Anda di halaman 1dari 8

Nama

: Lola Adriana N.

NIM

: O11114003

Mata Kuliah : Ilmu dan Teknonologi Reproduksi Ternak


Kelainan-Kelainan Reproduksi yang Dipengaruhi Hormon dan Cara Penanganannya
Hewan Jantan
1. Atropi Kelenjar Testis (Hypopituitarisme)
Atropi Kelenjar Testis adalah suatu kelainan dimana testis mengalami pengecilan
sehingga mengalami penurunan fungsi. Kondisi ini sangat bervariasi dari satu jenis
ternak ke ternak lainnya sebagai akibat dari kegagalan kerja kelenjar hipofisa bagian
anterior. Atropi dapat disebabkan karena faktor stres pada ternak jantan dalam waktu
yang cukup lama dan juga bisa disebabkan adanya gangguan pada pada kelenjar
endokrin . Ternak yang menunjukan gejala atropi testis ini akan ditandai oleh
penurunan libido seksual dan produksi semen, sehingga ternak ini akan menjadi steril.
Pemberian hormon testosteron akan dapat mengembalikan keadaan libido ke normal
(Anonim, 2014).
2. Hipogonadism
Hipogonadisme adalah kondisi klinik yang ditandai dengan rendahnya
konsentrasi hormon testosteron. Hipogonadisme disebabkan oleh fungsi sel Leydig
sebagai penghasil testosteron yang tidak mencukupi (Rahayu, 2011). Hipogonadism
adalah suatu keadaan dimana testis mempunyai aktivitas yang rendah, disertai
penurunan hormon testosteron, pada kondisi ini besarnya testis tidak selalu berkurang,
namun demikian ternak tersebut akan selalu dalam keadaan steril (Anonim, 2014).
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat hipogonadisme antara lain atropi dan
kelemahan otot, osteoporosis, menurunnya densitas tulang, fungsi seksual, dan
meningkatnya massa lemak serta gejala lain yang sama pada usia muda (Rahayu,
2011).
Penanganannya dapat berupa pemberian hormon androgen yang dapat
mengembalikan daya reproduksi yang normal pada ternak yang sakit (Anonim, 2014).
3. Hipergonadism
Hipergnadism adalah suatu keadaan dimana ternak jantan menunjukan gejala
aktivitas yang berlebihan dari testisnya, dengan memproduksi testosteron yang
berlebihan. Ternak akan menunjukan libido yang besar dan selalu berusaha mencari
ternak betina. Penanganannya dapat berupa terapi hormone testosteron.

Hewan Betina
1. Hipofungsi Ovarium
Frost et al (1981) menyatakan bahwa hipofungsi ovarium atau ovarium yang
kurang aktif adalah suatu keadaan dimana ovariumnya tidak terjadi pertumbuhan
folikel dan korpus luteum serta dengan permukaan yang licin sehingga daya kerjanya
menurun dari normal. Hal ini dialami oleh sapi-sapi dara dan sapi-sapi dewasa setelah
partus atau setelah diinseminasi, tetapi tidak terjadi konsepsi. Akibatnya tidak muncul
birahi karena folikel tidak berkembang (anestrus) setelah gagalnya kelenjar hipofise
anterior mensekresikan Follicle Stimulating Hormon (FSH) dalam jumlah yang cukup
untuk pertumbuhan dan pembentukan folikel di ovarium.
Semua faktor ini akan menyebabkan rendahnya sekresi Gn-RH dihipothalamus
dan rendahnya sekresi FSH dan LH di hipofisa anterior yang akan menyebabkan
folikel ovarium tidak berkembang dan hewan tidak menunjukkan estrus. Toelihere
(1997) menyatakan bahwa hipofungsi ovarium pada ternak sapi periode postpartum
disebabkan oleh karena kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal sehingga
terjadi anestrus atau birahi tenang (silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi.
Pada keadaan hipofungsi ovarium, ukuran ovarium nampak normal namun
permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal. Kondisi semacam ini menandakan
bahwa pada ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel maupun korpus luteum.
Penanganan hipofungsi biasanya dengan penggunaan preparat hormon dan
vitamin. Pemberian estrogen dalam kadar yang rendah dapat menyebabkan
peningkatan output FSH dan perkembangan folikel. Sedangkan menurut Toelihere et
al. (1980), pemberian progesteron akan memberi umpan balik negatif yang akan
menghambat pengeluaran hormon gonadotropin untuk sementara waktu, sehingga
pada saat pengaruh progesteron hilang dalam satu sampai dua hari maka hipofisis
anterior memproduksi lebih banyak gonadotropin, sehingga akan menggertak ovarium
dan mengakibatkan terjadinya pembentukan, pertumbuhan dan pematangan folikel.
Gejala birahi dan ovulasi yang timbul merupakan tanda ovarium berfungsi dan
kembali bekerja normal.
2. Sista ovarium (ovaria, folikuler dan luteal)
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi
cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya sista
ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH) (Rahayu,
2007).

