Anda di halaman 1dari 51

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH TOTAL BAKTERI DAN

ANGKA KATALASE TERHADAP DAYA TAHAN SUSU













FATKHAN ROFII
B04102077














FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009


ABSTRAK

FATKHAN ROFII. Hubungan antara jumlah total bakteri dan angka katalase
terhadap daya tahan susu. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jumlah total
bakteri dan angka katalase terhadap daya tahan susu. Sebanyak 60 sampel susu
kandang hasil pemerahan pagi hari diambil dari peternak di Kawasan Usaha
Ternak (KUNAK) Bogor pada saat diserahkan ke Tempat Pengumpulan Susu
(TPS). Penelitian ini dilakukan dengan menempatkan setiap sampel pada suhu
rendah (<10
0
C) dan suhu ruangan (27.5
0
C). Setiap sampel kemudian dihitung
jumlah total bakterinya dengan uji TPC (Total Plate Count) yang dilakukan
bersamaan dengan uji katalase. Pengujian setiap sampel dilakukan dua kali,
dengan selang waktu tiga jam setelah pengujian pertama. Hasil pengujian
menunjukkan perlakuan penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C) berpengaruh
tidak nyata (P>0.025) terhadap pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzimatisnya.
Perlakuan penyimpanan pada suhu ruangan (27.5
0
C) berpengaruh nyata
(P<0.025) terhadap pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzimatisnya. Dapat
disimpulkan bahwa penyimpanan sampel susu pada suhu rendah (<10
0
C) lebih
efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzimatisnya,
dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruangan (27.5
0
C). Melalui
hambatan terhadap pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzimatis tersebut,
diharapkan daya tahan susu dapat diperpanjang.

Kata kunci: pertumbuhan bakteri, aktivitas enzimatis, daya tahan susu.



ABSTRACT

The relationship between total bacteria count (Total Plate Count) and
catalase value to the fresh milk shelf-life. Sixty milk samples were taken from
collecting center (KUNAK) of Bogor. Each milk samples were devided into 2
groups: (1) low temperature storage (< 10
0
C) and (2) room temperature storage
( 27.5
0
C). The samples were analyzed with total bacteria count (TPC) test and
catalase test and repeated after 3 hours. The result showed that milk samples
which stored at low temperature (<10
0
C) had no significant difference (P>0.025)
to the bacterial counts and catalase value. On the other hand, milk samples which
stored at room temperature (27.5
0
C) had significant difference (P<0.025) to the
bacterial counts and catalase value. This research concluded that stored milk
samples at low temperatue (<10
0
C) has the best effect on inhibiting bacterial
growth and enzimatic activity compared to the room temperature storage
(27.5
0
C). By inhibiting of bacterial growth and enzimatic activity, will the shelf-
life of milk be prolonged.


Key word: bacteria counts, enzimatic activity, shelf-life of milk.




HUBUNGAN ANTARA JUMLAH TOTAL BAKTERI DAN
ANGKA KATALASE TERHADAP DAYA TAHAN SUSU











FATKHAN ROFII
B04102077






Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor






FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009



Judul Skripsi : Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri dan Angka Katalase
Terhadap Daya Tahan Susu.
Nama : Fatkhan Rofii
NIM : B04102077
















Menyetujui,






Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto
Pembimbing





Mengetahui,





Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH IPB



Tanggal Lulus :


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat
kehidupan dan nikmat akal. Berkat taufiq dan ridho-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri dan
Angka Katalase Terhadap Daya Tahan Susu. Shalawat dan salam semoga
tercurah pada Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan
para penerus perjuangan beliau yang senantiasa bersama kebenaran dan
memperjuangkannya.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan berbagai pihak. Penghargaan
dan terima kasih kepada: Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto selaku
pembimbing. drh. Okti Nadia Poetri MSi. selaku dosen penilai seminar. Dr. drh.
A. Winny K. Sanjaya MS. selaku dosen penguji. Dr. drh. Zahid Ilyas Msi. selaku
pembimbing akademik. drh. Hadri Latif MSi. yang telah banyak membantu.
Seluruh staf Kunak Sapi Perah Cibungbulang Bogor dan staf penunjang
Laboratorium Kesmavet (Pak Tedi, Pak Hendra, Ibu Eha). Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Teman-teman sepenelitian
(Liys dan Fitrine). Keluarga di Bojonegoro; Bapak, Ibu, mbak Uswatun H, mbak
Atifah R, mas Dwi Priyo S, mas Thosim, Nuha, Ilma, Fani dan Zulfa atas
dukungan doa dan kasih sayang yang tulus. Segenap keluarga ARTHOPODA39
(Hendra, Didid, Efal, Rinaldi, Ujang J, Abdul, Eko C, Tita, Marwah, Suci F,
Laela, Liys, Azizah dll). DPM KM FKH 2003/2004 (Septa, Nidya, Nazla, Bayu,
Salman, dll). DPM KM FKH 2004/2005 (Izzul, Kukuh Diki, Dini A, Naila, Narti
dll). Keluarga kecil saya di Tanah Sareal. Keluarga di FKH yang telah
mengajarkan arti sebuah keluarga. Tempat hatiku terpaut: Al Hurriyyah; An Nahl;
Al Inayah 1; Pondok HAMAS.
Akhirnya, saya berharap skripsi ini menjadi salah satu pengabdian saya
kepada Allah swt, kontribusi kepada ilmu pengetahuan dan memberi manfaat
kepada sesama manusia.
Bogor, Juni 2009

Fatkhan Rofii


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 13 Januari 1984 dari
pasangan Bapak Abu Dardak dan Ibu Umi Kulsum. Penulis merupakan anak ke
tiga dari tiga bersaudara.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1988 1990 di TK
Raudhatul Athfal Pejambon. Tahun 1990 sampai 1996 penulis melanjutkan
sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Pejambon, kemudian melanjutkan ke SLTPN 1
Sumberrejo Bojonegoro hingga lulus pada tahun 1999. Pendidikan selanjutnya di
SMUN 3 Bojonegoro hingga lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama,
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan
melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra
kampus. Organisasi intra kampus antara lain: Dewan Perwakilan Mahasiswa FKH
IPB (2003-2004) sebagai sekretaris umum, Dewan Perwakilan Mahasiswa FKH
IPB (2004-2005) sebagai ketua, ketua Komisi Pemilihan Raya FKH IPB tahun
2004, Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2003-2005), Himpunan Minat
Profesi Ornithologi dan Unggas (2003-2004), Majelis Perwakilan Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa IPB (2003-2004), Badan Pengawas Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia (2003-2005). Sedangkan organisasi ekstra kampus
yang diikuti antara lain: Paguyuban Angkling Dharma (PAD) Bojonegoro (2003-
2004) sebagai ketua internal. Dan pada tahun 2007 2008 diamanahkan menjadi
dewan penasehat PAD. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum
Pendidikan Agama Islam (semester ganjil 2004 dan semester ganjil 2005). Pada
tahun 2007 penulis menjadi tutor/ fasilitator Program Pendidikan Keaksaraan
Fungsional LPPM IPB.



DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... iv
PENDAHULUAN
Latar belakang ................ 1
Tujuan ........................ 2
Manfaat penelitian ...................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi dan karakteristik susu ....................... 3
Mikrobiologi susu .......................... 4
Kandungan bakteri dalam susu ...................... 5
Pertumbuhan bakteri .................. 6
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri ................... 10
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri ................. 10
Karakteristik enzim .................................................. 13
Kandungan enzim dalam susu .................. 14
Enzim katalase ............................................. 15
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat ................ 16
Bahan dan alat .............. 16
Metode penelitian ................. 16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap jumlah total bakteri (TPC) ..... 21
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap angka katalase ............................ 25
Hubungan antara jumlah total bakteri (TPC) dan angka katalase
dengan daya tahan susu ............................................................................ 28
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA .................. 32
LAMPIRAN ................. 35


DAFTAR TABEL


1. Rataan komposisi susu ..................................................................................... 3
2. Jumlah mikroba pencemar dalam susu segar................................................ 5
3. Jumlah sel yang dihasilkan dengan pembelahan biner..................................... 7
4. Rataan hasil uji TPC, uji katalase dan paramater SNI 01-3141-1998 .... 28






















DAFTAR GAMBAR


1. Kurva pertumbuhan populasi mikroorganisme ................................................... 7
2. Pertumbuhan sel dan pembelahan biner bakteri .................................................. 8
3. Kurva suhu optimum pertumbuhan bakteri ............................................... 11
4. Kurva pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri ....... 12
5. Kurva pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim ............................................ 14
6. Skema metode hitungan cawan (TPC) .................................................. 18
7. Hasil uji TPC dengan dua kali pemeriksaan pada sampel suhu rendah
(<10
0
C) dan suhu ruangan (27.5
0
C) ........................................................ 22
8. Pengaruh interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah total
bakteri (log CFU/ml) ........................................................................................ 24
9. Hasil uji katalase dengan dua kali pemeriksaan pada sampel suhu rendah
(<10
0
C) dan suhu ruangan (27.5
0
C) ............................................................... 25
10. Pengaruh interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap angka
katalase (cc) ....................................................................................................... 27

















