Anda di halaman 1dari 11

Co-AsistensiBidangReproduksi

CORPUS LUTEUM PERSISTEN (CLP)

Selasa, 19 Desember 2017

IMRAN
C034 171 037

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KOASISTENSI REPRODUKSI

Nama kegiatan : Koas Laboratorium Reproduksi


Tempat : Kab.Enrekang
Peserta : Imran

Makassar, 19 Desember 2017

Menyetujui,

Pembimbing Koordinator

(Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc) (Drh. Muhammad Mufli Nur)

Mengetahui,
Ketua Program PPDH FK Unhas

Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari


NIP. 19730216199903 2 001

Tanggal Pengesahan:
Tanggal Ujian :
I. PENDAHULUAN

I.I Definisi
A. Corpus Luteum Persisten
Gangguan reproduksi yang disebabkan karena hormonal salah
satunyaadalah Corpus Luteum Persisten (CLP). CLP pada sapi terjadi karena
adanya gangguan sekresi hormon Protaglandin F2α (PGF2α) yang berfungsi
untuk meregresi corpus luteum. CLP menyebabkan terjadinya anestrus pada
sapi yang berdampak pada calving interval.

Gambar 1.Siklus Hormon Reproduksi (http://www.partners-in-


reproduction.com)

Korpus luteum persisten (CLP) adalah kondisi terjadi ketika CL tidak


mengalami regresi setelah 20 hari pembentukannya pada sapi yang tidak
bunting. Disebut persisten karena corpus luteum tetap besar ukurannya dan
tetap berfungsi menghasilkan progesterone dalam waktu yang lama. Hormon
progesterone berfungsi untuk mempertahankan kebuntingan, sehingga adanya
progesterone akan menghambat pematangan folikel, ovulasi tidak terjadi dan
menyebabkan hewan anestrus. Kondisi ini ditandai dengan adanya CL yang
besar pada ovarium, terjadi anestrus dan tingkat progesteron yang terus-
menerus tinggi. Corpus luteum persisten disebabkan akibat adanya kelainan
atau gangguan pada uterus yang mengakibatkan penurunan sekresi
Prostaglandin F2 (PGF2α) luteolitik dan peningkatan sekresi PGE2 luteotrofik
oleh endometrium (Mushonga et al., 2017).
Semua bentuk corpus luteum mampu menghasilkan hormon
progesterone sehingga CLP mempunyai kadar progesteron yang tinggi dalam
darah. Tingginya progesterone akan menghasilkan negativ feedback pada
kelenjar hiposfise anterior sehingga sekresi FSH dan LH dihambat (Biologi
FMIPA UNY. 2009).

B. Patogenesis
Patogenesis corpus luteum persisten sebagian besar terkait dengan
patologi uterus seperti endometritis, pyometra, resorpsi janin, maserasi,
mumifikasi dan uterine unicornis (Kumar et al., 2014). Endometritis dapat
dikaitkan dengan CLP karena kerusakan toksik pada endometrium, yang
mencegah terjadinya sekresi prostaglandin luteolitik. Hal ini juga dapat
terjadi dengan pyometra, mumifikasi janin dan maserasi, yaitu kondisi yang
mensimulasikan kebuntingan (Lashariet al., 2012).

Kegagalan regresi corpus luteum juga dapat terjadi akibat gangguan


fisiologis dari organ reproduksi dimana tidak adanya folikel dominan pada
saat terjadinya regresi corpus luteum mengakibatkan rendahnya kadar
estradiol yang berfungsi untuk menginduksi reseptor oksitosin di uterus
yang selanjutnya akan menghasilkan rangsangan pelepasan PGF2α untuk
luteolisis, sehingga terjadi corpus luteum yang persisten (Kumar et al.,
2014).

