Anda di halaman 1dari 15

1.

Kehamilan Serotinus

a. Pengertian kehamilan serotinus

Serotinus atau kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang telah berlangsung

selama 42 minggu (294 hari) atau lebih, pada siklus haid teratur rata-rata 28 hari dan

hari pertama haid terakhir diketahui dengan pasti. Diagnosa usia kehamilan lebih dari

42 minggu didapatkan dari perhitungan rumus neagele atau dengan tinggi fundus uteri

serial (Nugroho, 2012).

Kehamilan Serotinus merupakan suatu kehamilan yang berlangsung sampai 42

minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut rumus

naegele dengan siklus rata-rata 28 hari (Fadlun, 2011).

b. Etiologi

Kehamilan Lewat Bulan memang tidak banyak terjadi atau hanya 3-12 % saja pada

semua kasus kehamilan, namun tetap saja serotinus turut menyumbang angka kematian

ibu dan bayi walau hanya 8-10% . .(Sujiatini.2009.Hal:34)

Penyebab terjadinya kehamilan lewat waktu sendiri masih belum bisa diketahui

secara pasti, tetapi pada umumnya kasus kehamilan lewat waktu tidak jauh dari faktor

pengethuan dan kesadaran ibu hamil sndiri dan beberapa faktor lain berdasarkan teori

kebidanan (Sujiatini,2009).

Menurut Fadlun (2011) Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan,

sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm atau serotinus belum jelas. namun

beberapa teori menyatakan kehamilan serotinus dipengaruhi oleh berbagai faktor antara

lain :

1) Pengaruh Progesteron

Pengaruh hormon progesteron dalam kehamilan di percaya merupakan kejadian

perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekular pada

persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga


beberapa penulis menduga bahwa terjadinya KLB (Kehamilan Lebih Bulan) atau

kehamilan serotinus adalah karena masih berlangsungya pengaruh progesteron.

2) Teori Oksitosin

Pemakaian untuk induksi persalinan pada KLB (Kehamilan Lebih Bulan) atau

Kehamilan Serotinus memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara

fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan

oksitosin dari neurohipofisis. Wanita hamil yang kurang pelepasan oksitosin dari

neurohipofisis pada kehamilan lanjut diduga sebagai s alah satu faktor penyebab

KLB atau kehamilan serotinus.

3) Teori kortisol atau ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) janin.

Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “ pemberi tanda ” untuk dimulainya

persalinan adalah janin.hal ini diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol

plasma janin. kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi

progesteron berkurang dan memperbesar sekresi esterogen, selanjutnya berpengaruh

terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. pada janin yang mengalami cacat

bawaan seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar

hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik

sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.

4) Syaraf Uterus

Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan

membangkitkan kontraksi uterus. pada keadaan dimana tidak ada tekanan pada

pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masing

tinggi, semua hal tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan Serotinus.
5) Herediter

Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan

serotinus atau KLB (Kehamilan Lebih Bulan), mempunyai kecenderungan untuk

melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya.

Pendapat lain mengatakan bahwa kehamilan serotinnus atau KLB (Kehamilan

Lebih Bulan) juga bisa di pengaruhi oleh beberapa hal antara lain :

a. Cacat bawaan (ex : Anencephalus).

b. Difisiensi sulfatase plasenta.

c. Pemakaian obat obatan yang berpengaruh pula sebagai tokolitik anti

prostaglandin (ex : albutamol, progestin, asam mefenamat, dan sebagainya).

d. Tidak di ketahui penyebabnya.

e. Pada kasus insufisensi plasenta atau adrenal janin, hormon prokusor yaitu

isoandrosteron sulfat diskresikan dalam cukup tinggi konversi menjadi estradiol

dan secara langsung estriol didalam plasenta, contoh klinik mengenai defisiensi

prekusor esterogen adalah anencephalus. (Nugroho, 2012).

c. Faktor Predisposisi

1) Hormonal

Banyak dari perubahan fisik ini terjadi karena perubahan dalam produksi

hormon. Sumber utama dari hormon-hormon ini adalah plasenta, sebuah organ yang

terbentuk (bersama bayi yang belum lahir) dalam rahim dari sel telur yang terbuahi.

