KISTA OVARIUM
Disusun oleh:
Kelompok D3 PPDH Periode I Tahun Ajaran 2020/2021
Dosen Pembimbing:
Prof. Drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, PhD
Defenisi
Kista ovarium adalah stuktur pada ovarium yang berisi cairan. Kista ovarium
terjadi karena gangguan pada hipofisa anterior dimana pelepasan FSH terjadi
dengan kadar normal tetapi pelepasan LH tidak dengan kadar normal (Affandhy et
al. 2007). Kista ovarium terbagi menjadi kista follikel, kista luteal dan kista corpus
luteum. Kista folikel dan kista luteal sering terjadi pada hewan betina dan
diakatakan kista anavulatorik karena tidak terjadi ovulasi. Kista corpus luteum
adalah kista ovulatorik karena terbentuknya kista didahului oleh terjadi ovulasi.
Kista folikel
Ciri-ciri kista folikuler adalah dinding tipis, terisi cairan dan berdiamter
>25mm. Gejala klinis kista folikel dapat berupa nimfomani (75%) dan anestrus
(25%) (Fricke dan Shaver 1999). Nimfomania adalah suatu keadaan dimana hewan
betina menunjukkan gejala estrus lebih dari satu kali dalam satu siklus estrus tanpa
disertai terjadinya ovulasi. Sedangkan anestrus adalah keadaan dimana hewan
betina tidak menunjukkan gelaja estrus lebih dari satu siklus estrus. Setiap folikel
pada kista folikel mampu menghasilkan estrogen walaupun dalam jumlah kecil
sehingga apabila kista folikel terdiri dari banyak folikel maka akan terjadi
akumulasi estrogen, akibatnya akan muncul tanda estrus dan dapat terjadi lebih dari
satu kali dalam satu siklus estrus.
Estrus biasanya tetap terjadi pada kasus kista folikuler meskipun tidak terjadi
ovulasi. Estrus tersebut dikarenakan produksi estrogen yang tinggi namun tidak
didukung oleh hormone-hormon gonadotropin seperti FSH dan LH. Akibatnya
hewan tidak bunting meskipun diinseminasi beberapa kali. Siklus estrus dapat
diperpendek, diperpanjang. Kadar progesterone rendah karena tidak ada CL
(Memon 2013).
Pada pemeriksaan rektal akan teraba pada permukaan ovarium terdapat
benjolan yang berdiamter 2.5-5cm (pada sapi perah) dengan permukaan yang halus,
lunak dan berisi cairan dengan jumlah satu atau lebih yang ditemukan pada salah
satu atau kedua ovarium. Parabaan pada uterus terasa tonus uterus yang kendor,
pada serviks, vagina dan vulva terasa lebih besar dan kendor karena terjadi oedema.
Kista folikel umunya terjadi pada dua ovarium.
Kista Luteal
Kista luteal adalah kista yang terjadi karena pada saat terbentuk kista folikel
dimana kadar LH rendah tetapi pada saat yang bersamaan terjadi pelepasan LTH
yang cukup banyak menyebabkan pada permukaan folikel akan terjadi proses
luteinisasi sehingga terbentuk sel luteal pada permukaan folikel. Kista luteal sering
terjadi pada sapi perah dengan produksi susu tinggi pasca melahirkan (Statham
2015). Pada pemeriksaan per rektal akan sulit dibedakan antara kista folikel dengan
kista luteal walaupun kista luteal mempunyai dinding yang lebih tebal karena
dinding kista luteal terdiri dari sel yang telah mengalami lutenisasi. Karena dinding
kista luteal terdiri dari sel luteal maka kista luteal mampu menghasilkan progesteron
dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga gejala klinis pada kasus kista luteal
adalah terjadinya anestrus pada penderita. Kista luteal dapat ditemukan secara
bersamaan dengan adanya korpus luteum yang normal baik pada ovarium yang
sama atau pada ovarium yang berbeda.Penangan pada kasus kista luteal dapat
dilakukan dengan cara pemijatan kista secara manual melalui palpasi rektal atau
pemberian preparat PGF2α untuk melisiskan sel luteal diikuti dengan pemberian LH
atau HCG untuk merangsang ovulasi. Pemberian preparat GnRH dapat dilakukan
pada kasus kista folikel atau kista luteal.
Kista corpus luteum
Kista korpus luteum terbentuk dari folikel yang telah mengalami ovulasi dan
terbentuk korpus luteum yang normal, namun dalam perkembangannya pada bagian
tengah korpus luteum terbentuk rongga yang berisi cairan. Kista korpus luteum
selalu bersifat tunggal dan pada palpasi rektal mudah dibedakan dengan kista yang
lain karena ukurannya yang lebih besar menyerupai ukuran korpus luteum normal
tetapi memiliki konsistensi yang lebih lunak dan lebih fluktuatif. Penderita kista
korpus luteum memiliki siklus estrus normal, mengalami ovulasi dan bila terjadi
kebuntingan dapat menghasilkan progesteron dengan kadar yang cukup untuk
memelihara kebuntingan.
