Anda di halaman 1dari 12

Septian Dio Perkasa

B0901201042
CYSTIC OVARI
1. Cystic folikel
Sebuah studi tahun 2003 oleh Hatler et al. menunjukkan bahwa folikel biasanya
berovulasi dengan diameter 17 mm, sehingga folikel yang bertahan pada diameter tersebut atau
lebih besar dapat dianggap sebagai sistik. Kista folikel, jika dibandingkan dengan kondisi kistik
ovarium lainnya, ditandai dengan dinding tipis dan menghasilkan progesteron dalam jumlah
yang sangat sedikit. Selama proestrus normal, regresi CL bertepatan dengan perkembangan
folikel yang dipilih, sedangkan pertumbuhan folikel tambahan dihambat. Pada hewan yang
mengalami sistik folikel, ovulasi gagal terjadi dan folikel dominan terus membesar. Komponen
penting dari etiologi adalah kegagalan umpan balik positif dari estrogen folikel di hipotalamus
melalui reseptor estrogen α untuk melepaskan GnRH yang cukup selama estrus untuk memicu
lonjakan LH. Hasil akhirnya adalah kegagalan ovulasi pada saat estrus.
Setelah terapi dengan hormon tipe-LH, estrus yang normal dan subur dapat diharapkan
dalam 15-30 hari. Pemulihan spontan dimungkinkan dan paling sering terjadi pada kasus yang
timbul selama 50 hari pertama setelah melahirkan. Demikian pula, pengobatan yang berhasil
mendorong kelangsungan penyakit dalam kawanan jika keturunannya digunakan untuk
berkembang biak (Youngquist dan Threlfall 2007).
2. Cystic Luteal
Rasio kejadian kista folikel dibandingkan kista luteal sangat bervariasi karena
kecenderungan diagnostik masing-masing dokter hewan. Secara klasik, cystic luteal
didefinisikan sebagai adanya struktur ovarium berisi cairan dengan diameter lebih dari 25 mm
yang bertahan selama lebih dari 7 hari tanpa CL dan dengan diameter dinding lebih dari 3 mm,
biasanya terkait dengan tanda reproduksi yang abnormal. Pembentukan lakuna normal di CL
mungkin salah diklasifikasikan sebagai cystic luteal (Aiello et al. 2016). Penyebab dasar kista
luteal sejati diyakini sama dengan kista folikel. Pelepasan hormon luteinizing (LH) mungkin
lebih besar daripada yang terjadi ketika kista folikel berkembang, dan cukup untuk memulai
luteinisasi folikel tetapi tidak memadai untuk menyebabkan ovulasi. Kista luteal mungkin
merupakan perluasan dari kista folikel sehingga folikel nonovulatorik sebagian luteinisasi secara
spontan atau sebagai respons terhadap terapi hormonal.
Menurut Aiello et al. (2016), kista luteal disertai dengan konformasi normal dan perilaku
anestesi. Palpasi rektal menunjukkan karakteristik uterus yang diam pada fase luteal dari siklus
estrus. Kista luteal dikenali sebagai kubah halus dan berfluktuasi yang menonjol di atas
permukaan ovarium. Biasanya, mereka adalah struktur tunggal. Kedua jenis kista tersebut
merespons terapi LH atau GnRH, tetapi PGF2α akan melisiskan beberapa kista luteal dan
umumnya semua struktur CL.
Pengobatan pilihan adalah dosis luteolitik PGF2α jika diagnosis yang benar dapat
dipastikan. Estrus normal diharapkan dalam 3-5 hari setelah perawatan. Batasan utama dari
perawatan ini adalah kesulitan dalam memperkirakan jumlah jaringan luteal yang ada secara
akurat. Jika struktur yang didiagnosis sebagai kista luteal benar-benar merupakan CL yang
sedang berkembang, ia mungkin tidak merespons karena sapi perah tidak menjadi sangat
responsif terhadap aksi luteolitik PGF2α sampai hari ke-6 setelah estrus (Bors et al. 2018).
3. Cystic Corpora Luteal
Sistik CL bersifat fisiologis dan berasal dari folikel yang telah membentuk rongga selama
perkembangan korpus luteum (Bartolome 2005). Secara klinis, sistik CL berbentuk bulat dan
kadang-kadang berfluktuasi dengan papilla ovulasi (Johnson 2004). Sistik CL dilaporkan
berfluktuasi ketika diraba lebih dari jaringan luteal normal, tetapi tidak sebanyak pada folikel
kistik. Umumnya, itu lebih besar dari CL tanpa rongga besar berisi cairan pada sapi selama
diestrus (Morrow et al 1966).
Umumnya, sistik CL belum dianggap sebagai anomali yang membutuhkan pengobatan.
Meskipun diagnosis tidak penting karena CL kistik tidak bersifat patologis dan oleh karena itu
tidak memerlukan pengobatan, waktu yang ideal untuk mendeteksi struktur adalah 5-7 hari
setelah estrus. Pada titik ini, struktur ovarium mendekati akhir tahap perkembangan korpus
hemmorhagicum (Kahn, 2010). Corpora lutea kistik adalah gambaran klinis normal yang
berkembang setelah ovulasi. Papilla ovulasi dapat dilihat di permukaan kista. Mereka tidak
menyebabkan kemandulan dan tidak memiliki signifikansi klinis. Pemeriksaan ultrasonografi
ovarium berguna untuk membedakan antara kista luteal dan korpus luteum kistik (Hansen et al
2000). Satu perbedaan utama antara sistik CL dan kista luteal adalah bahwa sistik CL terbentuk
setelah ovulasi. Umumnya, sistik CL ditentukan untuk memiliki tepi luteal yang "tebal" saat
diamati melalui ultrasonografi, meskipun penilaian ini subjektif.

