Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH KASUS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

CORPUS LUTEUM PERSISTEN

Disusun oleh:
Kelompok D5 PPDH Periode I Tahun Ajaran 2020/2021

Malcolm Lee KH, SKH B0901201810


R Yuda H, SKH B0901201020
Hadzash PS, SKH B0901201059
Widya Anggrainy, SKH B0901201060

Dosen Pembimbing:
Prof. Drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, PhD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
CORPUS LUTEUM PERSISTEN

Definisi

Gangguan reproduksi merupakan masalah yang dapat menimbulkan


kegagalan fungsi reproduksi secara total atau kemajiran (Ball dan Peters 2004).
Salah satu gangguan reproduksi yang sering ditemui adalah Corpus Luteum
Persisten (Achjadi 2013). Corpus luteum persisten merupakan gangguan reproduksi
yang disebabkan faktor hormonal serta patologi pada uterus. Hermadi et al (2017)
menyebutkan bahwa corpus luteum persisten merupakan kondisi corpus luteum
yang mengalami regresi dan tetap berada pada ovarium dalam jangka waktu yang
lama.

Penyebab

Corpus luteum persisten disebabkan oleh peradangan dinding endometrium


yang mengakibatkan hormon PGF2α gagal meregresi corpus luteum (Listiani
2015). Patologi uterus seperti pada endometritis dapat menyebabkan terganggunya
produksi PGF2α (Magata et al 2012). Menurut Destomo (2014), pada corpus
luteum persisten progesteron memiliki kadar yang sangat tinggi yang berujung pada
negative feedback hipofise anterior. Kegagalan regresi corpus luteum oleh FSH dan
LH menyebabkan folikel tidak dapat berkembang sehingga ovulasi tidak dapat
terjadi (Toelihere 2003). FSH dan LH sendiri merupakan hormon protein yang
disekresikan oleh hipofise anterior dan bertanggung jawab dalam pematangan dan
perkembangan folikel yang berakhir pada sekresi estrogen dan menimbulkan gejala
estrus (Menchacha dan Rubianes 2001).
Corpus luteum persisten juga dapat disebabkan oleh kurang nutrisi,
sehingga prostaglandin tidak mampu diproduksi dalam jumlah yang cukup (Blache
dan Martin 2009). Canfield dan Butler (1990) menyebutkan bahwa frekuensi
produksi LH dipengaruhi oleh kebutuhan energi yang seimbang sesuai dengan
kebutuhan pakan hewan. Suplementasi lemak pada pakan dapat merubah sirkulasi
hormon dan perkembangan folikel. Suplementasi lemak dapat meningkatkan
konsentrasi progesteron secara signifikan (Hawkins et al 1995). Manajemen
pemeliharaan yang buruk pada masa postpartum menyebabkan uterus rentan
terhadap infeksi yang berujung pada tidak tejadinya luteolisis dan terbentuknya
CLP (Bittar et al 2014).
Gejala Klinis

Gejala klinis dari corpus luteum persisten yang dapat diamati adalah tidak
ditemukan tanda birahi pada beberapa siklus estrus hewan (Ratnawati et al 2007).
Kegagalan pertumbuhan folikel menyebabkan ketiadaan hormon estrogen dan
muncul gejala anestrus (Arsyad dan Yudistira 2011).

Predisposisi

Predisposisi korpus luteum persisten biasanya terjadi setelah kelahiran yang


erat kaitannya dengan gangguan organ reproduksi seperti adanya mumifikasi janin,
endometritis, atau pyometra. Selain itu, mastitis dan negative feedback dapat
menyebabkan fase luteal yang berkepanjangan. Secara umum dianggap bahwa
gangguan alat reproduksi akan menghambat pembentukan PGF2α yang
menyebabkan korpus luteum persisten (Magata et al 2012)
Obat-obatan seperti Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAIDs)
menyebabkan penghambatan siklooksigenase sehingga dapat mengurangi produksi
hormon prostaglandin. Rendahnya hormon prostaglandin akan mengurangi
kontraksi uterus (Dawood et al 2007). Prostaglandin yang dihasilkan merupakan
turunan dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat dihasilkan dari
proses esterifikasi dari asam lemak pada fosfolipid dan juga esterifikasi dari
kolesterol. Asam arakhidonat selanjutnya akan memasuki lintasan metabolisme
siklooksigenase dan lipoksigenase. Asam arakidonat yang memasuki lintasan
metabolisme siklooksigenase akan dikatalisir oleh enzim cyclooxygenase (COX)
dengan produk yaitu prostaglandin (Fortier et al 2008).