Human Chorionic Gonadotropin (hCG), yang diproduksi oleh plasenta yang sedang

berkembang, memastikan bahwa indung telur Anda memproduksi estrogen dan

progesteron sampai plasenta matang dan mengambil alih produksi hormon-hormon

ini sekitar bulan ketiga sampai keempat. Estrogen merangsang pertumbuhan jaringan

reproduksi dengan meningkatkan ukuran otot-otot rahim, merangsang pertumbuhan

lapisan rahim dan pasokan darahnya, meningkatkan produksi lendir vagina, dan
dengan menstimulasi perkembangan sistem saluran serta pasokan darah di payudara.

Kadar estrogen yang tinggi selama kehamilan barangkali akan mempengaruhi retensi

air, penumpukan lemak dibawah kulit, dan pigmentasi kulit.

Pengaruh hormon progesteron dalam kehamilan di percaya merupakan kejadian

perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekular pada

persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga

beberapa penulis menduga bahwa terjadinya KLB (Kehamilan Lebih Bulan) atau

kehamilan serotinus adalah karena masih berlangsungya pengaruh progesteron.

Pemakaian untuk induksi persalinan pada KLB (Kehamilan Lebih Bulan) atau

Kehamilan Serotinus memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara

fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan

oksitosin dari neurohipofisis. Wanita hamil yang kurang pelepasan oksitosin dari

neurohipofisis pada kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu wfaktor penyebab

KLB atau kehamilan serotinus.

2) Herediter

Karena post naturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu ,bahwa

seorang ibu yang mengalami kehamilan serotinus atau KLB (Kehamilan Lebih

Bulan), mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan

berikutnya.

3) Kadar Kortisol meningkat

Ketika tubuh merasa tertekan dan stress, tubuh dengan otomatis akan

mengeluarkan hormon stress, yaitu kortisol. Kortisol juga akan meningkat ketika ibu

hamil mengalami stress. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perubahan

fungsi tubuh ibu akan mempengaruhi kesehatan dan tumbuh kembang janin. Begitu

pun ketika kortisol dalam tubuh ibu meningkat. Peningkatan kortisol akan memicu

keluarnya hormon lain dalam tubuh, yaitu hormon corticotropin-releasing (CRH).


Hormon tersebut mempunyai tanggung jawab untuk mengatur durasi kehamilan dan

pematangan janin. Biasanya, hormon CRH dikeluarkan oleh tubuh ketika janin

sudah ‘matang’ dan sudah siap untuk dilahirkan. Sedangkan pada ibu hamil yang

stress, akibat kadar kortisol tinggi, hormon CRH pun dikeluarkan oleh tubuh

sehingga tubuh mengartikan bahwa janin telah siap untuk dilahirkan dan hal inilah

yang menyebabkan potensi kelahiran premature atau lewat bulan pada ibu hamil

yang stress.

4) Oligohidarmnion

Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah batas

normal dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan kental.

Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum, oligohidramnion

yang timbul pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis

buruk. Marks dan Divon (1992) menemukan oligohidramnion pada 12% dari 511

kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti secara

longitudinal terjadi penurunan volume cairan ketuban sebesar 25% perminggu

setelah 41 minggu. Akibat berkurangnya cairan, risiko kompresi tali pusat, dan pada

gilirannya gawat janin, meningkat pada semua persalinan, terutama pada persalinan

post term.

