CHARISMA SUMULE
C 024 191 001
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Profesi Dokter Hewan
I.3 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai gambaran
singkat, pathogenesis, dan pengobatan apa yang diberikan pada sapi bali yang
mengalami gangguan reproduksi Corpus luteum persisten (CLP).
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Corpus Luteum Persisten
Normalnya Corpus Luteum terbentuk dari proses luteinisasi. Luteinisasi
adalah proses pembentukan corpus luteum oleh sel-sel granulosa dan sel-sel
theca. Pertambahan besar dari corpus luteum sesuai dengan bertambahnya umur
korpus tersebut. Corpus luteum memegang peranan penting dalam proses
reproduksi (Ismudiono et al., 2010). Pada mamalia, corpus luteum berkembang
pesat setelah ovulasi dan memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup
embrio dan pemeliharaan kebuntingan dengan memproduksi progesteron
(Magata et al., 2012). Sebelum terbentuk corpus luteum, dibentuk folikel de
graaf yang menghasilkan hormon estrogen. Segera setelah ovulasi, terbentuk sel
-sel lutea yang nantinya akan menghasilkan progesteron (Ismudiono et al.,
2010). Corpus luteum (CL) persisten atau CL yang dipertahankan merupakan
suatu kondisi yang terjadi ketika CL tidak mengalami regresi setelah 20 hari
pembentukannya pada sapi yang tidak bunting (Mushonga et al., 2017). Tingkat
kerjadian Corpus luteum persisten dilaporkan tinggi pada saat musim semi dan
musim dingin jika dibandingkan dengan musim gugur dan musim panas.
Corpus luteum persisten (CLP) menurut Ismudiono et al., (2010) adalah
korpus luteum yang terdapat pada hewan betina yang mengalami keadaan
patologis pada uterusnya. Hewan betina dengan kasus CLP ini tidak birahi
walaupun tidak bunting, hal ini disebabkan karena tidak diproduksinya PGF2α
dari uterus dalam keadaan patologik. Seperti diketahui bahwa peran PGF2α
adalah meregresikan korpus luteum, akibat tidak diproduksinya PGF2α tersebut
maka korpus luteum akan menetap (Ismudiono et al,2010). Corpus luteum
persisten mengarah pada kondisi patologis organ kelamin betina hewan.
Kondisi patologis organ kelamin betina yang disertai dengan korpus luteum
persisten antara lain endometritis dan pyometra. Karena endometrium
mengalami kondisi yang patologis sehingga tidak dapat menghasilkan
prostaglandin yang berfungsi untuk meregresi korpus luteum persisten tersebut
(Hermadi, 2015). Korpus luteum persisten dapat pula terjadi setelah
melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang produksi susunya tinggi karena
hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise anterior pada sapi yang produksinya
susunya tinggi setelah melahirkan dapat menghambat lisis dari korpus luteum
(Elisa,2013). Beberapa kasus gangguan reproduksi pada dasarnya disebabkan
oleh faktor hormonal, anatomi kelamin, dan kelainan patologi alat kelamin.
Tertahannya korpus luteum seringkali terjadi karena adanya penyakit atau
gangguan pada uterus seperti pyometra, maserasi foetus, mucometra dan
mumifikasi foetus (Listiani, 2005).
III.5 Pengobatan/Penanganan
Prostaglandin (PGF2α) adalah pengobatan pilihan untuk persisten
korpus luteum. Obat yang diberikan dengan merk dagang adalah
Juramete 20 ml dengan tiap ml mengandung Cloprostenol 250 mcg.
Closprostenol adalah anolog sintetik dari hormon prostaglandin
(PGF2α). Penyuntikan Juramete secara intramuskular dengan dosis 2
ml/ekor. Mekanisme kerja PGF2α yakni dengan cara melisiskan korpus
luteum sebagai sumber progesteron. Lisisnya korpus luteum
mengakibatkan kadar progesterone dalam darah menurun (sangat
rendah), sementara kadar estrogen meningkat sehingga menyebabkan
terjadinya estrus. Penurunan progesterone diharapkan dapat
menghilangkan hambatan FSH dan LH. Apabila terjadi gangguan di
uterus seperti endometritis harus diobati menggunakan antibiotic.
Pemberian PGF2a dapat diberikan apabila tidak ada gangguan lainnya
pada uterus (Astuti, 2015).
IV. PEMBAHASAN
Diagnosis CL persisten dapat dilakukan dengan anamnesis, recording
siklus birahi, palpasi perektal, uji progesteron, dan ultrasounografi (Mushonga
et al., 2017). Anamnesis didasarkan pada keluhan pemilik bahwa mereka tidak
mampu mendeteksi estrus atau belum pernah melihat adanya tanda-tanda estrus
pada hewan setelah melahirkan. Korpus luteum persisten dapat pula terjadi
setelah melahirkan. Ini sering terjadi pada sapi yang produksinya tinggi karena
hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise anterior pada sapi yang produksinya
tinggi setelah melahirkan menghambat lisis dari korpus luteum. Korpus luteum
persisten memproduksi hormon progesteron akibatnya ternak yang mempunyai
korpus luteum persisten tidak akan menunjukkan gejala-gejala estrus (anestrus).
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan
gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Anestrus sering merupakan
penyebab infertilitas pada sapi betina.
