Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usaha peternakan sapi baik sapi pedaging maupun sapi perah di Indonesia
sampai saat ini masih menemui banyak kendala, yang mengakibatkan
produktivitas ternak tersebut masih rendah. Salah satu kendala tersebut adalah
masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina.
Pada dasarnya perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka
kelahiran yang akan berdampak terhadap pertambahan populasi. Namun
tingginya angka gangguan reproduksi akan mengakibatkan rendahnya efisiensi
reproduksi atau kesuburan serta kematian prenatal, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan penurunan populasi.
Gangguan reproduksi memicu kerugian ekonomi yang cukup besar bagi
peternak yng berdampak terhadap penurunan pendapatan. Gangguan reproduksi
biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit reproduksi,
buruknya sistem pemeliharaan, tingkat kegagalan kebuntingan serta masih
adanya pengulangan inseminasi (Riady, 2006). Dampak adanya gangguan
reproduksi dapat dilihat dari rendahnya service per conception (S/C), panjangnya
calving interval (CI), kemajiran, dan rendahnya angka kelahiran.
Salah satu gangguan reproduksi yang banyak ditemukan di beberapa
daerah di Indonesia yaitu Corpus Luteum Persisten (CLP). Terjadinya gangguan
reproduksi Corpus Luteum Persisten (CLP) menunjukkan adanya gangguan pada
endometrium yang menghambat regresi korpus luteum. Dalam makalah ini pokok
pembahasan mengenai gangguan reproduksi pada sapi akan difokuskan pada
gangguan reproduksi Corpus Luteum Persisten (CLP).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas sebelumnya, maka
rumusan masalah yang dapat ditarik dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah gangguan reproduksi jenis Corpus Luteum Persisten pada
sapi?

1
2. Bagaimanakan penyebab, gejala klinis, diagnosa, pencegahan dan
pengobatan gangguan reproduksi Corpus Luteum Persisten (CLP)?

C. Tujuan

Adapun tujuan penyusanan makalah ini yaitu untuk mengetahui lebih jelas
gangguan reproduksi Corpus Luteum Persisten (CLP) pada sapi, mulai dari
pengertian CLP itu sendiri, penyebab, gejala, diagnosa, pencegahan serta
pengobatannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Corpus Luteum Persisten (CLP)

Corpus Luteum Persisten (CLP) merupakan keadaan dimana Corpus


Luteum (CL) tidak mengalami regresi pada sapi yang tidak mengalami
kebuntingan sehingga menyebabkan terjadinya anestrus.
Disebut persisten karena corpus luteum tetap besar ukurannya dan tetap
berfungsi menghasilkan progesterone dalam waktu yang lama. Hormon
progesterone berfungsi untuk mempertahankan kebuntingan, sehingga adanya
progesterone akan menghambat pematangan folikel, ovulasi tidak terjadi dan
menyebabkan hewan anestrus. Kondisi ini ditandai dengan adanya CL yang besar
pada ovarium, terjadi anestrus dan tingkat progesteron yang terus-menerus tinggi.
Corpus luteum persisten disebabkan akibat adanya kelainan atau gangguan pada
uterus yang mengakibatkan penurunan sekresi Prostaglandin F2 (PGF2α)
luteolitik dan peningkatan sekresi PGE2 luteotrofik oleh endometrium (Mushonga
et al., 2017).
Corpus luteum persisten sebagian besar terkait dengan patologi uterus
seperti endometritis, pyometra, resorpsi janin, maserasi, mumifikasi dan uterine
unicornis (Rosadi, 2018). Endometritis dapat dikaitkan dengan CLP karena
kerusakan toksik pada endometrium, yang mencegah terjadinya sekresi
prostaglandin luteolitik. Jika kasus Corpus Luteum Persisten tidak di tangani
dengan baik maka akan terjadi sapi akan mengaalami anestrus dan tingkat
progesteron yang terus-menerus tinggi sehingga sapi sulit untuk bunting karena
CL tidak mengalami regresi (Lashari et al., 2012).
Tertahannya corpus luteum sering kali disebabkan oleh gangguan pada
uterus seperti pyometra, endometritis, maserasi foetus, dan mumifikasi fetus.
Endometrium merupakan tempat pelepasan hormon prostaglandin. Kejadian
endometritis dapat menyebabkan terhambatnya pelepasan hormon prostaglandin
dari dinding uterus. Prostaglandin berfungsi sebagai horman uterus yang
bersifat luteolitik yang menyebabkan regresinya corpus luteum. Hambatan
pelepasan prostaglin karena kasus endometritis, menyebabkan corpus luteum

3
tetap bertahan dan mensekreiskan progesteron, sehingga sapi mengalami
perpanjangan siklus birahi (Tuasikal et all., 2004).

