Anda di halaman 1dari 4

ABSTRAK 1.

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi siklus estrus dan profil hormon


estrogen dan progesteron induk sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi silangan
Simmental-Peranakan Ongole (SimPO). Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan
termasuk masa prakondisi selama 2bulan. Menggunakan 5 ekor induk sapi PO
dan 5 ekor induk sapi SimPO. Pemberian pakan hijauan dan pakan penguat
diberikan secara optimum, begitu pula dengan penyediaan air minum untuk
mempertahankan skor kondisi tubuh antara 3,0-3,5. Induk sapi diikuti siklus
birahinya sampai 3 siklus, gejala birahi dilihat dengan pengamatan visual yaitu
dengan munculnya gejala-gejala birahi. Pengambilan plasma darah dilakukan
pada hari ke 18 sampai21 (hari ke 0 siklus berikutnya) dilanjutkan setiap 6 hari
sampai hari ke 18. Analisis konsentrasi hormone progesteron dan estrogen
menggunakan ELISA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi
panjang siklus estrus antara individu baik pada induk sapi PO maupun sapi
SimPO, namun rataan panjangnya siklus estrus berada pada kisaran normal
yakni sapi PO 19,92 ± 1,13 hari dan sapi SimPO 18,60 ± 1,34 hari. Kadar hormon
progesteron pada hari menjelang estrus berada pada konsentrasi tinggi dan
menurun pada saat estrus baik pada induk sapi PO maupun sapi SimPO.
Sedangkan hormon estrogen pada induk sapi PO terjadi peningkatan pada hari
ke 18 – 20 dalam siklus estrus, pada sapi SimPO pada hari ke 18 dan puncaknya
pada hari ke 21.

Siklus Estrus (Batseba M.W. Tiro, Siska Tirajoh, Petrus A. Beding, Endang
Baliarti). Jurnal Pertanian Agros Vol. 22 No.2, Juli 2020: 105 -112.
file:///C:/Users/Agroindustri/Downloads/1119-2340-1-SM.pdf
ABSTRAK 2.
Pemantauan fisiologis terhadap pulihnya ovarium untuk dapat beraktivitas
kembali post partum telah dilakukan dengan menggunakan 54 ekor ternak sapi
perah Frisian Holstein (FH) multiparus. Ternak terkelompok menjadi 2 populasi;
sebanyak 23 ekor ternak mendapat pakan dan minum ad libitum serta tambahan
konsentrat engan perbandingan 1:2 untuk konsentrat dan produksi susu (K1),
dan sebanyak 31 ekor ternak mendapat perlakuan serupa dengan K1 dan diberi
tambahan pakan suplemen UMMB sebanyak 300 g/ekor/hari mulai dari 1 bulan
menjelang kelahiran hingga 2 bulan post partum (K2). Layanan IB pada ternak
K2 didasarkan pada informasi hasil pemantauan hormon progesteron sedangkan
pada K1 didasarkan pada pengamatan birahi secara konvensional atau visual.
Pengamatan fisiologis ovarium dilakukan dengan mengukur konsentrasi
progesteron dalam susu yang dimulai dari 1 bulan prepartum hingga 2 bulan
post partum. Pemberian pakan suplemen memberikan pengaruh yang nyata (P <
0.01) terhadap kembali berfungsinya ovarium post partum. Tenggang waktu
antara kelahiran dan ovulasi I post partum, antara kelahiran dan IB I, antara
kelahiran dan kebuntingan, serta jarak antara dua kelahiran masing-masing
untuk ternak K1 dengan K2 adalah: 99,2 ±10,2 vs 55,5±4,6 hari; 136,1±6,9 vs
96,7±13,6 hari; 198,7±14,9 vs 103,0±3,0 hari; dan 403,8±7,7 vs 371,3±15,6 hari.
Selain itu, aplikasi teknik RIA progesteron dan pemberian pakan suplemen
memberikan perbaikan dari kinerja reproduksi ternak sapi perah secara
keseluruhan yang ditandai dengan jumlah IB per kebuntingan (service per
conception; S/C), masing-masing untuk ternak K1 dengan K2, yaitu 3,4 vs 2,3.
Keadaan ini menunjukkan bahwa aplikasi teknik RIA progesteron dapat
meningkatkan efisiensi layanan IB dan pakan suplemen dapat memperpendek
tenggang waktu antara kelahiran hingga kebuntingan berikutnya (days open)
ternak sehingga waktu antar kelahiran pada ternak sapi perah dapat
dipersingkat.
Penggunaan Konsentrasi Hormon Progesteron Untuk Deteksi Status Reproduksi
Ternak Sapi Perah Post Partum.
file:///C:/Users/Agroindustri/Downloads/528-886-1-SM.pdf
ABTRAK 3.
Sapi merupakan ternak ruminansia yang sangat potensial di Indonesia. Setiap
induk ternak mempunyai tiga kemungkinan status reproduksi yaitu: berada
pada kondisi kesuburan yang normal, kondisi kemajiran yang ringan atau
infertil, kondisi kemajiran yang tetap atau steril. Infertilitas adalah keadaan
dimana derajat kesuburan ternak menurun yang disebabkan oleh adanya
gangguan organ reproduksi. Infertil sifatnya sementara dan masih dapat diobati
dan bila pengobatan berhasil maka masih dapat bereproduksi kembali.
Kemajiran dengan derajat yang berat sifatnya permanen atau steril yaitu
berhentinya proses reproduksi secara penuh dan tidak dapat diobati. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan kemajiran pada ternak khususnya sapi, yang
mayoritas merupakan gangguan hormonal terutama hormon reproduksi yang
menimbulkan gejala seperti silent heat (birahi tenang) dan subestrus (birahi
pendek) disebabkan oleh rendahnya kadar hormon estrogen. Sedangkan untuk
kasus delayed ovulasi (ovulasi tertunda), anovulasi (kegagalan ovulasi) dan kista
folikuler disebabkan oleh rendahnya kadar hormon gonadotropin (FSH dan LH).
Gangguan hormonal tersebut dapat terjadi pada indukan sapi perah berproduksi
susu tinggi serta akibat adanya endometritis yang berasal dari kelahiran yang
tidak normal, seperti: abortus, retensi sekundinarum, kelahiran premature,
kelahiran kembar, distokia, ataupun perlukaan saat melakukan pertolongan
kelahiran. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menanggulangi gangguan
reproduksi sapi serta dapat memperbaiki performa reproduksi sapi dengan
melihat peningkatan angka kejadian birahi pada kelompok ternak di Desa
Babakan Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.