I.2 Prevalensi

Menurut Riyadi dalam Hafizuddin et al (2013), gangguan reproduksi


60% disebabkan oleh endometritis dan 40% hormonal. Gangguan reproduksi
karena hormonal termasuk di dalamnya gangguan berahi atau anestrus yang
lama pasca partus. Berbagai penelitian melaporkan bahwa prevalensi Corpus
Luteum Pesisten (CLP) berkisar antara 11%, 20% dan 32,69%. CLP dilaporkan
lebih tinggi pada musim semi dan musim dingin di banding musim panas. Pada
ovarium sebelah kanan dilaporkan terjadi lebih banyak yaitu (5,1% ) di banding
dengan ovarium sebelah kiri (1,2%) (Mushonga et al., 2017).
Prevalensi PCL sangat bervariasi. Telah dilaporkan bahwa yang paling
rendah hanya berkisar 2% di Inggris dan yang paling tinggi 33% di China
(Lashari et al., 2012).
II. DESKRIPSI KASUS
II.1 Anamnesa
Seekor sapi betina jenis Limosin di desa Tungka Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang dengan berat badan sekitar 245 kg, BCS 2,
merupakan sapi indukan, pernah melahirnkan, umur anak 4 bulan dan
masih menyusu pada induknya. berdasarkan keterangan dari
pemiliknya, 4 bulan setelah melahirkan sapi tersebut tidak pernah
menunjukkan gejala estrus (birahi).
II.2 Signalemen
Nama Pemilik : Muh. Syair
Alamat :Desa Tungka, Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang
Nama Hewan :-
Spesies : Sapi
Breed : Limosin
Warna bulu/rambut : Hitam
Jenis kelamin : Betina
Umur : 4,5 tahun
Berat badan : 245 kg
Tanda Khusus :-
II.3 Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan secara palpasi perektal ditemukan organ serviks dan
uterus normal, cornua kanan kiri normal, namun pada ovarium kiri dan
kanan terdapat Corpus luteum yang tidak mengalami regresi. Pada
ovarium ketika di palpasi yang terdapat CLP akan teraba menonjol
keluar, bulat, keras dan ada pembatasnya.
II.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis secara perektal,
sapi tersebut didiaggnosis mengalami corpus luteum persisten.
 Diferensial Diagnosa
Gejala klinis yang tampak akibat corpus luteum persisten yakni
sapi mengalami anestrus. Kondisi ini juga terjadi apabila sapi
mengalami kebuntingan.
II.5 Pengobatan/Penanganan
Prostaglandin (PGF2α) adalah pengobatan pilihan untuk persisten
korpus luteum. Injeksi intramuskular 25 mg (dosis total). Dalam
pengaplikasiannya PGF2α, sering digunakan dalam proses sinkronisasi
estrus. Mekanisme kerja PGF2α yakni dengan cara melisiskan korpus
luteum sebagai sumber progesteron. Lisisnya korpus luteum mengakibatkan
kadar progesterone dalam darah menurun (sangat rendah), sementara kadar
estrogen meningkat sehingga menyebabkan terjadinya estrus. Penurunan
progesterone diharapkan dapat menghilangkan hambatan FSH dan LH.
Apabila terjadi gangguan di uterus seperti endometritis harus diobati
menggunakan antibiotic. Pemberian PGF2a dapat diberikan apabila tidak
ada gangguan lainnya pada uterus (Astuti, 2015).
II. PEMBAHASAN

III.1 Ketepatan diagnosa


Diagnosis CL persisten dapat dilakukan dengan anamnesis,
recording siklus birahi, palpasi perektal, uji progesteron,
ultrasounografi, biopsi trans-vaginal, biopsi endometrium dan
pemeriksaan post-mortem (Mushonga et al., 2017).
a. Anamnesis didasarkan pada keluhan pemilik bahwa mereka tidak
mampu mendeteksi estrus atau belum pernah melihat adanya tanda-
tanda estrus pada hewan setelah melahirkan. Korpus luteum persisten
dapat pula terjadi setelah melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang
produksinya tinggi karena hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise
anterior pada sapi yang produksinya tinggi setelah melahirkan
menghambat lisis dari korpus luteum.
b. Recording siklus birahi dapat dilakukan yaitu dengan menghitung siklus
birahi yaitu 60-90 hari pasca persalinan.
c. Palpasi perektal pada ovarium yang dicurigai terjadi CL persisten akan
teraba adanya CL namun tidak ada konseptus di dalam uterus
(Mushonga et al., 2017).
d. Uji progesteron dilakukan untuk mengetahuai adanya luteal korporat
yang persisten. CL persisten ditandai dengan konsentrasi progesteron
dalam sampel darah lebih dari 1 ng/ml (kadar basal 0,5-1 ng/ml) selama
interval 8-10 hari (Kumar et al., 2014).