CORPUS LUTEUM PERSISTEN


Corpus luteum persisten merupakan gangguan fungsi reproduksi yang disebabkan faktor
hormonal serta patologi pada uterus. Corpus luteum persisten disebabkan oleh peradangan
dinding endometrium yang mengakibatkan hormon PGF2α gagal meregresi corpus luteum.
Corpus luteum persisten dapat disebabkan oleh kurang nutrisi, sehingga prostaglandin tidak
mampu diproduksi dalam jumlah yang cukup (Blache dan Martin 2009). Frekuensi produksi LH
dipengaruhi oleh kebutuhan energi yang seimbang sesuai dengan kebutuhan pakan hewan.
Suplementasi lemak pada pakan dapat merubah sirkulasi hormone dan perkembangan folikel.
Suplementasi lemak dapat meningkatkan konsentrasi progesteron secara signifikan (Hawkins et
al. 1995). Manajemen pemeliharaan yang buruk pada masa postpartum menyebabkan uterus
rentan terhadap infeksi yang berujung pada tidak tejadinya luteolisis dan terbentuknya CLP
(Bittar et al. 2014).
Terapi yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan memperbaiki kondisi kesehatan
organ reproduksi betina. Prostaglandin berfungsi sebagai horman uterus yang bersifat
luteolitik yang menyebabkan regresinya korpus luteum. Hambatan pelepasan prostaglandin
karena kasus endometritis, menyebabkan korpus luteum tetap bertahan dan mensekresikan
progesteron, sehingga sapi mengalami perpanjangan siklus birahi (Tuasikal et al. 2004).
pengobatan Korpus Luteum Persisten dapat dilakukan dengan pemberian PGF2α, antibiotik, dan
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). Pemberian prostaglandin diharapkan dapat
meregresi korpus luteum sekaligus menurunkan kadar progesteron. Penurunan progesteron
diharapkan dapat menghilangkan hambatan FSH dan LH. Induksi preparat prostaglandin secara
intrauterin ataupun intramuskular berdampak positif terhadap terjadinya estrus. Menurut Mustofa
dan Mahaputra (2000), pemberian prostaglandin secara intrauterin dapat menurunkan kadar
progesteron hingga 0.13 pg/ml pada saat sapi estrus. Pemberian prostaglandin secara
intramuskular dapat menurunkan progesteron dari 3.70 ng/ml menjadi 2.58 ng/ml dalam waktu
48 jam setelah pemberian.