Gambar 1. Corpus Luteum pada Sapi

B. Penyebab dan Akibat Corpus Luteum Persisten (CLP)


1. Penyebab
a. CLP bisa berasal dari CL yang normal, yaitu CL periodikum yang ada
pada setiap satu siklus birahi, kemudian mengecil menjadi korpus luteum
albikan (putih) karena lisis (meluruh) yang diakibatkan oleh pengaruh
Prostaglandin F2Alfa (PGF2α) yang membanjir pada masa akhir birahi;
b. CLP bisa juga berasal dari CL graviditatum (kebuntingan), yaitu setelah
induk melahirkan, secara normal akan mengalami lisis juga akibat kerja
PGF2α;
c. Bisa juga terjadi pada induk sapi setelah melahirkan, disebabkan adanya
patologi di uterus (piometra, maserasi fetus, mumifikasi fetus, emfisema
fetus) dan atau kematian embrio dini;
d. Induk sapi perah yang berproduksi susu banyak, >30 liter/hari, juga
sering diikuti oleh adanya CLP. Ini disebabkan hormon LTH yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior pasca melahirkan, menghambat
proses lisis dari korpus luteum graviditatum.

2. Akibat
a. Dengan adanya gangguan sekresi hormon progesteron yang tinggi
dalam darah di luar masa kebuntingan, yang dihasilkan oleh CLP, maka
akan terjadi gangguan birahi menjadi tidak birahi (an-estrus);

4
b. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya umpan balik negatif (negative
feedback mechanism) terhadap kelenjar hipofisa anterior sehingga
sekresi (pengeluaran suatu zat yang masih di dalam tubuh) hormon FSH
(Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Lutenizing Hormone) yang
menyebabkan terjadinya ovulasi (lepasnya sel telur) terhambat;
c. Induk sapi yang mengalami CLP selalu diikuti keadaan an-estrus
berkepanjangan, bisa berbulan-bulan bahkan bisa setahun lebih;
d. Pada sapi perah bisa berjalan antara 30 – 90 hari pasca melahirkan,
bahkan dapat lebih lama lagi bila tidak terdeteksi dan diterapi;
e. CLP pada sapi perah bisa meliputi ± 26% dari sapi yang baru
melahirkan. Bisa sembuh dengan sendirinya setelah beberapa bulan
kemudian;
f. CLP yang disebabkan adanya faktor patologi di uterus, menyebabkan
endometrium tidak mampu menghasilkan PGF2α sehingga CL tidak lisis.

Gambar 2. Anatomi Ovarium pada Sapi

C. Gejala Klinis Corpus Luteum Persisten (CLP)

Gejala klinis dari Corpus Luteum Persisten adalah anestrus dan ditemukan
corpus luteum persisten di salah satu ovarium. Adanya corpus luteum persisten
sering menyebabkan gangguan lainnya yaitu sebagai berikut:

1. Gangguan patologi uterus seperti pyometra, maserasi, dan mummifikasi

5
2. Perpanjangan days open selama 30-90 hari dan menghambat involusi
uterus
3. Sapi berproduksi susu tinggi karena corpus luteum akan merangsang
sekresi prolaktin dan mencegah produksi FSH.

Semua bentuk corpus luteum mampu menghasilkan hormon progesterone


sehingga corpus luteum persisten mempunyai kadar progesteron yang tinggi di
dalam darah. Tingginya progesterone menghasilkan negative feedback
mechanism terhadap kelenjar hipofise anterior sehingga FSH dan LH dihambat.
Akibatya adalah proses pertumbuhan folikel baru pada ovarium tidak terjadi dan
estrogen pun tidak disekresi sehingga terjadi anestrus

D. Diagnosa Corpus Luteum Persisten (CLP)


Diagnosa dari corpus luteum persisten dapat dilakukan dengan cra sebagai
berikut:
1. Recording siklus birahi
Hal penting yang diperlukan dalam mendiagnosa kasus corpus luteum
persisten adalah dengan melihat recording atau pencatatan siklus birahi.
Dengan adanya recording maka dapat diketahui sapi mana yang tidak
menunjukkan gejala estrus lebih dari satu siklus.
2. Palpasi perektal
Untuk mendiagnosa lebih lanjut perlu dilakukan palpasi parektal untuk
mengetahui adanya corpus luteum, kebuntingan, dan keadaan patologis
pada saluran genital terutama uterus. Apabila tidak ada kebuntingan dan
ditemukan corpus luteum maka dapat dikatan adanya corpus luteum
persisten dengan penyebab yang bervariasi. Hal-hal lain yang dapat
ditemukan pada palpasi perektal ini sangat tergantung dari penyakit yang
menjadi penyebab corpus luteum persisten.

Gambar 3. Palpasi parektal untuk mengetahui kondisi corpus luteum

6
3. Ultrasonografi (USG)
Dengan bantuan alat berupa ultrasonografi kita dapat lebih jelas
mendiagnosa dari corpus luteum persisten.