Faktor penyebab kista ovarium belum diketahui secara pasti, tetapi secara
patofisiologi dasar penyakit tersebut melibatkan sistem kerja neuroendokrin yang
berhubungan dengan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium yang mengakibatkan
kegagalan ovulasi (Teshome et al. 2016). Secara umum faktor predisposisi
terjadinya kista ovarium yaitu hereditas, breed sapi, variasi musim, nutrisi, produksi
susu tinggi, puerperium yang tidak normal, dan infeksi Rahim (Kim et al. 2005).
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sapi induk dalam periode
postpartum yang memperoleh pakan berenergi rendah dan dengan kandungan
protein yang rendah menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan minimum untuk
mempertahankan kondisi badannya. Kondisi ini secara nyata menekan proses
sintesis dan pelepasan hormon gonadotropin kelenjar pituitari, dan berakibat
aktivitas ovarium terganggu (Rosadi et al. 2018). Pada sapi perah kejadian ovarium
sistik berkisar 6-19% dan sapi-sapi yang telah pulih, dapat kambuh kembali sekitar
60% (Ijaz et al. 1987).
Patogenesis
Kista ovarium dapat diklasifikasikan menjadi kista folikel, kista luteal, dan
kista corpus luteum berongga. Gelombang folikel terus terjadi pada sapi yang
memiliki kista ovarium ini yang serupa pada sapi dengan siklus normal (Melendez
et al. 2003). Regresi corpus lutheum akan bertepatan dengan waktu perkembangan
folikel terpilih, sedangkan perkembangan folikel yang lain akan dihambat pada fase
proestrus normal. Namun, pada hewan dengan kista ovarium akan mengalami
kegagalan ovulasi dan folikel dominan akan terus membesar (Wiltbank et al. 2002).
Faktor hormonal yang memengaruhi adalah tidak adanya lonjakan LH akibat
adanya gangguan efek positive feedback dari estrogen folikel pada hipotalamus
untuk melepaskan GnRH yang cukup untuk memicu lonjakan LH (Gumen et al.
2002).
Prognosa
Hewan yang telah diberikan terapi yang tepat memiliki prognosa baik atau
dubius. Estrus normal dan subur diharapkan akan terjadi dalam 15-30 hari setelah
terapi. Pemulihan secara spontan dapat terjadi pada kasus yang timbul 50 hari
pertama pasca partus. Sehingga, hewan tersebut dapat kembali dimanfaatkan.
Namun, pada tindakan ovariohisterektomi maka hewan tidak dapat bereproduksi
kembali (Hooijer et al. 2001).
Terapi
Pada hewan betina yang tidak dimaksudkan untuk dikembangbiakan atau sapi
betina yang memiliki riwayat penyakit saluran reproduksi, ovariohisterektomi
(OHE, spay) adalah pengobatan pilihan (Levy et al. 2007). Ovarium harus
diserahkan ke ahli patologi untuk memverifikasi bahwa penyakit kista ovarium, dan
bukan neoplasia ovarium, yang menjadi penyebab masalahnya.
Menurut Johnson et al. 2001, pada hewan betina yang secara reproduktif
berharga, kista folikel diobati dengan pemberian hormon pelepas gonadotropin
(GnRH), yang menyebabkan pelepasan hormon luteinizing (LH) dari kelenjar
pituitary dan luteinisasi atau ovulasi folikel, atau human chorionic gonadotropin
(hCG) ) yang bertindak sebagai LH dalam tubuh sapi betina, yang dapat
menyebabkan luteinisasi atau ovulasi folikel. Kista luteal diobati dengan pemberian
hormon prostaglandin F2α, yang menyebabkan kerusakan jaringan luteal dan
penghentian produksi progesteron. Semua sapi yang dirawat secara medis harus
dievaluasi dengan hati-hati untuk hiperplasia endometrium kistik dan piometra,
yang lebih mungkin terjadi setelah paparan rahim yang berlebihan atau
berkepanjangan terhadap estrogen dan atau progesterone (John 2016).
Pencegahan
Pemilihan genetik untuk pembibitan sangat diperlukan untuk mengurasi
terjadinya kista ovarium. Sapi memiliki riwayat penyakit tersebut sangat tidak
direkomendasikan untuk pembibitan (Kesler dan Garverick 1982). Meminimalkan
stres dan pemberian nutrisi yang baik sangat penting dilakukan untuk mengurangi
kejadian penyakit tersebut. Sapi harus diberi pakan untuk mencapai skor 3,5 - 3,75
selama paruh terakhir laktasi hingga kering kandang dan dipertahankan pada tingkat
ini hingga beranak. Cadangan tubuh yang cukup (tidak berlebihan) akan membantu
menurunkan keseimbangan energi negatif di awal menyusui. Ransum perlu
dirancang dengan tujuan meminimalkan terjadinya hipokalsemia, ketosis,
perpindahan abomasum dan gangguan lain yang terjadi setelah melahirkan. Asupan
mineral dan vitamin sering kali tidak tercukupi pada periode kering kandang.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan efek menguntungkan dari suplemen
selenium bersama dengan vitamin A, vitamin E dan beta-karoten dalam
mempertahankan kompetensi kekebalan terhadap kistik ovarium (Geoffrey 2001)
DAFTAR PUSTAKA