Terapi

Terapi yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan memperbaiki


kondisi kesehatan organ reproduksi betina. Tertahannya korpus luteum sering kali
disebabkan oleh gangguan pada uterus seperti pyometra, endometritis, maserasi
foetus, dan mumifikasi fetus. Endometrium merupakan tempat pelepasan hormon
prostaglandin. Kejadian endometritis dapat menyebabkan terhambatnya pelepasan
hormon prostaglandin dari dinding uterus. Prostaglandin berfungsi sebagai horman
uterus yang bersifat luteolitik yang menyebabkan regresinya korpus luteum.
Hambatan pelepasan prostaglandin karena kasus endometritis, menyebabkan
korpus luteum tetap bertahan dan mensekresikan progesteron, sehingga sapi
mengalami perpanjangan siklus birahi (Tuasikal et al 2004).
Menurut Sheldon et al (2007), pengobatan corpus luteum persisten dapat
dilakukan dengan pemberian PGF2α, antibiotik, dan Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH). Pemberian prostaglandin diharapkan dapat meregresi korpus
luteum sekaligus menurunkan kadar progesteron. Penurunan progesteron
diharapkan dapat menghilangkan hambatan FSH dan LH. Induksi preparat
prostaglandin secara intrauterin ataupun intramuskular berdampak positif terhadap
terjadinya estrus. Menurut Mustofa dan Mahaputra (2000), pemberian
prostaglandin secara intrauterin dapat menurunkan kadar progesteron hingga 0.13
pg/ml pada saat sapi estrus. Pemberian prostaglandin secara intramuskular dapat
menurunkan progesteron dari 3.70 ng/ml menjadi 2.58 ng/ml dalam waktu 48 jam
setelah pemberian. Pemberian antibiotik dilakukan untuk menghilangkan
peradangan uterus sehingga pelepasan prostaglandin pada dinding uterus tidak
terhambat.
Prognosa

Menurut Lashari dan Tasawar (2012), tingkat keberhasilan 85% dari 20 ekor
sapi dari semua kasus korpus luteum persisten yang dirawat dengan suntikan
pertama PGF2α mayoritas kembali ke kesuburan normal. Berdasarkan 85% kasus,
menunjukkan bahwa prognosisnya adalah fausta.

Pencegahan

Prevalensi korpus luteum persisten lebih tinggi terjadi pada sapi dengan
metritis, karena gangguan aktivitas luteal dapat mempengaruhi produksi
protagladin (Strüve et al 2013). Pencegahan dan penanganan secara dini pada
metritis akan mencegah persistennya korpus luteum. Pengobatan jangka panjang
dengan obat yang mengganggu jalur prostaglandin (NSAID, glukokortikoid)
(Krueger dan Heuwieser 2009). Penggunaan aspirin akan mencegah sintesis
prostaglandin (Al-Janabi et al 2005). Mengurangi penggunaan obat-obatan seperti
glukokortikoid atau aspirin akan menurunkan probabilitas terjadinya corpus luteum
persisten.