DAFTAR PUSTAKA
Aiello S, Moses M, Allen D. 2016. PEDOMAN VETERINER MERCK. Edisi ke-11.
Kenilworth, NJ, AS: Merck & Co. Inc. 127-136.
Bartolome JA, Thatcher WW, Melendez P, Risco CA, dan Archbald LF. 2005. "Strategi untuk
Diagnosis dan Pengobatan Kista Ovarium pada Sapi Perah." JAVMA. 277.9: 1409-1414.
Mencetak.
Bittar JH, Pinedo, Risco CA, Santos JE,nThatcher WW, Hencken KE, Croyle S, Gobikrushanth
M, Barbosa CC, Vieira-Neto A, Galvao KN. 2014. Inducing Ovulation Early Postpartum
Influences Uterine Health and Fertility in Dairy Cows. Journal of Dairy Science.
97:3558-3569.
Blache D, Martin GB, 2009. Focus feeding to improve reproductive performance in male and
female sheep and goats how it works and strategies for using it. In: Papachristou, TG,
Parissi, ZM, Ben SalemH, Morand-Fehr, P. (Eds.). Nutritional and Foraging Ecology of
Sheep and Goats. CiheamIamz/Fao/Nagref, Zaragoza, pp. 351–364.
Bors S, Ibanescu I, Creanga S, Bors A. 2018. Kinerja reproduksi pada sapi perah dengan
penyakit ovarium kistik setelah pengobatan tunggal dengan buserelin asetat atau
dinoprost. Jurnal Ilmu Kedokteran Hewan, 80 (7): 1190-1194
Hansen C, Pieterse M, Scenczi O, Drost M. 2000. Akurasi relatif dari identifikasi struktur
ovarium pada sapi dengan ultrasonografi dan palpasi per rektum. Jurnal Kedokteran
Hewan.159: 161–170.
Hawkins DE et al. 1995. An increase I serum lipids increases luteal lipid content and alters the
disappearance rate of progesterone in cows. Journal of Animal Science. 73:541.
Johnson, CJ, 2004. Penyakit ovarium kistik pada sapi pada sapi perah di Ohio tengah dan Barat:
Penilaian ultrasonik, hormonal, histologis, dan metabolik. Disertasi doktoral, The Ohio
State University.
Kahn, Cynthia M. 2010. "Penyakit Ovarium Kistik." Manual Kedokteran Hewan Merck. Ed.
Scott Line. Edisi ke-10. Whitehouse Station, NJ: Merck. 1243-1247.
Morrow DA, Roberts SJ, McEntee K, dan Grey HG. 1966. Aktivitas Ovarium Pasca Persalinan
dan Involusi Uterus pada Sapi Perah. Jurnal Asosiasi Kedokteran Hewan Amerika. 149:
1596-1609.
Mustofa I, Mahaputra L. 2000. Penyerentakan birahi sapi pada fase luteal dan hipofungsi
ovarium untuk induksi kebuntingan kebar dengan teknik transfer embrio. Media
Kedokteran Hewan. 16 (1): 155 – 160.
Tuasikal BJT, Tjiptosumirat, Kukuh R. 2004. Gangguan Reproduksi Sapi Perah Dengan
Teknik Radio Immunoassay (RIA) Progesteron. Jakarta (ID): Umiah Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi lsotop dan Radiasi.
Youngquist RS, dan Threlfall WR. 2007. "Kista Folikel Ovarium." Terapi Saat Ini dalam
Theriogenology Hewan Besar. St. Louis, MO: Saunders Elsevier. 379-383.