Gambar 4. Hasil USG Ovarium Sapi

E. Pencehagan dan Pengobatan Corpus Luteum Persisten (CLP)

Penanganan terhadap korpus luteum persisten dilakukan dengan


memperhatikan penyebabnya. Pencegahan corpus luteum persisten dapat
dilakukan dengan perbaikan manajemen, dan penyingkiran korpus luteum
persisten dengan cara manual atau dengan terapi PGF2α.
Terapi dengan pemberian PGF2α dan antibiotik yang diencerkan dengan
rute intrauterin. Menurut Sheldon et al. (2007) pengobatan CLP dapat dilakukan
dengan pemberian PGF2α, antibiotik, dan GnRH. Pemberian prostaglandin
diharapkan dapat meregresi corpus luteum sekaligus menurunkan kadar
progesteron. Penurunan progesteron diharapkan dapat menghilangkan hambatan
FSH dan LH.
Prostaglandin (PGF2α) adalah pengobatan pilihan untuk persisten korpus
luteum. Injeksi intramuskular 25 mg (dosis total). Dalam pengaplikasiannya
PGF2α, sering digunakan dalam proses sinkronisasi estrus. Mekanisme kerja
PGF2α yakni dengan cara melisiskan korpus luteum sebagai sumber progesteron.
Lisisnya korpus luteum mengakibatkan kadar progesterone dalam darah menurun
(sangat rendah), sementara kadar estrogen meningkat sehingga menyebabkan
terjadinya estrus (Imran, 2017). Pemberian prostaglandin secara intra muskular
dapat menurunkan progesteron dari 3.70 ng/ml menjadi 2.58 ng/ml dalam waktu

7
48 jam setelah pemberian. Kemudian, pemberian antibiotik dilakukan untuk
menghilangkan peradangan uterus sehingga pelepasan prostaglandin pada
dinding uterus tidak terhambat.
Selanjutnya pengobatannya tergantung penyebabnya. Jika penyebabnya
karena adanya infeksi pada uterus diobati dulu dengan antibiotik; setelah sembuh
baru disuntik dengan PGF2α. Jika penyebabnya karena adanya kematian fetus
(mumifikasi atau empisema fetus), fetus yang mati tersebut harus dikeluarkan dulu
yaitu dengan oksitosin atau estradiol benzoate supaya uterus berkontraksi
mendorong fetus keluar, kemudian diikuti pemberian PGF2α. Jika penyebabnya
karena produksi susu yang tinggi atau karena kematian embrio dini cukup dengan
PGF2α.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Corpus Luteum Persisten (CLP) merupakan keadaan dimana Corpus


Luteum (CL) tidak mengalami regresi pada sapi yang tidak mengalami
kebuntingan sehingga menyebabkan terjadinya anestrus. Penyebab CLP terjadi
setelah melahirkan, adanya patologi uterus , dan akibat kematian embrio dini,
sehingga pengobatannya pun tergantung penyebabnya.

B. Saran

Sebaiknya para peternak mampu mengenal jenis-jenis gangguan


reproduksi agar dapat dicegah sejak dini, begitupun dengan menejemen
pemeliharaan harus tetap diperhatikan agar ternak tidak mudah terserang
penyakit, begitupun dengan nutrisi ternak harus diberikan dalam jumlah cukup
semua kebutuhan ternak dalam keadaan seimbang.

9
DAFTAR PUSTAKA

Debby fadhillah. 2017. Corpus Luteum Persisten dan Cara Penanganannya


(Online). http://ilmuveteriner.com/ diakses pada 12 Agustus 2019.

Imran. 2017. Corpus Luteum Persisten (CLP). Laporan Koesistensi Reproduksi. Program
Pendidikan Profesi Dokter Hewan: Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Lashari, M. H., and Z. Tasawar. 2012. The effect of PGF2α on persistent corpus
luteum in Sahiwal cows. International Journal of Livestock Production. 3(1):
1-5.

Mushonga, B., B. Kaurivi, B. Chiwome, E. Kandiwa, dan G. Habarugir. 2017.


Persistent Corpus Luteum in a 9 Year-Old Afrikaner Cow. A Case Report.
Global Veterinaria. 18 (2): 146-150.

Mustofa. I., L. Mahaputra. 2007. Penyerentakan Birahi Sapi pada Fase Luteal dan
Hipofungsi Ovarium untuk Induksi Kebuntingan Kebar dengan Teknik
Transfer Embrio. Media Kedokteran Hewan. 16: 155-160.

Rosadi, B., T. Sumarsono., F. Hoesni. 2018. Identifikasi Gangguan Reproduksi


pada Ovarium Sapi Potong yang Mengalami Anestrus Postpartum Panjang:
Jurnal Veteriner. 19 (3): 385-389.

Riady, M. 2006. Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010.


Strategi dan Kendala. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Puslitbangnak, 5-6 September, 2006.

Tuasikal, B. J., T. Tjiptosumirat., R. Kukuh. 2004. Gangguan Reproduksi Sapi


Perah degan Teknik Radio Immunoassay (RIA) Progestoren. Risalah
Seminar Umiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi.

10

Anda mungkin juga menyukai