DAFTAR LAMPIRAN


1. Hasil uji deskriptif pemeriksaan pertama dan kedua ..................................... 35
2. Hasil uji t-Student pemeriksaan TPC pertama dan kedua pada sampel suhu
rendah (<10
0
C) ................................................................................................36
3. Hasil uji t-Student pemeriksaan TPC pertama dan kedua pada sampel suhu
ruangan (27.5
0
C) .......................................................................................... 37
4. Hasil uji t-Student pemeriksaan katalase pertama dan kedua pada sampel
suhu rendah (<10
0
C) ...................................................................................... 38
5. Hasil uji t-Student pemeriksaan katalase pertama dan kedua pada sampel
suhu ruangan (27.5
0
C) ................................................................................. 39


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan bahan makanan bergizi yang memiliki susunan dan
perbandingan gizi yang sempurna, mudah dicerna dan diserap oleh darah. Bila
dibandingkan dengan bahan makanan yang lain, susu mengandung zat gizi yang
lebih tinggi. Lebih dari 100 komponen yang telah diidentifikasi dalam susu sapi.
Komponen penting dalam susu dan produk susu diantaranya adalah kalsium,
vitamin D, protein, potassium, vitamin A, vitamin B
12
, riboflavin, niacin, dan
fosfor (Miller et al. 2007). Kandungan zat gizi yang tinggi ini menjadikan susu
sebagai bahan makanan yang sangat baik untuk dikonsumsi oleh manusia maupun
anak hewan. Disamping itu, kandungan zat gizi yang tinggi juga menyebabkan
susu menjadi media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri.
Pertumbuhan bakteri dalam susu dapat memberikan efek yang
menguntungkan dan merugikan dalam proses pengolahan susu. Bakteri yang
menguntungkan misalnya bakteri yang digunakan untuk pengolahan yogurt, kefir,
mentega, keju dan lainnya Pelczar dan Chan (1986). Kelompok bakteri yang
merugikan dapat bersifat patogen dan non-patogen. Bakteri patogen dapat
menyebabkan gangguan kesehatan dengan kata lain susu tidak aman untuk
dikonsumsi. Bakteri non-patogen dapat menyebabkan penurunan mutu, penolakan
oleh konsumen dan daya tahan susu menjadi pendek, dengan kata lain,
pertumbuhan bakteri dalam susu menyebabkan susu menjadi bahan makanan yang
mudah rusak (perishable food) dan berpotensi mengandung bahaya (potentially
hazardous food/ PHF).
Secara alami, susu yang keluar dari ambing selalu mengandung bakteri.
Dalam perkembangannya, jumlah bakteri tersebut dapat bertambah atau tetap
sesuai dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Perubahan tersebut
terjadi karena adanya pencemaran dan pertumbuhan atau dapat berkurang karena
ada faktor penghambat.
Pencemaran bakteri dapat terjadi mulai dari peternakan, transportasi sampai
di tangan konsumen. Pencemaran di peternakan dapat berasal dari dalam ambing
secara langsung, melalui puting, pemerah, sarana dan prasarana pemerahan


(Sudarwanto 2006). Pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh ketersediaan makanan,
oksigen (O
2
), aktivitas air (a
w
), suhu, pH dan potensial oksidasi-reduksi. Adapun
faktor yang menghambat pertumbuhan bakteri antara lain produk yang dihasilkan
bakteri itu sendiri dan bakteriophage. Selain itu, pertumbuhan bakteri dalam susu
dapat dihambat dengan menggunakan suhu rendah (Fardiaz 1989). Penyimpanan
pada suhu rendah juga dapat digunakan untuk memperoleh kesegaran susu dan
memperoleh umur simpan yang panjang.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah total
bakteri dan angka katalase terhadap daya tahan susu

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan sebagai
rujukan kepada pihak terkait (dunia kesehatan masyarakat veteriner, peternak,
peneliti) untuk melakukan tindakan preventif agar daya tahan susu lebih baik.




2


TINJAUAN PUSTAKA

Susu adalah sekresi yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang
diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun.
Sedangkan susu segar adalah susu murni yang disebutkan di atas dan tidak
mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan tanpa mempengaruhi
kemurniannya (SNI 01-3141-1998).
Dasar dari ilmu pengetahuan dan teknologi produk susu adalah susu
karena susu adalah bahan baku dari semua produk susu. Susu sebagian besar
digunakan sebagai produk pangan. Dipandang dari segi gizi, susu merupakan
makanan yang hampir sempurna (Buckle et al. 1987). Hal ini disebabkan karena
susu memiliki susunan dan perbandingan zat gizi sempurna, kandungan zat gizi
lengkap, mudah dicerna dan diserap darah, serta mutu dan lemak susu lebih tinggi
daripada bahan makanan lain (Sudarwanto 2006).

Komposisi dan Karakteristik Susu

Komposisi susu pada dasarnya sangat bervariasi, tergantung dari berbagai
faktor seperti: faktor genetik, makanan, iklim, suhu, waktu laktasi, dan prosedur
pemerahan (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Rataan komposisi susu menurut
Walstra et al. (2006) ada dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rataan komposisi susu.

Komponen
Rataan dalam
Susu (%)
Kisaran
(%)
Rataan dalam
Berat Kering (%)
Air 87.10 85.30 88.70
BKTL 8.90 7.90 10.00
Lemak kering 31.00 22.00 38.00
Laktosa 4.60 3.80 5.30 36.00
Lemak 4.00 2.50 5.50 31.00
Protein 3.30 2.30 4.40 25.00
Kasein 2.60 1.70 3.50 20.00
Mineral 0.70 0.57 0.83 5.40
Asam organik 0.17 0.12 0.21 1.30
Dan lain-lain 0.15 1.20



Secara kimiawi susu segar mempunyai pH dengan kisaran 6,6 6,7 dan
bila terjadi pembentukan asam karena aktivitas bakteri, angka tersebut akan turun
secara nyata. Berat jenis (BJ) susu berkisar antara 1,0260 1,0320 pada suhu
20
0
C, keragamannya disebabkan karena perbedaan kandungan lemak dan zat-zat
padat bukan lemak (Buckle et al. 1987). Karakteristik fisik susu antara lain: susu
mempunyai warna putih kebiru-biruan sampai kuning kecokelatan (Buckle et al.
1987); rasa asli susu sedikit manis akibat laktosa dan berbau khas aromatis
(Sudarwanto 2006); dan susu mempunyai titik beku antara -0,55
0
C hingga -0,61
0
C
serta titik didih sekitar 100,17
0
C (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Mikrobiologi Susu

Susu merupakan sumber nutrisi dan energi yang baik, tidak hanya bagi
mamalia tetapi juga bagi sebagian besar mikroorganisme yang dapat tumbuh di
dalamnya (Walstra et al. 2006). Menurut Spreer (1998), berdasarkan reaksi dan
perubahan yang dihasilkan, mikroorganisme dikelompokkan menjadi:
a. Mikroorganisme yang menguntungkan, digunakan dalam teknologi
pengolahan seperti pembuatan yogurt, kefir, dan keju.
b. Mikroorganisme yang merugikan, menyebabkan perubahan yang tidak
diinginkan dalam proses pengolahan susu, seperti perubahan rasa, aroma
dan rasa susu.
c. Mikroorganisme patogen, yang dapat menyebabkan penyakit baik pada
manusia, hewan, atau tanaman.

Menurut Frazier dan Westhoff (1988) susu mengandung mikroorganisme
yang relatif sedikit pada saat keluar dari ambing sapi yang sehat, dan pada
umumnya bakteri tersebut tidak tumbuh selama penanganan susu baik.
Mikroorganisme tersebut berjumlah sampai 500 sel/ml, tapi dapat meningkat
menjadi lebih dari 20.000 sel/ml jika ambing sapi menderita sakit (Buckle et al.
1987). Menurut Lund et al. (2000) selain pencemaran langsung dari ambing,
pencemaran juga dapat timbul dari pemerah, udara, air, alat-alat pemerahan,
tempat penyimpanan, selama proses transportasi dan fasilitas pengolahan susu.
Rincian jumlah cemaran mikroba dapat dilihat pada Tabel 2.
4


Tabel 2. Jumlah mikroba pencemar dalam susu segar.