5) Insufiensi Plasenta

Sebuah kondisi dimana fungsi plasenta sebagai sarana transportasi nutrisi dan

oksigen untuk bayi mengalami penurunan. Akibatnya, bayi mengalami hambatan

dalam pertumbuhannya (Pertumbuhan Janin Terhambat atau Intra Uterin Growth

Retardation). Ditandai dengan ukuran plasenta yang lebih kecil dari normal serta tali

pusat tampak layu. Berat badan bayi kurang (di bawah 2500 gram), meskipun

usianya sudah cukup bulan.


d. Faktor Lain :

1) Tingkat pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni : indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengetahuan diperoleh

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010). Pengukuran atau penilaian

pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes atau wawancara dengan alat

bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden (Tinuk Istiarti, 2012).

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari

berbagai macam sumber, misalnya media massa, media poster, kerabat dekat dan

sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga

seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut

2) Gravida

Gravida menunjukan kehamilan tanpa mengingat umur kehamilannya (Oxorn &

forte, 2010). Gravida adalah seorang wanita yang sedang atau telah hamil, tanpa

memandang hasilakhir kehamilan. Dengan terjadinya kehamilan pertaa, ia menjadi

primigravida, dan dengan kehamilan berikutnya menjadi multigravida (Lenovo,

2010).

3) Tingkat kesadaran akan ANC terpadu

Antenatal care adalah suatu progaram yang terencana berupa observasi, edukasi, dan

penanganan medik pada ibu hamil, untuk memperoleh suatu proses kehamilan dan

persiapan persalinan yang aman dan memuaskan (Walyani, 2015)

4) Faktor Psikologis

Stress yang dialami ibu saat hamil yang dapat mempengaruhi perkembangan janin

seperti cacat bawaan, stress juga dapat menyebabkan kerentanan tidak timbulnya his,

selain kurangnya air ketuban karena penurunan hormon progesteron.


5) Sosial Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan dasar yang paling banyak dikemukakan oleh ibu jika

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada periode keamilan, persalinan dan nifas.

Keadaan pendapat yang tidak memadai menjadikan ibu enggan memeriksakan

kehamilannya pada petugas kesehatan. Hal ini menyebabkan ibu tidak memperoleh

pelayanan obstetric yang memadai dan hanya mengandalkan untuk memeriksakan

kehamilannya (Manuaba, 2010).

e. Manifestasi Klinis

1) Keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara

subyektif kurang dari 7 kali / 20 menit atau secara obyektif dengan kardiotokografi

kurang dari 10 kali / 20 menit.

2) Pada bayi akan ditemukan tanda-tanda lewat waktu yang terbagi menjadi

a. Stadium I : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi sehingga kulit

menjadi kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium II : Seperti stadium satu namun disertai dengan pewarnaan mekonium

(kehijauan) di kulit.

c. Stadium III : Seperti stadium satu namun disertai dengan pewarnaan kekuningan

pada kuku, kulit, dan tali pusat (Nugroho, 2012).

f. Patofisiologi

Mochtar (2010) menyatakan patofisiologi pada ibu hamil dengan indikasi serotinus

adalah :

1) Penurunan hormon progesterone dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian

perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses persalinan dan

meningkatkan sensitifitas uterus terhadap oksitosin, sehingga penulis menduga

bahwa terjadinya kehamilan postterm karena masih berlangsungnya pengaruh

progesterone.
2) Oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan

persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada

usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm.

3) Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan

kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti

pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah janin masih tinggi

kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm.

g. Komplikasi

1) Perubahan pada plasenta

Menurut Fadlun (2011) Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab

terjadinya komplikasi pada kehamilan serotinus atau KLB (Kehamilan Lebih Bulan)

dan meningkatnya risiko pada janin.perubahan yang terjadi pada plasenta adalah

sebagai berikut.

a. Pada kehamilan serotinus atau KLB (Kehamilan Lebih Bulan) terjadi peningkatan

penimbunan kalsium, hal ini dapat menyebabkan gawat janin dan bahkan

kematian janin intrauterin yang dapat meningkat sampai 2-4 kali lipat. Timbunan

kalsium plasenta meningkat sesuai dengan progresivitas degenerasi plasenta,

namun beberpa vili mungkin mengalami degenerasi tanpa mengalami klasifikasi.

b. Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang, keadaan

ini dapat menurunkan mekanisme transport dari plasenta.

c. Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan fibrinoid,

fibrosis, thrombosis intervili, dan infark vili.

d. Perubahan biokimia, adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein plasenta

dan kadar DNA (deoxyribonucleid Acid) dibawah normal, sedangkan konsentrasi

RNA (Ribonucleid Acid) meningkat. Transport kalsium tidak terganggu, aliran

natrium, kalium, dan glukosa menurun. pengangkutan bahan dengan berat


molekul tinggi seperti asam amino, lemak, dan gama globulin biasanya

mengalami gangguan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan

janin intauterin .

2) Pengaruh pada janin

Menurut Mochtar (2010), Pengaruh kehamilan postterm atau serotinus terhadap

janin sampai saat ini masih di perdebatkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa

kehamilan serotinus menambah bahaya pada janin, sedangkan beberapa ahli lainnya

menyatakan bahwa bahaya kehamilan postterm atau serotinus terhadap janin terlalu

dilebihkan. Beberapa pengaruh kehamilan postterm atau serotinus terhadap janin

sebagai berikut.

a. Berat janin

Bila terjadi perubahan anatomi yang besar pada plasenta, maka terjadi penurunan

berat janin. Sesudah umur kehamilan 36 minggu, grafik rata-rata pertumbuhan

janin mendatar dan tampak adanya penurunan sesudah 42 minggu. Namun, sering

kali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin

bertambah terus sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan.

b. Sindrom postmaturitas

Dapat dikenali pada neonatus melalui beberapa tanda seperti, gangguan

pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas (hilangnya lemak sub

kutan), kuku tangan dan kaki panjang, tulang tengkorak lebih keras, hilangnya

verniks kaseosa dan lanugo, maserasi kulit terutama daerah lipat paha dan genital

luar, warna coklat kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali pusat, serta muka

tampak menderita dan rambut kepala banyak atau tebal. Tidak seluruh neonatus

dari kehamilan serotinus menunjukkan postmaturitas, tergantung dengan fungsi

plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20% neonatus dengan tanda postmaturitas

pada kehamilan serotinus.


c. Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan angka meningkat setelah

kehamilan 42 minggu atau lebih, sebagian besar terjadi intrapartum. Keadaan ini

disebabkan karena hal-hal berikut :

a) Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan.

b) Insufisiensi plasenta dapat berakibat :

(a) Pertumbuhan janin terhambat.

(b) Oligohidramnion (terjadi kompresi tali pusat, keluar mekonium yang

kental).

(c) Hipoksia janin.

(d) Aspirasi mekonium oleh janin.

(e) Cacat bawaan, terutama akibat hipoplasia adrenal dan anensefalus.

c) Pengaruh pada ibu

(a) Morbiditas atau mortalitas ibu dapat meningkat sebagai akibat dari

makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras sehingga

menyebabkan terjadinya distosia persalinan, incoordinate uterine action,

partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik, dan perdarahan

postpartum.

(b) Dari segi emosi, ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan

terus berlangsung melewati taksiran persalinan (Fadlun, 2011).’

h. Diagnosis

Prognosis serotinus tidak seberapa sulit apabila siklus haid teratur dari haid pertama

haid terakhir diketahui pasti. Dalam menilai apakah kehamilan matur atau tidak,

beberapa pemeriksaan dapat dilakukan :

1) Berat badan ibu turun dan lingkaran perut mengecil dan air ketuban berkurang.
2) Pemeriksaan rontegenologik, dengan pemeriksaan ini pada janin matur dapat

ditemukan pusat osifikasi pada os cuboid, bagian distal femur dan bagian proksimal

tibia, diameter biparietal kepala 9,8 cm lebih. Keberatan pemeriksaan ini adalah

kemungkinan tidak baik sinar rontgent terhadap janin.