SAVIRA SALSABILAH
B0901201037
Kista Ovarium
Kista Ovari adalah kelainan pada struktur ovarium yang disebabkan karena gangguan
mekanisme neuroedokrin pada hipofisa anterior. Kista ovarium terbagi menjadi 3 yaitu kista
folikel, kista luteal, kista corpopra luteal.
Kista Folikel
Ciri-ciri kista folikuler adalah dindingnya tipis, terisi cairan dan berdiameter >25mm.
Gejala klinis kista folikel dapat berupa nimfomania. Nimfomania adalah suatu keadaan dimana
hewan betina menunjukkan gejala estrus lebih dari satu kali dalam satu siklus estrus tanpa
disertai terjadinya ovulasi. Kista folikel umumnya terjadi karena hormon LH tidak mencukupi
ovarium untuk ovulasi. Setiap folikel pada kista folikel mampu menghasilkan estrogen sehingga
apabila kista folikel terdiri dari banyak folikel maka akan terjadi akumulasi estrogen, akibatnya
akan muncul tanda estrus dan dapat terjadi lebih dari satu kali dalam satu siklus estrus (Hermadi
2015). Pada pemeriksaan rektal akan teraba pada permukaan ovarium terdapat benjolan yang
berdiamter 2.5-5cm (pada sapi perah) dengan permukaan yang halus, lunak dan berisi cairan
dengan jumlah satu atau lebih yang ditemukan pada salah satu atau kedua ovarium. Parabaan
pada uterus terasa tonus uterus yang kendor, pada serviks, vagina dan vulva terasa lebih besar
dan kendor karena terjadi oedema. Kista folikel umunya terjadi pada dua ovarium. Pengobatan
yang paling umum digunakan untuk kista folikel adalah GnRH, yang menghasilkan peningkatan
LH dengan segera mensekresi dan luteinisasi kista. Kista tidak terjadi ovulasi, tetapi folikel lain
pada saat pengobatan dapat berovulasi (Brito dan Palmer 2004).
Kista Luteal
Kista luteal adalah kista yang terjadi karena pada saat terbentuk kista folikel dimana
kadar LH rendah tetapi pada saat yang bersamaan terjadi pelepasan LTH yang cukup banyak
menyebabkan pada permukaan folikel akan terjadi proses luteinisasi sehingga terbentuk sel luteal
pada permukaan folikel. Kista luteal sering terjadi pada sapi perah dengan produksi susu tinggi
pasca melahirkan (Statham 2015). Pada pemeriksaan per rektal akan sulit dibedakan antara kista
folikel dengan kista luteal walaupun kista luteal mempunyai dinding yang lebih tebal karena
dinding kista luteal terdiri dari sel yang telah mengalami lutenisasi. Karena dinding kista luteal
terdiri dari sel luteal maka kista luteal mampu menghasilkan progesteron dalam jumlah yang
cukup tinggi sehingga gejala klinis pada kasus kista luteal adalah terjadinya anestrus pada
penderita. Kista luteal dapat ditemukan secara bersamaan dengan adanya korpus luteum yang
normal baik pada ovarium yang sama atau pada ovarium yang berbeda. Penangan pada kasus
kista luteal dapat dilakukan dengan cara pemijatan kista secara manual melalui palpasi rektal
atau pemberian preparat PGF2α untuk melisiskan sel luteal diikuti dengan pemberian LH atau
HCG untuk merangsang ovulasi. Pemberian preparat GnRH dapat dilakukan pada kasus kista
folikel atau kista luteal.
Kista corpus luteum
Kista korpus luteum terbentuk dari folikel yang telah mengalami ovulasi dan terbentuk
korpus luteum yang normal, namun dalam perkembangannya pada bagian tengah korpus luteum
terbentuk rongga yang berisi cairan. Kista korpus luteum selalu bersifat tunggal dan pada palpasi
rektal mudah dibedakan dengan kista yang lain karena ukurannya yang lebih besar menyerupai
ukuran korpus luteum normal tetapi memiliki konsistensi yang lebih lunak dan lebih fluktuatif.
Penderita kista korpus luteum memiliki siklus estrus normal, mengalami ovulasi dan bila terjadi
kebuntingan dapat menghasilkan progesteron dengan kadar yang cukup untuk memelihara
kebuntingan.
Corpus Luteum Persisten
Corpus Luteum Persisten adalah kejadian dimana korpus luteum gagal mengalami regresi
dan terus menerus menghasilkan progresteron. Progresteron merupakan hormone reproduksi
yang dihasilkan oleh korpus luteum dan berfungsi untuk menjaga kebuntingan pada sapi. korpus
luteum terbentuk dari hipertropi dan hyperplasia dari sel granulosa folikel yang berkembang
secara perlahan. Korpus luteum berfungsi untuk mempertahankan kebuntingan. Corpus Luteum
Persistent (CLP) merupakan keadaan dimana korpus luteum tidak mengalami regresi setelah dua
puluh hari terbentuk pada sapi yang tidak bunting. Ketika tidak terjadi kebuntingan pada sapi
maka uterus akan memproduksi prostaglandin yang merupakan zat luteolitik terhadap korpus
luteum. Gangguan pada uterus berupa pyrometra, mumifikasi, meserasi fetalis dan penyakit-
penyakit lain dapat mempengaruhi keadaan normal endometrium, sehingga akan membuat
pelepasan prostaglandin bermasalah atau terhambat. Hal ini dapat berakibat pada hilangnya
kinerja luteolitik. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya Corpus Luteum Persistent. Selain itu,
Corpus Luteum Persistent dapat terjadi akibat perkawinan yang tidak steril melalui inseminasi
buatan yang dilakukan secara tidak lege artist. Hal ini menyebabkan terjadinya infeksi pada
uterus (Asher et al. 2000).
Induk yang memiliki produksi susu lebih dari 30L/hari juga dapat terkena Corpus
Luteum Persistent. Hal ini disebabkan keberadaan prolactin yang tinggi sehingga memberikan
negative feeback terhadap Gonadotropin Releasing Hormon sehingga produksi FSH dan LH
akan terganggu. Grattan et al. (2007) memaparkan bahwa prolactin dapat mempengaruhi kerja
Gonadotropin Releasing Hormon secara tidak langsung melalui afferent pathways. Prolactin
secara potensial menekan biosintesis dan sekresi Gonadotropin Releasing Hormon dalam sel
GT1, data ini menunjukan kemungkinan prolaktin dapat secara langsung mengatur neuron
Gonadotropin Releasing Hormon secara in vivo.
Daftar Pustaka

