti, D. (2018). Efektivitas penyuntikan FSH
secara subkutan dan intramuscular terhadap respon superovulasi sapi Simental.
Jurnal Peternakan Nusantara, 4(1): 41-50.
Hafizuddin., Siregar, T.N. dan Akmal, M. (2012). Hormon dan perannya dalam
dinamika folikuler pada hewan domestic. Jurnal Edukasi dan Sains Biologi,
1(1): 21-24.
Kanayama, K., Nariai, K., Sankai, T. and Endo, T. (1995). Superovulation
induction by human menopausal gonadotrophin in rabbits. Journal of
Veterinary Medicine Science, 57(3): 543-544.
Kauffman, R.D., Schmidt, P.M., Rall, W.F. dan Hoeg, J.M. (1998).
Superovulation of rabbits with FSH alters in vivo development of vitrified
morulae. Theriogenology, 50(7): 1081-1092.
Liamanu, S., Ngangi, L.R., Turangan, S.H. dan Manopo, J.H. (2018). Respon
ovarium sapi Limousine dan Simmental terhadap induksi follicle stimulating
hormone. Jurnal Zootec, 38(2): 396-406.
Nalley, W.M.M., Handarini, R., Rizal, M., Arifantini, R.I., Yusuf, T.L. dan
Purwantara, B. (2011). Penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran sitologi
vagina dan profil hormon pada rusa timor. Jurnal Veteriner, 12(2): 98-106.

8
Narulita, E., Prihatin, J., Anam, K. dan Oktavia, F.A.R.H. (2017). Perubahan
kadar estradiol dan histologi uterus mencit (Mus musculus) betina dengan
induksi progesteron sintetik. Biosfera: A Scientific Journal, 34(2): 117-122.
Neal, M.J. (2005). At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Nur, N.A., Siregar, T.N., Hamdan., Nasution, I., Thasmi, C.N. dan Dasrul. (2016).
Pengaruh pemberian PMSG dan hCG terhadap peningkatan jumlah kelahiran
hamster Campbell (Phodopus campbell). Jurnal Medika Veterinaria, 10(1): 59-
61.
Partodihardjo, S. (1997). Ilmu Reproduksi Hewan. Edisi ke-3. Mutiara Sumber
Widya, Jakarta.
Saratsi, A., Tsiligianni, T., Besenfelder, U., Anastasiadis, A., Vainas, E. dan
Brem, G. (2002). Induction of multiple ovulation in rabbits Fliamanuusing
PMSG dan hCG. Journal of the Hellenic Veterinary Medical Society, 53(3):
228-236.
Siregar, I.K., Siregar, T.N., Akmal, M., Wahyuni, S., Nazaruddin dan Hafizuddin.
(2020). Efek pemberian ekstrak pituitary sapi terhadap peningkatan jumlah
folikel ovarium dan konsentrasi estradiol pada tikus putih (Rattus norvegicus).
Livestock and Animal Research, 18(2): 171-189.
Suartini, N.K., Trilaksana, I.G.N.B. dan Pemayun, T.G.O. (2013). Kadar estrogen
dan munculnya estrus setelah pemberian Buserelin (agonis GnRH) pada Sapi
Bali yang mengalami anestreus postpartum akibat hipofungsi ovarium. Jurnal
Ilmu dan Kesehatan Hewan, 1(2): 40-44.
Syafruddin, S., Wahyuni, S., Gholib, G. dan Siregar, T. N. (2022). Comparison of
four methods of inducing pseudopregnancy in rabbits. Medicine
Weterinariya, 78(2):85-90.
Techakumphu, M., Numchaisrika, P., Suktrakun, V., Phanitkitcharoen, S.,
Kaewnanuer, A. dan Suwajanakorn, S. (2002). Superovulation responses in
rabbits to different does of follicle stimulating hormone. Thai Jurnal of
Veterinary Medicine, 32(2): 53-58.
Usqa, A.N. (2021). Level estrogen dan progesteron kelinci lokal bunting semu
yang diinduksi dengan PMSG dan hCG. Skripsi. Program Studi Pendidikan
Dokter Hewan. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Zhang, H., Cheng, G.H., Li, Y.J., Cai, M.Y., Guo, H.Y. dan Qin, K.L. (2017).
Superovulation and expression of follicle-stimulating hormone receptor in
young rabbits females. World Rabbits Science, 25(2): 167-172.

Anda mungkin juga menyukai