Recording siklus birahi dapat dilakukan yaitu dengan menghitung siklus
birahi yaitu 60-90 hari pasca persalinan atau melahirkan, sehingga sapi dapat
dikawinkan kembali. Dengan demikian, sapi dapat bunting lagi dalam waktu 3-
4 bulan pasca beranak. Sayangnya di peternak, sering terjadi
kasus infertilitas berupa ketidakmampuan birahi setelah beranak. Akibatnya,
sapi terlambat kawin dan rentang beranaknya menjadi lebih dari 18 bulan.
Rentang yang panjang ini menyebabkan angka kelahiran sapi potong masih
rendah yakni sebesar 18,4% dan mortalitas sebesar 2,0%. Sedangkan pada sapi
yang baru pertama kali birahi akan terlihat pada umur 12-18 bulan. Dewasa
kelamin ini menandakan bahwa alat reproduksi sudah berfungsi, tetapi belum
siap bunting dan melahirkan, biasanya pada sapi yang berumur 1 tahun. Oleh
karena itu pada umur-umur tersebut sapi-sapi betina harus dipisahkan dari sapi
jantan, untuk menghindari terjadinya perkawinan yang belum waktunya. Hal ini
terjadi karena harus didukung oleh tubuh sapi yang siap bunting dan melahirkan
(dewasa tubuh). Dewasa tubuh dimana alat reproduksi siap dikawinkan, siap
bunting dan siap melahirkan. Sapi betina mulai dikawinkan untuk pertama kali
pada umur antara 24 – 30 bulan ( 2 – 2,5 tahun ) dengan rata-rata umur 27
bulan, sebab pada umur tersebut sapi sudah mencapai dewasa tubuh.
Diharapkan pada umur antara 3 – 3,5 tahun sapi betina dapat beranak untuk
yang pertama kali.
Palpasi perektal pada ovarium yang dicurigai terjadi CL persisten akan
teraba adanya CL namun tidak ada konseptus di dalam uterus (Mushonga et al.,
2017).
V. KESIMPULAN
Aliyah, Nur. 2012. [Skripsi] Kelainan Reproduksi Ternak Sapi PErah Fries Holland di
Kabupaten Sinjai. Universitas Hasanuddin; Makassar.
Asren, Ahmad Fadhil. 2015. Anestrus Sapi Perah Dan Penanggulangannya.
Departemen Klinik, Reproduksi Dan Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan. IPB; Bogor.
Astuti, Pudji. 2015. Endokrinologi Veteriner. UGM Press.Yogyakarta.
Elisa.2013. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Reproduksi Sapi. [Online]
elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/86948/fedf124672be7e6811d0d742ac0a6
d599. Diakses pada 29 Juli 2019.
Hermadi, H. Agoes. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran pada Ternak Menuju
Kemandirian di Bidang Kesehatan Reproduksi Hewan dan Ketahanan Pangan
di Indonesia. Universitas Airlangga; Surabaya
Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. Gadjah Mada
University Press; Yogyakarta.
Ismudiono, Pudji Srianto, H. Anwar, S. Pantja, A. Samik, dan E. Safitri. 2010. Buku
Ajar Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Airlangga University Press; Surabaya.
Jainudeen, M.R. and E.S.E. Hafez. 2000. Cattle and Buffalo. InB. Hafez, and E.S.E.
Hafez (Eds.). Reproduction in Farm Animals. Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia. Halaman : 159-171.
Kumar, PR., Singh SK, Kharche SD, Chethan Sharma G, Behera BK, Shukla
SN, Kumar H, Agarwal SK. 2014. Anestrus in cattle and buffalo: Indian
perspective. Adv. Anim. Vet. Sci. 2 (3): 124 – 138
Lashari, M.H. and Z. Tasawar, 2012. The effect of PGF2 on persistent
corpus luteum in Sahiwal cows. International Journal of Livestock
Production, 3: 1-5
Listiani, Dwi. 2005. [Tesis] Pemberian PGF2a pada Sapi Peranakan Ongole yang
Mengalami Gangguan Korpus Luteum Persisten. Universitas Diponegoro;
Semarang.
Magata, Fumie, K. Shirasuna, K. Struve, K. Herzog, T. Shimizu, H. Bollwen, dan A.
Miyamoto. 2012. Gene Expressions in the Persistent Corpus Luteum of
Postpartum Dairy Cows: Distinct Profiles from the Corpora Lutea of the Estrous
Cycle and Pregnancy. Journal of Reproduction and Development Vol.58, No.4.
Maidaswar. 2007. [Tesis] Efisiensi Superovulasi pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;
Bogor.
Matli, Norafizah Binti. 2014. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Dan
Upaya Penanggulangannya. Departemen Klinik, Reproduksi Dan
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan. IPB; Bogor.
Mushonga, B., B. Kaurivi, B. Chiwome, E. Kandiwa, G. Habarugira. 2017. Persistent
Corpus Luteum in a 9 year old Afrikaner Cow : A Case Report. Global
Veterinaria 18(2):146-150.2017.
Partodiahardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-3. Mutiara. Jakarta.
Senger, P.L. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. 2ndrevision edition.
Washington State University Research & Technology Park. Current Conceptions
Inc., Washington. Halaman : 210–230
Strüve, K., K. Herzog, F. Magata, M. Piechotta, K. Shirasuna, A. Miyamoto and
H. Bollwein, 2013. The effect of metritis on luteal function in dairy cows.
BMC Veterinary Research, 9: 244.
Tuasikal, Boky Jeanne, Totti T, dan Ratnawati, K. 2004. Studi Gangguan
Reproduksi Sapi Perah Dengan Teknik Radio Immunoassay (RIA)
Progerteron. Puslitbang Teknologi Isotop danRadiasi; Jakarta.