Asher G, O’Neill K, Scott B, Mocker M, Fisher. 2000. Genetic influences on reproduction of


female red deer (Cervus Elaphus) : (1) seasonal luteal cyclicity. Animal Reproduction
Science. 59(1-2): 43-59.
Brito LFC, Palmer CW. 2004. Cystic ovarian disease in cattle. Large Animal Veterinary.
4(10):1-6.
Grattan DR, Jasoni CL, Liu X, Anderson GM, Herbison AE. 2007. Prolactin Regulation of
Gonadotropin-Releasing Hormon Neurons to Suppress Luteinizing Hormone Secretion in
Mice. Endocrinology. 148(9):4344-4351
Hermadi HA. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran pada Ternak menuju Kemandirian di
Bidang Kesehatan Reproduksi Hewan dan Ketahanan Pangan di Indonesia.
Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Statham J. 2015. Overview of Cystic Ovary Disease in Large Animals. North Yokshire (UK):
Bishopton Veterinary Group.
Shilla Rahmafia Putri
B0901201016
Cystic ovari
Cystic ovari merupakan gangguan reproduksi yang ditandai dengan adanya perkembangan
folikel yang lebih besar dan bersifat patologis pada ovarium dengan gejala nymphomania atau
anestrus. Nymphomania merupakan gejala yang menunjukkan adanya estrus yang frekuen, tidak
teratur, dan terus menerus. Sapi sering berusaha menaiki betina lain, namun menolak untuk
dinaiki. Cystic ovari dapat disebabkan oleh kegagalan pelepasan LH yang tidak hanya
menyebabkan kegagalan ovulasi, namun juga menyebabkan tertahannya folikel besar lainnya
(Yahya 2017). Proses normal ovulasi diatur oleh hormon estrogen dan LH. Peningkatan estrogen
akan memberikan umpan balik positif dalam proses sintesis LH. Peningkatan LH akan
menyebabkan peningkatan PGE2 yang akan menyebabkan peningkatan darah ke folikel dominan
dan peningkatan PGF2a yang akan menimbulkan kontraksi otot polos ovarium. Peningkatan
aliran darah ke folikel dan adanya kontraksi otot memberikan tekanan pada folikel sehingga
memicu terjadinya ovulasi. Selain itu, adanya luteinisasi akan meningkatkan progesteron yang
akan mensintesis kolagenase. Kolagenase akan berperan dalam perapuhan dinding folikel yang
juga memicu terjadinya ovulasi.
Cystic ovari dibedakan menjadi tiga, yaitu cystic folikuler, cystic luteal, cystic corpora
luteal. Menurut Hermadi (2015), cystic folikuler terjadi karena kurangnya hormon LH, namun
kadar hormon FSH tinggi sehingga mendorong terbentuknya folikel-folikel muda yang tidak
pernah mengalami ovulasi. Kejadian cystic folikuler ditandai dengan gejala nimphomania dalam
satu siklus birahi namun tidak disertai dengan ovulasi. Hal ini terjadi karena kista terdiri dari
banyak folikel sehingga terjadi akumulasi hormon estrogen dalam darah. Cystic luteal terjadi
akibat corpus luteum gagal berkembang akibat defisiensi LH. LH yang tidak cukup menginduksi
ovulasi menyebabkan secara parsial luteinisasi folikel yang mempoduksi hormon progesteron.
Pada kondisi cystic luteal hewan tidak mengalami ovulasi. Cystic folikuler biasanya ditemukan
dalam jumlah banyak, sedangkan cystic luteal biasanya ditemukan dalam jumlah tunggal. Cystic
corpora luteal berasal dari corpus luteum. Pada awal pembentukan corpus luteum, sel theca
interna membran akan berpoliferasi secara cepat dan biasanya meninggalkan lubang. Apabila
lubang yang ditinggalkan memiliki ukuran >8mm, maka disebut cystic. Cystic corpora luteal
terjadi setelah proses ovulasi.
Terapi yang diberikan pada kasus cystic ovari disesuaikan dengan jenis dan penyebab
cystic ovari. Menurut Bhattacharyya et al. (2016), terapi yang dapat diberikan pada kasus cystic
folikuler adalah dengan terapi hormon GnRH yang dapat merangsang pelepasan LH dan hormon
gonadotropin yang dapat bertindak seperti LH seperti hCG. Hormon gonadotropin akan
menstimulasi ovulasi dengan tujuan melepaskan oosit dan membentuk corpus luteum. Terapi
yang dapat diberikan pada cystic luteal adalah dengan pemberian hormon PGF2a. Hormon
prostaglandin akan menggertak regresi corpus luteum yang ada di ovarium.