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti. Yogyakarta


(ID): Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia.
Al-Janabi AS, A-Lzohyri AM, Al-Rubayai FK. 2005. Pharmacological effects of
low- dose of aspirin on corpus luteum functions in mature cycling female
mice. Middle East Fertil Soc J. 10(2):1-9.
Arsyad, Yudistira. 2011. Penanganan Kesehatan Hewan. Kasus Gangguan
Reproduksi Pada Ternak Sapi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Lampung.
Ball PJ, Peters AR. 2008. Reproduction in cattle. New York (US): John Wiley &
Sons.
Bittar JH, Pinedo, Risco CA, Santos JE,nThatcher WW, Hencken KE, Croyle S,
Gobikrushanth M, Barbosa CC, Vieira-Neto A, Galvao KN. 2014. Inducing
Ovulation Early Postpartum Influences Uterine Health and Fertility in Dairy
Cows. Journal of Dairy Science. 97:3558-3569.
Blache D, Martin GB, 2009. Focus feeding to improve reproductive performance
in male and female sheep and goats how it works and strategies for using it.
In: Papachristou, TG, Parissi, ZM, Ben SalemH, Morand-Fehr, P. (Eds.).
Nutritional and Foraging Ecology of Sheep and Goats.
CiheamIamz/Fao/Nagref, Zaragoza, pp. 351–364.
Canfield RW, Butler WR. 1990. Energy balance and pulsatile LH secretion in early
postpartum dairy cattle. Domestic Animal Endocrinology. 7(3): 323-330.
Dawood MY, Khan D, Firyal S. 2007. Clinical efficacy and differential inhibition
of menstrual fluid prostaglandin F2α in a randomized, doubleblind,
crossover treatment with plasebo, acetaminophen, and ibuprofen inprimary
dysmenorrhea. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 196 (1): 35
– 40.
Destomo, A. 2014. Performan Reproduksi Sapi Bali Betina pada Fase Adaptasi
Pakan di Pondok Pesantren Khairul Ummah Kecamatan Pasir Penyu
Kabupaten Indragiri Hulu [disertasi]. Riau (ID): Universitas Islam Negeri
Sultan Sarif Kasim Riau.
Fortier MA, Krishnaswamy K, Danyod G. 2008. Postgenomic integratedview of
prostaglandin: Implication for other body sistems. Journal of Physiology
and Pharmacology. 59 (1): 65 – 89.
Hawkins DE et al. 1995. An increase I serum lipids increases luteal lipid content
and alters the disappearance rate of progesterone in cows. Journal of Animal
Science. 73:541.
Hermadi HA, Hariadi M, Susilowati S. 2017. The Ovarian Hypofunction: A Case
in Cow Management Therapy. Advances in Health Sciences Research 5:
311-316.
Krueger XV, Heuwieser W. 2009. Effect of nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs) on fertility in cattle A review. Tierarztl Prax Ausg G Grosstiere
Nutztiere. 37: 7-16.
Lashari MH, Tasawar Z. 2012. The effect of PGF2α on persistent corpus luteum
in Sahiwal cows. Int. J. Livest. Prod. 3(1): 1-5.
Magata F, Shirasuna K, Strüve K, Herzog K, Shimizu T, Bollwein H, Miyamoto A.
2012. Gene expressions in the persistent corpus luteum of postpartum dairy
cows: distinct profiles from the corpora lutea of the estrous cycle and
pregnancy. Journal of Reproduction and Development. 58 (4): 35 – 41.
Menchaca A, Rubianes E. 2001. Effect of high progesterone concentrations during
the early luteal phase on the length of the ovulatory cycle of goats. Animal
Reproduction Science. 68(1-2): 69-76.
Mustofa I, Mahaputra L. 2000. Penyerentakan birahi sapi pada fase luteal dan
hipofungsi ovarium untuk induksi kebuntingan kebar dengan teknik transfer
embrio. Media Kedokteran Hewan. 16 (1): 155 – 160.
Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy S. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Sheldon IM, Rycroft AN, Zhou C. 2004. Association between postpartum pyrexia
and uterine bacterial infection in dairy cattle. Journal of Vet Rec. 154 (1):
289 – 293.
Strüve K, Herzog K, Magata F, Piechotta M, Shirasuna K, Miyamoto A, Bollwein
H. 2013. The effect of metritis on luteal function in dairy cows. BMC Vet
Res. 9: 244.
Toelihere. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung (ID): Angkasa.
Tuasikal BJT, Tjiptosumirat, Kukuh R. 2004. Gangguan Reproduksi Sapi Perah
Dengan Teknik Radio Immunoassay (RIA) Progesteron. Jakarta (ID):
Umiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi lsotop dan Radiasi.

Anda mungkin juga menyukai