Pencemar Jumlah Mikroba (CFU/ml susu)
Udara 100 1.500
Ambing 300 4.000
Sanitasi buruk 500 15.000
Ambing sakit < 25.000
Peralatan susu > 1.000.000
Sumber: Sudarwanto, 2006

Kandungan Bakteri Dalam Susu

Nama bakteri berasal dari bahasa Yunani bakterion yang berarti tongkat
atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok
mikroorganisme yang bersel satu, tidak berklorofil (meskipun ada
pengecualiannya), berkembang biak dengan pembelahan diri, serta hanya terlihat
dengan bantuan mikroskop (Dwidjoseputro 1987). Menurut Winarno (2004),
bakteri merupakan sel tunggal prokaryote, yaitu suatu organisme yang tidak
memiliki inti yang jelas dan terpisah, mereka dibedakan dari eukaryote sel yang
membangun tubuh manusia. Bakteri memiliki berbagai ukuran dan bentuk.
Sebagian besar bakteri tersebut berdiameter 0.2-2,0 m dan panjang 2,0-8,0 m
(Tortora et al. 1998). Berdasarkan morfologinya, bakteri terdiri dari tiga bentuk
dasar yaitu:
1. Bentuk bulat atau kokus, contohnya: stafilococcus sp
2. Bentuk batang atau basilus, contohnya: bacillus sp
3. Bentuk spiral, contohnya: spirilla sp

Menurut Dwidjoseputro (1987), susunan sel bakteri terdiri dari dinding
luar, sitoplasma, dan bahan inti. Dinding luar terdiri atas tiga lapis, dari luar ke
dalam berturut-turut yaitu lapisan lendir, dinding sel, dan membran sitoplasma.
Dinding sel dapat terdiri atas bermacam-macam bahan organik seperti selulosa,
hemiselulosa, khitin (karbohidrat yang mengandung unsur N), hal ini bergantung
pada spesies bakteri. Berdasarkan komposisi dinding sel ini serta sifat
pewarnaannya bakteri dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif (Buckle et al. 1987).
5


Bakteri yang hampir selalu ada di dalam susu adalah bakteri penghasil
asam laktat (asam susu); bakteri ini kebanyakan dari famili lactobacteriaceae
(Dwidjoseputro 1978). Sifat terpenting dari bakteri asam laktat adalah
kemampuannya untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Produksi asam
laktat ini berjalan sangat cepat dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
lain yang tidak diinginkan. Dalam pengolahan susu, bakteri asam laktat berperan
memfermentasi gula susu (laktosa) menjadi asam susu (asam laktat). Yang
termasuk bakteri asam laktat adalah famili Lactobacillacea, yaitu Lactobacillus,
dan famili Streptococcaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus dan
Pediococcus (Fardiaz 1989).

Pertumbuhan Bakteri

Menurut Tortora et al. (1998) yang dimaksud pertumbuhan adalah
pertambahan jumlah bakteri, bukan pertambahan ukuran sel. Proses perbanyakan
diri ini disebut dengan pembelahan biner. Bahan inti memperbanyak diri dan
membagi menjadi dua bagian yang terpisah dan kemudian sel membagi diri,
menghasilkan dua buah sel anak dengan ukuran yang sama. Pada saat
perbanyakan bahan inti ukuran dan massa sel yang asli (sel induk) bertambah, dan
secepatnya membagi dalam dua sel (sel anak) (Garbutt 1997). Waktu yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk membelah ini disebut waktu generasi, dan sangat
bervariasi tergantung dari spesies dan kondisi pertumbuhan (Fardiaz 1989). Pada
kondisi optimal, hampir semua bakteri memperbanyak diri dengan pembelahan
biner sekali setiap 20 menit (Gaman dan Sherrington 1994).
Menurut Garbutt (1997), mengamati pertumbuhan populasi
mikrorganisme lebih mudah dilakukan daripada pertumbuhan individu sel
mikroorganisme, hal ini karena ukuran sel mikroorganisme yang sangat kecil.
Laju pertumbuhan sel mikroorganisme yang berbiak dengan pembelahan biner
bersifat logaritmik atau eksponensial.
6


Tabel 3. Jumlah sel yang dihasilkan dengan pembelahan biner.

Generasi Jumlah sel Jumlah sel dalam pertumbuhan eksposensial
0 1 2
0
1 2 2
1
2 4 2
2
3 8 2
3
4 16 2
4
5 32 2
5

6 64 2
6
7 128 2
7
8 256 2
8
9 512 2
9
10 1024 2
10

Sumber: Garbutt 1997





















Tahap Kematian
Tahap Adaptasi
Tahap Tetap
Tahap Eksponensial
Waktu
Jumlah
organisme
hidup
Gambar 1. Kurva pertumbuhan mikroorganisme (Garbutt 1997)
7





























Fase Adaptasi (Lag Phase)
Kurun waktu ini merupakan penyesuaian bakteri dalam lingkungan yang
baru. Pada fase ini tidak ada pertambahan jumlah sel, melainkan peningkatan
ukuran sel (Lay dan Hastowo 1992). Waktu yang dibutuhkan fase adaptasi ini
tergantung kondisi lingkungan mikroorganisme tersebut sebelum diinokulasikan,
Terjadi pemisahan
secara fisik
Kromosom menempel
pada dinding sel
Suatu sekat terbentuk
untuk memisahkan
sitoplasma untuk dua sel
Selaput dan dinding sel
baru terbentuk
menghasilkan dua sel
yang lengkap
DNA membelah diri
menjadi dua kromosom

Pengait kromosom
membelah
Kromosom terpisah
Pengait kromosom
Kromosom
Dinding sel
Keseluruhan proses menghabiskan waktu sekitar 30 menit
Gambar 2. Pertumbuhan sel dan pembelahan biner bakteri (Garbutt 1997)
8


jumlah inokulum serta kondisi media dan kondisi inkubasi yang digunakan untuk
pertumbuhan (Garbutt 1997).

Fase Logaritmik (Log Phase) atau Fase Eksponensial
Pada fase ini sel memperbanyak diri secara cepat untuk beberapa jam atau
bahkan beberapa hari (Gaman dan Sherrington 1994). Dalam kondisi
pertumbuhan yang optimum, sel membelah dalam jumlah yang luar biasa dalam
waktu yang singkat. Laju pertumbuhan selama fase logaritmik ini ditentukan oleh
beberapa faktor seperti suhu inkubasi, aktivitas air dan pH media penanaman
(Garbutt 1997).

Fase Pertumbuhan Statis (Stationary Phase)
Dalam fase ini kecepatan tumbuh dan kecepatan mati sama, sehingga
jumlah sel akan konstan (Lay dan Hastowo 1992). Menurut Garbutt (1997),
jumlah populasi akan berhenti tumbuh karena suatu hal, atau kombinasi dari
beberapa penyebab berikut:
Zat makanan penting dalam media yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telah
habis.
Perubahan pH akibat metabolisme sel akan menghambat pertumbuhan.
Bahan beracun yang dihasilkan oleh metabolisme sel.
Kekurangan oksigen bagi organisme aerobik.

Fase Kematian (Death Phase)
Fase ini merupakan kebalikan dari fase logaritmik pertumbuhan. Jumlah
sel menurun terus sampai didapatkan jumlah sel yang konstan untuk beberapa
waktu (Lay dan Hastowo 1992). Menurut Garbutt (1997), kematian ini dapat
diakibatkan oleh beberapa penyebab berikut:
Sel kehabisan energi (organisme menghabiskan energi cadangannya dan
kelaparan);
Perubahan pH dalam media penanaman merusak sel organisme dan
menyebabkan kematian sel;
Akumulasi bahan beracun hasil proses metabolisme.
9


Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri

Menurut Muchtadi dan Betty (1980), seperti halnya pada makhluk hidup
lain, pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.
Pengaruh lingkungan ini dapat digolongkan menjadi faktor abiotik dan faktor
biotik.
Faktor abiotik merupakan faktor fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroba. Diantara faktor fisik dan kimia tersebut adalah:
1. Suhu
2. pH
3. Tekanan osmotik
4. Oksigen
5. Sinar gelombang pendek
6. Tegangan permukaan
7. Daya oligo dinamik logam berat

Sedangkan faktor biotik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah
pertumbuhan spesies mikroba lain. Pertumbuhan dan aktivitas tiap spesies
mikroba umumnya tergantung pada aktivitas mikroba lain yang banyak
jumlahnya; ada yang menguntungkan, ada yang menyaingi dan ada pula yang
sifatnya berlawanan.
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Menurut Gaman dan Sherrington (1994), tiap-tiap mikroorganisme
memiliki suhu pertumbuhan maksimum, minimum dan optimum. Suhu
maksimum yaitu suhu tertinggi, di atas suhu tersebut mikroba tidak dapat tumbuh.
Suhu minimum yaitu suhu terendah, di bawah suhu tersebut mikroba tidak dapat
tumbuh. Suhu optimum yaitu suhu di mana mikroba tumbuh sangat baik. Ini
berarti suhu memberikan kesempatan pertumbuhan yang sangat cepat dan
menghasilkan jumlah sel yang maksimal (Muchtadi dan Betty 1980).