Corpus Luteum Persisten


Corpus luteum persisten (CLP) merupakan gangguan reproduksi dimana corpus luteum
tertahan akibat tidak mengalami regresi. Corpus luteum menetap pada ovarium dalam jangka
waktu lama (lebih dari 1 siklus estrus) dengan ukuran yang tidak mengalami perubahan sehingga
progestron dihasilkan secara terus menerus dan menyebabkan terjadinya anestrus. Gejala klinis
dari corpus luteum persisten adalah anestrus lebih dari satu siklus dan ditemukan corpus luteum
di salah satu ovarium (Noakes et al. 2009).
CLP disebabkan karena gangguan terhadap produksi prostaglandin akibat adanya infeksi
pada uterus dan inflamasi pada jaringan yang akan menghalangi produksi dan pelepasan
prostaglandin, sehingga corpus luteum tidak akan lisis akibat sebagai tingginya level
progesteron. Corpus luteum persisten (CLP) dapat disebabkan oleh kondisi patologis dan non
patologis. Kondisi patologis dapat disebabkan karena mumifikasi fetus, maserasi fetus,
endometritis, metritis, dan pyometra. Adanya patologi uterus mengakibatkan endometrium tidak
mampu memproduksi prostaglandin sehingga tidak mampu meregresi korpus luteum, seperti
pada kondisi endometritis, pyometra, dan metritis yang disebabkan karena infeksi bakteri. Infeksi
bakteri disebabkan karena hadirnya bakteri Escherichia coli (E.coli), hal ini disebabkan karena
uterus postpartum rentan mengalami infeksi bakteri melalui serviks yang terbuka. Kondisi non
patologis dapat disebabkan karena produksi susu yang tinggi, hal ini karena corpus luteum akan
merangsang sekresi prolaktin dan mencegah produksi FSH. Menurut Hermadi (2015), CLP dapat
terjadi pada sapi perah dengan produksi susu yang tinggi akibat hormon LTH yang dihasilkan
hipofisa anterior pasca partus menghambat proses lisis dari corpus luteum graviditatum yang
seharusnya mengecil menjadi corpus luteum albikan sehingga menyebabkan menghambatnya
sekresi hormon FSH dan LH sehingga tidak ada pertumbuhan dari folikel dan induk sapi
mengalami anestrus.
Terapi yang dilakukan pada kasus CLP harus didasarkan pada diagnosa perbandingan yang
teliti. Menurut Listiani (2005), terapi yang dilakukan untuk mengatasi CLP tergantung pada
penyebabnya. Terapi untuk corpus luteum persisten (CLP) pada umumnya dilakukan dengan
pemberian injeksi prostaglandin (PGF2a) yang berfungsi untuk melisiskan corpus luteum. Jika
terjadi gangguan pada uterus seperti endometritis harus diobati terlebih dahulu menggunakan
antibiotik berspektrum luas. Pencegahan kasus CLP dapat dilakukan dengan memperhatikan
manajemen dan penanganan ternak untuk meningkatkan kesuburan ternak. Pencegahan tersebut
meliputi cara pemeliharaan hewan ternak, pemberian pakan, pengamatan terhadap birahi dan
aktivitas reproduksi lainnya dan pelaksanaan inseminasi yang tepat agar tidak terjadi kegagalan
reproduksi pada ternak.

Daftar Pustaka
Bhattacharyya HK, Fazili MUR, Bhat FA. 2016. Ovarian cyst in crossbred cattle of temperate
region, a retrospective study of 54 cases. J Adu Vet Res 6(4): 101-104.
Hermadi HA. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju Kemandirian
Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan dan Ketahanan Pangan di Indonesia. Surabaya
(ID): Perpustakaan Universitas Airlangga.
Listiani D. 2005. Pemberian PGF2α pada sapi peranakan Ongole yang mengalami gangguan
korpus luteum persisten [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Noakes D, Parkinson T, England G. 2009. Veterinary Reproduction and Obstetrics. Amsterdam
(NL): Elsevier Health Sciences.
Yahya MI. 2017. Tingkat kejadian gangguan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten
Enrekang [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Shilla Rahmafia Putri
B0901201016