Pemberian Vitamin Sebagai Penanganan Gangguan Reproduksi Saapi Desa


Babakan Kabupaten Malang.
https://jnt.ub.ac.id/index.php/jnt/article/view/35
ABSTRAK 4.
Sinkronisasi pada domba ekor tipis adalah secara intramuscular (IM) Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui Respons estrus, Intensitas estrus, Onset
estrus dan keberhasilan kebuntingan dalam pemberian hormon prostaglandin
yang dikombinasikan dengan hormon GnRH pada domba ekor tipis. Penelitian
ini menggunakan sampel sebanyak 16 ekor dengan kriteria umur 2 sampai 3
tahun, minimal sudah beranak 1 kali, bobot badan 20-30 kg. penelitian ini
menggunakan 4 perlakuan dan 4 pengulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu
perlakuan control yaitu dengan pemberian hormon PGF2α 1 ml. Perlakuan 1
yaitu dengan pemberian hormon PGF2α 1 ml dan GnRH 0,5 ml. Perlakuan 2 yaitu
dengan pemberian hormone PGF2α 1 ml dan GnRH 1 ml. Perlakuan 3 yaitu
dengan pemberian hormon PGF2α 1ml dan GnRH 1,5 ml. Analisis data yang
digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis staistik ANOVA. Deteksi estrus,
intensitas estrus, onset estrus dilakukan pengamatan visual, perkawinan
dilakukan dengan cara Inseminasi Buatan dan pemeriksaan kebuntingan dengan
menggunakan deteksi kebuntingan H2so4. Hasil pengamatan berupa persentase
respon estrus, keberhasilan kebuntingan ditabulasikan kemudian
dideskripsikan, onset estrus dan lintensitas estrus data dianalisa dengan statistik
ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan sangat nyata dalam
penggunaan dosis berbeda, hal ini mampu mempengaruhi omset estrus 0,00
(P<0.01), dan juga terdapat perbedaan nyata (P<0.05) pada intensitas estrus. Hal
ini berpengaruh pada tingkat keberhasilan kebuntingan, dimana semakin bagus
kualitas estrus maka semakin tinggi tingkat keberhasilan kebuntingan pada
domba yang di lakukan sinkronisasi estrus. Perlakuan dosis terbaik terdapat
pada perlakuan 3 (P3) dengan dosis GnRH sebanyak (1,5 ml).

Pengaruh Dosis Hormon Gonadotropin Releasing Hormon pada Metode


Ovsynch Protocol Terhadap Kualitas Estrus dan Tingkat
Keberhasilan Kebuntingan pada Domba Ekor Tipis
file:///C:/Users/Agroindustri/Downloads/1180-2843-2-PB.pdf

Anda mungkin juga menyukai