III.2 Ketepatan Penanganan/Pengobatan

Prostaglandin (PGF2α) adalah pengobatan pilihan untuk


persisten korpus luteum dan sub estrus. Analog sintetik PGF2α alami
atau sintetis sebagai dosis tunggal telah digunakan dengan tingkat
keberhasilan yang wajar untuk pengelolaan estrus pada sapi dan kerbau
. Menurut Mukasa-Mugerwa, pengobatan CL persisten mensyaratkan
injeksi PGF2α sendiri atau dikombinasikan dengan GnRH 48 sampai 56
jam kemudian untuk memulai siklus estrus. PGF2α alami atau 250
sampai 500 mikrogram sintetis diperlukan untuk menurunkan CL pada
ternak dan kerbau. Namun, dosis PGF2α yang lebih rendah (5 mg) juga
efektif untuk menurunkan CL melalui intra-vulvo-submucosal (IVSM)
(Kumar et al., 2014).

III.3 Kejadian kasus yang dapat terjadi ketika tidak ditangani dengan
benar
Corpus luteum persisten sebagian besar terkait dengan patologi
uterus seperti endometritis, pyometra, resorpsi janin, maserasi,
mumifikasi dan uterine unicornis (Kumar et al., 2014). Endometritis
dapat dikaitkan dengan CLP karena kerusakan toksik pada
endometrium, yang mencegah terjadinya sekresi prostaglandin
luteolitik. Hal ini juga dapat terjadi dengan pyometra, mumifikasi janin
dan maserasi, yaitu kondisi yang mensimulasikan kebuntingan. Jika
kasus Corpus Luteum Persisten tidak di tangani dengan baik maka akan
terjadi sapi akan mengaalami anestrus dan tingkat progesteron yang
terus-menerus tinggi sehingga sapi sulit untuk bunting karena CL tidak
mengalami regresi (Lashari et al., 2012).
IV. KESIMPULAN

Corpus Luteum Persisten (CLP) merupakan keadaan dimana Corpus


Luteum (CL) tidak mengalami regresi pada sapi yang tidak mengalami
kebuntingan sehingga menyebabkan terjadinya anestrus. Pada pemeriksaan
palpasi perketal akan ditemukan CL yang berukuran besar pada ovarium.
CLP disebabkan karena adanya gangguan pada uterus baik secara fisiologis
maupun karena infeksi yang mengakibatkan rendahnya sekresi PGF2α
sehingga tidak mampu untuk melisiskan CL. Penanganan yang dapat
diberikan yakni dengan injeksi hormon PGF2α secara intramuscular dengan
dosis 25 mg atau 250 sapai 500 mikrogram.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Pudji. 2015. Endokrinologi Veteriner. UGM Press.Yogyakarta.


Kumar, PR., Singh SK, Kharche SD, Chethan Sharma G, Behera BK, Shukla
SN, Kumar H, Agarwal SK. 2014. Anestrus in cattle and buffalo: Indian
perspective. Adv. Anim. Vet. Sci. 2 (3): 124 – 138
Lashari, M. H., and Z. Tasawar. 2012.The effect of PGF2α on persistent corpus
luteum in Sahiwal cows. International Journal of Livestock Production
Vol. 3(1), pp. 1-5
Mushonga, B., B. Kaurivi, B. Chiwome, E. Kandiwa, dan G. Habarugir. 2017.
Persistent Corpus Luteum in a 9 Year-Old Afrikaner Cow: A Case
Report.Global Veterinaria 18 (2): 146-150.
Pendidikan Biologi FMIPA UNY. 2009. Materi E-learning Reproduksi dan
Embriologi Hewan.

Anda mungkin juga menyukai