3) Pemeriksaan dengan USG ,dengan pemriksaan ini diameter biparietal kepala janin

dapat diukur dengan teliti tanpa bahaya.

4) Pemeriksaan sitologi liquor amnion.Amnioskopi dan periksa pH nya dibawah 7,20

dianggap sebagai tanda gawat janin.

5) Pemeriksaan sitologik vagina untuk menentukan insufisiensi plasenta dinilai

berbeda-beda.

6) Rasio lesitin – sfingomielin dan Thin layer Chromatography atau dengan shake foam

test, aktifitas tromboplastin dalam cairan amnion (Nugroho, 2012).

i. Penanganan kehamilan serotinus

1) Setelah usia kehamilan >40 minggu yang penting adalah monitoring janin sebaik-

baiknya

2) Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiensi plasenta, persalinan spontan dapat

ditunggu dengan pengawasan ketat.

3) Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai kematangan serviks, kalau sudah matang

boleh dilakukan induksi persalinan dengan atau tanpa amnitomi

4) Bila (a) riwayat kehamilan yang lalu ada kehamilan janin dalam rahim (b) terdapat

hipertensi, pre eklamsi dan (c) kehamilan ini adalah anak pertama karena infertilitas,

atau (d) pada kehamilan lebih dari 40-42 minggu, maka ibu dirawat dirumah sakit

5) Tindakan operasi Sectio Casarea dapat dipertimbangkan pada:

a) Insufisiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang

b) Pembukaan yang belum lengkap


c) Persalinan lama

d) Terjadi tanda gawat janin

e) Primigravida tua

f) Kematian janin dalam kandungan,

g) Pre Eklamsia

h) Hipertensi menahun,

i) Infertilitas

j) Kesalahan letak janin. (Nugroho, 2012)

Pada persalinan pervaginan harus diperhatikan bahwa partus lama akan sangat

merugikan bayi, janin post Matur kadang-kadang besar dan kemungkinan CPP dan

distosia janin perlu dipertimbangkan selain itu janin post date lebih peka terhadap

sedatif dan norkosa, perawatan neonatus post date perlu dibawah pengawasan dokter

anak (Sujiyatini, 2009).

Pengelolaan kehamilan lewat waktu kita awali dari umur kehamilan 41 minggu.

Hal ini di sebabkan meningkatnya pengaruh buruk pada keadaan perinatal setelah umur

kehamilan 40 minggu dan meningkatnya insiden janin besar. Namun untuk mengurangi

beban dan kepraktisan dari bidan dan puskesmas akan dirujuk bila umur kehamilan >41

minggu. Bila kehamilan >41 minggu ibu hamil dianjurkan menghitung gerak janin

selama 24 jam (tidak boleh kurang dari 10 kali), atau menghitung jumlah gerakan janin

per satuan waktu dan dibandingkan apakah mengalami penurunan atau tidak

(Prawirohardjo, 2012).

j. Pencegahan Kehamilan Serotinus

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang

teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum

12 minggu), 1 kali pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2
kali trimester ketiga (di atas 28 minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan

kehamilan dilakukan 1 bulan sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada

kehamilan 7-8 bulan dan seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal ini akan menjamin

ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah terjadinya

kehamilan serotinus yang berbahaya. Perhitungan dengan satuan minggu seperti yang

digunakan para dokter kandungan merupakan perhitungan yang lebih tepat. Untuk itu

perlu diketahui dengan tepat tanggal hari pertama haid terakhir seorang (calon) ibu

itu. Perhitungannya, jumlah hari sejak hari pertama haid terakhir hingga saat itu

dibagi 7 (jumlah hari dalam seminggu). Misalnya, hari pertama haid terakhir Bu

A jatuh pada 2 Januari 1999. Saat ini tanggal 4 Maret 1999. Jumlah hari sejak hari

pertama haid terakhir adalah 61. Setelah angka itu dibagi 7 diperoleh angka 8,7. Jadi,

usia kehamilannya saat ini 9 minggu.

k. Karakteristik ibu hamil dengan serotinus

1. Usia ibu hamil

Menurut Marmi (2011: 107-108) bila wanita tersebut hamil pada masa reproduksi

(20-35 tahun), kecil kemungkinan untuk mengalami komplikasi dibanding unwanita

yang hamil dibawah usia reproduksi ataupun di atas usia reproduksi.