CYSTIC OVARI

Cystic ovari perupakan suatu penyakit pada sapi yang menyebabkan berkurangnya
efisiensi reproduksi dan kerugian ekonomi dalam industri produksi susu. Penyakit cystic ovari
ditandai dengan adanya folikel anovulatorik yang besar dan persisten di ovarium. Cystic ovari
merupakan hasil dari kerusakan mekanisme neuroendokrin yang mengendalikan siklus ovulasi
dan dapat menyebabkan gangguan siklus estrus. (Leonardo 2004). Kista ovari yang berasal dari
proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan
luteal yang kadang-kadang disebut kista thecalutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh
gonadotropin, termasuk FSH dan HCG.
Cystic ovari merupakan salah satu dari kelainan pada ovarium yang ditandai dengan
pengumpulan cairan cystic pada folikel ovarium, baik folikel yang sudah ovulassi maupun yang
belum ovilasi, sehingga biasanya ukuran folikel tersebut lebih besar dari normal. Sebab dasar
dari kejadian cystic ovari adalah kegagalan hipofisa melepaskan sejum;ah luitenizing hormon
(LH), sebanyak yang dibutuhkan untuk ovulasi dan pembentukan corpus luteum.
Roberts (1971) menyebutkan bahwa cystic ovari dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu:
cystic folikel atau cystic degenerasi dari folikel de graaf, cystic luteal dan cystic corpus luteum.
Cystic folikel dan cystic luteal adalah cystic anovulatorik, terjadi pada folikel yang belum
ovulasi, sedangkan cystic corpus luteum adalah cystic ovulatorik atau yang telah mengalami
ovulasi.
Gejala klinis cystic ovari adalah nimphomania (estrus berulang), keinginan seksual yang
hebat dan atau anestrus (tidak berahi). Terlihat adanya relaksasi dari ligamentum
sakroischiadikum, odema vulva dan peningkatan besar uterus, pangkal ekor terangkat keatas dan
tulang pelvis menurun serta melenguh seperti sapi jantan. Pada palpasi rektal alat kelamin terasa
atonik dan agak odematos, servks dan uterus membesar, dindingnya tebal dan lemas. Pada
keadaan kronis uterus atropis, kecil dan lunak.
Penanganan cystic ovari harus didasarkan pada perkembangan korpus luteum yang
berfungsi secara normal bisa dengan penyuntikan preparat LH atau oencegahan pelepasan LH
yang terus menerus dengan penyuntikan progesteron.
CORPUS LUTEUM PERSISTEN

Corpus luteum persisen merupakan tertahannya korpus luteum (CL) karena tidak
mengalami regresi. CL menetap dalam ovarim dalam jangka waktu lama (>1 siklus estrus) dan
ukuran tidak mengalami perubahan, sehingga dapat menghasilkan progesteron terus-menerus dan
menimbulkan gangguan reproduksi dengan gejala anestrus. CLP disebabkan karena gangguan
terhadap produksi progtaglandin akibat adanya infeksi pada uterus dan inflamasi pada jaringan
yang akan menghalangi produksi dan pelepasan prostaglandin, sehingga corpus luteum tidak
akan lisis akibat sebagai tingginya level progesteron (Noakes et al 2009). Kondisi CLP ditandai
dengan adanya CL pada ovarium, kadar progesteron dalam darah mengalami peningkatan, dan
kebuntingan semu atau pseudo-pregnancy. CLP mengarah kepada kondisi patologis dan non
patologis organ kelamin betina. Kondisi patologis yang disertai dengan CLP yaitu endometritis
dan pyometra. Sedangkan, kondisi non patologis dapat disebabkan produksi susu tinggi, involusi
uteri yang terhambat, dan terapi obat non steroid anti inflamation drugs (NSAIDs).

CLP dapat berasal dari korups luteum normal yaitu korpus luteum periodikum dan korpus
luteum graviditataum. Korpus luteum periodikum merupakan korpus luteum yang secara
periodik ada pada satu siklus birahi, kemudian mengecil menjadi korpus albicans karena proses
lisis/regresi oleh prostaglandin. Korpus luteum graviditatum merupakan korpus luteum yang
hadir selama proses kebuntingan dan akan regresi/lisis karena adanya prostaglandin. CLP dalam
keadaan normal mengalami regresi 30-90 hari paska melahirkan, keadaan ini disebabkan karena
adanya involusi uteri yang lambat (Mushonga 2017, Hermandi 2015).

Corpus luteum persisten (CLP) dapat disebabkan oleh kondisi patologis dan non
patologis. Kondisi patologis dapat disebabkan karena mumifikasi fetus, maserasi fetus,
endometritis, metritis, dan pyometra. Sedangkan kondisi non patologis dapat disebabkan karena
produksi susu yang tinggi, involusi uteri yang terhambat dan pengobatan NSAIDs. Pada sapi
perah produksi susu yang tinggi umum ditemukan CLP, hal ini disebabkan karena adanya
hormon LTH (Luteotropic hormone) yang dihasilkan oleh hipofisa anterior pasca melahirkan.
Hadirnya LTH mampu menghambat proses regresi/lisis korpus luteum graviditatum, sehingga
akan menghambat sekresi hormon FSH (Follicle stimulating hormon) dan LH (Luteizing
hormone). Hambatan sekresi hormon FSH dan LH mengakibatakan pertuhumbuhan folikel tidak
terjadi dan induk hewan dalam keadaan anestrus.