10


Menurut Muchtadi dan Betty (1980), berdasarkan suhu pertumbuhannya,
bakteri dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Bakteri termofil, yang memerlukan suhu tinggi untuk dapat tumbuh
dengan baik. Suhu optimumnya di atas 50
0
C,
2. Bakteri mesofil, yang mempunyai suhu optimum antara 20 45
0
C,
3. Bakteri psikhrofil, yang tumbuh pada suhu rendah yaitu antara 5 10
0
C,
tetapi sebenarnya mempunyai suhu optimum di atas 20
0
C.








Gambar 3. Kurva suhu optimum pertumbuhan bakteri (Dwidjoseputro 1978)

Keterangan:
A. Psikhrofil
B. Mesofil
C. Termofil

Peranan suhu terhadap pertumbuhan mikroba sebenarnya merupakan
petunjuk adanya pengaruh suhu terhadap enzim di dalam sel mikroba (Muchtadi
dan Betty 1980). Menurut Garbutt (1997), rentang suhu optimum ditentukan oleh
pengaruh suhu terhadap membran sel dan enzim, untuk organisme tertentu,
pertumbuhan dibatasi oleh suhu dimana enzim dan membran sel dapat berfungsi.
Hubungan antara pertumbuhan dan suhu untuk berbagai organisme dapat dilihat
pada Gambar 3.



80 40 60 20
A B C
Pertumbuhan
Suhu (
0
C)
Suhu (
0
C) Log.
11













Gambar 4. Kurva pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri (Garbutt 1997)

Keterangan
A adalah suhu minimum, pada suhu ini tidak terjadi pertumbuhan.
B adalah suhu optimum, pada suhu ini mikroorganisme tumbuh sangat cepat.
C adalah suhu maksimum, di atas suhu ini mikroorganisme tidak tumbuh.
(a) menunjukkan bahwa pertumbuhan meningkat seiring dengan peningkatan reaksi katalisasi
enzim.
(b) menunjukkan bahwa reaksi katalisasi mencapai maksimum.
(c) menunjukkan bahwa pertumbuhan menurun seiring dengan denaturasi enzim dan
kerusakan membran sel.

Menurut Garbutt (1997), suhu memiliki pengaruh yang sangat penting
terhadap fase adaptasi pertumbuhan mikroorganisme. Ketika suhu mendekati suhu
minimum, tidak hanya mengurangi kecepatan pertumbuhan tetapi juga
memperpanjang fase adaptasi. Hal ini sangat penting dalam proses penyimpanan
makanan pada suhu dingin. Jika makanan disimpan di bawah suhu minimum,
maka sel-sel mikroorganisme akan tumbuh lambat. Dan jika makanan disimpan di
atas suhu maksimum, maka sel-sel mikroorganime akan mati dengan cepat (Ray
2001).
Menurut Jay (1997), penggunaan suhu rendah untuk menyimpan makanan
didasarkan atas fakta bahwa aktivitas mikroorganisme dapat diperlambat dan/atau
dihentikan pada suhu di atas suhu beku dan biasanya berhenti pada suhu di bawah
titik beku. Hal ini disebabkan karena semua reaksi metabolisme mikroorganisme
dikatalisasi oleh enzim dan tingkat reaksi katalisasi enzim tergantung pada suhu.

10
10
50 30 40 20
(b)
(a)
(c)
A B C
Kecepatan
pertumbuhan
Suhu (
0
C)
12


Karakteristik Enzim

Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel
hidup, dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia
(Wirahadikusumah 1977). Enzim bertindak sebagai katalisator untuk
meningkatkan tingkat reaksi kimia, akan tetapi enzim bukan penyebab terjadinya
suatu reaksi melainkan suatu reaksi tidak akan terjadi secara spontan tanpa enzim.
Enzim yang dihasilkan oleh sel mikroorganisme mempunyai sifat-sifat
umum yang sama. Menurut Dwidjoseputro (1978), sifat-sifat umum enzim itu
sebagai berikut:
a. Enzim menggiatkan atau kadang-kadang memulai suatu proses.
b. Enzim bekerja spesifik. Untuk merubah suatu zat tertentu diperlukan enzim
tertentu pula.
c. Enzim adalah protein, jadi suatu kolloid.
d. Reaksi beberapa enzim dapat bersifat bolak-balik.
e. Enzim tidak tahan suhu tinggi. Kegiatan enzim sangat dipengaruhi oleh
suhu. Di bawah suhu maksimum, kenaikan suhu berarti bertambah giatnya
enzim.
f. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH, konsentrasi, suhu, subtrat, dan hasil
akhir.
g. Beberapa enzim memerlukan ko-enzim untuk melaksanakan tugasnya.

Menurut Pelczar dan Chan (1986), enzim bersifat labil. Aktivitasnya dapat
berkurang dengan nyata atau berubah oleh berbagai kondisi fisik atau kimiawi.
Kondisi yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya ialah:
a. Konsentrasi enzim
b. Konsentrasi subtrat
c. pH
d. Suhu

Pada umumnya, terdapat hubungan optimum antara konsentrasi enzim dan
subtrat bagi aktivitas maksimum. Demikian juga, setiap enzim berfungsi secara
optimum pada pH dan suhu tertentu. Suhu yang tinggi selama beberapa menit
13


akan mendenaturisasi (menghancurkan) sebagian besar enzim. Suhu yang sangat
rendah pada prakteknya menghentikan aktivitas enzim tetapi tidak
menghancurkannya. Pengaruh suhu pada aktivitas enzim dapat dilihat pada
Gambar 5.






Gambar 5. Kurva pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim (Pelczar dan Chan
1986).

Kurva di atas (Gambar 5), dimulai pada suhu rendah, aktivitas enzim
bertambah seiring naiknya suhu sampai aktivitas optimumnya dicapai. Kenaikan
suhu lebih lanjut berakibat dengan berkurangnya aktivitas dan pada akhirnya
terjadi kerusakan enzim.
Kandungan Enzim Dalam Susu

Menurut Fox dan McSweeney (1998), seperti halnya makanan yang
berasal dari tumbuhan atau hewan lainnya, susu mengandung beberapa enzim
yang merupakan unsur yang disekresi. Sampai saat ini ada sekitar 60 enzim yang
telah ditemukan dalam susu sapi. Secara teknologi, banyaknya enzim dalam susu
sangat penting, bila dilihat dari lima hal.
1. Penurunan atau pengawetan kualitas susu.
2. Sebagai indeks suhu yang digunakan untuk menyimpan susu.
3. Sebagai indeks mastitis (peradangan kelenjar ambing).
4. Aktivitas antimikrobial.
5. Sebagai sumber enzim yang dikomersialkan.

Jenis-jenis enzim dalam susu antara lain: Lipase, Proteinase (plasmin),
Catalase, Lysozime, Xanthine oxidase, Sulphydryl oxidase, Superoxidase
dismutase, Lactoperoxidase, Alkaline phosphomonoesterase, Asam
phosphomonoesterase.
Aktivitas
enzim
10
50
30 40
20 10
60 70
Suhu (
0
C)

14


Enzim Katalase

Katalase adalah suatu enzim yang dapat ditemukan dalam sebagian besar
bakteri (Muchtadi dan Betty 1980). Menurut Dwidjoseputro (1978), katalase
merupakan enzim yang tergolong ke dalam kelompok enzim yang menolong
proses oksidasi (oksidase). Enzim ini mengkatalisis penguraian hidrogen-
peroksida dan membebaskan O
2
serta air dengan reaksi sebagai berikut:

2 H
2
O
2
2 H
2
O + O
2


Menurut Fox dan McSweeney (1998), katalase dalam susu pertama kali
ditemukan pada tahun 1907. Katalase dalam susu adalah protein dengan berat
molekul 200 kDa, dan pH isoelektrik 5.5, stabil pada pH 5 10 tetapi aktivitasnya
akan segera hilang bila di luar interval ini. Pemanasan di atas 70
0
C selama satu
jam akan menginaktivasi aktivitas enzim. Seperti halnya katalase yang lain,
aktivitas katalase dihambat oleh Hg
2+
, Fe
2+
, Cu
2+
, Sn
2+
, CN
-
, dan NO
-
3.
Aktivitas
katalase dalam susu bervariasi tergantung pada pakan, masa laktasi dan adanya
infeksi mastitis.



Enzim katalase
15


BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2005 sampai Agustus 2005.
Pengambilan sampel di Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Cibungbulang
Kabupaten Bogor. Pemeriksaan mikrobiologik dan angka katalase dilakukan di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor

Bahan dan alat

Penelitian ini menggunakan 60 sampel susu kandang yang diperoleh dari
KUNAK Bogor. Bahan yang digunakan dalam uji jumlah total bakteri (TPC)
adalah buffered peptone water (BPW) 0.1 %, Plate Count Agar (PCA), alkohol
70%, dan es. Sedangkan bahan yang digunakan dalam uji Katalase adalah
Hidrogen Peroksida (H
2
O
2
) 0.5 %.
Peralatan yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah botol sampel
steril, kantong plastik steril, termos, termometer, tissue, dan kain lap. Peralatan
yang digunakan dalam uji jumlah total bakteri (TPC) adalah tabung reaksi steril,
pipet 1 ml dan 10 ml, api bunsen, tube shaker, cawan petri steril, lemari es, dan
inkubator dengan suhu 37
0
C. Peralatan yang digunakan untuk penghitungan
jumlah koloni adalah spidol, alat hitung (counter) dan Quebec Colony Counter.
Peralatan yang digunakan dalam uji Katalase adalah tabung katalase steril,
kantong plastik steril, api bunsen, dan inkubator dengan suhu 37
0
C.

Metode Penelitian

Pengambilan Sampel
Sampel susu yang digunakan dalam penelitian adalah sampel susu
kandang hasil pemerahan pagi, yang diambil dari peternak pada saat disetorkan ke
Tempat Pengumpulan Susu (TPS). Sampel susu diambil dari 30 kandang yang
berasal dari peternakan KUNAK I dan 30 sampel yang berasal dari peternakan


KUNAK II. Sampel kandang tersebut masing-masing diambil sebanyak 30 ml
dan dimasukan dalam 2 botol sampel dengan masing-masing 15 ml. Satu botol
disimpan pada suhu rendah (<10
0
C) dan satu botol lagi disimpan dalam suhu
ruangan (27.5
0
C). Kegiatan pengambilan sampel ini dilakukan secara aseptis
untuk meminimalkan kontaminasi.

Pemeriksaan Mikrobiologik

Pemeriksaan status mikrobiologik yang dilakukan adalah jumlah total
bakteri dan uji Katalase. Pemeriksaan jumlah total bakteri dilakukan dengan
menggunakan metode hitungan cawan atau Total Plate Count (TPC). Setelah itu
dilakukan uji Katalase. Jumlah sampel setiap kali pengujian adalah 15 sampel.
Pengujian setiap sampel dilakukan 2 kali, dengan selang 3 jam setelah pengujian
pertama.

Pemeriksaan Jumlah Total Bakteri

Prinsip
Pemeriksaan jumlah total bakteri dalam penelitian ini menggunakan
metode hitungan cawan (Total Plate Count). Prinsip metode hitungan cawan
(TPC) adalah jika satu sel bakteri ditumbuhkan pada media agar, maka akan
tumbuh menjadi satu koloni yang tampak oleh mata.

Cara Kerja
Pemeriksaan jumlah total bakteri dilakukan dengan pengenceran desimal
10
-1
, 10
-2
, 10
-3
,

10
-4
,10
-5
.

Pengenceran desimal 10
-1
dilakukan dengan cara memindahkan 1 ml
sampel susu ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan BPW 0,1%.
Kemudian tabung reaksi dihomogenkan dengan menggunakan tube shaker.
Kemudian dengan menggunakan pipet 1 ml yang berbeda, pengenceran 10
-2

dilakukan dengan memindahkan 1 ml larutan pengenceran 10
-1
ke dalam 9 ml
larutan BPW 0,1 %. Sehingga didapatkan pengenceran desimal 10
-2
kemudian
dihomogenkan. Selanjutnya, pengenceran dilakukan dengan cara yang sama
untuk memperoleh pengenceran 10
-3
, 10
-4
dan 10
-5
.
17


Setelah pengenceran selesai dilakukan, kemudian dilakukan pemupukan.
Dalam pemeriksaan jumlah bakteri ini, pemupukan dilakukan dari pengenceran
desimal 10
-3
sampai pengenceran desimal 10
-5
. Pemupukan dilakukan dengan cara
memasukkan 1 ml masing-masing pengenceran ke dalam cawan petri steril yang
telah diberi label sebelumnya, yang disesuaikan dengan angka pengenceran.
Masing-masing cawan petri tersebut dituangkan 10-15 ml PCA (suhu 40-45
o
C).
Setelah itu dihomogenkan isinya secara perlahan (perhatikan jangan sampai cairan
tersebut keluar dari cawan petri) dan didiamkan pada suhu ruangan agar memadat.
Setelah memadat, diinkubasi pada suhu 35-37
o
C, selama 18-24 jam.


Susu 10
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
-5



1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml


9 ml BPW 9 ml BPW 9 ml BPW 9 ml BPW 9 ml BPW
0,1 % 0,1 % 0,1 % 0,1 % 0,1 %

1 ml 1 ml 1 ml


cawan petri


15-20 ml agar PCA dituangkan sesudah
larutan sample dimasukkan kedalam cawan petri



Gambar 6. Skema metode hitungan cawan (TPC)
18


Pengamatan dan Penghitungan Jumlah Bakteri
Pengamatan dan penghitungan jumlah bakteri dilakukan setelah 18-24 jam
masa inkubasi. Penghitungan bakteri dilakukan dengan melakukan penghitungan
jumlah koloni yang tumbuh. Penghitungan jumlah koloni ini menggunakan alat
bantu hitung dan Quebec Colony Counter.
Penghitungan jumlah bakteri dilakukan pada semua koloni yang tumbuh
dalam setiap cawan petri. Jumlah mikroba per ml dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Jumlah bakteri per gram/ ml = jumlah koloni x 1
faktor pengenceran

Pedoman penghitungan jumlah bakteri (Lukman DW et al. 2007)
Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni
antara 25 sampai 250.
Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan
koloni yang besar yang jumlah koloni yang diragukan dapat dihitung sebagai
satu koloni.
Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung
sebagai satu koloni.
Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua, yaitu angka pertama di depan
koma dan angka ke dua dibelakang koma. Jika angka ketiga 5 maka ia harus
dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka yang ke dua.
Jika semua pengenceran yang dipupuk menghasilkan angka kurang dari 25
koloni per cawan petri, maka hitunglah jumlah koloni pada pengenceran
terendah. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 25 dikalikan dengan
besarnya pengenceran dan cantumkan jumlah sesungguhnya di dalam tanda
kurung.
Jika semua pengenceran yang dipupuk menghasilkan angka lebih dari 250
koloni per cawan petri, hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung
hasilnya dilaporkan sebagai lebih besar dari 250 dikalikan besarnya
pengenceran dan jumlah sesungguhnya dilaporkan di dalam tanda kurung.
Jika terdapat dua cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan jumlah
koloni antara 25-250 dan perbandingan antara hasil pengenceran tertinggi dan
19


terendah < 2,0 maka dilaporkan rata-rata jumlah kedua cawan petri tersebut
dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan keduanya >2,0
maka dilaporkan hasil dari pengenceran terkecil (dengan memperhitungkan
pengencerannya).
Jika digunakan dua cawan petri (duplo) setiap pengenceran, data yang diambil
harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun
salah satu cawan tidak menghasilkan 25-250 koloni.
Jika pada pengenceran yang terendah menghasilkan angka 0, misal 0 x 10
1

maka hasilnya dilaporkan sebagai est < 10
1
di dalam tanda kurung.
Uji Katalase

Prinsip
Bakteri, reruntuhan sel ambing dan sel organis yang ada di dalam susu
dapat menghasilkan berbagai enzim. Salah satunya adalah enzim katalase. Enzim
katalase akan membebaskan oksigen (O
2
) dari larutan peroksida-nya (H
2
O
2
).
Volume gas O
2
yang dibebaskan ini yang akan diukur.

Cara Kerja
Dengan menggunakan pipet 10 ml, sampel susu dimasukkan ke dalam
tabung katalase steril. Kemudian, 5 ml H
2
O
2
0,5% ditambahkan ke dalamnya dan
dihomogenkan dengan cara membolak-balik tabung. Kemudian susu ditempatkan
pada bagian vertikal tabung yang terdapat skala di puncaknya. Tabung disumbat
dengan kapas, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37
0
C
selama 3 jam. Setelah diinkubasi, volume gas O
2
yang terbentuk di puncak tabung
dihitung. Jumlah ml O
2
menunjukkan angka katalase. Bila terdapat busa, maka
rasio cairan dan gas adalah 1:1.

Analisis Statistik

Data yang diperoleh diolah dengan analisa metode statistik uji t-Student
dan analisa secara deskriptif.
20


HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel susu yang digunakan dalam penelitian adalah sampel susu segar
hasil pemerahan pagi, yang diambil dari peternak pada saat disetorkan ke Tempat
Pengumpulan Susu (TPS). Sebanyak 30 sampel susu diambil dari 30 kandang
yang berasal dari peternakan KUNAK I dan 30 sampel yang berasal dari
peternakan KUNAK II. Sampel kandang tersebut masing-masing diambil
sebanyak 30 ml dan dimasukkan ke dalam 2 botol sampel dengan masing-
masing 15 ml. Satu botol disimpan dalam cool box bersuhu rendah (<10
0
C) dan
satu botol lagi disimpan dalam suhu ruangan (27.5
0
C). Jumlah sampel untuk
setiap kali pengujian adalah 15 sampel untuk uji TPC dan 11 sampel untuk uji
katalase. Pengujian setiap sampel dilakukan 2 kali, dengan selang 3 jam setelah
pengujian pertama. Total data yang diperoleh adalah 240 data TPC dan 176 data
katalase.
Pengambilan sampel susu segar di KUNAK dilakukan mulai jam 06.00
08.00 WIB. Pada saat pengumpulan susu dilakukan uji alkohol dan Berat Jenis
(BJ) susu. Sampel susu yang diambil adalah susu yang tidak pecah ketika
dilakukan uji alkohol. Sampel susu diberangkatkan dari KUNAK ke laboratorium
pada jam 08.00 09.00 WIB, perjalanan ke laboratorium menghabiskan waktu
kurang lebih satu jam.

A. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Jumlah Total Bakteri (TPC).

Hasil penghitungan nilai TPC dianalisa dengan menggunakan metode
statistika uji t-Student untuk mengetahui tingkat perbedaan diantara dua
perlakuan. Hasil uji TPC ditampilkan dalam grafik boxplot pada Gambar 7 di
halaman berikut.




















































Keterangan : Pertama rendah = pemeriksaan pertama pada suhu rendah (<10
0
C)
Kedua rendah = pemeriksaan kedua pada suhu rendah (<10
0
C)
Pertama ruangan = pemeriksaan pertama pada suhu ruangan (27.5
0
C)
Kedua ruangan = pemeriksaan kedua pada suhu ruangan (27.5
0
C)
Gambar 7. Hasil uji TPC dengan dua kali pemeriksaan pada sampel suhu rendah
(<10
0
C) dan suhu ruangan (27.5
0
C)

Dari hasil penelitian (Gambar 7) menunjukkan pengaruh suhu dan lama
penyimpanan terhadap nilai TPC. Hasil analisa uji t-Student antara pemeriksaan
pertama dan kedua pada sampel suhu rendah (<10
0
C) menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata (P>0.025). Melalui uji deskriptif juga dapat dilihat
hubungan hasil pemeriksaan pertama dan kedua pada sampel suhu rendah
(<10
0
C). Pemeriksaan pertama sampel suhu rendah (<10
0
C) menghasilkan nilai
TPC dengan rataan 5.374 0.490 log CFU/ml, maksimum 6.415 log CFU/ml, dan
minimum 4.176 log CFU/ml. Pada pemeriksaan kedua sampel suhu rendah
T
P
C

(
L
o
g

c
f
u
/
m
l
)

Pertama Rendah Kedua Rendah Pertama Ruangan Kedua Ruangan
Perlakuan
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
98
223
214
208
22


(<10
0
C) terdapat peningkatan nilai TPC dengan rataan 5.494 0.674 log CFU/ml,
maksimum 7.568 log CFU/ml dan minimum 4.079 log CFU/ml. Dari pembahasan
di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C)
ternyata mampu untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut Jay (2000)
suhu yang rendah dapat digunakan untuk menghambat atau menurunkan
pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam makanan. Bakteri memiliki
suhu optimum atau terbaik untuk tumbuh dan memiliki suhu yang minimum,
dimana suhu tersebut dapat menurunkan atau menghambat pertumbuhan bakteri
(Frazier 1988).
Hasil analisa uji t-Student antara pemeriksaan pertama dan kedua pada
sampel suhu ruangan (27.5
0
C) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(P<0.025). Melalui uji deskriptif juga dapat dilihat hubungan hasil pemeriksaan
pertama dan kedua pada sampel suhu ruangan (27.5
0
C). Pemeriksaan pertama
sampel suhu ruangan (27.5
0
C) menghasilkan nilai TPC dengan rataan 6.260
0.512 log CFU/ml, maksimum 7.544 log CFU/ml, dan minimum 5.204 log
CFU/ml. Pada pemeriksaan kedua sampel suhu ruangan (27.5
0
C) terdapat
peningkatan nilai TPC dengan rataan 7.446 0.454 log CFU/ml, maksimum
8.462 log CFU/ml dan minimum 6.114 log CFU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa
bakteri akan tumbuh dengan cepat pada suhu yang optimum. Hasil tersebut di atas
sesuai dengan pendapat Frazier (1988) yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan
reaksi metabolisme mikroorganisme dipengaruhi oleh suhu.
Pada Gambar 7 terlihat rataan nilai TPC pada pemeriksaan sampel suhu
rendah (<10
0
C) lebih rendah dari standar maksimum SNI 01-3141-1998 (6 log
CFU/ml), yaitu pemeriksaan pertama 5.374 0.490 log CFU/ml dan pemeriksaan
kedua 5.494 0.674 log CFU/ml. Rataan nilai TPC pada pemeriksaan sampel
suhu ruangan (27.5
0
C) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari standar
maksimum SNI 01-3141-1998 (6 log CFU/ml), yaitu pemeriksaan pertama 6.260
0.512 log CFU/ml dan pemeriksaan kedua 7.446 0.454 log CFU/ml.
Pengaruh interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap rata-rata jumlah
total bakteri (log CFU/ml) terlihat pada Gambar 8 di halaman berikut.


23





































Keterangan : Suhu rendah = penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C)
Suhu ruangan = penyimpanan pada suhu ruangan (27.5
0
C)

Gambar 8. Pengaruh interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah total
bakteri (log CFU/ml).

Melihat Gambar 8 dapat dijelaskan bahwa sampel susu yang disimpan di
suhu ruangan (27.5
0
C) bakteri tumbuh dengan cepat, sehingga jumlah total
bakterinya lebih banyak dibandingkan sampel susu yang disimpan di suhu rendah
(<10
0
C). Dapat dikatakan bahwa penyimpanan sampel susu pada suhu rendah
(<10
0
C) lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan
dengan penyimpanan pada susu ruangan (27.5
0
C). Pelczar dan Chan (1986)
menjelaskan pada dasarnya penyimpanan pada suhu rendah bertujuan untuk
mengurangi atau menarik kadar air bebas. Suhu rendah mengubah air bebas
menjadi kristal es sehingga tidak dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
aktivitasnya. Karena aktivitas yang terhambat tersebut maka dapat diharapkan
memperpanjang daya tahan susu (Fardiaz 1989).
Pertama Kedua
Pemeriksaan
5.000
5.500
6.000
6.500
7.000
7.500
R
a
t
a
a
n

T
P
C

(
l
o
g

C
F
U
/
m
l
)

Suhu Rendah
Suhu Ruangan
24


B. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Angka Katalase.

Hasil penghitungan nilai katalase dianalisa dengan menggunakan metode
statistika uji t-Student untuk mengetahui tingkat perbedaan diantara dua
pemeriksaan. Hasil pengujian katalase ditampilkan dalam grafik boxplot berikut.
Pertama Rendah Kedua Rendah Pertama Ruangan Kedua Ruangan
Perlakuan
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
A
n
g
k
a

K
a
t
a
l
a
s
e

(
c
c
)
168

Keterangan : Pertama rendah = pemeriksaan pertama pada suhu rendah (<10
0
C)
Kedua rendah = pemeriksaan kedua pada suhu rendah (<10
0
C)
Pertama ruangan = pemeriksaan pertama pada suhu ruangan (27.5
0
C)
Kedua ruangan = pemeriksaan kedua pada suhu ruangan (27.5
0
C)

Gambar 9. Hasil uji katalase dengan dua kali pemeriksaan pada sampel suhu
rendah (<10
0
C) dan suhu ruangan (27.5
0
C)

Dari hasil penelitian (Gambar 9) menunjukkan pengaruh suhu dan lama
penyimpanan terhadap angka katalase. Hasil analisa uji t-Student antara
pemeriksaan pertama dan kedua pada sampel suhu rendah (<10
0
C) menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.025). Melalui uji deskriptif juga dapat
dilihat hubungan hasil pemeriksaan pertama dan kedua pada sampel suhu rendah
25


(<10
0
C). Pemeriksaan pertama sampel suhu rendah (<10
0
C) menghasilkan angka
katalase dengan rataan 1.939 0.821 cc, maksimum 3.6 cc, dan minimum 0.5 cc.
Pada pemeriksaan kedua sampel suhu rendah (<10
0
C) terdapat peningkatan angka
katalase dengan rataan 2.109 0.864 cc, maksimum 4.1 cc dan minimum 0.8 cc.
Dari hasil analisa di atas dapat dijelaskan bahwa perlakuan dengan cara
penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C) ternyata mampu untuk menghambat
reaksi kimia suatu enzim. Menurut Spreer (1998) pada suhu rendah aktivitas
enzim dihambat, tetapi masih aktif. Pada suhu >70
0
C proses inaktivasi enzim
dimulai. Suhu optimum bagi aktivitas enzim adalah pada kisaran 30 40
0
C. Hal
ini dikarenakan reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh suhu dan reaksi yang
dikatalisis oleh enzim juga peka terhadap suhu (Girindra 1986).
Hasil analisa uji t-Student antara pemeriksaan pertama dan kedua pada
sampel suhu ruangan (27.5
0
C) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(P<0.025). Melalui uji deskriptif juga dapat dilihat hubungan hasil pemeriksaan
pertama dan kedua pada sampel suhu ruangan (27.5
0
C). Pemeriksaan pertama
sampel suhu ruangan (27.5
0
C) menghasilkan nilai rataan 1.793 0.730 cc,
maksimum 3.6 cc, dan minimum 0.5 cc. Pada pemeriksaan kedua sampel suhu
ruangan (27.5
0
C) terdapat peningkatan angka katalase dengan rataan 2.391
0.930 cc, maksimum 5.5 cc dan minimum 0.5 cc. Susu segar yang disimpan pada
suhu ruangan (27.5
0
C) bila semakin lama disimpan maka aktivitas metabolisme
dan reaksi enzimnya akan semakin tinggi. Ini sesuai dengan pernyataan Ito dan
Okuzawa (1983), bahwa suhu optimum bagi aktivitas enzim katalase adalah 20
0
C.
26


Pengaruh interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap rataan angka
katalase (cc) terlihat pada Gambar 10.
























Keterangan : Suhu rendah = penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C)
Suhu ruangan = penyimpanan pada suhu ruangan (27.5
0
C)

Gambar 10. Pengaruh interaksi suhu dan lama penyimpanan terhadap angka
katalase (cc).

Melihat Gambar 10 dapat dijelaskan bahwa sampel susu yang disimpan di
suhu ruangan (27.5
0
C) aktivitas enzim berjalan dengan cepat, sehingga angka
katalasenya lebih tinggi dibandingkan sampel susu yang disimpan di suhu rendah
(<10
0
C). Dapat dikatakan bahwa penyimpanan sampel susu pada suhu rendah
(<10
0
C) lebih efektif dalam menghambat aktivitas enzim dibandingkan dengan
penyimpanan pada suhu ruangan (27.5
0
C). Menurut Jay (2000) suhu yang
diturunkan akan menurunkan sintesa protein. Hal ini mungkin terjadi karena
peningkatan ikatan intramolekuler hidrogen yang terjadi pada suhu rendah, ini
Pertama Kedua
Pemeriksaan
1.70
1.80
1.90
2.00
2.10
2.20
2.30
2.40
Suhu Rendah
Suhu Ruangan
R
a
t
a
a
n

A
n
g
k
a

K
a
t
a
l
a
s
e

(
c
c
)

27


menyebabkan hilangnya aktivitas katalisasi. Dapat dikatakan, penurunan sintesa
protein tampak berhubungan dengan penurunan sintesa enzim yang terjadi pada
suhu rendah.
Pada Gambar 10 menunjukkan angka katalase pemeriksaan pertama suhu
rendah (<10
0
C) ternyata lebih tinggi dari pada pemeriksaan pertama suhu ruang
(27.5
0
C) (1.939 0.8213 cc > 1.793 0.7302 cc). Seperti pada pH dan suhu
optimum bagi pertumbuhan bakteri, demikian pula ada pH dan suhu optimum
bagi aktivitas enzim. Hal ini tidak berarti bahwa nilai-nilai tersebut sama untuk
setiap enzim. Alasan bagi perbedaan ini ialah selama pertumbuhan, aktivitas atau
respon diukur sebagai aktivitas total yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bila
semua enzim dan sistem enzim berfungsi secara harmonis di dalam sel. Keadaan
optimum bagi aktivitas suatu enzim tidak berarti optimum untuk enzim-enzim lain
atau bagi berfungsinya seluruh sel. Beberapa enzim menjadi tidak aktif oleh
perubahan-perubahan yang amat kecil di sekitarnya, misalnya dalam waktu yang
singkat disimpan dalam suhu ruangan (Pelczar dan Chan 1986). Hasil
pemeriksaan pertama suhu rendah (<10
0
) yang lebih tinggi juga dapat dikarenakan
enzim katalase tidak hanya dihasilkan oleh bakteri saja atau dengan kata lain
karena keragaman penghasil enzim katalase (Nugraheni 2003). Penghasil enzim
katalase dalam susu antara lain bakteri, sel somatis dan bahan organik.

C. Hubungan Antara Jumlah Total Bakteri (TPC) dan Angka Katalase
dengan Daya Tahan Susu.

Hubungan antara rataan jumlah total bakteri (TPC) dan angka katalase hasil
penelitian dengan SNI 01-3141-1998 susu segar dapat dilihat pada Tabel 4 di
bawah ini.

Tabel 4. Rataan jumlah total bakteri (TPC), angka katalase dan paramater
SNI 01-3141-1998.

Jenis uji
Rendah (<10
0
C) Ruangan (27.5
0
C) SNI
01-3141-1998
Pertama Kedua Pertama Kedua
TPC
(log CFU/ml)
5.3740.490 5.4940.674

6.2600.512 7.4460.454 < 6
Katalase
(cc)
1.9390.821 2.1090.864 1.7930.730 2.3910.930 < 3
28


Dari hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan nilai rataan TPC selama
penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C) adalah 5.374 0.490 log CFU/ml dan
5.494 0.674 log CFU/ml yang masih berada dalam kisaran yang sesuai dengan
SNI 01-3141-1998 (6 log CFU/ml). Pada penyimpanan di suhu ruangan (27.5
0
C)
menunjukkan rataan nilai TPC lebih tinggi dari SNI 01-3141-1998 (6 log
CFU/ml), yaitu 6.260 0.512 log CFU/ml dan 7.446 0.454 log CFU/ml. Jumlah
bakteri yang masih di bawah standar SNI 01-3141-1998 (6 log CFU/ml)
diharapkan mampu untuk meningkatkan daya tahan susu segar. Menurut Barbano
et al. (2006) perlakuan suhu rendah pada susu segar akan mengurangi
pertumbuhan bakteri kontaminan. Jika jumlah bakteri dalam susu segar rendah,
maka kerusakan susu akan terjadi lebih lama (Simon dan Hansen 2001). Susu
yang disimpan pada suhu ruangan cenderung lebih cepat rusak karena kondisi
tersebut mendukung pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam (Prastiwi
1996). Kelompok bakteri pembentuk asam laktat sebagian besar berasal dari
genus Lactococcus dan Lactobacillus. Lactococcus lactis sspp. lactis dan
cremoris tumbuh dengan cepat dalam susu, khususnya pada suhu di atas 20
0
C
(Walstra et al. 2006). Bakteri lain yang menghasilkan asam laktat antara lain
famili Micrococcaaceae, Enterobacteriaceae (terutama Escherichia coli dan
Aerobacter aerogenes) (Dwidjoseputro 1994).
Menjaga kualitas susu segar memiliki peranan yang sangat penting, karena
kualitas produk susu ditentukan oleh bahan dasar. Mengontrol jumlah
mikroorganisme dalam susu segar merupakan prioritas utama, karena susu segar
merupakan bahan dasar semua produk susu (Janzen et al. 1982). Menurut Pelczar
dan Chan (1986) perubahan yang disebabkan oleh mikroorganisme pada makanan
termasuk susu, tidak terbatas pada terbentuknya hasil penguraian saja, melainkan
juga dapat berupa produk hasil sintesis mikroba. Beberapa mikroorganisme dapat
membentuk pigmen yang merubah warna makanan. Seperti Serratia marcescens
yang menyebabkan warna merah atau Pseudomonas syncyanea yang
menyebabkan warna biru pada susu. Ada pula bakteri yang mensintesis
polisakarida dan menghasilkan lendir di dalam atau pada susu. Bakteri penyebab
lendir tersebut diantaranya Alcaligenes viscolactis (Dwidjoseputro 1994).
29


Hasil uji katalase menunjukkan rataan angka katalase selama penyimpanan
pada suhu rendah (<10
0
C) adalah 1.939 0.821 cc dan 2.109 0.864 cc. Pada
suhu ruangan (27.5
0
C) adalah 1.793 0.730 cc dan 2.391 0.930 cc. Hasil ini
menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan angka katalase pada pemeriksaan
kedua. Pada penyimpanan suhu rendah (<10
0
C) terjadi kenaikan 4.20%,
sedangkan pada penyimpanan suhu ruangan (27.5
0
C) terjadi kenaikan 14.29%.
Dapat dikatakan bahwa penyimpanan pada suhu rendah (<10
0
C) lebih efektif
untuk menghambat aktivitas enzimatis bakteri dalam susu. Aktivitas bakteri yang
terhambat diharapkan dapat meningkatkan daya tahan susu. Menurut Tortora et al.
(1998) pada suhu rendah (7
0
C) aktivitas metabolisme sebagian besar
mikroorganisme berkurang, sehingga mikroorganisme tersebut tidak dapat
berkembang biak dan tidak mensintesa toksin.

30


SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan melakukan aktivitas
enzimatis dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan.
2. Penyimpanan sampel susu pada suhu rendah (<10
0
C) lebih efektif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan penyimpanan
pada suhu ruangan (27.5
0
C). Pertumbuhan bakteri yang terhambat
diharapkan mampu untuk meningkatkan daya tahan susu.
3. Penyimpanan sampel susu pada suhu rendah (<10
0
C) lebih efektif untuk
menghambat akvitas enzimatis bakteri dibandingkan dengan penyimpanan
pada suhu ruangan (27.5
0
C). Aktivitas enzimatis yang terhambat
diharapkan dapat meningkatkan daya tahan susu.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut tentang hubungan jumlah total bakteri dan
angka katalase terhadap daya simpan susu dengan rentang penyimpanan yang
lebih lama.


DAFTAR PUSTAKA

Barbano DM, Ma Y, Santos MV. 2006. Influence of Raw Milk Quality on Fluid
Milk Shelf Life. Dairy Sci. 89(E. Suppl.):E15E19
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH dan Woortom M. 1987. Ilmu Pangan. Hari
Purnomo, Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Cet ke-12. Jakarta:
Djambatan.
Fardiaz S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU
IPB.
Fox PF, McSweeney PLH. 1998. Dairy Chemistry and Biochemistry. London:
Blackie Academic & Professional.
Frazier WC, Westhoff DC. 1988. Food Microbiology. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Gaman PM. Dan Sherrington KB. 1994. ILMU PANGAN. Pengantar Ilmu
Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi, Edisi kedua. Murdijati Gardjito, Sri
Naruki, Agnes Murdiati, Sardjono. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. Terjemahan dari: The Science of Food: An Introduction to Food
Science, Nutrition, and Microbiology.
Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. London: Arnold.
Girindra A. 1993. Biokimia 1. Cet. 3. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ito Osamu, Akuzawa Ryozo. 1983. Purification, Crystallization, and Properties of
Bovine Milk Catalase. J Dairy Sci 66:967973.
Janzen JJ, Bishop JR, Bodine AB, Caldwell CA. 1982. Shelf-Life of Pasteurized
Fluid Milk as Affected by Age of Raw Milk. J Dairy Sci 65:2233-2236
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Ed ke-6. Maryland: Aspen Publisher,
Inc.
Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Pers.


Lukman DW et al. 2007. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor: FKH IPB
[Tidak Diterbitkan].
Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW. 2000. The Microbiological Safety and
Quality of Food. Volume 1. Maryland: Aspen Publishers, inc.
Milller GD, Jarvis JK, McBean LD. 2007. Handbook of Dairy Foods and
Nutrition/ National Dairy Council. Third edition. New York: CRC Press.
Muchtadi D, Betty SK. 1980. Petunjuk Praktek Mikrobiologi Hasil Pertanian 2.
Jakarta: Departemen Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan.
Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. PAU. IPB. IPB
Nugraheni TW. 2003. Kemampuan Uji Katalase Sebagai Uji Penentuan Kualitas
Susu Segar [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Pelzar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-1, 2,
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta:
UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Prastiwi AR. 1996. Pengaruh Cara Pemanasan, Temperatur Penyimpanan dan
Lama Penyimpanan terhadap Daya Tahan Susu Kambing Peranakan
Etawah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. Ed-2. New York: CRC Press.
Simon M dan Hansen AP. 2001. Effect of Various Dairy Packaging Materials on
the Shelf Life and Flavor of Pasteurized Milk. J. Dairy Sci. 84:767773
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Standar Susu Segar Nomor 01-3141.
Badan Standarisasi Nasional.
Spreer E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. New York: Marcel Dekker.
Sudarwanto M. 2006. Mikrobiologi Susu [Bahan Kuliah]. Bogor: [Tidak
Diterbitkan].
33


Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 1998. Microbiology an Introduction. Ed ke-6.
California: The Benjamin/ Cumming Publishing.
Walstra P, Wouters JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology. Boca
Raton: CRC Press.
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 2. Cet ke-1. Bogor: M-BRIO Press.
Wirahadikusumah M. 1977. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat.
Cetakan ke-7. Bandung: Penerbit ITB.


34


LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Deskriptif Pemeriksaan Pertama dan Kedua.

Uji Total Plate Count (TPC)

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
TPC Pertama Rendah
60 4.18 6.42 5.3738 .48947
TPC Kedua Rendah
60 4.08 7.57 5.4943 .67378
TPC Pertama Ruangan
60 5.20 7.54 6.2600 .51165
TPC Kedua Ruangan
60 6.11 8.46 7.4458 .45416
Valid N (listwise)
60



Uji Katalase

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Katalase Pertama Rendah
44 .5 3.6 1.939 .8213
Katalase Kedua Rendah
44 .8 4.1 2.109 .8640
Katalase Pertama Ruangan
44 .5 3.6 1.793 .7302
Katalase Kedua Ruangan
44 .5 5.5 2.391 .9298
Valid N (listwise)
44








Lampiran 2. Hasil Uji t-Student Pemeriksaan TPC Pertama dan Kedua pada Sampel Suhu Rendah (<10
0
C).


Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 TPC Pertama
Rendah
5.3738 60 .48947 .06319
TPC Kedua
Rendah
5.4943 60 .67378 .08699


Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 TPC Pertama
Rendah & TPC
Kedua Rendah
60 .652 .000


Paired Samples Test


Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair 1 TPC Pertama
Rendah - TPC
Kedua Rendah
-.12052 .51313 .06624 -.25307 .01204 -1.819 59 .074



36


Lampiran 3. Hasil Uji t-Student Pemeriksaan TPC Pertama dan Kedua pada Sampel Suhu Ruangan (27.5
0
C).


Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 TPC Pertama
Ruangan
6.2600 60 .51165 .06605
TPC Kedua
Ruangan
7.4458 60 .45416 .05863


Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 TPC Pertama
Ruangan & TPC
Kedua Ruangan
60 .350 .006


Paired Samples Test


Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair 1 TPC Pertama
Ruangan - TPC
Kedua Ruangan
-1.18573 .55278 .07136 -1.32853 -1.04293 -16.615 59 .000



37


Lampiran 4. Hasil Uji t-Student Pemeriksaan Katalase Pertama dan Kedua pada Sampel Suhu Rendah (<10
0
C).

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 Katalase
Pertama
Rendah
1.939 44 .8213 .1238
Katalase Kedua
Rendah
2.109 44 .8640 .1302

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 Katalase
Pertama
Rendah &
Katalase
Kedua
Rendah
44 .466 .001

Paired Samples Test


Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Katalase
Pertama
Rendah -
Katalase
Kedua Rendah
-.1705 .8717 .1314 -.4355 .0946 -1.297 43
.202
38


Lampiran 5. Hasil Uji t-Student Pemeriksaan Katalase Pertama dan Kedua pada Sampel Suhu Ruangan (27.5
0
C).

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 Katalase
Pertama
Ruangan
1.793 44 .7302 .1101
Katalase Kedua
Ruangan
2.391 44 .9298 .1402

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair 1 Katalase
Pertama
Ruangan &
Katalase
Kedua
Ruangan
44 .369 .014

Paired Samples Test


Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Katalase
Pertama
Ruangan -
Katalase
Kedua
Ruangan
-.5977 .9466 .1427 -.8855 -.3099 -4.189 43
.000
39

Anda mungkin juga menyukai