2. Paritas

Menurut Nurmayawati (2014: 20) menyatakan bahwa salah satu faktorpenyebab

kehamilan serotinus adalahfaktor paritas yaitu primigravida atau primipara.

Primipara merupakan wanita yang baru pertama kali melahirkan, ketidaksiapan yang

di alami ibu yang pertama kali hamil dan akan melahirkan akan menimbulkan rasa

takut dan cemas karena pada umumnya belum memiliki gambaran mengenai

kejadian yang akan dialami pada akhir kehamilannya. Ibu primigravida sangat

memerlukan dukungan dalam upaya menurunkan stress. Ibu yang gagal


mengendalikan stress akan mengalami kecemasan. Kecemasan sendiri akan

menyebabkan seorang ibu hamil tegang dan tidak nyaman, pada keadaan cemas yang

berat akan mengangggu sekresi hormone oksitosin sehingga kontraksi uterus akan

melemah dan proses persalinan akan menjadi lebih panjang.

3. Pendidikan

Menurut Kumalasari (2012: 170) bahwa semakin semakin tinggi pendidikan wanita

akan mudah menerima hal-hal yang baru dan mudah menyesuaikan diri dengan

masalah-masalah baru. Meningkatnya pendidikan berdampak pada pengalaman

dan wawasan yang semakin luas serta kemampuan untuk mengambil keputusan yang

khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. Ibu hamil dengan pendidikan yang

tinggi akan selalu tanggap dengan sesuatu yang terjadi pada kehamilannya. Ibu yang

mengetahui kehamilannya telah melewati hari perkiraan lahir ia akan memeriksakan

kehamilannya ke tenaga kesehatan dan meminta solusi dengan keadaan sekarang

sehingga kehamilan serotinus dapat segera teratasi.

4. Pengetahuan

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari

berbagai macam sumber, misalnya media massa, media poster, kerabat dekat 40 dan

sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga

seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Notoatmodjo (2010) mengatakan

bahwa pengetahuan merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap

suatu objek. Penginderaan tersebut sebagian besar berasal dari penglihatan dan

pendengaran. Pengukuran atau penilaian pengetahuan pada umumnya dilakukan

melalui tes atau wawancara dengan alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin

diukur dari responden (Tinuk Istiarti, 2012).


5. Kunjungan ANC

Kunjungan perawatan kehamilan mempunyai efek biologis yang secara teoritis sama

dengan saat kunjungan pertama pelayanan antenatal. Penelitian Nell (1991)

menunjukkan adanya hubungan antara jumlah kunjungan pelayanan antenatal

dengan kejadian komplikasi persalinan (Tinuk Istiarti, 2012). Keputusan menteri

kesehatan RI Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang standar pelayanan kesehatan

minimal di bidang kesehatan di kabupaten atau kota khususnya pelayanan kesehatan

ibu dan anak dengan target tahun 2010 : berupa cakupan kunjungan K1 dan K4. K4:

kontak minimal 4 kali selama masa kehamilan untuk mendapatkan pelayanan

antenatal, yang terdiri atas minimal 1 kali kontak pada trimester pertama, satu kali

pada trimester kedua, dan dua kali pada trimester ketiga. Cakupan K4 di bawah 60%

(dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil dalam kurun waktu 1 tahun) menunjukkan

kualitas pelayanan antenatal yang kurang memadai. Rendahnya K4 menunjukkan

rendahnya kesempatan untuk menjaring dan menangani risiko tinggi obstetrik

(Depkes RI: 2012).

Anda mungkin juga menyukai