Pengobatan dengan preparat NSAIDs dapat mengakibatkan penghambatan sintesis


prostaglandin. Hambatan terjadi melalui penghambatan kerja enzim sikloogsigenase yang
bekerja pada jalur koversi asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan di konversi menjadi
prostaglandin dan tromboksan. Apabila terjadi penghambatan enzim siklooksigenase maka asam
arakhidonat tidak dapat dikonversi, sehingga produksi prostaglandin menurun. Sediaan NSAIDs
yang sering digunakan anatara lain meloxicam, ibuproven aspirin, dan dypirone (Zahra 2017).
Sediaan NSAIDs dypirone sering digunakan pada sapi penderita Bovine Ephemeral Fever (BEF).
Dypirone bekerja dengan menghambat secara reversible enzim siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2, dan mengakibatkan penurunan produksi perkusor prostaglandin (COX-1 dan
COX-2) (Nururrozi 2017).

Gejala klinis dari corpus luteum persisten adalah anestrus lebih dari satu siklus dan
ditemukan corpus luteum disalah satu ovarium. Adanya corpus luteum sering menyebabkan
gangguan lainnya, yaitu:
 Gangguan patologi uterus seperti pyometra, maserasi dan mummifikasi.
 Perpanjangan days open selama 30-90 hari dan menghambat involusi uterus.
 Sapi berproduksi susu tinggi karena corpus luteum akan merangsang sekresi prolaktin
dan mencegah produksi FSH.

Semua bentuk corpus luteum mampu menghasilkan hormon progesteron sehingga


penderita corpus luteum persisten mempunyai kadar progesteron yang tinggi didalam darah.
Tinggi progesteron ini menghasilkan negative feedback mechanism terhadap hipotalamus yang
mensekresikan GnRH yang mempengaruhi hipofise aterior sehingga sekresi FSH dan LH
dihambat. Akibatnya adalah proses pertumbuhan folikel baru pada ovarium tidak terjadi dan
estrogen tidak disekresi sehingga terjadi anestrus.

Penanggulangan terhadap adanya korpus luteum persisten (CLP) harus didasarkan pada
diagnose perbandingan yang teliti. Terapi yang dilakukan untuk mengatasi CLP tergantung pada
penyebabnya. CLP dapat disingkirkan dengan melakukan enukleasi namun metode ini jarang
digunakan. Terapi untuk corpus luteum persisten (CLP) pada umumnya dilakukan dengan
pemberian injeksi prostaglandin (PGF2a) yang berfungsi untuk melisiskan corpus luteum. Jika
terjadi gangguan pada uterus seperti endometritis harus diobati terlebih dahulu menggunakan
antibiotic berspektrum luas yaitu oksitetrasiklin. Menurut Sheldon dan Noakes (1998) antibiotic
ini efektif digunakan untuk terapi endometritis. Oksitetrasiklin bersifat bakteriostatik, bekerja
dengan menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom, merupakan antibiotic berspektrum
luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan negative (Plumb 1999). Injeksi PGF2a dapat
dilakukan apabila tidak ada gangguan lainnya pada uterus. Penyuntikan hormone PGF2a pada
sapi dapat diberikan dengan dosis 5 – 10 mg secara injeksi intramuskuler, sedangkan pada
kambing dan domba dapat diberikan dosis 2 – 4 mg secara injeksi intramuskuler.

Penanganan corpus luteum persisten (CLP) yang dapat dilakukan yaitu dengan
memperhatikan manajemen dan penanganan ternak untuk meningkatkan kesuburan ternak.
Pencegahan tersebut meliputi cara pemeliharaan hewan ternak, pemberian pakan, pengamatan
terhadap birahi dan aktivitas reproduksi lainnya dan pelaksanaan inseminasi yang tepat agar
tidak terjadi kegagalan reproduksi pada ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Hermandi HA. 2016. Pemberantasan Kasus Kemajiran pada Ternak Menuju Kemandirian
Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan dan Ketahanan Pangan di Indonesia.
Surabaya(ID): Airlangga University Press.
Leonardo B. Colin W. 2004. Cystic ovarian disease in cattle. Journal Large Animal Veterinary 4(1):10-16.

Mushonga B, Kaurivi B, Chiwome B. 2017. Persistent corpus luteum in a 9 year-old Africaner


Cow: a case report. Global Veterinaria. 18(2):146-150.
Noakes D, Parkinson T, England G. 2009. Veterinary Reproduction and Obstetrics.
Amsterdam(NL): Elsevier Health Sciences.
Nururrozi A, Fitranda M, Indarjulianto S, Yanuartono. 2017. Bovine ephemeral fever on cattle in
Gunungkidul district Yogyakarta (case report). Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 27(1): 101-
106.
Plumb D. 1999. Veterinary Drug Handbook. Ames(US): Iowa State University Press.
Roberts S. 1971. Veterinary Obstetric and Genital Disease (Theriogenology). CBS. Publisheis &
Distributor India.

Zahra AP, Carolia N. 2017. Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS): gastroprotektif vs


kardiotoksik. Majority. 6(3): 153-158.

Anda mungkin juga menyukai