Sistik ovari merupakan salah satu penyebab kegagalan reproduksi yang serius
pada sapi. Sistik ovari umumnya menyerang sapi perah, tetapi dapat juga diternukan
pada sapi potong. Menyerang sapi-sapi dan yang sudah pubertas sampai senilitas.
Terjadinya mengikuti waktu kelahiran anak yang ke 2 ke 5 atau pada umur 4,5 - 10
tahun. Biasanya terbentuk pada bulan ke 1 - ke 4 pospartum, dengan waktu puncak
pada hari ke 15 ke 45 posparturn (Akhyar, 1987).
Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem social dan diet
protein. Adanya sista tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak
berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi
sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan
menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi sapi menjadi anestrus atau malah
menjadi nymphomania (kawin terus).
Gejala klinis sistik ovari adalah nimphomania (berahi terus-menerus), keinginan
seksual yang hebat dan atau anestrus (tidak berahi). Terlihat adanya relaksasi dan
liganentum sakroischiadikurn, odema vulva dan peningkatan besar uterus, Pangkal
ekor terangkat keatas dan tulang pelvis menurun serta melenguh seperti sapi jantan.
Penanggulangan sistik ovari harus didasarkan pada pengembangan korpus
1uteurn yang berfungsi secara normal, sehingga dapat dilakukan dengan pemecahan
sista, penyuntikan preparat LH atau pencegahan pelepasan LH yang terus menerus
dengan penyuntikan progesterone.
Berdasarkan kejadiannya sista ovaria dibagi menjadi sista folikuler, sista luteal
dan sista korpora luteal (Ilman, 2009):
a. Sista folikuler
Merupakan sekumpulan folikel yang tidak mengalami ovulasi disebabkan
karena rendahnya hormone LH. Jumlah sista bisa satu atau lebih pada salah
satu ovarium atau keduanya. Gejala sista folikuler adalah estrus terus menerus
( nimfomania ) jika sistanya banyak atau anestrus jika sistanya sedikit dan
sifatnya anovulotorik. Jika kejadian nimfomania menjadi kronis bisanya
menyebabkan sterility hump. Pada pemeriksaan per rectal terhadap ovarium
akan teraba permukaan halus, diameter > 2,5 cm, dinding tipis dan jika ditekan
ada fluktuasi. Terapinya dapat dilakukan dengan cara enukleasi dan pemberian
hormone LH atau HCG. Atau pemberian prostaglandin (jika hewan tidak
bunting)

b. Sista luteal
Terbentuk karena folikel mengalami luteinisasi akibat peningkatan LTH secara
mendadak. Kejadian sista luteal biasanya tunggal pada ovarium dan sering
terjadi pada sapi perah yang produksinya tinggi. Gejala sista luteal
mampu berovulasi ). Pada pemeriksaan per rectal terhadap ovarium teraba
diameter > 2,5 cm, permukaan antara ovarium dan luteal berbatas jelas,
dindingnya tebal dan jika ditekan terasa kenyal. Terapinya dengan pemberian
PGF2 atau dengan cara enukleasi terhadap sista luteal atau Suntik HCG/LH
(Preynye, Nymfalon) secara intramuskuler sebanyak 200 IU.
c. Sista korpora luteal
Sista yang terbentuk dari folikel yang telah berovulasi kemudian mengalami
luteinisasi sebagian sehingga ada bagian tengah yang berongga dan berisi
cairan., biasanya tunggal pada salah satu ovarium. Pada dasarnya kondisi ini
mempunyai siklus normal, estrus dan ovulasi serta fertilisasi dapat terjadi
namun kondisi konsepsi tidak dapat dipertahankan karena progesterone dalam
darah rendah. Manifesti dari sista korpora luteal ditandai dengan adanya kawin
berulang. Pada palpasi per rectal ovarium teraba kenyal jika ditekan, diameter
besar > 2,5 cm dan berdinding tebal. Terapinya dengan PGF2 jika tidak
terjadi kebuntingan. Atau dengan injeksi PGH 7,5 mg secara intra uterina atau
2,5 ml secara intramuskuler. Selain itu juga dapat diterapi dengan PRID/CIDR
intra uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan
birahi
Seguin, Convey dan Omender (1976) membuktikan bahwa penyuntikan GnRH
dosis tunggal antara 50-250 ug secara intramuskular memberikan hasil yang baik.
Begitu juga penyuntikan Human Chorionic Gonadotropin (HCG) 10.000 IU dosis
tunggal secara intramuskujar memberikn efek kuratif yang baik.

3. Subestrus dan Silent Heat


Subestrus merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung
singkat/ pendek (hanya 3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang
merupakan suatu keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun
tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas. Penyebab kejadian ini diantaranya:

rendahnya estrogen (karena defisiensi karotin, P, Co, Kobalt dan berat badan yang
rendah ). Silent heat (birahi tenang) merupakan ovulasi yang tidak diikuti dengan
timbulnya gejala estrus. Tatapi, biasanya estrus pertama post partum secara normal
terjadi tanpa perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor estrogen akibat dari
rendahnya progesteron post partum (progesteron dibutuhkan sebagai penginduksi
reseptor estrogen, jika resepetor estrogen tidak ada maka estrus terjadi secara diam
(Eilts, 2007).
Apabila terdapat corpus

luteum

maka

dapat

diterapi

dengan

PGF2

(prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH (Gonadotropin Releasing


Hormon) (Eilts, 2007).
4.

Freemartin
Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio
di dalam kandungan pada usia 12-45 hari kebuntingan), kemungkinan hal ini
disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular
(hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality
(kelainan kromosom). Pada umumnya, kromosom X membawa gen untuk betina dan
jantan, namun ketiadaan kromosom Y pada betina menyebabkan perkembangan organ
jantan tertekan, sementara pada penderita sindrom freemartin, kromosom yang
dimiliki adalah XXY sehingga inhibisi untuk perkembangan organ betina hilang.
Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan
ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan
seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen
persisten. Klitoris berkembang lebih besar, vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik
tidak normal, uterus kecil dan tuba falopii tidak teraba. Dignosa pada freemartin
adalah dengan alat berupa kateter yang dimasukkan ke dalam vagina, jika betina
normal, kateter dapat masuk sampai 12-15 cm, sementara pada penderita freemartin
kateter hanya dapat masuk sampai 5-6 cm (Frost et al., 1981).

5. Anestrus
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan
gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat
disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktifitas ovaria yang tidak
teramati. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan
hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif. Keadaan

abnormalitas salah satunya karena gangguan hormone ini ditandai dengan tidak
adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi
gonadotropin karena ovaria tidak respon terhadap hormone gonadotropin. Secara
perrektal pada sapi dara akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi
tua ovaria akan teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang
regresi (melebur). Anestrus karena gangguan hormone ini biasanya terjadi karena
tingginya kadar

progesterone (hormon kebuntingan) dalam darah atau akibat

kekurangan hormone hormon gonadotropin (Subronto, 2001).


Penanganan dengan memperbaiki cara pengelolaan, terutama memperbaiki
makanan, gizi dan kondisi sehingga skor kondisi tubuh (SKT) meningkat. Menurut
sdell (1968) kelainan

pada sapi dapat dikembalikan ke keadaan normal apabila

kualitas dan kuantitas makanan diperbaiki. Makanan yang diberikan hendaknya


berkadar protein tinggi serta mengandung mineral yang cukup memadai, terutama
fosfor. Merangsang aktivitas ovaria dengan cara pemberian (eCG 3000-4500 IU;
GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen).
6. Anovulasi
Sering dikaitkan dengan true anestrus, namun estrus dapat terjadi tetapi folikel
mengalami regresi atau atresia. Juga sering terjadi pada sapi setelah partus, dimana
ada aktivitas ovarium yang ditandai dengan adanya estrus namun lemah karena folikel
tidak berkembang secara maksimum dan hilang (anestrus) karena folikel mengalami
regresi. Tidak berkembangnya folikel sampai masak dan tidak terjadinya ovulasi
mungkin disebabkan karena rendahnya kadar hormone FSH dan LH. Kadang folikel
tidak regresi dan mencapai ukuran 2-2,5 cm, tapi dindingnya mengalami luteinisasi
sehingga mirip dengan korpus luteum atau folikel berkembang menjadi folikel de graf
tetapi gagal ovulasi karena gangguan pelepasan hormone gonadotropin (Ilman, 2009).
Gejala klinis dalam kasus ini adanya estrus kembali setelah perkawinan atau
adanya kawin berulang. Pada pemeriksaan per rectal terhadap ovarium teraba rounded
atau halus, tidak ada fluktuasi, solid seperti korpus luteum. Terapi menggunakan HCG
atau GnRH (Ilman, 2009).
7. Ovulasi tertunda
Ovulasi tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang
tertunda/ tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat
waktu, sehingga fertilisasi tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk bunting. Penyebab

utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah atau karena
diperpanjangnya masa folikuler. Diagnosis dapat dilakukan secara per rektal
folikelnya yaitu 24-36 jam setelah estrus berakhir. Gejala yang nampak pada kasus ini
adalah adanya kawin berulang (repeat breeding). Terapi yang dapat dilakukan
diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250 g gonadorelin) saat IB (Rahayu, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, Syaiful. 1987. Faktor Penyebab Kejadian Sistik Ovari Pada Sapi. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Pertanian Bogor.
Anonim. 2014. Hormon Reproduksi Jantan. [online] (http://ebook.repo.mercubuanayogya.ac.id/Kuliah/materi_20141_doc/HORMON%20REPRODUKSI%20JANTAN
REPRODUKSI%20TERNAK.pdf diakses pada hari Senin 9 Oktober 2016 pukul
13.22 WITA)
Eilts. 2007. Bovine Anestrus. [online] (http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology5361/bovine_anestrus.htm. Diakses pada hari Selasa 10 Oktober 2016 pukul 22.16
WITA) Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Institut Pertanian
Bogor
Frost, A.J., R.G. Holroyd, P.W. Ladds dann P.E. Williamson. 1981. Reproductive Disease and
Their Prevention. Australian Vice-Chancellors Committee, Indonesia
Ilman. 2009.

Hubungan Antara Gangguan Ovulasi dengan Fertilistas. [online]

(http://www.drhilman.com/2009/08/hubungan-antara-gangguan-ovulasi-dengan.html
diakses pada hari Selasa tanggal 9 Oktober 2016 pukul 23.21 WITA)

Meutuah, Mahfud. 2011. Penyakit Reproduksi dan Penanganannya pada Sapi Betina.
[online].(http://kuliah-bhn.blogspot.co.id/2011/06/penyakit-reproduksi-danpenanganannya.html diakses pada hari Selasa 10 Oktober 2016 pukul 19.30 WITA)
Rahayu, Devi. 2011. Optimisasi Pembentukan Mikrokapsul dengan Penyalut Alginat-Kitosan
untuk

Enkapsulasi

Sel-Sel

Leydig.

[online]

(http://repository.ipb.ac.id/handle/

123456789/51460 diakses pada hari Senin 9 Oktober 2016 pukul 20.05 WITA)
Ratnawati, Dian, Wulan Cahya Pratiwi, Lukman Affandhy. S. 2007.

Petunjuk Teknis

Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Pasuruan : Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Peternakan.
Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. UI. Press. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai