Anda di halaman 1dari 20

Co-Asistensi Bidang Reproduksi

CORPUS LUTEUM PERSISTEN (CLP)

Rabu, 08 Januari 2020

CHARISMA SUMULE
C 024 191 001

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN Co-Asistensi BAGIAN REPRODUKSI

Co-Assistensi Bidang : Reproduksi


Angkatan : V (lima)
Tahun Ajar : 2019-2020
Nama Mahasiswa : Charisma Sumule
NIM : C 024 191 001

Makassar, Januari 2020

Mengetahui,

Pembimbing Koordinator Bidang Reseptir

(Drh. Zainal Abidin Kholilullah, M.Kes) (Drh. Muhammad Muflih


Nur)
NIP 196910172008041001

Menyetujui,
Ketua Program Profesi Dokter Hewan

(Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc)


NIP 198508072010122008
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Reproduksi adalah suatu fungsi tubuh yang secara fisiologik tidak vital
bagi kehidupan individual, tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan
suatu jenis atau bangsa hewan. Dalam hal ini berarti ternak harus memperoleh
pakan yang baik dan gizi yang cukup agar fungsi fisiologi reproduksinya dapat
bekerja dengan baik dan optimal. Pada umumnya reproduksi baru dapat
berlangsung setelah hewan mencapai pubertas atau dewasa kelamin. Proses ini
diatur oleh sistem syaraf serta kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang
dihasilkannya. Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang
kompleks, dan mudah mendapat gangguan pada berbagai stadium siklus
reproduksi (Tuasikal et al., 2004).
Gangguan reproduksi hewan terutama pada sapi disebabkan oleh faktor
manajemen dan penanganan ternak, faktor makanan, lingkungan, factor genetik
dan fungsi hormonal serta faktor kecelakaan/traumatik. Oleh itu, pencegahan
dan penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian karena pada
dasarnya penyakit dapat merubah proses produksi dan menimbulkan kerugian
apabila penyakit menular. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi
diantaranya endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum
persisten dan sistik ovari. Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian
ekonomi sangat besar yang berdampak terhadap penurunan pendapatan (Matli,
2014)
Corpus luteum persisten (CLP) merupakan suatu keadaan dimana corpus
luteum tidak mengalami regresi atau tidak tumbuhnya folikel baru pada
ovarium dan tetap tinggal di ovarium dalam jangka waktu yang lama (>1 siklus
birahi) meskipun hewan tidak bunting. Disebut persisten karena corpus
luteum tetap besar ukurannya dan tetap berfungsi menghasilkan progesteron
dalam waktu yang lama. Kadar estrogen pada kasus CLP sangat rendah
dibandingkan pada kondisi normal. Kadar progesteron pada kasus CLP memilik
kadar yang tertinggi dibanding kasus anestrus karena hipofungsi ovarium dan
pyometra. Hormon progesteron berfungsi untuk mempertahankan kebuntingan,
sehingga adanya progesteron akan menghambat pematangan folikel, ovulasi
tidak terjadi dan menyebabkan hewan anestrus dan ternak yang mengalami
korpus luteum persiten selalu mengalami gejala anestrus dalam waktu yang
panjang (Asren, 2015).
Kegagalan estrus atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama
dari banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus estrus. Anestrus merupakan
suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam
jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan
oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktivitas ovaria yang tidak
teramati. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi betina
(Asren, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas, perlu diketahui bahwa usaha
peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala,
yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala
tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada
ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan
kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya
pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga
menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas
ternak yang tinggi pula.

I.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang ingin dibahas adalah bagaimana pathogenesis dan
pengobatan pada sapi bali yang mengalami gangguan reproduksi
Corpus luteum persisten (CLP).

I.3 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai gambaran
singkat, pathogenesis, dan pengobatan apa yang diberikan pada sapi bali yang
mengalami gangguan reproduksi Corpus luteum persisten (CLP).
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Corpus Luteum Persisten
Normalnya Corpus Luteum terbentuk dari proses luteinisasi. Luteinisasi
adalah proses pembentukan corpus luteum oleh sel-sel granulosa dan sel-sel
theca. Pertambahan besar dari corpus luteum sesuai dengan bertambahnya umur
korpus tersebut. Corpus luteum memegang peranan penting dalam proses
reproduksi (Ismudiono et al., 2010). Pada mamalia, corpus luteum berkembang
pesat setelah ovulasi dan memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup
embrio dan pemeliharaan kebuntingan dengan memproduksi progesteron
(Magata et al., 2012). Sebelum terbentuk corpus luteum, dibentuk folikel de
graaf yang menghasilkan hormon estrogen. Segera setelah ovulasi, terbentuk sel
-sel lutea yang nantinya akan menghasilkan progesteron (Ismudiono et al.,
2010). Corpus luteum (CL) persisten atau CL yang dipertahankan merupakan
suatu kondisi yang terjadi ketika CL tidak mengalami regresi setelah 20 hari
pembentukannya pada sapi yang tidak bunting (Mushonga et al., 2017). Tingkat
kerjadian Corpus luteum persisten dilaporkan tinggi pada saat musim semi dan
musim dingin jika dibandingkan dengan musim gugur dan musim panas.
Corpus luteum persisten (CLP) menurut Ismudiono et al., (2010) adalah
korpus luteum yang terdapat pada hewan betina yang mengalami keadaan
patologis pada uterusnya. Hewan betina dengan kasus CLP ini tidak birahi
walaupun tidak bunting, hal ini disebabkan karena tidak diproduksinya PGF2α
dari uterus dalam keadaan patologik. Seperti diketahui bahwa peran PGF2α
adalah meregresikan korpus luteum, akibat tidak diproduksinya PGF2α tersebut
maka korpus luteum akan menetap (Ismudiono et al,2010). Corpus luteum
persisten mengarah pada kondisi patologis organ kelamin betina hewan.
Kondisi patologis organ kelamin betina yang disertai dengan korpus luteum
persisten antara lain endometritis dan pyometra. Karena endometrium
mengalami kondisi yang patologis sehingga tidak dapat menghasilkan
prostaglandin yang berfungsi untuk meregresi korpus luteum persisten tersebut
(Hermadi, 2015). Korpus luteum persisten dapat pula terjadi setelah
melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang produksi susunya tinggi karena
hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise anterior pada sapi yang produksinya
susunya tinggi setelah melahirkan dapat menghambat lisis dari korpus luteum
(Elisa,2013). Beberapa kasus gangguan reproduksi pada dasarnya disebabkan
oleh faktor hormonal, anatomi kelamin, dan kelainan patologi alat kelamin.
Tertahannya korpus luteum seringkali terjadi karena adanya penyakit atau
gangguan pada uterus seperti pyometra, maserasi foetus, mucometra dan
mumifikasi foetus (Listiani, 2005).

Gambar 1. Penampang ovarium


Satu siklus estrus terdiri dari fase folikuler dan luteal. Fase folikuler
ditandai dengan pertumbunan dan perkembangan folikel yang berlangsung
selama 3-4 hari. Sebanyak satu atau dua folikel besar menghasilkan estrogen
yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainnya (Jainudeen dan Hafez,
2000). Fase luteal berlangsung kurang lebih 13 hari dan ditandai dengan
pematangan coropus luteum (CL) yang menghasilkan progesteron dengan
konsentrasi puncak pada hari ke 6 setelah ovulasi.
Gonadotropin releasing hormone tidak secara langsung memengaruhi
ovarium, tetapi hormon yang dihasilkan hipothalamus ini bekerja merangsang
sintesis dan pelepasan hormon folicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing
hormone (LH) dari hipofisa anterior (Senger, 2003). Mekanisme regulasi
hormon-hormon tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Mekanisme hormonal


Setelah stadium inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan folikel
distimulasi oleh kombinasi aksi FSH dan LH pada sel-sel folikel. Proses
pertumbuhan folikel, ovulasi, dan pembentukan CL sangat dipengaruhi oleh
sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Hipothalamus menghasilkan GnRH
berfungsi untuk menstimulasi pengeluaran FSH dan LH oleh hipofisa anterior
sebagai respons terhadap estrogen atau progesteron. ase folikular dimulai
dengan penghilangan efek negatif dari progesteron sehingga konsentrasi GnRH
kembali meningkat. Peningkatan konsentrasi GnRH akan menyebabkan
peningkatan produksi FSH dan LH sehingga dapat mendukung pertumbuhan
folikel. Folikel de Graaf akan menghasilkan lebih banyak estrogen. Jika
estrogen telah mencapai kadar maksimal, maka akan memicu pengeluaran LH
sehingga ovulasi. Pada fase luteal, konsentrasi LH tidak dapat mencapai kadar
maksimal, akan mengalami regresi dan penurunan sekresi estrogen dan inhibin
menyebabkan terbentuknya gelombang folikel baru. Folikel dominan yang
mengandung estrogen dan inhibin dengan konsentrasi tinggi berhubungan
dengan penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah (Maidaswar, 2007).
Penyebab tidak terjadinya ovulasi menurut Senger (2003) karena kadar
progesteron masih dominan, kondisi hormonal yang sesuai untuk
perkembangan akhir folikel akan nyata setelah luteolisis (tanpa CL) dan
menurun kadar progesteron. Lisisnya CL diakibatkan oleh kerja PGF2α.
II.3 Prevalensi
Menurut Riyadi dalam Hafizuddin et al (2013), gangguan reproduksi 60%
disebabkan oleh endometritis dan 40% hormonal. Gangguan reproduksi karena
hormonal termasuk di dalamnya gangguan berahi atau anestrus yang lama pasca
partus. Berbagai penelitian melaporkan bahwa prevalensi Corpus Luteum
Pesisten (CLP) berkisar antara 11%, 20% dan 32,69%. CLP dilaporkan lebih
tinggi pada musim semi dan musim dingin di banding musim panas. Pada
ovarium sebelah kanan dilaporkan terjadi lebih banyak yaitu (5,1% ) di banding
dengan ovarium sebelah kiri (1,2%) (Mushonga et al., 2017).
Prevalensi PCL sangat bervariasi. Telah dilaporkan bahwa yang paling
rendah hanya berkisar 2% di Inggris dan yang paling tinggi 33% di China
(Lashari et al., 2012).
II.4 Gejala Klinis
Keberadaan corpus luteum persisten biasanya ditandai dengan adanya
penonjolan besar di sekitar ovarium, kegagalan untuk kembali estrus, kadar
progesteron yang tinggi di dalam darah, dan kehamilan semu (Mushonga,
2017). Korpus Luteum yang menetap pada ovarium dalam waktu yang lama
dan berukuran tetap yang berfungsi menghasilkan hormon progesteron,
sehingga menyebabkan gangguan reproduksi dengan gejala anestrus (Hermadi,
2015). Pada beberapa kasus corpus luteum persisten terutama peternakan rakyat
biasanya diikuti oleh kondisi tubuh ternak yang kurus atau mempunyai skor
kondisi tubuh rendah. Dimana skor kondisi tubuh sendiri sangat berpengaruh
terhadap performans reproduksi. Kondisi sapi yang kurus biasanya dicirikan
penonjolan tulang punggung, pinggul, rusuk, dan pangkal ekor cekung dan
dalam. Kondisi sedang apabila tulang punggung dan rusuk tidak nampak,
tulang pinggul nampak sedikit dan pangkal ekor sedikit cekung sementasa
kondisi gemuk apabila tidak terdapat penonjolan tulang punggung, rusuk,
pinggul, serta pangkal ekor tidak cekung (Listiani, 2005).
II.5 Diagnosa
Diagnosis terhadap corpus luteum persisten (CLP) pada sapi dapat
dipastikan dengan melihat riwayat reproduksi sapi, palpasi rektum, uji
progesteron, ultrasonografi (USG), biopsi trans-vaginal, biopsi endometrium,
dan pemeriksaan post mortem (Lashari, 2012). Apabila seekor sapi betina
kawin alam ataupun di inseminasi buatan dan tidak mengalami estrus
setidaknya 42 hari setelah kawin alam atau IB maka sapi tersebut dapat
dikatakan bunting. Namun jika hewan tidak menunjukkan gejala estrus maka
kehadiran CLP dapat diduga (Mushonga et al., 2017).
CLP dapat dicurigai apabila corpus luteum dipalpasi tanpa adanya
konsepsi di dalam uterus. Suatu penelitian menguji keberadaan progesteron
untuk menentukan keberadaan corpus luteum persisten (Struve et al., 2013).
Pada palpasi rektal, corpus luteum persisten dapat dirasakan berupa benjolan
pada permukaan ovarium yang konsistensinya kenyal dan dapat dibedakan
dengan konsistensi folikel matang yang berfluktuasi. Uji progeseteron
dilakukan dengan cara mengambil darah dari vena jugularis untuk kemudian
disentrifus agar dapat diambil serumnya. Kadar normal progesteron dalam
darah adalah 0,39±0.109 ng/ml (Aliyah, 2012).
II.6 Pengobatan
Terapi yang dapat diberikan untuk Korpus Luteum Persisten adalah
pemberian obat golongan antibiotik, antiseptik, antiinflamasi dan preparat
hormon (PGF2α) (Hermadi, 2015). Pemberian antubiotik dilakukan apabila
CLP disebabkan oleh adanya infeksi pada uterus, setelah kondisi uterus telah
dalam keadaan yang baik maka dapat dilakukan pemberian PGF2α. Jika
penyebabnya karena adanya kematian fetus (mumifikasi atau empisema fetus),
fetus yang mati tersebut harus dikeluarkan dulu yaitu dengan oksitosin atau
estradiol benzoate supaya uterus berkontraksi mendorong fetus keluar,
kemudian diikuti pemberian PGF2a (Elisa, 2013). Terapi dengan cara
penyuntikan hormon prostaglandin diharapkan dengan mudah beregresi dan
siklus hormonal normal pun dapat kembali berjalan dan sapi dapat kembali
menunjukkan kembali siklus estrus. Pertolongan terhadap ternak yang
menderita korpus luteum persisten dapat dilakukan dengan pemijatan corpus
luteum secara manual. Pemijatan corpus luteum secara manual dapat
mengakibatkan pendarahan yang disusul dengan terjadinya radang ovarium dan
diikuti perlekatan ovarium dengan jaringan disekitarnya (Partodihardjo, 1992).
Metode penanganan kasus corpus luteum dengan cara pengangkatan corpus
luteum menurut Ismaya (2014) dapat menyebabkan hemoragi, perlekatan
fimbriae dan tingkat keberhasilannya rendah. Penyuntikan preparat hormon
prostaglandin (PGF 2α.) intra uterine, intramuskuler ataupun intravagina
(Aliyah, 2012).
III. DESKRIPSI KASUS
III.1 Anamnesa
Seekor sapi betina jenis sapi bali di Kecamatan Tonra Kabupaten
Bone dengan berat badan sekitar 170 kg, BCS 3, merupakan sapi
indukan, belum perna melahirkan, umur 2 tahun. Berdasarkan
keterangan dari pemiliknya, sapi tersebut tidak pernah menunjukkan
gejala estrus (birahi).
III.2 Signalemen
Nama Pemilik : Samsul
Alamat : Kecamatan Tonra Kabupaten Bone
Nama Hewan :-
Spesies : Sapi
Breed : Sapi Bali
Warna bulu/rambut : Coklat
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2 tahun
Berat badan : 170 kg
Tanda Khusus :-
III.3 Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan secara palpasi perektal ditemukan organ serviks dan
uterus normal, cornua kanan kiri normal, namun pada ovarium kanan
dan kiri terdapat Corpus luteum yang tidak mengalami regresi. Pada
ovarium ketika di palpasi yang terdapat CLP akan teraba menonjol
keluar, bulat, keras, agak besar, berbentuk delapan, dan ada
pembatasnya.
III.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis secara perektal,
sapi tersebut didiaggnosis mengalami corpus luteum persisten. Gejala
klinis yang tampak akibat corpus luteum persisten yakni sapi mengalami
anestrus.

III.5 Pengobatan/Penanganan
Prostaglandin (PGF2α) adalah pengobatan pilihan untuk persisten
korpus luteum. Obat yang diberikan dengan merk dagang adalah
Juramete 20 ml dengan tiap ml mengandung Cloprostenol 250 mcg.
Closprostenol adalah anolog sintetik dari hormon prostaglandin
(PGF2α). Penyuntikan Juramete secara intramuskular dengan dosis 2
ml/ekor. Mekanisme kerja PGF2α yakni dengan cara melisiskan korpus
luteum sebagai sumber progesteron. Lisisnya korpus luteum
mengakibatkan kadar progesterone dalam darah menurun (sangat
rendah), sementara kadar estrogen meningkat sehingga menyebabkan
terjadinya estrus. Penurunan progesterone diharapkan dapat
menghilangkan hambatan FSH dan LH. Apabila terjadi gangguan di
uterus seperti endometritis harus diobati menggunakan antibiotic.
Pemberian PGF2a dapat diberikan apabila tidak ada gangguan lainnya
pada uterus (Astuti, 2015).
IV. PEMBAHASAN
Diagnosis CL persisten dapat dilakukan dengan anamnesis, recording
siklus birahi, palpasi perektal, uji progesteron, dan ultrasounografi (Mushonga
et al., 2017). Anamnesis didasarkan pada keluhan pemilik bahwa mereka tidak
mampu mendeteksi estrus atau belum pernah melihat adanya tanda-tanda estrus
pada hewan setelah melahirkan. Korpus luteum persisten dapat pula terjadi
setelah melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang produksinya tinggi karena
hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise anterior pada sapi yang produksinya
tinggi setelah melahirkan menghambat lisis dari korpus luteum. Korpus luteum
persisten memproduksi hormon progesteron akibatnya ternak yang mempunyai
korpus luteum persisten tidak akan menunjukkan gejala-gejala estrus (anestrus).
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan
gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Anestrus sering merupakan
penyebab infertilitas pada sapi betina.
Recording siklus birahi dapat dilakukan yaitu dengan menghitung siklus
birahi yaitu 60-90 hari pasca persalinan atau melahirkan, sehingga sapi dapat
dikawinkan kembali. Dengan demikian, sapi dapat bunting lagi dalam waktu 3-
4 bulan pasca beranak. Sayangnya di peternak, sering terjadi
kasus infertilitas berupa ketidakmampuan birahi setelah beranak. Akibatnya,
sapi terlambat kawin dan rentang beranaknya menjadi lebih dari 18 bulan.
Rentang yang panjang ini menyebabkan angka kelahiran sapi potong masih
rendah yakni sebesar 18,4% dan mortalitas sebesar 2,0%. Sedangkan pada sapi
yang baru pertama kali birahi akan terlihat pada umur 12-18 bulan. Dewasa
kelamin ini menandakan bahwa alat reproduksi sudah berfungsi, tetapi belum
siap bunting dan melahirkan, biasanya pada sapi yang berumur 1 tahun. Oleh
karena itu pada umur-umur tersebut sapi-sapi betina harus dipisahkan dari sapi
jantan, untuk menghindari terjadinya perkawinan yang belum waktunya. Hal ini
terjadi karena harus didukung oleh tubuh sapi yang siap bunting dan melahirkan
(dewasa tubuh). Dewasa tubuh dimana alat reproduksi siap dikawinkan, siap
bunting dan siap melahirkan. Sapi betina mulai dikawinkan untuk pertama kali
pada umur antara 24 – 30 bulan ( 2 – 2,5 tahun ) dengan rata-rata umur 27
bulan, sebab pada umur tersebut sapi sudah mencapai dewasa tubuh.
Diharapkan pada umur antara 3 – 3,5 tahun sapi betina dapat beranak untuk
yang pertama kali.
Palpasi perektal pada ovarium yang dicurigai terjadi CL persisten akan
teraba adanya CL namun tidak ada konseptus di dalam uterus (Mushonga et al.,
2017).

Gambar 3. Palpasi Perektal

Ultrasonografi (USG) dilakukan untuk membantu kita dapat lebih jelas


mendiagnosa cospus luteum.
Gambar 4. Hasil USG ovarium

Penegasan diagnose CLP selanjutnya adalah dengan uji progesteron. Uji


progesteron dilakukan untuk mengetahuai adanya luteal korporat yang
persisten. CL persisten ditandai dengan konsentrasi progesteron dalam sampel
darah lebih dari 1 ng/ml (kadar basal 0,5-1 ng/ml) selama interval 8-10 hari
(Kumar et al., 2014).
Korpus luteum persisten terjadi karena adanya gangguan pada uterus
yaitu adanya radang uterus yang kronis (endometritis), pyometra (uterus berisi
nanah), atau karena adanya kematian embrio/fetus yang diikuti terjadi maserasi
fetus (fetus hancur), mumifikasi fetus (fetus mengeras), empisema fetus (fetus
membengkak berisi gas). Adanya gangguan pada uterus tersebut menyebabkan
endometrium tidak memproduksi PGF2a, sehingga korpus luteum tidak
mengalami lisis. Korpus luteum persisten akibat adanya kematian embrio ini
berasal dari korpus luteum graviditum. Korpus luteum persisten dapat pula
terjadi setelah melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang produksinya tinggi
karena hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise anterior pada sapi yang
produksinya tinggi setelah melahirkan menghambat lisis dari korpus luteum.
Jika kasus Corpus Luteum Persisten tidak di tangani dengan baik maka akan
terjadi sapi akan mengaalami anestrus dan tingkat progesteron yang terus-
menerus tinggi sehingga sapi sulit untuk bunting karena CL tidak mengalami
regresi (Lashari et al., 2012).
Pengobatannya kospus luteal persisten tergantung penyebabnya. Jika
penyebabnya karena adanya infeksi pada uterus diobati dulu dengan antibiotik;
setelah sembuh baru disuntik dengan PGF2a. Jika penyebabnya karena adanya
kematian fetus (mumifikasi atau empisema fetus), fetus yang mati tersebut
harus dikeluarkan dulu yaitu dengan oksitosin atau estradiol benzoate supaya
uterus berkontraksi mendorong fetus keluar, kemudian diikuti pemberian
PGF2a. Jika penyebabnya karena produksi susu yang tinggi atau karena
kematian embrio dini cukup dengan PGF2alpha.

Gambar 5. Pemberian Hormon PGF2α (Juramete) secara IM

Prostaglandin (PGF2α) adalah pengobatan pilihan untuk persisten korpus


luteum dan sub estrus. Analog sintetik PGF2α alami atau sintetis sebagai dosis
tunggal telah digunakan dengan tingkat keberhasilan yang wajar untuk
pengelolaan estrus pada sapi dan kerbau. Menurut Mukasa-Mugerwa,
pengobatan CL persisten mensyaratkan injeksi PGF2α sendiri atau
dikombinasikan dengan GnRH 48 sampai 56 jam kemudian untuk memulai
siklus estrus. PGF2α alami atau 250 sampai 500 mikrogram sintetis diperlukan
untuk menurunkan CL pada ternak dan kerbau (IVSM) (Kumar et al., 2014).

V. KESIMPULAN

Corpus Luteum Persisten (CLP) merupakan keadaan dimana Corpus


Luteum (CL) tidak mengalami regresi pada sapi yang tidak mengalami
kebuntingan sehingga menyebabkan terjadinya anestrus. Pada pemeriksaan
palpasi perketal akan ditemukan CL yang berukuran besar pada ovarium. CLP
disebabkan karena adanya gangguan pada uterus baik secara fisiologis maupun
karena infeksi yang mengakibatkan rendahnya sekresi PGF2α sehingga tidak
mampu untuk melisiskan CL. Penanganan yang dapat diberikan yakni dengan
injeksi hormon PGF2α sintetis (Juramete 20 ml) secara intramuscular dengan
dosis 2 ml/ekor yang mengandung Cloprostenol 250 mcg.
DAFTAR PUSTAKA

Aliyah, Nur. 2012. [Skripsi] Kelainan Reproduksi Ternak Sapi PErah Fries Holland di
Kabupaten Sinjai. Universitas Hasanuddin; Makassar.
Asren, Ahmad Fadhil. 2015. Anestrus Sapi Perah Dan Penanggulangannya.
Departemen Klinik, Reproduksi Dan Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan. IPB; Bogor.
Astuti, Pudji. 2015. Endokrinologi Veteriner. UGM Press.Yogyakarta.
Elisa.2013. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Reproduksi Sapi. [Online]
elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/86948/fedf124672be7e6811d0d742ac0a6
d599. Diakses pada 29 Juli 2019.
Hermadi, H. Agoes. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran pada Ternak Menuju
Kemandirian di Bidang Kesehatan Reproduksi Hewan dan Ketahanan Pangan
di Indonesia. Universitas Airlangga; Surabaya
Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. Gadjah Mada
University Press; Yogyakarta.
Ismudiono, Pudji Srianto, H. Anwar, S. Pantja, A. Samik, dan E. Safitri. 2010. Buku
Ajar Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Airlangga University Press; Surabaya.
Jainudeen, M.R. and E.S.E. Hafez. 2000. Cattle and Buffalo. InB. Hafez, and E.S.E.
Hafez (Eds.). Reproduction in Farm Animals. Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia. Halaman : 159-171.
Kumar, PR., Singh SK, Kharche SD, Chethan Sharma G, Behera BK, Shukla
SN, Kumar H, Agarwal SK. 2014. Anestrus in cattle and buffalo: Indian
perspective. Adv. Anim. Vet. Sci. 2 (3): 124 – 138
Lashari, M.H. and Z. Tasawar, 2012. The effect of PGF2 on persistent
corpus luteum in Sahiwal cows. International Journal of Livestock
Production, 3: 1-5
Listiani, Dwi. 2005. [Tesis] Pemberian PGF2a pada Sapi Peranakan Ongole yang
Mengalami Gangguan Korpus Luteum Persisten. Universitas Diponegoro;
Semarang.
Magata, Fumie, K. Shirasuna, K. Struve, K. Herzog, T. Shimizu, H. Bollwen, dan A.
Miyamoto. 2012. Gene Expressions in the Persistent Corpus Luteum of
Postpartum Dairy Cows: Distinct Profiles from the Corpora Lutea of the Estrous
Cycle and Pregnancy. Journal of Reproduction and Development Vol.58, No.4.
Maidaswar. 2007. [Tesis] Efisiensi Superovulasi pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;
Bogor.
Matli, Norafizah Binti. 2014. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Dan
Upaya Penanggulangannya. Departemen Klinik, Reproduksi Dan
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan. IPB; Bogor.
Mushonga, B., B. Kaurivi, B. Chiwome, E. Kandiwa, G. Habarugira. 2017. Persistent
Corpus Luteum in a 9 year old Afrikaner Cow : A Case Report. Global
Veterinaria 18(2):146-150.2017.
Partodiahardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-3. Mutiara. Jakarta.
Senger, P.L. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. 2ndrevision edition.
Washington State University Research & Technology Park. Current Conceptions
Inc., Washington. Halaman : 210–230
Strüve, K., K. Herzog, F. Magata, M. Piechotta, K. Shirasuna, A. Miyamoto and
H. Bollwein, 2013. The effect of metritis on luteal function in dairy cows.
BMC Veterinary Research, 9: 244.
Tuasikal, Boky Jeanne, Totti T, dan Ratnawati, K. 2004. Studi Gangguan
Reproduksi Sapi Perah Dengan Teknik Radio Immunoassay (RIA)
Progerteron. Puslitbang Teknologi Isotop danRadiasi; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai