Anda di halaman 1dari 79

1

Kasus Myasthenia
Gravis pada Anjing_Kelompok C3 PPDH Periode 1.docx
2
3
4
5
6
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebuntingan atau gestasi merupakan proses alamiah pada hewan betina.
Proses kawin pada beberapa hewan hanya bisa terjadi pada periode tertentu yaitu
pada fase estrus. Pubertas pada anjing mulai umur 6-18 bulan, sedangkan pada
kucing 6-12 bulan (Lorenz et al. 2009). Kebuntingan terjadi akibat adanya
fertilisasi antara ovum dan sperma kemudian berkembang menjadi embrio. Lama
kebuntingan pada hewan berbeda setiap spesies. Anjing merupakan famili Canidae
yang memiliki lama kebuntingan 57-72 hari, sedangkan pada kucing berkisar 52-
74 hari (Lamm dan Njaa 2012).
Deteksi dini terhadap kebuntingan merupakan hal yang penting di dalam
manajemen reproduksi pada praktisi hewan kecil (Aissi dan Slimani 2008). Deteksi
kebuntingan pada hewan kecil dapat dilakukan dengan melihat perubahan anatomi
dan perilaku, serta dapat juga menggunakan alat yaitu ultrasonografi (USG).
Perubahan anatomi pada anjing dan kucing yang jelas terlihat yaitu abdomen yang
membesar, serta puting memerah dan lebih besar dari sebelumnya. Penggunaan
USG dalam deteksi dan pemeriksaan kebuntingan pada hewan kecil sering
digunakan. USG merupakan metode yang sangat efektif untuk diagnosis awal
kebuntingan, penentuan jumlah fetus, kematian fetus, dan menentukan jenis
kelamin (Morase et al. 2009). Pengetahuan tentang kebuntingan hewan dapat
memudahkan pemilik maupun dokter hewan untuk memanajemen kebuntingan
tersebut, mulai dari pemberian pakan dan nutrisi hingga manajemen pemberian obat
oleh dokter hewan jika hewan tersebut sakit.
Kebuntingan adalah suatu kondisi fisiologis khusus di mana pemberian obat
harus diperhatikan, karena fisiologi kebuntingan dapat mempengaruhi
farmakokinetik obat yang digunakan dan obat tertentu dapat mencapai fetus dan
menyebabkan bahaya pada fetus (Sachdeva et al. 2009). Perubahan fisiologis
selama kebuntingan dapat mengubah absorpsi, distribusi, dan tingkat eliminasi
obat, penyesuaian dosis diperlukan untuk keamanan dan keefektifan obat (Rebuelto
dan Loza 2010). Pemilihan sediaan obat pada hewan bunting perlu hati-hati karena
dapat menyebabkan malformasi kongenital beberapa organ hingga kematian pada
fetus. Informasi mengenai sediaan obat yang tidak aman bagi hewan bunting
terutama anjing dan kucing masih sedikit. Makalah ini akan membahas lebih lanjut
mengenai beberapa sediaan obat dan terapi yang tidak aman diberikan, disertai
dengan studi kasus pemberian sediaan yang aman bagi anjing atau kucing bunting.

Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari sediaan obat dan
terapi yang tidak aman diberikan pada anjing dan kucing yang sedang bunting.

PEMBAHASAN
Farmakokinetika saat Kebuntingan
Perubahan fisiologis hewan dapat memengaruhi farmakokinetika suatu obat,
salah satu contoh adalah saat kebuntingan. Absorbsi, distribusi, dan eliminasi akan
2

berubah dalam kondisi mengalami kebuntingan. Konsentrasi progesteron yang


tinggi ketika masa kebuntingan menstimulasi penurunan motilitas pada
gastrointestinal, namun akan meningkatkan aliran darah pada intestinal. Perubahan
fisiologis ini akan meningkatkan atau menurunkan absorpsi obat secara oral dan
bioavailabitasnya. Sistem kardiovaskular maternal akan beradaptasi sehingga dapat
membagi nutrisi terhadap perkembangan fetus. Blood volume dan cardiac output
meningkat disebabkan terjadi redistribusi blood flow kepada fetus. Total cairan
pada intravaskular dan ekstravaskular akan meningkat sehingga terjadi modifikasi
volume distribusi polar drugs. Konsentrasi profile protein plasma kemudian akan
berubah sebagai konsekuensinya (Rebuelto dan Loza 2010).
Konsentrasi protein plasma menurun, contohnya albumin, akan memengaruhi
pengikatan molekul obat pada protein plasma. Aktivitas beberapa enzim yang
memetabolisme obat dapat dipengaruhi, baik ditingkatkan atau diturunkan, karena
dipengaruhi oleh hormon progesteron dan estradiol. Peningkatan volume plasma
dan cardiac output akan mengakibatkan redistribusi aliran darah ke ginjal sehingga
menghasilkan peningkatan pada laju filtrasi glomerulus. Molekul obat yang
diberikan pada induk dapat masuk ke dalam plasenta melalui mekanisme
paraselular dan transelular. Lipid-soluble, non-ionisasi, molekul kecil dengan low
protein binding dapat masuk dengan cepat ke dalam plasenta bergantung pada
konsentrasi sirkulasi dan blood flow maternal dan fetal (Rebuelto dan Loza 2010).
Perubahan fisiologis saat kebuntingan pada anjing pada beberapa keadaan
mirip seperti pada manusia, yaitu peningkatan volume plasma serta volume darah,
peningkatan laju dan curah jantung / cardiac output serta peningkatan durasi gastric
emptying time dan penurunan motilitas gastrointestinal, peningkatan laju infiltrasi
glomerulus (Raffe dan Carpenter 2007). Total protein plasma bisa menurun atau
tidak berubah sama sekali, contohnya C-reaktif protein dan fibrinogen akan
meningkat saat kebuntingan. Beberapa keadaan ini terjadi pada kucing betina juga.
Hal yang perlu diperhatikan adalah efek dari farmakoterapi obat yang berikan pada
maternal akan memengaruhi fetus pada masa kebuntingan, beberapa kemungkinan
obat akan berpotensi toksik. Fase fetus pada awal trimester pertama menjadi faktor
risiko terkena efek teratogenik akibat terpapar molekul obat. Waktu kritis bagi
anjing adalah 6 hingga 20 hari setelah preovulasi, kucing pada 12 – 13 hari setelah
ovulasi (Papich dan Davis 1986). Sebab pada waktu ini, cairan dari uterin yang
melingkupi fetus masih berasal dari sirkulasi maternal.

Antibiotik
Antibiotik golongan betalaktam merupakan obat pilihan yang digunakan
selama kebuntingan disebabkan oleh faktor risiko yang rendah, sehingga tidak
membahayakan janin, dan serta kekuatan molekul transplasenta adalah rendah,
karena difusi sederhana (Garrido et al. 2010). Penggunaan antibiotik golongan
Makrolida secara klinis untuk pasien yang alergi terhadap betalaktam. Plasenta
mampu menjadi barrier yang efektif untuk mengurangi pajanan antibiotik
mikrolida terhadap fetus.
Nitrofurantoin, streptomycin, gentamicin, amikacin, tetracyclines
(doxycycline, oxytetracycline), sulphonamides, trimethoprim, dan metronidazole
merupakan kontraindikasi pada hewan bunting, golongan antibiotik ini terbukti
akan menyebabkan malformasi kongenital atau embryotoxicity. Golongan
3

fluoroquinolon seperti ciprofloxacin, danofloxacin, difloxacin, enrofloxacin, dan


marbofloxacin (Papich 2016), bukanlah obat pilihan untuk wanita hamil.
Kekhawatiran tentang penggunaan fluoroquinolon selama kehamilan terkait
dengan beberapa efek sampingnya, terutama pada produksi arthropathies pada
hewan muda. Anak anjing sangat sensitif terhadap kejadian lesi pada kartilago
akibat paparan fluoroquinolones. Profil toksikologi fluoroquinolones menjadi lebih
kompleks dengan meningkatnya jumlah senyawa dan penggunaan klinis yang
sering, dan efek samping seperti kejang, fotofobia dan toksisitas mata terkait
dengan lensa (pada anjing) dan retina (pada kucing) telah dijelaskan pada studi
terdahulu (Rebuelto dan Loza 2010).

NSAIDs
Penggunaan NSAIDs (Nonsteroidal Anti-inflammatory drugs) pada hewan
bunting tidak dianjurkan. Paparan obat pada fetus dapat menyebabkan teratogenitas
dan menghambat perkembangan fetus. Pada aspirin, beberapa kasus di manusia
menunjukkan kejadian abnormalitas fetus seperti pendarahan cerebral,
penyempitan duktus arteriosus, neonatal acidosis dan toksisitas akibat neonatal
salicylate (Østensen dan Skomsvoll 2005).
Tindakan farmakologi dari NSAID terhadap fetus muncul melalui
penghambatan jalur sintesis prostaglandin, yang memengaruhi sirkulasi darah di
berbagai organ pada fetus. Efek NSAID pada fetus dan neonatal berbeda-beda
tergantung pada periode kebuntingan saat diadministrasikan obat. Hewan yang
diobati dengan NSAID selama awal kebuntingan berisiko memiliki fetus dengan
anomali kongenital (Antonucci et al. 2012).

Antikoagulan
Penggunaan obat-obatan kardiovaskular seperti antikoagulan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi bagi janin dan induk. Di samping itu, kehamilan
menyebabkan suatu kondisi hiperkoagulasi sehingga dapat meningkatkan kejadian
tromboemboli (Cunningham et al. 2010). Antikoagulan warfarin banyak digunakan
karena memiliki beberapa kelebihan yaitu pemakaiannya mudah, efektif, dan
murah. Akan tetapi, karena mempertimbangkan dampak yang bisa terjadi pada
janin, maka penggunaan warfarin memiliki batasan-batasan tertentu, terutama
mengenai penggunaan pada trimester pertama (Srivastava et al. 2007). Meskipun
telah dilaporkan bahwa warfarin merupakan antikoagulan yang bersifat acceptable,
namun beberapa peneliti menyarankan untuk menghindari penggunaan warfarin
terutama kehamilan trimester pertama karena warfarin diketahui bersifat
teratogenik dan dapat melewati plasenta. Pendapat lain menyatakan bahwa
penggunaan warfarin masih dapat ditoleransi pada hewan bunting namun dengan
penggunaan dosis yang lebih rendah dari 5 mg/hari, meskipun hal ini masih bersifat
kontroversial.

Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan hormon yang disekresi oleh kelenjar adrenal.
Kortikosteroid bekerja menghambat respon inflamasi dan mendorong
glukoneogenesis (glukokortikoid) dan mendorong retensi natrium dan melepas
4

kalium dari tubuh (mineralokortikoid). Lebih dari 95% glukokortikoid yang


disekresi anjing adalah glukokortikoid. Kortikosteroid eksogen sangat banyak
digunakan sebagai terapi dalam dunia veteriner. Obat-obat tersebut umumnya
ditujukan untuk pengobatan antiinflamasi, pruritus, penyakit imunologis, sehingga
istilah kortikosteroid lebih diasumsikan sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid
umum digunakan dalam terapi alergi dermatosa (atopi, flea allergy, dan alergi
makanan). Kucing membutuhkan dosis glukokortikoid dua kali lebih banyak untuk
induksi dan maintenance. Glukokortikoid juga seringkali digunakan pada kasus
penyakit imunologis (hemolitik anemia, trombositopenia, sistemik lupus
eritematosus, pemfigus). Kebuntingan dan fertilitas juga terganggu dengan
pemberian glukokortikoid. Penghambatan sekresi gonadotropin akan mengganggu
fertilitas dan menyebabkan abortus pada hewan bunting. Kontraindikasi
glukortikoid ophtalmik pada kasus ulserasi kornea karena akan memperlama proses
kesembuhan dan menyebabkan perforasi kornea (Triakoso 2008).

Antifungal
Masa kebuntingan merupakan salah satu kondisi yang paling rentan akan
infeksi dari luar, contohnya infeksi jamur. Pemilihan obat yang digunakan harus
melalui pertimbangan matang akan risiko terhadap fetus maupun induknya.
Beberapa pertimbangan yang harus diambil diantaranya adalah farmakodinamik,
farmakokinetik, maupun mekanisme kerja dari antifungi tersebut (Pilmis et al.
2015). Dalam kondisi bunting, rute pemberian antifungsi secara topikal lebih
disarankan dibandingkan secara sistemik. Beberapa golongan imidazole lebih
disarankan digunakan dalam keadaan topikal karena memiliki aktivitas antifungi
yang baik serta absorbsi yang minimal kedalam tubuh. Penggunaan dari antifungi
seperti griseofulvin, ketoconazole, dan flucytosine lebih baik dihindari pada masa
kebuntingan karena telah terbukti memiliki efek teratogenik dan embriotoksik pada
hewan (King et al. 1998).

Hormon Estrogen
Hormon estrogen memiliki peran yang penting di dalam fase reproduksi,
seperti saat masa estrus dan ovulasi. Penggunaan hormon estrogen sintetik memiliki
efek samping menimbulkan gejala seperti gangguan keseimbangan tulang,
gangguan vasomotor, maupun psikologis (Mulyati et al. 2006). Ketidakseimbangan
hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron pada awal masa kebuntingan
dapat meningkatkan risiko miscarriage atau keguguran (Xu et al. 2017). Oleh
karena itu, dibuatlah terapi dengan menggunakan estrogen sintetik. Penggunaan
estrogen sintetik yang tidak benar terutama pada hewan bunting dapat mengancam
kelangsungan hidup maupun menyebabkan abnormalitas dari fetus. Contoh dari
estrogen sintetik ialah diethylstilbestrol (DES) dan estradiol.
5

Obat-Obatan yang Tidak Aman Diberikan pada Hewan Bunting

Antibiotik

Doxycycline

Nama generic : Doxycycline 100 mg kapsul


Nama paten : Siclidon® 100 mg kapsul, Dohixat® 100 mg kapsul
Bentuk : Kapsul: Siclidon® 100 mg
sediaan Injeksi: Doxycycline 100 mg per vial
Dosis : 5 mg/kg s12j PO IV; 10 mg/kg s24j PO (anjing dan kucing)
Mekanisme : Doxycycline merupakan golongan antibiotik tetrasiklin.
Mekanisme kerja adalah mengikat ribosom dan menghambat
sintesis protein sel bakteri/ bakteriostatik. Doxycycline
merupakan antibiotik berspektrum luas, tidak hanya bakteri,
namun bisa membasmi protozoa, rickettsia dan ehrlichia.
Waktu paruh adalah 12.6 jam dan volume distribusi sebesar 1.7
L/kg serta bioavailabilitas per oral adalah 66%
Indikasi : Doxycycline merupakan pilihan drug of choice untuk kasus
tickborne diseases pada anjing dan kucing. Pada kucing,
doxycycline dipakai pada kasus infeksi yang disebabkan oleh
Mycoplasma, Chlamydophilia felis dengan dosis 10-15 mg/kg
BB PO atau 5 mg/kg BB s12j PO dan sudah terbukti efektif.
Pada anjing, doxycycline dengan dosis 5 mg/kg BB sq2j PO
dengan frekuensi pemberian 3-4 minggu dapat membasmi
Ehrlichia canis. American Heartworm Disease
merekomendasikan doxycycline sebagai pilihan obat pada
kasus canine heartworm disease (Wolbachia spp) (Papich
2016).
Kontraindikasi : Golongan tetrasiklin tidak boleh diberikan pada hewan muda
dan hewan bunting, karena dapat memengaruhi pertumbuhan
tulang dan gigi pada hewan muda dan fetal. Injeksi parenteral
harus diberikan dengan lambat, pemberian via intravena saja.
Pemberian doxycycline pada kucing harus menggunakan
perantara seperti air, karena jika doxycycline menyangkut di
esofagus maka akan menyebabkan iritasi pada esofagus,
bahkan penyempitan esofagus.
Interaksi Obat : Pemberian doxycycline bersamaan dengan antasida, kalsium,
magnesium, dan iron salt dapat mengurangi absorbsi
doxycycline. Penggunaan bersama phenobarbital, phenytoin,
dan primidone dapat meningkatkan absorbsi, namun berakibat
pada penurunan level plasma. Doxycycline tidak boleh
dikombinasikan dengan antibiotik bakterisidal lain.
Efek samping : Penggunaan doxycycline pada hewan bunting dapat
mengakibatkan perubahan warna gigi menjadi coklat
kekuningan setelah paparan dalam uterus. Pada manusia, dapat
menyebabkan hepatotoksisitas pada anak-anak di bawah usia 8
tahun.
6

Contoh :
Sediaan

Ciprofloxacin
Nama generik : Ciprofloxacin
Nama paten : Cipro® 500 mg tablet, Cipro-A Vet® 100 mL injeksi
Bentuk : Tablet: 500 mg tablet
sediaan Infus: 200 mg per vial
Injeksi: 100 mL per vial
Dosis : ● Kucing: 5-15 mg/kg dua kali sehari secara PO atau 10
mg/kg sekali sehari secara IV
● Anjing: 5-15 mg/kg dua kali sehari secara PO atau 15
mg/kg sekali sehari secara IV; Untuk infeksi saluran
kemih (UTI) dapat digunakan 10 mg/kg sekali sehari
secara PO selama 7-14 hari
Mekanisme : Ciprofloxacin menghambat DNA gyrase maupun sintesis dari
sel DNA dan RNA. Ciprofloxacin memiliki efek antimikroba
spektrum luas, sehingga dapat digunakan pada bakteri gram
negatif maupun gram positif
Indikasi : Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak, serta pneumonia
Kontraindikasi : Hewan yang masih muda maupun hewan yang berisiko pada
kejadian seizure
Interaksi obat : 1. Efek kelasi dengan alumunium, kalsium, seng, dan
fosfor bila dicampurkan
2. Meningkatkan risiko kardiotoksisitas dengan quinidine
3. Menghambat absorbsi bila digunakan bersamaan
dengan sulfacrate

Efek samping : Penelitian pada tikus bunting selama 15 hari menunjukkan


bahwa ciprofloxacin memiliki efek teratogenik (Raini 2016).
Ciprofloxacin memiliki berat molekul yang kecil dan dapat
menembus menuju plasenta (Polachek et al. 2005), sehingga
diduga memiliki efek teratogenik. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Harsachatri et al. (2013) pada mencit,
ciprofloxacin dapat mempengaruhi proses penulangan dari
fetus. Semakin tinggi dosis ciprofloxacin yang digunakan,
semakin sedikit jumlah tulang yang mengalami osifikasi. Hal
ini disebabkan karena ciprofloxacin menyebabkan kematian
serta mengganggu pembelahan dan diferensiasi sel
7

Contoh :
sediaan

Enrofloxacin
Nama generik : Enrofloxacin
Nama paten : Baytril®
Bentuk sediaan : Tablet: 22,7 mg, 5,7 mg, dan 68 mg
Injeksi: 22,7 mg/mL
Dosis : Untuk anjing: 5-20 mg/kg/hari
Untuk kucing 5 mg/kg setiap 24 jam.
Dosis rendah 5 mg/kg/hari digunakan untuk organisme sensitif
dengan MIC 0,12 mcg/mL atau lebih kecil, infeksi saluran
kemih; dosis 5-10 mg/kg/hari digunakan untuk organisme
dengan MIC 0,12-0,5 mcg/mL; dosis 10-20 mg/kg/hari
digunakan untuk organisme dengan MIC 0,5-1,0 mcg/mL.
Larutan tidak dianjurkan digunakan secara IV, tetapi
pemberian melalui rute ini aman apabila diberikan secara
lambat (Wientarsih et al. 2020).

Mekanisme : Enrofloksasin bekerja menghambat deoxy ribonucleic acid


(DNA) gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV (topo
IV) yang diperlukan oleh bakteri untuk replikasi DNA.
Hambatan ini menghasilkan efek sitotoksik dalam sel target.
Enrofloksasin mengandung ikatan fluor di tengah struktur
kimianya. Gugus fluorida telah diketahui bersifat neurotoksik
dan obat yang menempel pada gugus fluorida dapat
berpenetrasi ke dalam jaringan yang sensitif termasuk otak.
Kemampuan fluorida untuk menembus blood-brain barrier,
membuat fluorida bersifat neurotoksik kuat. Fluorida juga
mengganggu sintesa kolagen, dan dapat merusak sistem imun
dengan menghabiskan persediaan energi dan menghambat
pembentukan antibodi dalam darah (Babaahmady dan
Khosravi 2011; Raini 2016).

Indikasi : Enrofloxacin digunakan untuk berbagai penyakit pada hewan


yang disebabkan oleh bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Pengobatan yang utama pada infeksi respirasi, namun juga
dapat digunakan untuk penyakit pencernaan, urinari,
persendian, genital, mastitis dan penyakit kulit. Antibiotik
8

enrofloksasin juga dapat digunakan pada akuakultur


(perikanan) (Trouchon & Lefebvre 2016). Antibiotik
enrofloksasin digunakan untuk pengobatan penyakit yang
sangat penting (critically important) antara lain septikemia,
penyakit respirasi dan pencernaan. Terapi enrofloksasin dapat
digunakan untuk penanganan penyakit pada unggas, sapi,
kambing, domba, kuda, kelinci, babi dan ikan (OIE 2018).
Kontraindikasi : Pemberian enrofloksasin 750 mg/kg/hr pada tikus bunting
selama 15 hari menunjukkan efek teratogenik (Al Myahi et al
2011).
Interaksi obat : 1. Enrofloxacin dikombinasikan dengan aminoglycoside atau
papan spectrum penisilin dapat memiliki efek sinergis.
2. Ca2+, Mg2+, Fe3+, Ab3+ dan ion logam berat lain
dikombinasikan dengan enrofloxacin dapat terjadi khelasi
dan mempengaruhi penyerapan.
3. Penggunaan enrofloxacin dengan teofilin dan kafein
bersifat antagonis karena protein dapat mengikat
perubahan tingkat plasma protein yang nantinya akan
menimbulkan pengikatan kecepatan menurun. Teofilin dan
kafein dalam darah dengan konsentrasi yang tinggi dapat
menimbulkan gejala keracunan teofilin.
4. Enrofloxacin bisa menghambat hepatik obat metabolisme
tindakan enzim, terutama mengurangi clearance metabolik
narkoba di hati, dan membuat plasma konsentrasi
meningkat.
5. Apabila digunakan bersama dengan kation dan trivalen
(sukralfat) dapat menurunkan absorpsi.

Efek samping : Enrofloxacin akan menyebabkan arthropathy jika digunakan


dengan dosis tinggi pada anjing umur 4-28 minggu dan kucing.
Gangguan pada pencernaan yang meliputi mual, sakit perut,
muntah, dan diare serta reaksi inflamasi setelah penyuntikan
obat khususnya pada babi. Antibiotik enrofloksasin dapat
bersifat toksik pada mata kucing yaitu degenerasi retina dan
kebutaan. Pada anjing apabila diberikan enrofloksasin dengan
dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan syaraf pusat antara
lain lemah, nafsu makan menurun, hipersalivasi. Efek alergi
yang dapat ditimbulkan enrofloksasin antara lain eritema,
pruritus, fotosensitifitas, urtikaria dan angioderma.
Enrofloksasin juga dapat menyebabkan toksisitas pada
lingkungan (ekotoksisitas). Ekskresi dari hewan (feses, urin)
dapat mencemari lingkungan sehingga menyebabkan
kontaminasi pada tanah, air, dan biota di air (Widiyanti et al.
2019). Enrofloxacin dapat membuat degenerasi cartilage
hewan muda, mempengaruhi perkembangan tulang, dan
menyebabkan lameness dan rasa sakit. Penggunaan antibiotik
enrofloksasin pada hewan juga dapat menyebabkan residu dan
9

resistensi mikroba, sehingga penggunaan antibiotik


enrofloksasin harus diawasi dan dievaluasi demi keamanan
pangan dan kesehatan manusia (Mansouri-najand et al. 2012;
Moharana et al. 2015).

Contoh sediaan :

Kortikosteroid

Dexamethasone
Nama generik : Dexamethasone tablet 0.5 mg, Dexamethasone injeksi 5 mg/ml
Nama paten : Dexaharsen® tablet 0.5 mg, Baycuten® ointment 0.4 mg dexa
Bentuk sediaan : Tablet (Dexamethasone, Dexaharsen® tablet 0.5 mg)
Injeksi (Dexamethasone injeksi 5 mg/ml)
Ointment (Baycuten® ointment 0.4 mg dexa)
Dosis : Anjing dan Kucing
- Anti inflamasi: 0.07-0.15 mg/kg s12-24j IV, IM, PO.
(Dosis 0.15 mg/kg biasa digunakan pada kucing)
- Ophthalmic: salep (s6-24j) atau tetes mata (1 drop per s6-
12j)
- Immunosuppressive: 0.125-0.25 mg/kg s24j, IV, IM, PO
pada treatment awal.
- Oral dose (cats): 0.1-0.2 mg/kg q24h, PO, added to food.
After initial dose, lower dose to maintenance of 0.05 mg/kg
q48-72h, PO.
- Pemeriksaan fungsi adrenal: Low-dose dexamethasone
suppression test: 0.01 mg/kg IV (anjing) dan 0.1 mg/kg IV
(kucing), High-dose dexamethasone suppression test: 0.1
mg/kg IV (anjing) dan 1.0 mg/kg IV (kucing).
Mekanisme : Dexamethason merupakan kortikosteroid, anti inflamasi dan
immunosupresif. Mekanisme anti inflamasi dexamethasone
adalah menghambat sel inflammatory dan mensupresi sel
mediator inflamasi. Dexamethasone sediaan berbeda dengan
dexamethasone sodium phosphate yang bersifat water soluble
dan dapat digunakan pada injeksi via IV.
Indikasi : Dexamethasone digunakan sebagai obat anti inflamasi dan
pada penyakit immune-mediated. Obat ini dipakai untuk
mengetes fungsi kelenjar adrenal. Pada hewan besar,
dexamethasone digunakan untuk induksi partus dan perawatan
anti inflamasi.
10

Kontraindikasi : Dexamethasone sebaiknya tidak diberikan pada penderita


dengan gejala klinis ulser karena memengaruhi pertumbuhan
sel epitel.
Injeksi melalui intravena sebaiknya tidak rapid injection,
karena formulasi mengandung polyethylene glycol yang dapat
menyebabkan sel darah merah hemolysis dan kolaps (Papich
2016).
Interaksi Obat : Administrasi kortikosteroid bersamaan dengan NSAIDs akan
meningkatkan risiko gastro-intestinal injury. Solutions tidak
boleh dikombinasikan dengan larutan asam. Dexamethasone
injeksi cocok untuk hampir semua jenis cairan infus.
Efek samping : Pemberian glukortikoid merupakan kontraindikasi pada hewan
bunting karena glukokortikoid menekan gonadotropin
sehingga menggangu fertilitas dan menyebabkan abortus pada
hewan bunting. Penekanan pada FSH dan LH akan
mengganggu siklus reproduksi anjing betina dan menyebabkab
atrofi testis serta oligospermia pada anjing jantan (Triakoso
2008).
Contoh :
Sediaan

NSAIDs

Aspirin
Nama generik : Aspirin/Asam asetilsalisilat
Nama paten : Cardio® aspirin tablet 100 mg, Aspilets® chew tab 80 mg
Bentuk sediaan : Tablet (Cardio® aspirin tablet 100 mg, Aspilets® chew tab 80
mg)
Dosis : Analgesik: 10 mg/kg s12j PO (anjing), 10 mg/kg s48j (kucing)
Anti-inflamasi: 20-25 mg/kg s12j PO (anjing), 10-20 mg/kg
s48j PO (kucing)
Antiplatelet: 1-5 mg/kg s24-48j PO (anjing), 80 mg per ekor
s48j PO (kucing)
Mekanisme : Aspirin merupakan golongan obat NSAIDs. Antiinflamasi
karena pada mekanismenya menghambat prostaglandin.
Aspirin mengikat enzim COX/ cyclo-oxygenase pada jaringan
untuk menghambat sintesis prostaglandin. Pada dosis yang
rendah, aspirin lebih memengaruhi enzim COX-1 daripada
11

COX-2, dan mekanisme ini dipakai sebagai antiplatelet dengan


menggunakan dosis rendah pada aspirin. Namun hal ini tidak
berlaku pada semua hewan. Selain menghambat enzim COX,
salisilat pada aspirin juga memiliki mekanisme menghambat
sel inflammatory seperti NF kappa-b. Farmakokinetik aspirin
bervariasi pada setiap hewan, seperti di anjing 8.5 jam
sedangkan membutuhkan waktu lama di kucing yaitu 38 jam.
Pada dosis rendah, aspirin akan berfungsi sebagai antiplatelet
dengan cara menghambat produksi thromboxane A2
(Antonucci et al. 2012)
Indikasi : Aspirin digunakan sebagai analgesik, anti-inflamasi dan
antiplatelet atau antikoagulan. Pada dosis rendah, aspirin
menghambat COX-1, sehingga dosis rendah digunakan untuk
mencegah pembekuan darah pada hewan. Namun penambahan
obat antiplatelet secara spesifik dibutuhkan, tidak hanya
mengandalkan aspirin saja. Aspirin biasanya digunakan untuk
mencegah komplikasi dari penyakit canine heartworm karena
mencegah thromboemboli (Papich 2016).
Kontraindikasi : Kucing merupakan hewan yang rentan terkena intoksikasi
salisilate sebab sifat obat pada kucing slow clearance. Obat
aspirin tidak boleh diberikan pada hewan yang memiliki ulser
pada gastrointestinal
Interaksi Obat : Aspirin tidak boleh diberikan bersamaan dengan kortikosteroid
dan tidak boleh diadministrasikan bersama dengan obat yang
menyebabkan koagulopati
Efek samping : Aspirin memiliki efek komplikasi pada fetal, yaitu teratogenic
effects, hemoragi maternal dan fetal, hingga penyempitan
ductus arteriosus.
Contoh :
Sediaan

Antikoagulan

Warfarin
Nama generik : Warfarin
Nama paten : Warfarin, Simarc-2
Bentuk sediaan : Tablet: 1 mg, 2 mg, 2,5 mg, 4 mg, 5 mg, 7,5 mg dan 10 mg
Dosis : anjing: 0,1-0,2 mg/kg s24j PO
kucing yang mengalami tromboemboli mulai dari 0,5
mg/kucing/hari dan dosis ditetapkan berdasarkan
pemeriksaan terbentuknya clot (Wientarsih et al. 2020).
12

Mekanisme : Warfarin menghambat sintesis vitamin K di hati sehingga


memengaruhi faktor-faktor pembekuan II, VII, IX dan X,
dengan mengubah residu asam glutamat menjadi residu asam
gama-karboksiglutamat (Goodman 2008).
Indikasi : Warfarin digunakan sebagai antikoagulan oral dan deplete
vitamin K yang bertanggung jawab pada perkembangan
faktor clot dan dapat digunakan untuk terapi hiperkoagulasi
dan pencegahan tromboembolis, untuk mengobati atau
mencegah penyakit-penyakit trombotik, diantaranya
myocardial infarction, ischemic stroke, venus thrombosis,
heart valve replecement dan atrial fibrillation (Poller 2004).
Kekurangan dosis akan menyebabkan kegagalan dalam
mencegah tromboembolisme sedangkan kelebihan dosis akan
meningkatkan risiko perdarahan (Putri et al. 2012).

Kontraindikasi : Studi pada binatang percobaan telah memperlihatkan adanya


abnormalitas terhadap janin atau adanya risiko terhadap
janin. Obat dalam kategori ini dikontraindikasikan pada
hewan yang sedang atau memiliki kemungkinan untuk hamil.
Interaksi Obat : Obat lain yang meningkatkan potensi warfarin seperti aspirin,
kloramfenikol, fenilbutazon, ketokonazol, dan simetidin.
Pengaruh warfarin tergantung dari individu. Untuk terapi
optimum, ditetapkan dosis berdasarkan waktu terbentuknya
clot, sebagai contoh pada beberapa pasien dosis biasa untuk
pemeriksaan PT sampai 1,5; 2 x 2-2,5 x normal (Wientarsih
et al. 2020).

Efek samping : Efek samping disebabkan oleh menurunnya clotting.


Contoh Sediaan :

Antifungal

Griseofulvin
Nama generik : Griseofulvin
Nama paten : Fulvicin® 250 mg tablet, Grisactin® 250, 500 mg tablet,
Grifulvin® 125 mg/5 mL suspensi oral
Bentuk : Tablet: 250, 500 mg
sediaan Suspensi oral: 125 mg/5 mL
Powder: 15 mg
13

Dosis : ● Kucing: 25 mg/kg dua kali sehari secara PO (microsize)


● Anjing: 25 mg/kg hingga dosis maksimum 50-60 mg/kg
dua kali sehari secara PO (microsize); 30 mg/kg/hari dalam
dosis yang terbagi secara PO

Mekanisme : Griseofulvin bekerja dengan merubah struktur sel spindle fungi


sehingga menghambat proses mitosis
Indikasi : Pengobatan sistemik untuk infeksi dermatofita pada anjing dan
kucing
Kontraindikasi : Hewan bunting dan hewan yang memiliki hipersensitif
terhadap griseofulvin. Selain itu, pengawasan perlu dilakukan
pada kucing yang menderita FIV
Interaksi obat : 1. Alkohol: memberikan efek potensiasi
2. Aspirin: menurunkan level salisilat
3. Cyclosporine: menurunkan level cyclosporine
4. Phenobarbital: menurunkan konsentrasi griseofulvin dalam
darah
5. Theophylline: menurunkan level serta waktu paruh
theophylline
6. Warfarin: menurunkan aktivitas antikoagulan
7. Griseofulvin dapat mempercepat proses metabolisme dari
suatu obat bila digunakan secara bersamaan.
Efek samping : Griseofulvin memiliki kontraindikasi pada hewan yang sedang
bunting. Menurut Verstegen et al. (2008), griseofulvin
termasuk kedalam salah satu obat yang dapat menyebabkan
kematian pada fetus atau fetotoksik. Hal ini karena griseofulvin
memiliki efek teratogenik dan dapat melewati plasenta menuju
fetus. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efek
dari griseofulvin pada hewan bunting, seperti pada tikus dan
kucing. Hasil dari pengamatan tersebut yaitu terjadi berbagai
bentuk kelainan kongenital pada bagian tubuh seperti mata,
sistem saraf, kerangka, dan sistem urinari, serta gangguan
pertumbuhan pada fetus (Czeizel et al. 2004).
Contoh :
sediaan
14

Estrogen

Estradiol
Nama generik : Estradiol cypionate
Nama paten : Ginodiol, Depo-Estradiol
Bentuk sediaan : Tablet: 0,1 mg, 0,2 mg, 1 mg, 2 mg
Injeksi: 2 mg/mL
Dosis : anjing: 22-44 mcg/kg IM (dosis total tidak lebih dari 1,0 mg)
kucing: 250 mcg/kucing IM di antara 40 jam dan lima hari
setelah matang. Penggunaan estradiol dimulai 22 mcg/kg
diberikan sekali secara IM selama 3-5 hari masa estrus atau
sedikitnya tiga hari. Ada satu penelitian yang membuktikan
dosis 44 mcg/kg lebih efektif dibandingkan dosis 22 mcg/kg
yang diberikan selama estrus atau diestrus (Wientarsih et al.
2020).
Mekanisme : Estrogen sintetik yang masuk ke dalam tubuh akan
menyebabkan kadar estradiol dalam darah semakin meningkat.
Kerja progesteron untuk menekan kadar estradiol dalam darah
akan mengalami kesulitan sebab sifat dari etinyl estradiol
sintetik tersebut yang sulit untuk didegradasi. Turunan etinyl
estradiol adalah suatu estrogen kuat dan relatif aktif bila
diberikan per oral, karena resisten terhadap metabolisme hati.
Estradiol secara reversibel diubah menjadi estron dan estriol;
estradiol oral juga mengalami resirkulasi enterohepatik melalui
konjugasi di hati, diikuti oleh ekskresi konjugat sulfat dan
glukuronida ke dalam empedu, kemudian hidrolisis di usus dan
reabsorpsi estrogen.
Indikasi : Estradiol adalah senyawa estrogen semisintesis yang
digunakan terutama untuk menginduksi aborsi pada hewan.
Kontraindikasi : Estradiol tidak boleh digunakan pada hewan bunting yang
nantinya akan menunjukkan bukti kelainan janin. Estradiol
dapat mengubah produksi atau komposisi laktasi. Penelitian
pada hewan percobaan telah menunjukkan abnormalitas pada
janin atau ada bukti risiko kepada janin berdasarkan
pengalaman pengguna.

Interaksi Obat : Konsumsi estradiol bersamaan dengan suplemen asam folat


dapat mengurangi penyerapan asam folat. Interaksi dengan
rifampisin dan barbiturat yang dapat meningkatkan
metabolisme estrogen. Estradiol akan meningkatkan reaksi
kandungan bila digunakan bersama dengan inhibitor CYP3A4
seperti flukonazol, klaritromisin, dan diltiazem, tetapi
menurunkan reaksi paparan bila digunakan dengan induktor
CYP3A4 seperti fenobarbital, griseofulvin, rifampicin, dan
efavirenz.
15

Efek samping : Penggunaan estradiol memiliki risiko tinggi hiperplasi


endometrial dan pyometra, dosis tinggi dapat menyebabkan
leukopenia, thrombocytopenia, dan anemia aplastik fatal.
Contoh :
Sediaan

Diethylstilbestrol
Nama generik : Diethylstilbestrol
Nama paten :
Stibrol® 10 mL injeksi
Bentuk :
Tablet: 0.1, 0.25, 0.5 mg
sediaan Injeksi: 10 mL
Dosis : ● Kucing: 0.05-0.1 mg/ekor sehari satu kali secara PO.
● Anjing: 0.1-1 mg/ekor sehari satu kali secara PO,
menyesuaikan dosis dengan ukuran dari anjing.
Lanjutkan penggunaan selama 5 hari, kemudian
kurangi frekuensi menjadi 2 atau 3 kali seminggu
Mekanisme : Diethylstilbestrol digunakan sebagai pengganti estrogen pada
hewan, dapat menghambat proses laktasi, ovulasi, dan sekresi
androgen. DES juga dapat meningkatkan sensitivitas dari
reseptor alfa pada sphincter dalam kasus inkontinensia urin
Indikasi : Pengobatan estrogen-responsive incontinence dan
menginduksi aborsi pada anjing. Obat DES tidak terjual secara
komersil, namun masih terdapat sebagai campuran dari obat
racikan. Saat ini, penggunaan dari DES dapat digantikan
dengan incurin sebagai pengobatan dari inkontinensia pada
anjing betina (Papich 2016).
Kontraindikasi : Memiliki risiko menyebabkan kanker dan pemakaian dosis
tinggi dapat mengakibatkan anemia pada hewan

Interaksi obat : 1. Phenobarbital dan phenytoin: menurunkan konsentrasi


estrogen
2. Erythromicyn, clarithromycin, dan cimetidine:
menurunkan metabolisme estrogen
3. Antifungi golongan azole: meningkatkan level estrogen
4. Kortikosteroid: efek glukokortikoid dapat meningkat
bila agen kortikosteroid digunakan bersamaan dengan
estrogen
5. Rifampin: menurunkan level estrogen
16

6. Warfarin: aktivitas antikoagulan akan berkurang jika


digunakan bersamaan dengan estrogen
Efek samping : DES harus digunakan dengan bijak karena memiliki potensi
yang buruk bagi kesehatan pasien. Hal ini karena obat ini sudah
diketahui memiliki efek teratogenik dan karsinogenik. DES
juga dapat mengganggu keseimbangan neuroendokrin melalui
pelepasan dari gonadotropin releasing hormone (GnRH)
sehingga mempengaruhi siklus estrus maupun ovulasi
(Yoshida et al. 2011)
Contoh :
sediaan

Contoh Kasus Pemberian Obat yang Aman pada Anjing Bunting


Gestational Diabetes Mellitus with Diabetic Ketoacidosis
in a Yorkshire Terrier Bitch

Seekor anjing Yorkshire terrier berumur 6 tahun sedang bunting tua dengan
usia kebuntingan 62 hari. Berat anjing tersebut adalah 6.5 kg. Anjing tersebut
memiliki keluhan berupa muntah-muntah, nafsu makan menurun, batuk, poliuria,
dan polidipsia. Anjing di kandangkan di dalam rumah, diberi pakan kering, dan
sudah divaksin maupun diberi obat cacing. Sebelumnya anjing sudah pernah buntin
dua kali dan dalam keadaan normal tanpa ada masalah.
Pada pemeriksaan fisik, anjing menjadi waspada, responsif, dan mengalami
takipnea. Membrane mukosa pink, CPR 2 detik, denyut jantung 120 kali/menit.
Suhu rektal 37.8 °C dan tekanan darah sistol 100 mmHg. Anjing mengalami
dehidrasi 7%. Terjadi distensi abdomen pada saat dipalpasi. Hasil pemeriksaan
biokimia darah lengkap menunjukkan anemia normositik dan normokromik
regeneratif sedang, limfositosis sedang, hiperglikemia, dan ketonemia. Hasil
pemeriksaan urin menunjukkan nilai USG rendah, ketonuria, dan glikosuria.
Hasil pemeriksaan radiografi toraks menunjukkan adanya interstisial
pattern dan pada radiografi abdominal menunjukkan adanya 6 tengkorak fetus.
Diduga adanya pneumonia bakterial berdasarkan radiografi toraks. Anjing tersebut
dirawat inap dan diberi suplai oksigen selama masa tersebut. Beberapa jam setelah
terapi dlakukan, anjing mulai partus dan dalam 5 jam keenam anak anjing lahir
dengan selamat. Dua minggu setelah awal terapi dilakukan, hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah sudah dalam rentang normal. Sebulan kemudian dilakukan
pemeriksaan radiografi toraks dan hasilnya normal. Pemeriksaan dan terapi untuk
mengatasi diabetes dilanjutkan dan satu sampai enam bulan kemudian kadar
glukosa darah tetap dalam rentang normal (Armenise et al. 2011).
17

Tata Laksana Terapi

Gejala klinis Obat Dosis Frekuensi Perhitungan


Pemberian
Diagnosa: Dehidrasi: secukupny secukupnya secukupnya
Diabetes Plasmalyte a
Mellitus dan Injeksi 500
Diabetik ml
Ketoacidosis
(Muntah, Gula darah 2 IU/kg 1 kali sehari ▪ Dosis 1 kali pemberian: 6,5 kg x 2
inappetence, tinggi: IU/kg= 13 IU
batuk, poliuria, Insulin ▪ Dosis 5 hari: 13 IU x 1 kali x 5 hari=
polidipsia, sikap Injeksi 10 ml 65 IU
waspada dan
responsif,
takipnea, distensi Antibiotik: 30 mg/kg Tiga kali ▪ Dosis 1 kali pemberian: 6,5 kg x 30
abdominal, Cephazolin sehari selama mg/kg= 195 mg
dehidrasi 7%, Injeksi 1 ▪ Volume 1 kali pemberian: 195 mg /
hasil g/10 ml 1000 mg x 10 ml= 1,95 ml
pemeriksaan ▪ Dosis 5 hari: 1,95 ml x 3 kali x 5 hari=
darah: 29,25 ml
hiperglikemia
dan ketonemia; Antiemetik: 1 mg/kg Dua kali sehari ▪ Dosis 1 kali pemberian: 6,5 kg x 1
urinalisis: Ranitidine mg/kg= 6,5 mg
ketonuria, dan Tablet 150 ▪ Dosis 5 hari: 6,5 mg x 2 kali x 5 hari=
glucosuria) mg 65 mg

Antiemetik: 0.2 mg/kg Tiga kali ▪ Dosis 1 kali pemberian: 6,5 kg x 0,2
Metoklopram sehari mg/kg= 1,3 mg
ide ▪ Dosis 5 hari: 1,3 mg x 3 kali x 5 hari=
Tablet 10 mg 19,5 mg

Anti- 0.4 mg/d 1 kali sehari ▪ Dosis 1 kali pemberian: 0,4 mg


inflamasi: ▪ Dosis 5 hari: 0,4 mg x 1 kali x 5 hari=
Beclomethas 2 mg
one
dipropyonate
Solutio 250
mcg

Bronkodilata 100 mg/d 1 kali sehari ▪ Sediaan dipasaran: 10%= 100 mg/ml
tor: ▪ Dosis 1 kali pemberian: 100 mg/day
Acetylcystei Volume 1 kali pemberian: 100 mg /
ne Solutio 100 mg/ml= 1 ml
10%
18

Resep Obat

Moon Vet Clinic


Drh Andrea Armenise
Alamat: Jalan Siliwangi No. 52, Jakarta Selatan
SIP: 002/SIP/JS/2020
Jam Praktik: Senin-Kamis (09.00-17.00 WIB)
Telp: 081213038908
Jakarta, 1 Oktober 2020

R/ Plasmalyte No. I flc


s.pro.infus
R/ Insulin inj No. I vial
s.pro.inj.
R/ Cephazolin inj No. I vial
s.pro.inj.
R/ Ranitidine tab 6.5 mg
m.f pulv. da. in. cap. dtd. No. XX
s.b.d.d 1 cap. p.c
R/ Metoklopramide tab 1.3 mg
m.f pulv. da. in. cap. dtd. No. XXV
s.t.d.d 1 cap. p.c
R/ Beclomethasone dipropionate sol. 0.25 mg
s.u.d.d 2 puff
R/ Acetylcysteine sol. No. I vial
s.u.c

Jenis hewan : Anjing BB: 6.5 kg


Ras/breed : Yorkshire terrier
Nama pasien : Foxy
Pemilik : Pa Ikram
Alamat : Jakarta

SIMPULAN

Pemilihan obat dalam terapi pada hewan bunting harus dilakukan dengan
berhati-hati. Beberapa obat yang dapat menyebabkan masalah selama kebuntingan
seperti abortus maupun abnormalitas pada fetus. Penting untuk melihat
kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk mencegah pemberian obat tersebut
kepada hewan bunting dan menggantinya dengan obat yang lebih aman. Salah
satunya seperti pemilihan antibiotik golongan betalaktam dibandingkan golongan
lainnya karena faktor risikonya yang lebih rendah.
19

DAFTAR PUSTAKA

Aissi A, Slimani C. 2008. Ultrasonographic apperance of the gestational structures


throughout pregnancy in bitches. Am J Anim Vet Sci. 3(1): 32-35.
Al Myahi AJ, Al Musawy AAH, Al Snafi, Esmail A. 2011. Embryotoxicity of
fluoroquinolones in rats. TQMJ. 5(3): 77-86.
Antonucci R, Zaffanello M, Elisabetta P, Porcella A, Cuzzolin L, Pilloni MD, Fanos
V. 2012. Use of non-steroidal anti-inflammatory drugs in pregnancy: impact
on the fetus and newborn. Current Drug Metabolism. 13: 1-17.
Armenise A, Pastorelli G, Palmisano A, Sontas HB, Romagnoli S. 2011.
Gestational diabetes mellitus with diabetic ketoacidosis in a Yorkshire Terrier
bitch. JAAHA. 47(4): 285-289.
Babaahmady E, Khosravi A. 2011. Toxicology of baytril (enrofloxacin). Afr J
Pharm Pharmacol. 5: 2042-2045.
Cross R, Ling C, Day NPJ, McGready R, Paris DH. 2016. Revisiting doxycycline
in pregnancy and early childhood – time to rebuild its reputation. Expert Opin
Drug Saf. 15(3): 2-16.
Cunningham FG et al. 2010. Cardiovascular disease. In: William Obstetric. Ed ke-
23. USA: The McGraw-Hill Companies.
Czeizel AE, Metneki J, Kazy Z, Puho E. 2004. A population-based case–control
study of oral griseofulvin treatment during pregnancy. Acta Obstet Gynecol
Scand. 83: 827-831.
Garrido E. van Domselaar M. Morales S. Lopez´Sanroman A. Inflammatory bowel
disease and pregnancy. Gastroenterologia y Hepatologia. 33(7): 517–529.
Goodman G. 2008. Manual of Pharmacology and Theurapeutics. California (US):
McGraw-Hill.
Harsachatri DO, Tenzer A, Listyorini D. 2013. Efek ciprofloxacin terhadap
perkembangan rangka fetus mencit galur balb c (Mus musculus) [thesis].
Malang (ID): Universitas Negeri Malang.
King CT, Rogers PD, Cleary JD, Chapman SW. 1998. Antifungal therapy during
pregnancy. Clin Infect Dis. 27(5): 1151-1160.
Lamm CG, Njaa BL. 2012. Clinical approach to abortion, stillbirth, and neonatal
death in dogs and cats. Vet Clin Small Anim. 42: 501–513.
Lorenz MD. Neer TM, DeMars PL. 2009. Small Animal Medical Diagnosis Ed. 3
th. US: Wiley-Blackwell Publishing.
Mansouri-najand L, Saleha AA, Wai SS. 2012. Prevalence of multidrug resistance
Campylobacter jejuni and Campylobacter coli in chickens slaughtered in
selected markets, Malaysia. Trop Biomed. 29: 231- 238.
Moharana B, Venkatesh PK, Preetha SP, Selvasubramanian S. 2015. Quantitation
of enrofloxacin residues in milk sample using RP-HPLC. World J Pharm
Pharmaceu Sci. 4: 1443-1450.
Morase E, Neto LMF, Filho CRA, Bezerra FQG, Santos MHB, Neves JP, Lima PF,
Olivera MAL. 2009. Mortality determination and gende indetification of
conceptus in pregnancies of santa ines ovine by ultrasound. Sounth Afr J Anim
Sci. 39(4): 307-311.
Mulyati S, Triwinarto A, Budiman B. 2006. Konsumsi isoflavon berhubungan
dengan usia mulai menopause. Universa Medicina. 25(4): 148-154.
20

[OIE] Office Internationale des Epizooties. 2018. OIE list of antimicrobials of


veterinary importance [Internet]. [diunduh 13 Mei 2019]. Tersedia pada:
https://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Our_scientific_expertise/docs/pdf/A
MR/A_OIE_List_antimicrobi als_May2018.pdf.
Østensen ME, Skomsvoll JF. 2005. Review: Anti-inflammatory pharmacotherapy
during pregnancy. Expert Opin Pharmacoter. 5(3): 571-580.
Papich MG, Davis LE. 1986. Drug therapy during pregnancy and in the neonate.
Vet Clin North Am Exot Anim Pract. 16(3): 525–538.
Papich MG. 2016. Saunders Handbook of Veterinary Drugs Small and Large
Animal Fourth Edition. Missouri (US): Elsevier.
Pilmis B, Jullien V, Sobel J, Lecuit M, Lortholary O, Charlier C. 2015. Antifungal
drugs during pregnancy: an updated review. J Antimicrob Chemother. 70: 14-
22.
Plumb DC. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th Edition. New York
(US): PharmaVet Inc.
Polachek H, Holcberg G, Sapir G, Tsadkin-Tamir M, Polachek J, Katz M, Ben-Zvi
Z. 2005. Transfer of ciprofloxacin, ofloxacin and levofloxacin across the
perfused human placenta in vitro. Eur. J. Obstet. Gynecol. 122(1): 61–65.
Poller L. 2004. International Normalized Ratios (INR): the first 20 years. JTH. 2(6):
849–860.
Putri NA, Lestari K, Diantini A, Rusdiana T. 2012. Monitoring terapi warfarin pada
pasien pelayanan jantung pada Rumah Sakit di Bandung. Indones J Clin
Pharm. 1(3): 110-116.
Raffe MR, Carpenter RE. 2007. Lumb & Jones’ Veterinary Anesthesia and
Analgesia 4th edition: Anesthetic management of cesarean section patients.
Tranquilli WJ, Thurmon JC, Grimm KA, editor. Blackwell (US): New Jersey.
Raini M. 2016. Antibiotik golongan fluorokuinolon: manfaat dan kerugian. Media
Litbangkes. 26(3): 163-174.
Rebuelto M, Loza ME. 2010. Antibiotic treatment of dogs and cats during
pregnancy. Vet Med Int. 2010: 1-8.
Sachdeva P, Patel BG, Patel BK. 2009. Drug use in pregnancy; a point to ponder!.
Indian J Pharm Sci. 71(1): 1–7.
Srivastava AR, Modi P, Sahi S, Niwariya Y, Singh H, Banerjee A. 2007.
Anticoagulation for Pregnant Patients with Mechanical Heart Valves.
Department of Cardiovascular and Thoracic Surgery, G. B. Pant Hospital, New
Delhi, India. Ann. Card. Anaesth. 10: 95–107.
Triakoso N. 2008. Penggunaan Kortikosteroid Dan Non Steroid Anti-Inflammatory
Drug's. 10.13140/RG.2.1.4230.4400.
Trouchon T, Lefebvre S. 2016. A Review of enrofloxacin for veterinary use. Open
J Vet Med. 6: 40-58.
Verstegen J, Dhaliwal G, Verstegen-Onclin K. 2008. Canine and feline pregnancy
loss due to viral and non-infectious causes: a review. Theriogenology. 70(3):
304-319.
Widiyanti PM, Sudarwanto MB, Sudarnika E, Widiastuti R. 2019. Penggunaan
antibiotik enrofloksasin sebagai obat hewan dan bahaya residunya terhadap
kesehatan masyarakat. WARTAZOA. 29(2): 75-84.
21

Wientarsih I, Prasetyo BF, Madyastuti R, Sutardi LN, Akbari RA. 2020. Obat-
obatan untuk Hewan Kecil Edisi Revisi. Bogor (ID): IPB Press.
Xu Q, Chen J, Wei Z, Brandon T, Zava D, Shi YE, Cao Y. 2017. Sex hormone
metabolism and threatened abortion. Med Sci Monit. 23: 5041-5048.
Yoshida M, Takahashi M, Inoue K, Hayashi S, Maekawa A, Nishikawa A. 2011.
Delayed adverse effects of neonatal exposure to diethylstilbestrol and their
dose dependency in female rats. Toxicol. Pathol. 39: 823-834.
22

LAMPIRAN DISKUSI

1. Pertanyaan : Pada pemaparan dijelaskan bahwa antibiotik golongan


betalaktam dapat dijadikan sebagai drug of choice pada
hewan bunting, mengapa hal ini tidak membahayakan
fetus?

Jawaban : Antibiotik golongan betalaktam merupakan obat pilihan


yang digunakan selama kebuntingan disebabkan oleh
faktor risiko yang rendah, sehingga tidak membahayakan
fetus, serta kekuatan molekul transplasenta adalah rendah
karena difusi sederhana.

2. Pertanyaan : Mengapa penggunaan antifungal seperti griseofulvin harus


dihindari pada hewan bunting?

Jawaban : Griseofulvin memiliki kontraindikasi pada hewan bunting


karena dapat menyebabkan kematian pada fetus atau
fetotoksik. Obat ini dapat menembus melewati plasenta.
Salah satu penelitian pada tikus dan kucing bunting,
griseofulvin mengakibatkan terjadi kelainan kongenital
pada bagian tubuh seperti mata, sistem saraf, kerangka, dan
sistem urinari, serta gangguan pertumbuhan.

3. Pertanyaan : Dalam kondisi bagaimana hewan perlu diberikan estrogen


tambahan?

Jawaban : Hormon estrogen memiliki peranan yang penting di dalam


fase reproduksi, seperti saat masa estrus dan ovulasi.
Hormon estrogen dapat diberikan pada hewan yang
mengalami gangguan reproduksi atau lebih tepatnya
gangguan pada siklus birahi atau siklus estrus. Estrogen
sebaiknya diberikan jika masalah sudah critical karena
pemberian estrogen dapat langsung menginduksi hewan
menjadi estrus. Jika memungkinkan lebih baik hewan
diberi GnRH daripada estrogen. Pemberian estrogen
dengan dosis yang tepat pada hewan sangat bermanfaat,
sebaliknya jika tidak sesuai dosis akan menyebabkan
anemia pada hewan tersebut. Penggunaan hormon estrogen
sintetik memiliki efek samping menimbulkan gejala seperti
gangguan keseimbangan tulang, gangguan vasomotor,
maupun psikologis. Ketidakseimbangan hormon
reproduksi seperti estrogen dan progesteron pada awal
masa kebuntingan dapat meningkatkan risiko miscarriage
23

atau keguguran. Oleh karena itu, dibuatlah terapi dengan


menggunakan estrogen sintetik.

4. Pertanyaan : Bagaimana kondisi fetus anjing pada studi kasus setelah


induk diberikan terapi?

Jawaban : Kondisi fetus dapat dilahirkan dalam kondisi hidup setelah


5 jam anjing diberikan terapi. Usia kebuntingan pada anjing
sudah memasuki waktu untuk partus, serta terapi yang
diberikan tim medis pada anjing sangat baik sehingga fetus
pada kandungan masih dapat terselamatkan

5. Pertanyaan : Mengapa bechlomethasone pemberiannya digabung


dengan acetylcystein apakah tidak berbahaya dan
bagaimana cara penulisan sediaan obat yang diberikan
menggunakan nebulizer?

Jawaban : Beberapa jurnal menyatakan bahwa kedua obat tersebut


tidak saling berlawanan kinerjanya sehingga interaksi
antara kedua obat tersebut saat diberikan berbarengan tidak
akan berpengaruh pada hewan tersebut. Sediaan obat yang
digunakan adalah solution yang diencerkan. Jadi pada
resep dituliskan jenis sediaan solution kemudian diikuti
oleh dosis obat.

6. Pertanyaan : Bagaimana cara pemberian obat yang baik pada hewan


bunting untuk menghindari stres?

Jawaban : Pelajari teknik yang baik dan benar, dilakukan secara


berulang. Melihat kondisi fisiolgis hewan sehingga tidak
menimbulkan tindakan yang invasif bagi hewan.
Tambahan Prof Ietje: Melihat kondisi fisiologis hewan,
diberikan secara perlahan dan tenang.

7. Pertanyaan : Apa pengaruh acetylcystein pada hewan bunting?

Jawaban : Acetylcystein yang diberikan bertujuan sebagai


bronkodilatator. Penggunaannya melalui inhalasi sehingga
efek terhadap sistem tubuh lainnya tidak ada dan aman bagi
tubuh hewan bunting tersebut
24
25
26
27

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Feline herpesvirus-1 (FHV-1) menyebabkan infeksi saluran pernapasan


bagian atas, yang dikenal sebagai feline rhinotracheitis (Karapinar et al. 2014).
Infeksi FHV-1 tidak hanya menyerang sistem pernapasan atas, tetapi juga
merupakan penyebab penting lesi mata pada kucing. Seperti kasus infeksi alpha
herpes virus lainnya, fase akut FVR diikuti oleh latensi seumur hidup. Selama tahap
laten (carrier), DNA virus FHV-1 bertahan dalam bentuk episom, terutama di inti
neuron ganglion sensorik (Maes 2012). Gejala klinis dari feline rhinotracheitis
ditandai dengan gejala seperti bersin, lesi mata, suhu tinggi, anoreksia, mata dan
hidung berair, dan konjungtivitis pada kucing. Infeksi ini ditandai dengan tingginya
angka kematian pada kucing yang baru lahir atau kucing dengan sistem kekebalan
yang tertekan (Karapinar et al. 2014). Viraemia tampaknya jarang karena, seperti
beberapa virus herpes pernapasan lainnya, replikasi virus mungkin dibatasi ke area
dengan suhu tubuh yang lebih rendah seperti saluran pernapasan (Gaskell et al.
2007)
Feline rhinotracheitis biasanya menyerang anak kucing dan kucing remaja.
Kebanyakan anak kucing dilindungi oleh kekebalan pasif sampai mereka berusia
sekitar 2 bulan. Patogenesis dari feline rhinotracheitis didasarkan pada dua
mekanisme berbeda yang pertama adalah efek sitolotik. Contoh efek sitolitiknya
adalah ulserasi pada mukosa dan kornea. Mekanisme kedua adalah imunemediasi,
yang secara klinis memanifestasikan dirinya sebagai keratitis stroma (Maes 2012).

Tujuan

Tujuan ditulisnya makalah ini adalah untu mempelajari kasus, terapi dan
sediaan obat pada kasus Feline Rhinotracheitis.

TINJAUAN PUSTAKA

Feline Rhinotracheitis

Feline herpesvirus 1 (FHV-1) adalah alfaherpesvirus yang menyebabkan


rhinotracheitis virus kucing, penyakit virus penting pada kucing di seluruh dunia.
Infeksi FHV-1 akut dikaitkan dengan tanda-tanda pernapasan bagian atas dan mata.
Setelah fase akut penyakit ini carrier seumur hidup, terutama di sel saraf sensorik.
Seperti halnya dengan virus herpes simpleks pada manusia, reaktivasi latensi
(carrier) dapat menyebabkan kekambuhan, yang dapat bermanifestasi dalam
bentuk lesi mata yang serius (Maes 2012). Setelah infeksi, replikasi virus pada
fase akut terjadi secara dominan di mukosa septum hidung, nasofaring, dan tonsil,
jaringan lain termasuk konjungtiva, mandibula kelenjar getah bening dan trakea
bagian atas juga sering terlibat (Gaskell et al. 2007).
28

Patofisiologi

Virus masuk ke tubuh kucing melalui hidung, rute oral atau konjungtiva. Ini
menyebabkan litik infeksi epitel hidung dengan penyebaran ke konjungtiva, faring,
trakea, bronkus dan bronkiolus. Lesi ditandai dengan nekrosis epitel multifokal
dengan neutrofil infiltrasi dan peradangan. Replikasi FHV terjadi secara istimewa
pada suhu yang lebih rendah. Ekskresi virus dimulai 24 jam setelah infeksi dan
berlangsung selama 1–3 minggu. Penyakit akut sembuh dalam 10–14 hari.
Beberapa hewan dapat mengembangkan lesi kronis di saluran pernapasan bagian
atas dan jaringan mata. Virus menyebar di sepanjang saraf sensorik dan mencapai
neuron, terutama di ganglia trigeminal, yang merupakan situs utama latensi (Thiry
et al. 2009). Latensi terjadi setelah fase akut penyakit, dengan reaktivasi virus
secara berkala yang terkadang dikaitkan dengan tanda klinis muncul kembali
(Gaskell et al. 2007).

Transmisi

FHV-1 dapat ditularkan dalam sekresi mata, hidung, dan mulut dan sebagian
besar melalui transmisi kontak langsung dengan kucing yang terinfeksi. Hewan
yang terinfeksi secara akut jelas merupakan salah satu sumber virus yang paling
utama, tetapi kucing pembawa yang terinfeksi secara laten (carrier) juga dapat
melepaskan virus dan menginfeksi kucing yang. Dalam beberapa situasi, transmisi
tidak langsung juga dapat terjadi melalui kontaminasi perumahan, pemberian
makan, kebersihan perkakas, dan kebersihan personal (Gaskell et al. 2007).

Gejala Klinis

Infeksi virus herpes kucing biasanya menyebabkan penyakit pernapasan dan


mata atas akut yang dapat menjadi sangat parah di anak kucing muda. Erosi dan
ulserasi permukaan mukosa, rinitis dan konjungtivitis kadang-kadang terlihat ulcus
dendritik kornea, yang dianggap patognomonik. Tanda-tanda klinis yang khas
termasuk demam, depresi, anoreksia, discharge serosa atau serosanguineous pada
mata dan atau hidung, konjungtiva hiperemia, bersin, jarang terjadi salivasi dan
batuk. Infeksi sekunder bakteri sering terjadi dan sekresi kemudian menjadi purulen
(Thiry et al. 2009).

Diagnosa

Deteksi virus dan antigen


Metode pilihan untuk deteksi virus di sampel biologis adalah PCR. Isolasi
virus masih merupakan metode yang valid untuk mendeteksi penyakit menular
FHV, tetapi lebih memakan waktu. Sensitivitas dan spesifisitas dari tiap tes berbeda
antar laboratorium karena belum ada standarisasi (Thiry et al. 2009).

Deteksi asam nukleat


PCR konvensional, nested PCR, dan real-time PCR sekarang secara rutin
digunakan oleh laboratorium diagnostik untuk mendeteksi DNA FHV dalam
konjungtiva, swab kornea atau orofaringeal, kerokan kornea, humor aqueous,
29

sequestra kornea, darah atau biopsi. Metode molekuler tampaknya lebih sensitif
daripada isolasi virus atau indirect imunofluoresensi (Thiry et al. 2009).

Penanganan Penyakit

Terapi Suportif
Pemulihan cairan, elektrolit dan keseimbangan asam basa (misalnya,
penggantian kehilangan kalium dan bikarbonat karena salivasi dan kurangnya
asupan makanan), pemberian lebih disukai melalui infus, diperlukan pada kucing
dengan tanda klinis penyakit yang parah. Asupan makanan sangat penting. Banyak
kucing tidak mau makan karena kehilangan indra penciuman atau bisul di rongga
mulut. Dapat digunakan stimulan nafsu makan (misalnya siproheptadin). Untuk
mencegah infeksi bakteri sekunder, antibiotik spektrum luas yang mencapai
penetrasi ke saluran pernapasan harus diberikan pada semua kasus akut. Kotoran
hidung harus dibersihkan dengan menggunakan saline dan salep lokal. Obat
mukolitik (misalnya, bromheksin) mungkin berguna. Tetes mata atau salep dapat
diberikan beberapa kali sehari. Nebulisasi dengan garam bisa digunakan untuk
memerangi dehidrasi saluran udara. Pemberian vitamin juga dapat dilakukan (Thiry
et al. 2009).

Antiviral
Beberapa antiviral yang dapat digunakan yaitu Trifluridin, Feline IFN-ω,
Human IFN-α, L-lysine, Idoxuridine, Ganciclovir, dan Aciclovir (Thiry et al.
2009). Antiviral seperti Trifluridin, ganciclovir, idoxuridin, famciclovir, vidarabin,
dan aciclovir berperan sebagai DNA analog yang akan berkompetisi menghambat
polimerase dan replikasi DNA sehingga replikasi virus dapat ditekan (Gould 2011).

Vaksinasi
Menurut Thiry et al. (2009), Infeksi virus herpes kucing sering terjadi dan
dapat menyebabkan penyakit yang parah, dan terkadang fatal. Oleh karena itu
vaksinasi direkomendasikan pada kucing untuk mengurangi tingkat keparahan
apabila kucing mengalami feline rhinotracheitis. Gould (2011) menyatakan bahwa
vaksin FHV tidak serta merta melindungi kucing dari infeksi FHV-1. Vaksin FHV
hanya mengurangi tingkat keparahan apabila kucing terinfeksi.

PEMBAHASAN

Mekanisme Terapi

Feline herpesvirus tipe 1 (FHV-1) merupakan penyebab umum dari


penyakit permukaan mata, intraokular, dermatitis, dan saluran pernapasan pada
kucing. Sediaan obat untuk manajemen pengobatan infeksi FHV-1 dan pemahaman
yang baik tentang mekanisme dan indikasi sediaan tersebut masih terbatas. Hal ini
menyebabkan peningkatan kritis pada kemampuan dokter hewan untuk
mengendalikan penyakit ini (Thomasy dan Maggs 2016). Dalam sebuah laporan
30

tahun 1995, dari 14 kucing milik klien dengan penyakit mata herpetik oleh infeksi
FHV-1 yang diobati dengan trifluridine, idoxuridine, atau vidarabine yang
dioleskan secara topikal, 43% gagal untuk membaik atau memburuk (Stiles 1995).
Maka penting untuk mengetahui manajemen terapi dan pengobatan yang tepat
untuk penyakit ini.

Terapi Antibiotik dan Antiviral.


Pengobatan berdasarkan obat antiviral terhadap infeksi FHV-1 dilaporkan
pada penelitian Malik et al. (2009) yang menunjukkan kemanjuran famsiklovir
dalam mengurangi gejala klinis pada mata meliputi konjungtivitis, keratitis dan
sekuestrasi kornea serta rinosinusitis. Selain antiviral, untuk mencegah infeksi
oportunistik pada saluran pernafasan oleh FHV-1 digunakan antibiotik pilihan yaitu
amoksisilin yang dikombinasikan dengan asam klavulanat yang digunakan pada
studi kasus ini (Castro 2012; Malik et al. 2009).

Suplemen dan Pakan Recovery.


Kasus ulserasi pada mukosa mulut kucing oleh infeksi FHV-1 diberikan
terapi kombinasi dengan pemberian antivirus oral, interferon topikal dan lysine oral
(BSAVA 2019). Suplemen pakan yang kaya lysine yaitu Cat Lysin® 1,5 g/hari
dicampurkan kedalam pakan. Selain itu, juga diberikan pasty food (Recovery®)
yang diresepkan pada minggu pertama pengobatan pada studi kasus Castro (2012).

Sediaan Obat untuk Feline Rhinotraceitis

Amoxicillin
Nama Generik Amoxicillin trihydrate dan clavulanic acid (Co-Amoxiclav)
Nama Paten Synulox®
Bentuk Sediaan Tablet
Dosis 12,5 mg/kg 2x sehari untuk kucing
Mekanisme Amoxcillin mengikat protein penisilin yang berperan dalam
sintesis dinding sel bakteri sehingga menurunkan kekuatan
dinding sel dan menghancurkan bakteri.
Indikasi Manajemen pengobatan infeksi bakteri gram positif, gram
negatif serta anaerob obligat.
Kontra Indikasi Aplikasi antibiotik oral pada penderita gangguan saluran
gastrointestinal, hewan yang mengalami hipersensitivitas
terhadap antimikroba golongan beta-laktam, pemberian
antibiotik pada marmot, hamster dan kelinci
Bentuk Sediaan

Famsiklovir
Nama Generik Famsiklovir
Nama Paten Famvir®
Bentuk Sediaan Tablet
31

Dosis 62,5-125 mg/kucing sebanyak 1-3x sehari


Mekanisme Menghambat replikasi DNA virus bergantung pada
timidin kinase virus untuk fosforilasi
Indikasi Manajemen pengobatan Infesi FHV-1 pada mata kucing
Kontra Indikasi -
Bentuk Sediaan

Lysine
Nama Generik Lysine
Nama Paten L-Lysin®
Bentuk Sediaan Kapsul
Dosis 260-500 mg PO 2x sehari untuk kucing dewasa
Mekanisme Mencegah konsetrasi arginin yang diperlukan untuk
replikasi virus sehingga suplemen dapat menekan infeksi
dan reaktivasi FHV-1
Indikasi Sumplemen untuk menekan infeksi dan reaktivasi FHV-1
pada kucing
Kontra Indikasi Jangan menggunakan sediaan yang mengandung
propylene glycol karena bersifat toksik untuk kucing.
Bentuk Sediaan

Sumber : (BSAVA 2011)

Studi Kasus

Feline Viral Rhinotracheitis: A Case Report


(Sumber : Castro 2012 Nucleus Animalium 4(1): 7-12)

Sinyalemen.
Bulan Agustus 2009, terdapat seekor kucin jantan ras domestik berumur
sembilan bulan dibawa untuk perawatan klinis veteriner di kotamadya Faxinal dos
Guedes, Brasil.
32

Anamnesa.
Kucing memiliki riwayat hidung berlendir, bersin dan nafsu makan
menurun. Pemilik melaporkan bahwa kucing pada usia enam bulan mengalami
bersin dengan adanya cairan hidung. Setelah sembuh, kucing kembali sakit pada
umur 9 bulan. Kucing kasus tinggal bersama kucing lain dan kedua kucing tersebut
memiliki gejala serupa.

Pemeriksaan Fisik.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan kucing terlihat apatis, selaput lendir
pucat, skor tubuh 3 (3 dari 9), sekret hidung mukopurulen, keratitis bilateral (parah)
dengan kebutaan yang jelas dan beberapa ulkus dengan diameter 0.3 cm pada
mukosa gingiva.

Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengidentifikasi virus pada bahan
kerokan konjungtiva. Hasil pemeriksaan sitopatologi langsung konjungtiva
menunjukkan terdapat badan inklusi FHV-1 (Feline Herpesvirus-1).

Diagnosa dan Progonosa


Berdasarkan gejala klinis pada saluran pernapasan bagian atas dan riwayat
klinisnya, kucing kasus didiagnosis suspect feline rhinotracheitis akibat infeksi
FHV-1 dengan prognosa dubius. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan
gejala klinis khas dari infeksi FHV-1 yaitu keratokonjungtivitis dan penyakit
saluran pernapasan atas (Ettinger et al. 2004). Menurut data yang diperoleh selama
anamnesis, kucing kasus hidup bersama dengan sejumlah besar hewan yang tidak
divaksinasi dan bebas berkeliaran. Sehingga hal tersebut merupakan faktor
predisposisi kontaminasi oleh FHV-1. Diagnosa ini kemudian dikonfirmasi dengan
adanya badan inklusi FHV-1 pada pemeriksaan sitotologi langsung di konjungtiva.

Terapi
Pengobatan yang diberikan pada kucing adalah terapi antibiotik amoxicillin
trihydrate dan clavulanic acid (Synulox®) 62,5 mg (dosis: 12.5 mg/kg) sebanyak
dua kali sehari dan suplemen pakan yang kaya lisin yaitu Cat Lysin® 1,5 g/hari
dicampur dalam pakan kucing, keduanya diresepkan selama 30 hari. Karena adanya
ulserasi pada mukosa mulut, pasty food (Recovery®) diresepkan pada minggu
pertama pengobatan. Setelah lima hari, hewan kembali dievaluasi untuk mengamati
penyembuhan ulkus mulut dan penurunan cairan hidung. Pada saat itu, pemilik
melaporkan bahwa kucing kasus telah kembali memiliki nafsu makan yang normal.
Setelah 20 hari, kucing kasus menjadi sehat dan menunjukkan perbaikan dan
perubahan yang nyata pada tanda-tanda klinisnya.

Tata Laksana Terapi


Terapi yang diberikan pada kasus feline rhinotracheitis berupa terapi
suportif dengan pemberian antibiotik amoxicillin trihydrate dan clavulanic acid
(Synulox®) 62.5 mg/ekor dua kali sehari, dan suplemen makanan yang kaya lisin
(Cat Lysin®) 1.5 g/hari dicampur dalam makanan, keduanya diresepkan selama 30
hari.
33

Dosis Frekuensi
Obat Perhitungan
Pemberian Pemberian
Pemberian sehari :
62.5 mg x 2 kali = 125 mg
Amoxicillin +
Clavulanic acid 2x sehari
62.5 Pemberian 10 hari :
(Synulox® selama 30
mg/ekor 125 mg x 10 hari=1250 mg
500 mg) hari
Pemberian 30 hari:
1250 x 3 = 3750 mg = 8 tablet
Pemberian sehari : 1500 mg

1x sehari Pemberian 10 hari = 15.000 mg


L-Lysine 1.500 mg selama 30 =15 gr
hari
Pemberian 30 hari = 45.000 mg
=45 gr

KLINIK HEWAN SKY Itter 2x KLINIK HEWAN SKY Itter 2x


Drh. Muhammad Agung Nulhakim Drh. Muhammad Agung Nulhakim
Alamat: Jl.Sagalaherang-Wanayasa, Subang, Alamat: Jl.Sagalaherang-Wanayasa, Subang,
Tlp. 085216143210 Tlp. 085216143210
Jam Praktik: Senin-Jum’at (15.00-18.00 WIB) Jam Praktik: Senin-Jum’at (15.00-18.00 WIB)
SIP.025/SIP/BG/2019 SIP.025/SIP/BG/2019
Subang, 2 Oktober 2020 Subang, 2 Oktober 2020

R/ Amoxiclav 62.5 mg R/ Synulox® 62.5 mg


m.f.pulv. da in caps d t d No. XX m.f.pulv. da in caps d t d No. XX
s.2.d.d. 1 caps p c s.2.d.d. 1 caps p c
------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------
R/ L-Lysine 1.5 g R/ Cat Lysine® 1.5 g
m.f.pulv. d t d No.X m.f.pulv. d t d No.X
s 1 d d 1 pulv d c s 1 d d 1 pulv d c
------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------

Jenis : Kucing Berat : 3 kg Jenis : Kucing Berat : 3 kg


Breed : Domestik Breed : Domestik
Nama : Nama :
Nama pemilik : Nama pemilik :
Alamat : Alamat :
34

SIMPULAN
Feline herpes virus-1 (FHV-1) merupakan virus penyebab terjadinya infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang dikenal sebagai feline rhinotracheitis. Gejala
klinis pada penyakit ini meliputi sekresi cairan hidung dan mata, bersin, batuk, dan
dispnea. Diagnosa kasus feline rhinotracheitis dapat dilakukan melalui PCR atau
isolasi virus. Terapi yang dapat diberikan pada kasus feline rhinotracheitis adalah
terapi suportif dan obat antiviral, serta vaksinasi untuk terapi preventif.

DAFTAR PUSTAKA

[BSAVA] British Small Animal Veterinary Association. 2011. Small Animal


Formulary, 7th ed. Ramsey I, editor. Gloucester (UK): British Small Animal
Veterinary Association
Castro. 2012. Feline viral rhinotracheitis : a case report. Nucleus Animalium 4(1): 7-
12
Ettinger SJ, Feldman EC. 2004. Tratado de Medicina Interna Veterinária 5th
Edition. Rio de Janeiro (ES): Guanabara Koogan.
Gaskell R, Dawson S, Radford A, Thiry. 2007. Review article; feline herpesvirus.
Vet. Res. 38:337–354.
Gould D. 2011. Feline herpesvirus-1: Ocular manifestation, diagnosis, and treatment.
JFMS. 13: 333-346.
Karapinar Z Dinçer E, Ataseven VS, Karaca M. 20114. Felid herpesvirus - 1
infection in Van cats with conjunctivitis. YYU Veteriner Fakultesi Dergisi. 25
(1): 15-17.
Lappin MR, Andrews J, Simpson D, Jensen WA. 2002. Use of serologic tests to
predict resistance to feline herpesvírus-1, feline calicivirus and feline
parvovirus infection in cats. JAVMA 220: 38-42.
Maes R. 2012. Felid herpesvirus type 1 infection in cats: a natural host model for
alphaherpesvirus pathogenesis. ISRN Veterinary Science.1-1.
Malik R, Lessel NS, Webb S, Meek M, Graham PG,Vitale C, Norris JM, Power H.
2009. Treatment of feline herpesvirus-1 associated disease in cats with
famciclovir and related drugs. J Fel Med & Surg 11: 40-48.
Stiles J. 1995. Treatment of cats with ocular disease attributable to herpesvirus
infection: 17 cases (1983–1993). JAVMA 207: 599–603.
Thiry et al. 2009. Feline herpesvirus infection. Journal of Feline Medicine &
Surgery· 11:547-555.
Thomasy SM, Maggs DJ.2016. Tinjauan tentang obat antivirus dan senyawa lain
dengan aktivitas melawan virus herpes kucing tipe 1. Vet Ophtal 19(1): 1–12.
35

LAMPIRAN DISKUSI

Prasad V : Bagaimana Mechanism of Action dari Lysin sebagai antiviral?


Jawaban : Lysine bersifat antagonis dengan arginin, sedangkan arginin
berperan dalam sintesis FHV-1 pada penyakit feline rhinotracheitis.
Sehingga, Lysine sebagai suplemen dalam pengobatan feline
rhinotracheitis diharapkan akan membantu menurunkan laju
replikasi virus

Anggia MW : Pada kasus FHV-1, apakah pada lesi mata diberikan treatment
antiviral dengan rute administrasi topikal?
Jawaban : Iya, contohnya trifluridine merupakan obat dengan sediaan topikal
yang digunakan pada kasus FHV-1. Namun, pada kasus yang
dijelaskan Castro (2012), kucing tidak memiliki gejala pada bagian
mata sehingga pemberian antiviral untuk mata secara topikal tidak
diperlukan. Pada kasus ini terapi antiviral diberikan secara sistemik
melalui pemberian Lysine peroral.
Sella SA : Mengapa pemulihan cairan tubuh diperlukan sebagai terapi
suportif untuk feline rhinotracheitis?
Jawaban : Pemulihan cairan tubuh diberikan tergantung pada kondisi tubuh
kucing yang terinfeksi. Kucing yang terinfeksi FHV-1 dapat
mengalami gejala seperti hipersalivasi dan kekurangan nafsu makan.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga pemulihan
cairan tubuh diperlukan.
Stevani VE : Kasus ini menggunakan coamoxiclave apakah ada pilihan
antibiotik lain yg dapat digunakan pada kasus feline rhinotracheitis?
Jawaban : Ada, Pertanyaan virda cefalosporin sama cefadroksil

Ilham N : Mengapa diperlukan antibiotik, apa kelebihan antibiotik co-


amoxiclav, dan apakah obat tersebut drug of choice dalam penyakit
ini?
Jawaban : Antibiotik co-amoxiclav diberikan untuk mencegah adanya infeksi
sekunder, dan kelebihan dari co-amoxiclav itu karena kandungan
clavulanat acid yang menguatkan potensi amoxycilline dengan
menghambat enzim betalaktam yg diproduksi oleh bakteri.
Amoxycillin sendiri banyak dilaporkan sudah resisten untuk
beberapa bakteri, sehingga keberadaan asam klavulanat akan
membatu potensi obat dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

Nabil R : Apa kelebihan antiviral famsiklovir dibanding antiviral lainnya?


Jawaban : Famsiklovir berperan sebagau Guanin Analog yang akan
berkompetisi dengan DNA pada virus sehingga replikasi virus
ddapat dihambat. Famsiklovir dilaporkan memiliki efikasi yang baik
dalam menyerang FHV-1 selain Cidofovir. Dilaporkan bahwa
pemberian famsiklovor dengan dosis 90 mg/kg 3 kali sehari selama
36

21 hari dapat menurunkan replikasi virus dan penurunan gejala


konjungtivitsi pada kasus feline rhinotracheitis.

Michele : Kenapa co-amociclav tidak disarankan untuk diberikan ke marmut,


kelinci dan hamster?
Jawaban : Karena pada hewan herbivora umumnya memiliki mikloflora
berupa bakteri gram positif dan anaerob sehingga hewan rentan
untuk diberikan antibiotik

DA Regina A : Apabila ada kucing yang terinfeksi feline rhinotracheitis dan


berulang, bagaimana cara menanganinya?
Jawaban : Pencegahan yang dapat dilakukan adalah vaksinasi bagi kucing
yang belum terinfeksi, untuk menanganinya apabila berulang,
lakukan isolasi pada kucing terinfeksi, periksakan ke dokter hewan,
dan berikan treatment sesuai anjuran.

Elvina N : Pada kasus ini digunakan l-lysine yg sebenarnya tidak begitu efektif
untuk pengobatan penyakit menular dalam populasi. Apakah ada
imunomodulator lain yang efektif digunakan untuk penyakit feline
rhinotracheitis?
Jawaban : dalam sebuah populasi sebaiknya kucing diberikan vaksin, Lysin
sebagai supelemen diharapkan bekerja antagonis terhadap arginin
pada virus.
Resma I : Apa yang menyebabkan tingkat kematian pada kitten yang
terinfeksi FHV-1 tinggi?
Jawaban : mortalitas mencapai 30% morbiditas 100%. Biasa menginfeksi
kitten umur 2-8 mg dimana pada umur ini kita belum bisa
memberikan vaksin. Selain itu berbahaya juga karena penyakit ini
bisa dibawa oleh induk yang carier dan menular ke anak, biasa
muncul pada umur 5 mg
37
38
39

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bidang teknologi medis dan pengobatan hewan terus berkembang.


Penanganan dan terapi terkait beberapa penyakit sudah banyak diketahui. Namun
beberapa penyakit hingga kini masih sulit dikelola dengan baik. Salah satu
contohnya adalah Immune-mediated disease. Immune-mediated disease merupakan
penyakit dengan gejala klinis yang beragam dan penanganan yang dilakukan adalah
penanganan terhadap gejala dari gangguan respon imun tersebut. Pengobatan dan
protokol penanganan imunosupresif pada hewan kecil didasarkan kepada protokol
imunosupresif pada manusia (Whitley & Day 2011). Gangguan imunitas
melibatkan banyak faktor kompleks dalam tubuh yang memicu tejadinya Immune-
mediated disease. Hal-hal yang menjadi predisposisi dari immune-mediated disease
ialah faktor genetik, usia, jenis kelamin atau status hormonal, dan adanya agen
infeksius (Wilbe et al. 2010; Ercolini & Miller 2010).
Acquired myasthenia gravis merupakan salah satu penyakit yang berpotensi
terjadi secara spontan dan belum ditemukan adanya terapi immunosupresi yang
tepat (Shelton & Lindstrom 2001). Immune-mediated disease ini disebabkan karena
blokade autoantibodi mediated dan kerusakan pada reseptor nikotinik asetilkolin.
Diagnosa terkait myasthenia gravis pada hewan kecil menggunakan
radioimunoassay sebagai gold standard. Myasthenia gravis banyak dikaitkan
dengan neoplastik seperti hipotiroidisme dan timoma (Strobel et al. 2008).
Acquired myasthenia gravis ditandai dengan respon imun yang kuat terhadap AchR
yang kemudian kembali normal. Respon tersebut tidak bertahan lama atau tidak
kornis, sama dengan respon tubuh terhadap imunogen seperti infeksi (Shelton &
Lindstrom 2001).
Peresepan imunosupresan perlu mempertimbangkan berbagai hal seperti
kondisi non-imunologis yang mendasari, jenis autoimunitas yang dialami (primer
atau sekunder), dan terapi tambahan yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan
terapi seperti sediaan antimikroba, interaksi sediaan obat yang akan
dikombinasikan, pertimbangan khusus breed, ketersediaan bahan terapi, dan
kemampuan pemilik hewan atau client untuk memberikan sediaan kepada hewan
(Whitley & Day 2011). Beberapa jenis sediaan imunosupresan ialah
glukokortikoid, azathioprine, cyclophosphamide, ciclosporin, tacrolimus,
viscristine, danazol, leflunomide, dan clodonate. Pemberian sediaan pada hewan
yang terdiagnosa menderita acquired myasthenia gravis yaitu pemberian sediaan
antikolinesterase untuk meningkatkan transmisi neuromuskuler dan perawatan
suportif (Shelton 2002). Respon buruk terhadap terapi seperti tidak adanya
perubahan atau penurunan antibodi menjadi pertimbangan pemberian terapi
tambahan agen imunosupresif lainnya (Juel & Massey 2005).

Tujuan

Tujuan dari kajian ini untuk mengetahui Myasthenia Gravis sebagai


gangguan sistem imun dan penanganan terapi secara farmakologis pada hewan serta
penulisan resepnya.
40

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi dan Patogenesa

Myasthenia gravis merupakan kondisi adanya gangguan transmisi pada


neuromuskular yang berkaitan dengan penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada
membran post sinaps. Myasthenia gravis dapat disebabkan oleh faktor dapatan
maupun kongenital. Faktor dapatan yang dimaksud yaitu terjadi gangguan yang
diperantarai oleh sistem imun sehingga subsekuen reseptor asetilkolin hilang.
Faktor kongenital myasthenia gravis ditunjukkan dengan kurangnya atau tidak
adanya reseptor asetilkolin pada saat lahir. Penyebab lain terjadinya myasthenia
gravis adalah kelainan atau defek pada proses sintesis neurotransmitter, jumlah
kalsium yang kurang pada terminal saraf, defisiensi asetilkolinesterase secara
kongenital pada celah sinaps, dan fungsi kanal ion natrium yang abnormal (Hopkins
1992).
Patofisiologi dari myasthenia gravis memerlukan informasi mengenai proses
transmisi neuromuskular yang normal. Dalam keadaan normal, otot akan
berkontraksi dengan adanya impuls saraf pada neuromuscular junction yang
kemudian akan memproduksi vesikel dalam ambang batas yang melebihi normal
dan stabil. Ketika terjadi myasthenia gravis, vesikel yang diproduksi berada di
bawah ambang batas normal sehingga terjadi kegagalan transmisi neuromuskular
yang berakibat kontraksi otot melemah secara progresif (Hopkins 1992). Kondisi
myasthenia gravis yang diperantarai oleh sistem imun disebabkan oleh adanya
ikatan autoantibodi pada reseptor asetilkolin pada membran post sinaps di
neuromuscular junction. Reseptor asetilkolin pada membran post sinaps
seharusnya berikatan dengan asetilkolin presinaptik untuk menggerakkan otot. Hal
tersebut menyebabkan kelemahan pada otot skelet secara general maupun lokal
baik pada bagian proksimal maupun distal (Gilhus 2016).
Autoantibodi dalam kasus myasthenia gravis merupakan antibodi dengan
afinitas tinggi terhadap reseptor asetilkolin, antibodi terhadap enzim muscle specific
kinase (MuSK) dan reseptor lipoprotein yang berkaitan dengan peptide 4 (LRP4).
Contoh autoantibodi tersebut adalah imunoglobulin G (IgG). Autoantibodi IgG
akan menurunkan jumlah reseptor asetilkolin, blokade langsung pada lokasi
reseptor asetilkolin, dan memperluas celah pada sinaps sehingga menyebabkan
kelemahan pada otot (Gilhus 2016; Hopkins 1992).
Manifestasi klinis dari myasthenia gravis tergantung pada mekanisme
autoimun yang terjadi, molekul target pada otot skelet tertentu, karakteristik
genetik, respons terhadap terapi, dan fenotipe penyakit tersebut. Pola dari kejadian
myasthenia gravis biasanya simetris, namun asimetris pada otot mata karena hanya
memengaruhi sebagian otot mata. Kelemahan otot yang terjadi dapat meningkat
seiring dengan adanya penggunaan otot yang berulang seperti saat latihan (Gilhus
2016). Gejala klinis yang ditunjukkan pada kasus myasthenia gravis bervariasi
dengan ciri utama adanya kelemahan otot yang spesifik, namun terkadang tidak
menimbulkan rasa sakit. Kelemahan otot tersebut dapat terjadi sepanjang hari atau
hanya beberapa jam, dan secara umum akan semakin parah pada saat siang hari.
Ciri khas lainnya adalah kelemahan pada otot mata yang ditunjukkan dengan ptosis
asimetris dan diplopia binokular (Juel & Massey 2007).
41

Bentuk myasthenia gravis lokal ditandai dengan adanya kelemahan otot


yang terbatas pada esofagus (dapat menyebabkan megaesofagus), faring, dan otot
wajah. Megaesofagus dapat menyebabkan regurgitasi sehingga meningkatkan
risiko kematian akibat myasthenia gravis. Bentuk myasthenia gravis general
ditunjukkan dengan adanya kelemahan otot yang menyebar pada seluruh bagian
tubuh dan dipicu oleh latihan (exercise). Hewan akan menunjukkan postur tubuh
yang abnormal, langkah diperpendek, dan kaku ketika berjalan sehingga hewan
akan mudah tersandung, kolaps, dan terjadi fleksio pada os cervicalis. Pemeriksaan
fisik pada hewan yang mengalami myasthenia gravis menunjukkan terjadinya
tremor saat berdiri. Kejadian myasthenia gravis juga dapat berpengaruh pada sistem
respirasi seperti menyebabkan batuk, dispnoe, dan sianosis (Hopkins 1992).
Kasus myasthenia gravis banyak dilaporkan pada hewan anjing tanpa
adanya predisposisi ras. Akan tetapi, laporan kasus myasthenia gravis pada anjing
banyak terjadi pada German Shepherd, Labrador Retriever, dan Golden Retriever.
Selain itu, laporan kasus juga terjadi pada ras anjing lainnya seperti Fox Terrier,
Jack Russell Terrier, Springer Spaniel, dan persilangan Jack Russell-Yorkshire
Terrier. Insidensi myasthenia gravis pada anjing betina dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan dengan anjing jantan. Myasthenia gravis dapat terjadi pada anjing
semua umur, dengan variasi antara 8 bulan hingga 13 tahun. Myasthenia gravis
kongenital biasanya dapat diidentifikasi ketika anjing masih berumur beberapa
minggu (Hopkins 1992).

Diagnosa

Diagnosis kasus myasthenia gravis dilakukan berdasarkan informasi


mengenai anamnesa dan temuan klinis dari hasil pemeriksaan fisik yang berupa
kelemahan otot skeletal yang berfluktuasi dan berlebihan disertai dengan
kelemahan pada otot ekstraokular dan bulbus oculi. Konfirmasi diagnosis juga
dapat dilakukan secara laboratoris yaitu dengan melakukan pemeriksaan
farmakologis menggunakan edrophonium klorida, pemeriksaan elektrofisiologis
dengan uji stimulasi saraf berulang menggunakan amplitudo elektrik yang tinggi,
dan elektromiografi pada serabut tunggal otot (single fiber muscle) untuk
mengetahui adanya gangguan pada neuromuskular post sinaptik. Selain itu, uji
serologis juga dapat dilakukan untuk menghitung jumlah antibodi MuSK. Kasus
myasthenia gravis perlu dibedakan dengan sindrom myasthenik kongenital,
sindrom Lambert Eaton, botulismus, intoksikasi organofosfat, penyakit
mitokondrial termasuk eksternal opthalmoplegia progresif, inflamasi demyelinasi
poliradikuloneuropati akut, penyakit motor neuron, dan iskemia pada batang otak
(Juel & Massey 2007).

Pencegahan dan Pengobatan

Terapi pada myasternia gravis bertujuan untuk meningkatkan transmisi


neuromuskuler dan memberikan perawatan suportif. Pendekatan terapeutik optimal
untuk anjing dan kucing dengan MG yang didapat belum ditetapkan. Salah satu
faktor perancu dalam penilaian pengobatan untuk MG yang didapat adalah
seringnya terjadinya remisi spontan. Diagnosis awal dan akurat merupakan aspek
42

penting untuk mendapatkan hasil klinis yang baik pada kebanyakan kasus MG yang
didapat (LeCouteur 2014). Perawatan suportif meliputi terapi cairan, manajemen
nutrisi, dan penggunaan alat bantu makan. Salah satu sediaan obat yang biasa
digunakan dalam pengobatan MG adalah Pyridostigmine bromide 60 mg,
Neostigmine bromide 0.5 mg, dan Prednisone 10 mg.

Obat-obat yang digunakan pada penyakit Mysthenia Gravis

Sediaan obat yang dapat digunakan untuk menangani myasthernia gravis


pada anjing diantaranya sebagai berikut :

Pyridostigmine
Nama Generik :Pyridostigmine 60g
Nama Paten :Mestinon® 60mg
Bentuk sediaan :Tablet
Dosis :0.5-3 mg/kg BID/TID
Mekanisme :Mencegah kerusakan bahan alami tertentu (asetilkolin) di
dalam tubuh. Asetilkolin dibutuhkan untuk fungsi otot
normal.
Indikasi :Digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot
Kontraindikasi :Obstruksi usus mekanik atau kemih, dan perhatian khusus
harus dilakukan dalam pemberian pada pasien asma
bronkial
Interaksi obat :Hindari obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler, termasuk ampisilin, aminoglikosida, dan
fenotiazin. Organofosfat dapat meningkatkan toksisitas
obat antikolinesterase
Contoh sediaan

Neostigmine
Nama Generik :Neostigmine Bromide 0.5mg
Nama Paten :Prostigmin® 0.5mg
Bentuk sediaan :Vial
Dosis :0.04 mg/kg SC s6j
Mekanisme :Menghambat hidrolisis asetilkolin dengan cara bersaing
dengan asetilkolin untuk pelekatan ke asetilkolinesterase di
lokasi penularan kolinergik. Ini meningkatkan aksi
kolinergik dengan memfasilitasi transmisi impuls melintasi
persimpangan neuromuskuler.
Indikasi :Pengobatan gejala myasthenia gravis
43

Kontraindikasi :Penderita peritonitis atau obstruksi mekanis usus atau


saluran kemih.
Interaksi obat :Hindari obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler, termasuk ampisilin, aminoglikosida, dan
fenotiazin. Organofosfat dapat meningkatkan toksisitas obat
antikolinesterase
Contoh Sediaan

Prednisone
Nama Generik :Prednisone 10mg
Nama Paten :Cadista PredniSONE® 10 g
Bentuk sediaan :Tablet
Dosis : 0.5 mg/kg PO SID (1-2 minggu), increase to 2-4 mg/kg PO
SID if needed
Mekanisme :Menurunkan inflamasi melalui penekanan migrasi
polimorfo nuklear leukosit, membalikkan permeabilitas
kapiler yang meningkat, menekan sistem kekebalan dengan
mengurangi aktivitas dan volume sistem kekebalan.
Indikasi :Respon yang tidak adekuat terhadap obat antikolinesterase
Kontraindikasi :Pneumonia aspirasi, diabetes melitus, obesitas berat,
hipertensi yang tidak terkontrol, dan ulserasi
gastrointestinal.
Interaksi obat :Obat-obatan penurunan kortison dalam darah (misalnya
rifampisin, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidon)
atau penurunan absorpsi kortison gastrointestinal (misalnya
balutan lambung) litium (kortikosteroid menurunkan kadar
litium dalam darah)
Contoh sediaan
44

Sediaan Immunosupresif

Azathriopine
Nama Generik :Azathioprine 50mg
Nama Paten : Imuran® 50mg
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis : Anjing (1-2 mg/kg), Kucing (0.3 mg/kg)
Mekanisme :Menghambat sintesis purin. Purin dibutuhkan untuk
menghasilkan DNA dan RNA. Dengan menghambat sintesis
purin, lebih sedikit DNA dan RNA yang diproduksi untuk
sintesis sel darah putih, sehingga menyebabkan
imunosupresi.
Indikasi :Anemia hemolitik, trombositopenia, artritis, radang hati
kronis, penyakit radang usus dan miastenia gravis
Kontraindikasi :Anemia signifikan. penurunan trombosit darah. penurunan
parah sel darah putih. bekuan darah di pembuluh darah hati.
Interaksi obat :Beberapa produk yang dapat berinteraksi dengan obat ini
adalah: febuxostat, penggunaan obat kanker tertentu di masa
lalu atau sekarang (seperti siklofosfamid, melphalan), obat
lain yang melemahkan sistem kekebalan / meningkatkan
risiko infeksi (seperti rituximab, tofacitinib).
Contoh sediaan

Cyclosporin
Nama Generik : Cyclosporin 10/25/50/100mg
Nama Paten : Atopica capsule 10/25/50/100mg
Bentuk sediaan :Kapsul
Dosis :5 mg/kg PO BID
Mekanisme :Memodulasi sistem imun adaptif. Pada dosis yang
diindikasikan untuk kondisi dermatologis, siklosporin
memiliki efek antiinflamasi pada berbagai leukosit
Indikasi :Profilaksis penolakan organ pada transplantasi alogenik
ginjal, hati, dan jantung. Itu selalu digunakan dengan
kortikosteroid adrenal. Obat ini juga dapat digunakan dalam
pengobatan penolakan kronis pada pasien yang sebelumnya
diobati dengan agen imunosupresif lainnya
Kontraindikasi :Anjing dengan hipersensitivitas terhadap siklosporin.
Interaksi obat :Beberapa produk yang dapat berinteraksi dengan obat ini
antara lain: coal tar, orlistat, obat lain yang melemahkan
sistem kekebalan / meningkatkan risiko infeksi (seperti
natalizumab, rituximab, tofacitinib)
45

Contoh sediaan

Kasus 1

Megaoesophagus Due to Myasthenia Gravis in A Dog


Prabahavarhy et al. 2018. International Journal of Science, Environment. 7(3):835-838.

Myathenia gravis adalah gangguan pada transmisi neuromuscular yang


berakibat pada kelemahan otot skeletal. Myasthenia gravis terbagi menjadi dua
yaitu bawaan dan dapatan. Congenital Myasthenia Gravis disebabkan karena
defisiensi atau adanya gangguan fungsi pada reseptor nikotin acetilkolin (AChR)
yang berada di neuromuscular jungtion pada otot skeletar sedangkan Acquired
Myasthenia Gravis (AMG) disebabkan karena ganggun imun yang mengakibatkan
adanya auto antibodi yang menghambat pembentukan AchRs. AMG sering terjadi
pada anjing dewasa dan memiliki insiden tertinggi dalam dua kelompok usia yaitu
pada usia 2-4 tahun dan 9-13 tahun. Secara umum, fokal dan akut MG telah
dilaporkan kejadiannya pada anjing. Bentuk fokus dapat muncul di situs variabel
termasuk faring, laring, esofagus atau otot mata. Bentuk umum gambaran klinisnya
meliputi apendikuler progresif, kelemahan otot wajah dan ekstraokuler, kesulitan
menelan, dan pneumonia aspirasi sekunder megaoesophagus dan regurgitasi. MG
akut ditandai dengan megaoesophagus dan kelemahan otot yang menyebabkan
posisi berbaring dalam beberapa hari. Megaoesophagus sering terjadi pada anjing
dengan MG karena esofagus sebagian besar terdiri dari kerangka otot. Selain itu,
AMG telah dilaporkan terjadi dengan sindrom paraneoplastik yang berhubungan
dengan timus neoplasia pada beberapa anjing.

Presentasi Kasus

Seekor anjing jantan Golden Retriver berumur 7 bulan dengan berat badan 32
kg. Pemilik mengatakan anjing mengalami muntah dan regurgitasi beberapa menit
setelah makan, ptyalism, dan aktifitas gerak tubuh yang berkurang. Hasil
pemeriksaan complete blood count, profil serum biokimia, dan urinalisis tidak
menunjukkan adanya abnormalitas pada metabolik. Radiogafi thorax
memperlihatkan cervical distal yang normal dan adanya thocic megaoesophagus.
Hasil pemeriksaan hematologi, gula darah, kalsium, sodium, dan potassium masih
berada pada batas normal. Selain itu juga elektrokardiogram memperlihatkan hasil
yang normal.
46

Terapi

Berdasarkan gejala klinis yang tampak, dalam kasus ini anjing diberikan
terapi berupa injeksi ringer laktat 300 ml secara IV, Vomidine 1 mg, Pan 40 mg
diberikan berdasarkan hasil radiografi yang memperlihatkan anjing mengalami
megaesofagus. Pyridostigmine diberikan dengan dosis setiap 8 jam sekali selama
dua minggu. Pan 40 mg diberikan sebelum makan dengan lama pemberian selama
dua minggu bertujuan untuk mengurangi kerusakan akibat asam lambung pada
esofagus akibat regurgitasi.

Tata Laksana Terapi

Frekuensi
Gejala Klinis Obat Dosis Perhitungan
pemberian
Muntah dan Injeksi Ringer
regurgitasi laktat 300 ml - - -

Domperidone 1
2 kali sehari 1 kali pemberian = 1
(Vomidone®) ml/kg
(5 hari) mg/kg x 32 kg = 32 mg
Total pemberian = 32mg
x 2 x 5 /10 mg
= 32 tablet
Megaesofagus Pantoprazole 1 kali sehari 1 kali pemberian = 1
1 (2 minggu) mg/kg x 32 kg = 32 mg
mg/kg Total pemberian = 32
mg x 1 x 14/40 mg = 11
tablet
Myasthenia Pyridostigmine 3 kali sehari 1 kali pemberian = 0.5
gravis (2 minggu) mg/kg x 32 kg =
0.5 16 mg
mg/kg Total pemberian = 16
mg x 3 x 14 / 60 mg = 11
tablet
47

dtd generik dtd paten


KLINIK HEWAN KLINIK HEWAN
Drh Abdi Putra Drh Abdi Putra
Alamat: Jl.Sukamaju, Tlp. 082352184198 Alamat: Jl.Sukamaju, Tlp. 082352184198
Jam Praktik: Senin-Jum’at (09.00-21.00 Jam Praktik: Senin-Jum’at (09.00-21.00
WIB) WIB)
SIP.021/SIP/BG/2019 SIP.021/SIP/BG/2019
Bogor, 2 Oktober 2020 Bogor, 2 Oktober 2020

R/ Ringer laktat 300 ml R/ Ringer laktat 300 ml


s.pro.Infus s.pro.Infus
------------------------------------------- paraf ------------------------------------------- paraf
R/ Domperidone tabs 32 mg R/ Vomidone® tabs 32 mg
m f pulv da in caps dtd no X m f pulv da in caps dtd no X
sbdd 1 caps p.c sbdd 1 caps p.c
------------------------------------------- paraf ------------------------------------------- paraf
R/Pantaprazole tabs 32 mg R/Protonix® tabs 32 mg
m f pulv da in caps dtd no XIV m f pulv da in caps dtd no XIV
s1dd 1 caps a.c s1dd 1 caps a.c
------------------------------------------- paraf ------------------------------------------- paraf
R/ Pyridostigmine bromide tabs 16 mg R/ Pyridostigmine® tabs 16 mg
m f pulv da in caps dtd no XLII m f pulv da in caps dtd no XLII
stdd 1 caps p.c stdd 1 caps p.c
------------------------------------------- paraf ------------------------------------------- paraf
Jenis : Anjing Berat : 32 kg Jenis : Anjing Berat : 32 kg
Breed : Golden Retriver Breed : Golden Retriver
Nama : Bailey Nama : Bailey
Nama pemilik : Yayan Nama pemilik : Yayan
Alamat : Sesame Street Alamat : Sesame Street

Kasus 2
Acquired myasthenia gravis in a dog – a case report
Fernandes et al. 2020. Brazilian Journal of Veterinary Medicine. 42:1-4

Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan yang disebabkan oleh


berkurangnya jumlah reseptor fungsional asetilkolin (AChR) di membran pasca-
sinaptik dari percabangan neuromuskuler dan mungkin kongenital (MGc) atau
acquired (MGa). Bentuk acquired lebih umum dan merupakan penyakit yang
dimediasi kekebalan di mana antibodi (biasanya imunoglobulin kelas G) diproduksi
melawan AChR. Asetilkolin penting untuk kontraksi otot, dan penurunan jumlah
AChR ditandai dengan kelemahan otot, kehilangan otot wajah, kesulitan menelan,
megaesofagus dan dalam kasus yang paling parah, aspirasi pneumonia sekuder.
Sebuah radioimmunoassay test (RIA) untuk mendeteksi antibodi terhadap AChR
adalah gold standard untuk diagnosis namun harganya mahal. diagnosis terapeutik
dengan obat antikolinesterase merupakan alat penting dalam rutinitas klinis.
48

Presentasi Kasus

Seekor anjing betina ras campuran berumur 4 tahun yang terlihat di Rumah
Sakit Hewan, memiliki riwayat kepincangan dan pernah menderita paresis
intermiten pada pelvic limbs (PL) selama hari 30 hari, dengan evolusi progresif ke
toraks limb (TL) selama 15 hari terakhir. Anjing tersebut mengalami regurgitasi
sporadik berkelanjutan. Pada pemeriksaan fisik, anjing bersikap waspada dan
tanggap terhadap rangsangan, BCS 3/5, tanda vital normal, ada tetraparesis, terjatuh
saat berjalan. Evaluasi neurologis menegaskan tidak defisit pada saraf kranial, tes
propriosepsi tidak berubah, namun terdapat kelemahan otot terutama di pelvic limb,
ekstensor tidak selaras, refleks keempat kaki lemah. Gaya berjalan menunjukkan
adanya ataksia dan tetraparesis. Berdasarkan riwayat, tanda klinis dan evolusi yang
progresif diduga MGa. Hasil uji darahnya biasa saja dan radiografi kontras
menunjukkan kemungkinan megaesofagus, namun serum biokimia menunjukkan
peningkatan enzim keratin kinase.

Terapi

Dilakukan tes antikolinesterase (neostigmine 0.5 mg/1ml) terkait


kecurigaan terhadap MGa. Sebelum pemberin obat, anjing tidak bergerak dan
kesulitan mempertahankan posisi tubuhnya. Setelah 20 menit pemberian obat 0.04
mg/kg (IM) anjing mampu berdiri dan setelah 40 menit menunjukkan hasil
perbaikan yang signifikan dan mampu berjalan. Selanjutnya diberikan 0.01 mg/kg
(IV) dan 10 menit kemudian aktivitas anjing berjalan normal. Setelah dikonfirmasi
MGa anjing diresepkan pyridostigmine bromide (Mestinon®) 2.5 mg / kg dua kali
sehari sebagai obat utama. Seminggu kemudian, dosisnya ditingkatkan 3 mg/kg
namun anjing mengalami diare dan akhirnya kembali menggunakan dosis 2.5
mg/kg selama 6 bulan dan ditambahkan prednisone 0.5 mg/kg (PO) dua kali sehari
selama 2 bulan. Dua minggu setelah penggunaan dua obat tersebut anjing sudah
bisa berjalan normal dan tidak ada laporan regurgitasi. Setelah satu setengah tahun
tidak ada gejala yang kambuh lagi.

Tata Laksana Terapi

Berat badan tidak diketahui pada jurnal, diasumsikan berat badan anjing 20 kg

Gejala Obat Dosis Frekuensi Perhitungan


klinis Pemberian
0.04 mg/kg 1 x s24j 20kg x 0.04 mg/kg =
Neostigmin (IM) 0.8 mg
(Uji →0.8 mg : 0.5 mg x
Tidak antiniskoline 1 ml = 1.6 ml
bergerak sterase)
dan sulit 0.01 mg/kg 1 x s24j 20 kg x 0.01 mg/kg
berdiri 0.5 mg/ml (IV) = 0.2 mg
→0.2mg:0.5mg x
1ml/ampul 1ml = 0.4 ml
49

Myasthenia 2.5 mg / kg s12j 1 x pemberian :


Gravis (PO) (7 hari) 20 kg x 2.5 mg/kg
=50 mg
Pyridostigmi
Total pemberian per
ne bromide
7 hari
(Mestinon®)
2 x 7 hari x 50 mg=
60mg
700 mg

700mg/60mg= 11,7
=12 tablet

Terapi lanjutan
1 x pemberian :
20 kg x 2.5 mg/kg
s12j =50 mg
2.5 mg / kg (6bulan –
Pyridostigmi
Myasthenia (PO) diresepkan Total pemberian per
ne bromide
Gravis per 10 10 hari
(Mestinon®)
hari) 2 x 10 hari x 50 mg=
60mg
1000 mg

1000mg/60mg= 16,7
=17 tablet

s12j 1 x pemberian :
(2 bulan 20kg x 0.5 mg/kg =
0.5 mg/kg diresepkan 10 mg
Prednison
Myasthenia (PO) per10
(antiinlamasi
Gravis hari) Total pemberian
+
10hari :
peningkatan
sistem imun)
2 x 10hari x 10 mg =
200 mg
20mg
200mg/20mg = 10
tablet
50

KLINIK SUMBER SEHAT


Drh. Fadhil Arifwal
Alamat: Jl Cibanteng 2, Bogor
SIP: 0213/SIP/JB 04
HP: 085776982236
Bogor, 2 Oktober 2020
R/ Neostigmin No. 1 ampul
s.pro.inj. 1.6 ml IM
---------------------------------------------- fadhil
R/ Neostigmin No. 1 ampul
s.pro.inj. 0.4 ml IV
---------------------------------------------- fadhil
R/ Pyridogtismine bromide tab 50mg
m.f.pulv da in caps no. XIV
s.b.d.d 1 caps p.c
---------------------------------------------- fadhil

Jenis : Anjing Berat : 20 kg


Breed : Mix
Nama : XX
Nama pemilik : XX
Alamat : xx

Terapi lanjutan 2 bulan pertama


KLINIK SUMBER SEHAT Itter 5x
Drh. Fadhil Arifwal
Alamat: Jl Cibanteng 2, Bogor
SIP: 0213/SIP/JB 04
HP: 085776982236
Bogor, 2 Oktober 2020

R/ Pyridogtismine bromide tab 50 mg


m.f.pulv da in caps no. XX
s.b.d.d 1 caps p.c
---------------------------------------------- fadhil
R/ Prednison tab 10 mg
m.f.pulv. da in caps no. XX
s.b.d.d 1 caps p.c
---------------------------------------------- fadhil

Jenis : Anjing Berat : 20 kg


Breed : Mix
Nama : XX
Nama pemilik : XX
Alamat : xx
51

Terapi lanjutan bulan ke-3 sampai ke-7


KLINIK SUMBER SEHAT Itter 11 x
Drh. Fadhil Arifwal
Alamat: Jl Cibanteng 2, Bogor
SIP: 0213/SIP/JB 04
HP: 085776982236
Bogor, 2 Oktober 2020

R/ Pyridogtismine bromide tab 50 mg


m.f.pulv da in caps no. XX
s.b.d.d 1 caps p.c
---------------------------------------------- fadhil

Jenis : Anjing Berat : 20 kg


Breed : Mix
Nama : XX
Nama pemilik : XX
Alamat : xx

SIMPULAN

Acquired Myasthenia Gravis merupakan gangguan transmisi pada


neuromuskular yang berkaitan dengan penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada
membran post sinaps yang diperantai oleh system imun. Terapi yang dapat
digunakan yaitu pemberian sediaan obat yang dapat menghambat ikatan
autoantibodi dengan reseptor asetilkolin dan meningktakna kekuatan otot seperti
Pyridostigmine 60g, Neostigmine Bromide 0.5mg, dan Prednison 10 mg.

DAFTAR PUSTAKA

Ercolini AM, Miller SD. 2009. The role of infections in autoimmune disease.
Clinical And Experimental Immunology 155 : 1-15.
Fernandes MedSL, Brock GW, Peixoto AJR, Correa CG, Oliveira Pd, Adeodato
AG, Silva MFAd, Coelho CMM. 2020. Acquired myasthenia gravis in a dog-
a case report. Brazilian Journal of Veterinary Medicine. 42:1-4.
Gilhus NE. 2016. Myasthenia gravis. The New England Journal of Medicine. 375
(26): 2570-2582.
Hopkins AL. 1992. Canine myasthenia gravis. Journal of Small Animal Practice.
33: 477-484.
Juel VC, Massey JM. 2005. Autoimmune myasthenia gravis: recommendations for
treatment and immunologic modulation. Current Treatment Options in
Neurology 7:3-1.
Juel VC, Massey JM. 2007. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Disease.
2 (44). https://doi.org/10.1186/1750-1172-2-44.
LeCouteur RA. 2014. How I Treat Myasthenia Gravis. University of California-
Davis. (USA): California.
52

Prabhavathy H, Tamilselvan, Joseph C. Meghaoeshophagus due to myasthenia


gravis in a dog. International Journal Science, Environment.7(3):835-838.
Shelton GD, Lindstrom JM. 2001. Spontaneous remission in canine myasthenia
gravis: implications for assessing human mg therapies. Neurology. 57:2139-
2141.
Shelton GD. 2002. Myasthenia gravis and disorders of neuromuscular transmission.
Veterinary Clinics of North America: Small Animal Practice 32:189-206.
Strobel P, Chuang WY, Chuvpilo S, Zettl A, Katzenberger T, Kalbacher H,
Rieckmann P, Nix W, Schalke B, Gold R, Muller-Hermelink HK, Peterson P,
Marx A. 2008. Common cellular and diverse genetic basis of
thymomaassociated myaesthenia gravis. Annals Of The New York Academy
Of Science 1132:143-156.
Whitley NT, Day MJ. 2011. Immunomodulatory drug and their application to the
management of caine immune-mediated disease. Journal of Small Animal
Practice. 52 :70-85.
Wilbe M, Jokinen P, Truve K, Seppala EH, Karlsson EK, Biagi B, Hughes A,
Bannasch D, Andersson G, Hansson-Hamlin H, Lohi H, Lindblad-Toh K.
2010. Genome-wide association mapping identified multiple loci for a canine
slerelated disease complex. Nature Genetics 42 : 250-255.
53

LAMPIRAN

Diskusi :
1. Bagaimana mekanisme pantoprazole dan bagaimana cara uji
antikolinesterase yang dilakukan pada kasus AMG ? (Stevani Virda)
➔ Dalam kasus ini digunakan pantoprazol untuk megaesofagus yang akan
menyebabkan regurgitasi dan muntah. Sediaan pantaprazol merupakan
obat golongan proton pump inhibitor. Proton pump inthibitor
merupakan golongan obat yang bekerja untuk menghambat asam
lambung. Proton pump inhibitor bekerja lebih efektif dan juga lebih
cepat dalam mengurangi kerukasan yang akibatkan oleh asam lambung
dibandingkan dengan obat2an reseptor H2 antagonis (Abdi)
➔ Uji antikolinesterasi merupakan uji cepat untuk myasthenia gravis,
sediaan yang digunakan berupa neostigmine atau edrophonium ya
diberikan denga rite intravena. Sediaan yang digunakan memperpanjang
dan memperkuat efek neurotransmitter asteilkolin pada sinaps yang
akan terlihat perbaikan kekuatan otot (Fadhil)
2. Manajemen pakan apa yang perlu dilakukan dalam penanganan myasthenia
gravis? (Atika)
➔ Manajemen pakan yang dapat dilakukan diantaranya pemberian pakan
yg halus, mudah dicerna, tinggi kalori, dan suplement penambah imun,
yang mengandung prebiotik, saat melakukan treatmennt pakan, feeding
tube, memastikan anjing dalam konddisi kepala tinggi (Anggia, Elvina)
3. Kenapa pada penanganan myasthenia gravis tidak menggunakan antibiotik
(M. Agung Nulhakim)
➔ Penanganan pada myasthenia gravis berupa treatment simptomatis, pada
kasus yang digunakan tidak terjadi adanya aspirasi pneumonia atau
masuknya makanan ke saluran nafas. Treatment berupa antibiotik
digunakan jika terjadi pneumonia aspirasi yang disebabkan karena
lemahnya otot saluran nafas dan cerna bagian atas (Anggia)
4. Apakah ada treatment lain yang dapat digunakan selain pyridostigmin dan
neostigmine? (Andi Maisya)
➔ Ada sediaan lain yang dapat digunakan yaitu kortikosteroid. Menurut
beberapa penelitian kortikosteroid dapat mengurangi kelainan atau
gangguan pada reseptor acetilkolin. Namun penggunaan kortikosteriod
dalam mengatasi MG tidak sebanyak pyridostigmine dan neostigmen
karena efek respon yang lambat (Abdi)
5. Bagaimana cara kerja sediaan neostigmine pada penanganan myasthenia
gravis? (Resma)
➔ Neostigmine bersaing dengan asetilkolin untuk pelekatan ke
asetilkolinesterase di lokasi penularan kolinergik. Ini meningkatkan aksi
kolinergik dengan memfasilitasi transmisi impuls melintasi
persimpangan neuromuskuler (Michele)
6. Apakah ada efek samping dari penggunaan neostigmine? (Sella)
➔ Efek samping penggunaan neostigmine diantaranya mual, muntah,
hipersalivasi, untuk mengatasinya diberikan bersamaan dengan sediaan
54

atropine. Namun pada kasus yang digunakan tidak terjadi efek samping
tersebut. (Fadhil, Anggia)
7. Bagaimana mekanisme sediaan piridostigmine pada penanganan
myasthenia gravis? Apakah ada treatment lain seperti akupuntur hidroterapi
yang dapat digunakan? (Prasad)
➔ Pyridostigmine bekerja dengan memperlambat breakdown asetilkolin
saat dilepaskan dari ujung saraf. Ini berarti ada lebih banyak asetilkolin
yang tersedia untuk melekat pada reseptor otot, dan ini meningkatkan
kekuatan otot (Michele)
➔ Treatment lain yang dapat digunakan yaitu akupuntur dengan
merangsang reseptor asetilkolin pada keadaan tidak terproduksinya
asetilkolin (Abdi)
➔ Penggunaan alat bantu berdiri pada anjing dengan myasthenia grafis
tetraparesis dapat digunakan. Namun untuk hidroterapi tidak dapat
dilakuakn karena myasthenia gravis dapat semakin parah dengan
exercise (Elvina)
55
56
57

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Program manajemen reproduksi hewan ternak bertujuan untuk mendapatkan


produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal bagi peternak, terutama
pada peternakan sapi potong dan sapi perah. Kebutuhan pangan asal hewan (daging
dan susu) di Indonesia semakin meningkat, sementara ketersediaannya terbatas.
Keterbatasan ini dapat terjadi akibat gangguan-gangguan reproduksi. Gangguan
reproduksi secara langsung mengakibatkan kegagalan fertilisasi dimana, seekor
sapi tidak mengalami siklus estrus secara regular, dan secara tidak langsung
mengakibatkan estrus postpartum > 90 hari, days open > 85 – 110 hari, calving
interval > 12 – 15 bulan, dan angka kelahiran pedet menurun. Kondisi ini akan
memberikan dampak kerugian ekonomi berupa biaya tambahan untuk pengobatan
dan perkawinan, panjangnya masa tidak produktif, meningkatnya jumlah ternak
yang diafkir dan menurunnya populasi (Budiyanto et al. 2016).
Salah satu jenis gangguan reproduksi pada ternak yang sering terjadi adalah
endometritis. Endometritis merupakan suatu peradangan pada lapisan endometrium
uterus yaitu, lapisan sebelah dalam pada dinding uterus. Endometritis biasanya
terjadi sebagai infeksi bakteri patogen yang masuk melalui vagina. Endometritis
dapat menyebabkan gangguan reproduksi yang bersifat sementara (infertil) atau
permanen (majir), yang berdampak pada menurunnya performa reproduksi ternak
(Fazil et al. 2019). Pada sapi perah penyakit ini merupakan salah satu penyebab dari
kejadian kawin berulang (repeat breeding). Kawin berulang adalah kondisi dimana,
sapi betina mengalami gagal bunting pasca dilakukan perkawinan menggunakan
jantan fertile tidak adanya tidak normal (Munawaroh et al. 2020).
Tingkat kejadian endometritis di Indonesia cukup tinggi yaitu sebanyak 20-
40%. Untuk menekan angka kejadian endometritis tersebut, maka perlu
dilakukannya diagnosa endometritis sebagai tindakan awal penanganan penyakit
ini. Diagnosa endometritis yang efisien dan tingkat akurasi yang tinggi dapat
dilakukan dengan menggunakan alat metricheck dan vaginoskop. Diagnosa yang
cepat dan akurat sangat penting untuk keberhasilan terapi dari penyakit (Fazil et al.
2019).
Penanganan penyakit endometritis dapat dilakukan dengan menggunakan
sediaan obat antibiotik. Antibiotik yang sering digunakan ialah jenis antibiotik
dengan spektrum yang luas. Penggunaan antibiotik dengan spektrum luas harus
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan resistensi antibiotik. Penentuan dosis dan
penggunaan antibiotik yang tepat, sangat penting dan harus diperhatikan dengan
baik.

Tujuan

Tujuan disusunnya booklet ini adalah untuk mempelajari kasus, sediaan


obat dan terapi pada kasus endometritis.
58

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi

Endometritis merupakan keadaan infeksi dari endometrium. Endometritis


banyak diawali pasca sapi melahirkan. Sebelum sapi melahirkan, uterus merupakan
tempat yang steril dan tidak terkontaminasi bakteri luar. Kondisi normal bakteri
yang masuk ke dalam uterus dapat dieliminasi dengan system pertahanan yang ada.
Pasca partus, kondisi uterus yang steril akan terbuka dan mikroorganisme dapat
masuk ke dalamnya. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi kondisi klinis dan
subklinis endometritis, serta terus berlanjut hingga mengganggu kesuburan dari
hewan. Endometritis dapat juga merupakan kondisi sekunder dari beberapa infeksi
seperti brucellosis, leptospirosis, campylobacteriosis, dan trikomoniasis. Kondisi
endometritis banyak terjadi akibat kondisi imunitas menurun dan keseimbangan
energi negatif pasca partus (Gilbert 2015).
Endometritis yang terjadi dilapangan kebanyakkan akibat dari infeksi
Trueperella pyogenes, Fusobacterium necrophorum atau bakteri anaerob lainnya.
Endometritis dapat ditandai dengan discharge purulent hingga tidak terdapat tanda-
tanda sama sekali. Kondisi sepsis juga kadang tampak dan tidak. Sapi dengan
endometritis terkadang masih nafsu makan dan produksi dari sususnya tidak
terganggu (Gilbert 2015).

Gejala Klinis

Endometritis terbagi atas clinical endometritis dan subclinical endometritis.


Endometritis klinis dapat ditandai dengan keluarnya discharge mukopurulen dari
vagina. Discharge dapat berwarna merah encer, berair hingga bernanah. Tanda
lainnya, terdapat pembesaran uterus dan uterus berisi nanah. Kondisi endometritis
ini dapat berlangsung ke kondisi sistemik yang ditandai dengan adanya demam,
atau tidak. Kasus endometritis subklinis jarang tidak ditermui, namun dapat
dideteksi dengan adanya keberadaan jumlah netrofil >18%, pada pemeriksaan
sitologi uterus (Abdullah et al. 2015).
Beberapa kasus endometritis jarang menunjukkan gejala klinis. Sapi biasanya
tidak menunjukkan perubahan seperti terjadi demam, gelisah, dan bulu kusam. Sapi
masih dapat makan dan memproduksi susu dengan normal. Namun, pemeriksaan
hemotologi dan biokimia darah, menunjukkan monositosis. Adanya infeksi dapat
menghambat produksi dari sel darah merah, dan menyebabkan sapi anemia
(Abdullah et al. 2015).

Diagnosa

Diagnosis endometritis yang paling sering digunakan adalah, dengan


menggunakan speculum (vaginoskopi). Prinsipnya dengan membandingkan skor
vaginal discharge sebagai indeks keparahan dari endometritis (Pleticha et al. 2009).
Skor vaginal discharge yang diukur dapat dikelompokkan sebagai, skor 0 (tidak
adanya leleran), skor 1 (leleran transparan), skor 2 (leleran keruh). Kriteria leleran
59

0-1 dinyatakan normal (negatif endometritis). Kriteria leleran 2 dinyatakan


abnormal (positif endometritis) (Fazil et al. 2019).
Penggunaan perangkat metricheck juga banyak digunakan sekarang ini.
Perangkat ini dapat digunakan untuk deteksi awal keberadaan endometriris. Alat ini
digunakan dengan mendeteksi discharge, sama seperti pemeriksaan manual dengan
speculum alat ini juga memberikan skor pada discharge. Namun alat ini tidak dapat
dikatakan memiliki keakuratan tinggi. Hal ini dikarenakan alat tersebut hanya
menila melalui discharge. Alat ini tidak dapat membedakan antara vaginitis dan
endometritis, discharge yang diukur bisa saja berasal dari vaginitis, dimana
mungkin saja endometriumnya tidak terdapat infeksi (Pleticha et al. 2009).
Pemeriksaan endometritis yang cukup akurat, adalah dengan menggunakan
ultrasonografi transrectal. Pemeriksan dengan menggunakan ultrasonografi dapat
mengurangi infeksi bakteri dari luar, karena tidak dilakukannya eksplorasi dari luar
melalui vagina. Diagnosis menggunakan ultrasonografi mempunyai prinsip
pengukuran diameter dari tiap tanduk uterus (Pleticha et al. 2009).
Diagnosa yang sedang dikembangkan saat ini adalah menggunakan uterin
sitologi. Cara kerjanya adalah dengan memasukkan cytobrush kedalam
endometrium, melalui transvaginal. Kemudian cytobrush digunakan untuk
mengambil sel-sel dinding endometrium. Hasilnya kemudian dipindahkan ke slide
dan diwarnai menggunkan Diff-Quick stain kit. Semua slide diperiksa dibawah
microskop dan dihitung jumlah sel epitel endometrium (Lee et al. 2018).

PEMBAHASAN

Mekanisme terapi

Efisiensi peternakan dicapai dengan meminimalkan gangguan yang terjadi


pada hewan ternak. Segala penyakit yang terjadi pada hewan ternak dapat
mempengaruhi produksi dari peternakan yang bersangkutan. Salah satu penyakit
yang sering menyerang hewan ternak adalah endometritis. Endometritis menjadi
masalah yang sangat mempengaruhi produksi peternakan terutama pada peternakan
yang fokus dalam reproduksi, seperti peternakan sapi perah dan pembibitan. Terapi
Endometritis dilakukan untuk mengobati gejala klinis yang terjadi, serta mencegah
terjadinya kasus serupa terulang kembali dan tidak merugikan peternakan kembali.
Pengobatan yang dilakukan pada endometritis adalah pembersihan uterus
dengan cara di-flushing menggunakan larutan fisiologis seperti NaCl 0.9%,
dilanjutkan dengan pembersihan dengan antibiotik. Terapi suportif dilakukan
dengan pemberian suplemen agar daya tahan tubuh terjaga. Antibiotik yang
digunakan dapat melalui oral, maupun parenteral. Pemberian prostaglandin
dilakukan untuk membuat korpus luteal lisis dan cervix relaksasi sehingga proses
pembersihan uterus dapat lebih sempurna (Melia 2014).
60

Sediaan obat yang digunakan pada terapi Endometritis

1. Nama Generik : Flunixin Meglumine


Nama Paten : Flunixamine® (50 mg/ml), Fortis®, Banamine®,
Fluxicon®
Bentuk Sediaan : Injeksi
Dosis : Sapi (1.1-2.2mg/kg IV, IM) S12J
Mekanisme : Inhibitor Cyclooxigenase
Indikasi : Antiinflamasi, analgesic, antipiretik
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap Flunixin Meglumine
Contoh sediaan :

2. Nama Generik : Oxytetracycline


Nama Paten : Duodin LA®, Liquamycin LA-200® (200 mg/ml)
Bentuk Sediaan : Injeksi, Salep, Tablet
Dosis : Sapi (20mg/kg SC/IM) sekali, atau 6.6-11 mg/kg
SC/IM/IV) sekali sehari
Mekanisme : Bakteriostatik menghambat sintesis protein
Indikasi : Mengatasi infeksi pada anjing, kucing, ruminansia,
ikan dan unggas.
Kontraindikasi : Hipersesnsitivitas terhadap tetrasiklin, hewan muda,
dan hewan bunting.
Contoh sediaan :

3. Nama Generik : Ammonium Citrate


Nama Paten : Fercobsang®
Bentuk sediaan : Injeksi
Dosis : Sapi (1mL/10 kg IM) sekali
Mekanisme : Suplemen
Indikasi : Defisiensi zat besi, kobalt, vitamin B12
Kontraindikasi : Hipersensitivitas pada Fercobsang®
61

Contoh sediaan :

4. Nama Generik : NaCl 0.9%


Nama Paten : Ecosol NaCl®
Bentuk sediaan : Infus
Dosis :-
Mekanisme : Larutan Fisiologis
Indikasi : Dehidrasi, flushing
Kontraindikasi :-
Contoh sediaan :

5. Nama Generik : Prostaglandin (PGF2α)


Nama Paten : Lutaprost® (0.263 mg/ml), Lutalyse® (5 mg/ml),
Noroprost®
Bentuk sediaan : Injeksi
Dosis : Sapi (25mg IM) sekali, untuk pyometra/endome
tritis 2 kali dengan interval 8 jam
Mekanisme : Menstimulasi myometrium, relaksasi cervix, in-
hibisi steroidogenesis oleh korpus luteal, dan
melisiskan korpus luteum.
Indikasi : Sinkronisasi estrus, pyometra
Kontraindikasi : Hewan bunting, penyakit Bronchoconstriktif, tidak
boleh IV, Pyometra tertutup.
Contoh sediaan :

6. Nama generik : Gentamicin


Nama Paten : Gentaxyn® (80 mg/2ml), GentaVet® (85 mg/ml),
Garasol®, Garacin®
Bentuk sediaan : Injeksi, salep
Dosis : 6.6mg/kg s24j (IM,IV,SQ)
62

Mekanisme : Inhibisi sintesis protein


Indikasi : Infeksi bakteri Gram negative
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap gentamicin, ototoksik
Contoh sediaan :

7. Nama generik : Flumequine


Nama Paten : Fluquin®, Flumine®
Bentuk sediaan : Powder, Tablet
Dosis : 12 mg/kg s24j atau 6 mg/kg s12j oral
Mekanisme : Inhibit DNA gyrase
Indikasi : Infeksi enteric
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap Flumequine dan golongan
fluoroquinolone
Contoh sediaan :

Sumber: Plumb's Veterinary Drug Handbook: Desk.

Studi Kasus 1

Management of Clinical Case of Endometritis in


a Cow: A Case Report
Abdullah FFJ, Chung ELT, Abba Y, Tijjani A, Sadiq MA,
Mohammed K, Osman AY, Adamu L, Lila MAM, Haron AW
Journal of Veterinary Advances. 2015. 5(4): 887-890

Endometritis adalah radang endometrium yang merupakan lapisan mukosa


uterus (Blood et al. 2011). Menurut Kahn dan Lime (2005), endometritis adalah
akibat dari infeksi nonspesifik. Vagina sangat disukai mikroorganisme di mana
mikroorganisme patogen oportunistik dapat menyerang uterus selama koitus atau
selama periode pascapartum di mana serviks melebar. Dalam beberapa hari atau
minggu, uterus yang sehat mampu membersihkan infeksi sementara; Namun
demikian, infeksi persisten akan menyebabkan endometritis klinis yang memiliki
efek merugikan pada kesuburan (Sheldon 2004). Agen penyebab endometritis
adalah Escherihia coli, Arcanobacterium pyogenes, Klebsiella spp, Proteus spp,
Psedomonas spp, Clostridium spp, Staphyloccocus spp dan organisme anaerob
gram negatif lainnya (Kahn dan Lime 2005; Dolezel et al. 2010; Udhayavel et al.
63

2013). Endometritis dapat didiagnosis dengan mendeteksi keputihan dengan


bantuan spekulum (Galvao 2011).
Laporan kasus yang dibahas Abdullah et al. (2015), menunjukkan seekor sapi
persilangan Friesien berumur 3 tahun dengan berat 400kg dengan skor kondisi
tubuh 2 dari 5 dibawa ke Rumah Sakit Hewan Universitas, Universiti Putra
Malaysia dengan keluhan utama tidak nafsu makan. Sapi ini dikelola secara semi
intensif dimana status pemberian obat cacing dan vaksinasi up-to-date. Sapi ini
memiliki riwayat melahirkan 5 bulan yang lalu. Hasil pemeriksaan fisik
menunjukkan bahwa sapi mengalami demam, kusam dan tertekan dengan mukosa
pucat. Kelainan yang paling menonjol yang diamati adalah discharge mukopurulen
kekuningan dari pembukaan vulva (Gambar 1). Pada palpasi rektal, korpus luteum
persisten teraba di sekitar ovarium.

Gambar 1 Discharge mukopurulen kekuningan dari pembukaan vulva

Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan rektal dimana uterus memiliki


konsistensi seperti adonan selama palpasi. Discharge mukopurulen dari vulva
dikoleksi untuk isolasi bakteri dan uji sensitivitas antibiotik. Darah juga diambil
melalui vena jugularis untuk analisis hematologi dan biokimia lengkap. Bakteri
yang diisolasi dari nanah tersebut Arcanobacterium pyogenes yang resisten
terhadap streptomisin dan sulfadiazinetrimetoprim dan Eschericia coli yang
resisten terhadap streptomisin. Antibiotik lain seperti penisilin dan tetrasiklin
bersifat intermediate dan sensitif terhadap kedua bakteri tersebut. Selain itu, temuan
hematologi dan biokimia menunjukkan bahwa sapi mengalami monositosis
(3.93x10 9 / L), AST sedikit meningkat (191.3U / L), hiperlobulinemia (62.9 g / L)
dan hipoalbuminemia (19.1 g / L). Berdasarkan riwayat, pemeriksaan klinis dan
temuan laboratorium, sapi tersebut didiagnosis endometritis klinis.

Tata Laksana Terapi

Rencana terapi untuk kasus ini adalah mengobati endometritis klinis yang
dapat mempengaruhi status reproduksi sapi di masa depan. Flunixin meglumine 1.1
mg / kg diberikan secara intramuskular dua kali sehari selama 3 hari sebagai anti-
inflamasi, antipiretik dan analgesik. Antibiotik long acting oxytetracycline 20 mg /
kg juga diberikan sekali secara intramaskuler untuk mengobati infeksi saat ini dan
untuk mencegah infeksi bakteri sekunder. Selain itu, Fercobsang 1 ml / 10kg
diberikan secara intramuskular sekali sebagai suplemen zat besi. Kasus pada jurnal
ini adalah kasus endometritis klinis yang dikonfirmasi, pencucian intrauterin
64

diindikasikan. Uterus dibersihkan dengan 0.9% NaCL menggunakan jalur intravena


yang dimodifikasi di mana ia melewati vulva dan masuk ke dalam uterus body.
Semua discharge mukupurulen kemudian dibilas terus menerus dengan NaCL
0.9%. Kemudian 20 ml Oxytetracycline 20 mg /kg dibilas ke dalam tubuh uterus
sebagai lavage akhir.

Frekuensi
Gejala Klinis Obat Dosis Pemberian Perhitungan
Pemberian
Sekali pemberian
1.1 mg/kg x 400 kg = 440 mg
440 𝑚𝑔
→ 50 𝑚𝑔/𝑚𝑙= 8,8 ml
Flunixin
2 x sehari Total Pemberian
meglumine Inj 1.1 mg/kg
selama 3 hari 2 x 3 hari x 8.8 ml = 52.8 ml
Fluxicon® IM

1 vial = 100 ml
→52.8 ml / 100 ml = 1 vial

Diagnose Sekali pemberian


endometritis 20 mg/ kg x 400 kg = 8000 mg
8000 𝑚𝑔
klinis dengan → 200 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 40 ml
monositosis, AST
Oxytetracycline Sekali dalam
sedikit 20 mg/kg Volume maksimal pemberian
LA-200® IM pengobatan
meningkat, 10 ml/injection site
hiperlobulinemia,
dan 1 vial = 100 ml
hipoalbuminemia →40 ml/100 ml = 1 vial
Sekali pemberian
1 ml/10 kg x 400 kg = 40 ml

Fercobsang® Sekali dalam Volume maksimal pemberian 20


1 ml/ 10 kg
IM pengobatan ml/injection site

1 vial = 100 ml
→40 ml/ 100 ml = 1 vial
0.9% NaCL IV - - -
65

KLINIK HEWAN KLINIK HEWAN


Drh. Umi Hasanah Drh. Umi Hasanah
Alamat: Jl Akasia No 16 Banjarbaru, Tlp. Alamat: Jl Akasia No 16 Banjarbaru, Tlp.
082298036162 082298036162
Jam Praktik: Senin-Jum’at (16.00-21.00 WIB) Jam Praktik: Senin-Jum’at (16.00-21.00 WIB)
SIP.021/SIP/BG/2019 SIP.021/SIP/BG/2019
Banjarbaru, 2 Oktober 2020 Banjarbaru, 2 Oktober 2020

R/ Flunixin meglumine inj No I vial R/ Fluxicon inj No I vial


s. pro. inj. 8.8 ml s. pro. inj. 8.8 ml

R/ Oxytetracycline inj No I vial R/ LA-200 inj No I vial


s. pro. inj. 40 ml s. pro. inj. 40 ml

R/ Fercobsang inj No I vial R/ Fercobsang inj No I vial


s. pro. inj. 40 ml s. pro. inj. 40 ml

R/ NaCl sol 0.9% No II fls R/ NaCl sol 0.9% No II fls


s. i. m. vm s. i. m. vm

Jenis : Sapi Berat : 400 kg Jenis : Sapi Berat : 400 kg


Breed : Friesien Breed : Friesien
Nama : Nama :
Nama pemilik : Nama pemilik :
Alamat : Alamat :

Studi Kasus 2

Terapi Endometritis Menggunakan Oksitetrasiklin pada


Sapi Aceh yang Didiagnosa dengan Alat Metricheck
Muhammad Anshar Mamas , Ginta Riady , Razali Daud
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner. 2018. 2(3): 221-229

Sapi aceh adalah sapi hasil persilangan antara sapi lokal (Bos sondaicus)
dengan sapi keturunan zebu dari India (Bos indicus). Sapi aceh merupakan salah
satu plasma nutfah sapi potong di Indonesia yang banyak dipelihara dan tersebar di
Aceh (Basri 2006). Sapi aceh memiliki nilai konsumsi yang tinggi bagi masyarakat,
sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak. Salah satu jenis
gangguan reproduksi pada ternak yang sering terjadi adalah endometritis.
Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus (Ratnawati et al.
2007). Penanganan penyakit endometritis dapat dilakukan dengan memberikan
terapi antibiotik, salah satu antibiotik yang sering digunakan adalah oksitetrasiklin.
Sheldon dan Noakes (1998) menyatakan bahwa oksitetrasiklin efektif digunakan
untuk terapi endometritis. Antibiotik ini besifat bakteriostatik, bekerja dengan
66

menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom 30S, merupakan antibiotik


berspektrum luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif (Plumb 1999).
Penelitian ini menggunakan 10 ekor sapi aceh positif endometritis yang
diperoleh dari hasil diagnosa pada 17 ekor sapi aceh postpartum dengan
menggunakan alat Metricheck. Penelitian dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok I sebagai kontrol sebanyak 3 ekor dan kelompok II sebagai perlakuan
sebanyak 7 ekor sapi Aceh. Sapi Aceh diperoleh dari UPT. Hewan coba, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan peternakan rakyat
di Desa Cot Cut, Kec. Kuta Baro, Kab. Aceh Besar.
Diagnosa endometritis Dilakukan pemeriksaan leleran uterus sapi betina 21
hari setelah melahirkan dengan menggunakan alat Metricheck (Simcro, New
Zealand). Sapi betina yang akan diperiksa di restrain terlebih dahulu. Vulva
dibersihkan dengan air bersih. Setelah itu, Metricheck disterilkan dengan alkohol
70% dan dilumuri dengan pelicin ultrasoud gel (Cosmo Med®). Kemudian, alat
dimasukkan ke dalam vagina sampai terasa tertahan di mulut cervik dan
dikeluarkan. Hasil leleran uterus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam cawan petri
untuk dilakukan pengamatan. Penetapan sapi endometritis dengan melihat nilai
skoring leleran uterus dengan kriteria (0= tidak ada leleran, 1= leleran transparan,
2= leleran kental dengan bercak nanah, 3= leleran kental bernanah dengan kondisi
nanah dibawah 50%, 4= leleran bernanah dengan kondisi nanah diatas 50%, 5=
leleran yang berbau). Leleran uterus skoring 0-1 dinyatakan normal atau negatif
endometritis dan skoring 2-5 dinyatakan tiddak normal atau positif endometritis
(McDougall et al. 2007).

Tata Laksana Terapi

Sebelum dilakukannya terapi, 7 ekor sapi aceh kelompok perlakuan dilakukan


pemeriksaan corpus luteum pada ovarium melalui eksplorasi rektal. Sapi aceh yang
terdeteksi adanya corpus luteum, maka terlebih dahulu dilakukan penyuntikan
hormon PGF2α untuk melisiskan corpus luteum, dosis 5-10 ml secara
intramuskuler. Pada hari ketiga setelah penyuntikan hormon PGF2α, dilakukan
penyuntikan oksitetrasiklin (Vet-Oxy SB®) dengan dosis 5 ml secara intra uterin
(i.u). Sapi aceh yang tidak terdeteksi adanya corpus luteum, maka dapat langsung
dilakukan penyuntikan oksitetrasiklin (Vet-Oxy SB®).
67

Dosis Frekuensi
Gejala Klinis Obat Perhitungan
Pemberian Pemberian
Sekali pemberian
1 mg x 5 ml = 25 mg → per sapi
Dinoprost
Tromethamine 2 x sehari Total Pemberian
5 ml/sapi
– PGF2α selama 10 5 ml x 2 kali x 10 hari = 100 ml
(IM)
(LUTALYSE®) hari
POM-V 1 vial = 100 ml
→100 ml / 100 ml = 1 vial
Diagnose
endometritis Sekali pemberian
250 mg/ 100 kg x 400 kg (cnth) = 1000 mg
1000 𝑚𝑔
→ 50 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 20 ml
Oxytetracycline
250 mg/ Sekali dalam
VET-OXY
100 kg (IU) pengobatan Volume maksimal pemberian
SB® IU 10 ml/injection site

1 vial = 100 ml
→20 ml/100 ml = 0.2 = 1 vial

KLINIK HEWAN KLINIK HEWAN


Drh. Prasad Vaithilingam Drh. Prasad Vaithilingam
Alamat: Jl Akasia No 16 Banjarbaru, Tlp. Alamat: Jl Akasia No 16 Banjarbaru, Tlp.
082298036162 082298036162
Jam Praktik: Senin-Jum’at (16.00-21.00 WIB) Jam Praktik: Senin-Jum’at (16.00-21.00 WIB)
SIP.021/SIP/BG/2019 SIP.021/SIP/BG/2019
Banjarbaru, 2 Oktober 2020 Banjarbaru, 2 Oktober 2020

R/ Dinoprost Tromethamine inj No I vial R/ Lutalyse inj No I vial


s. pro. inj. 5 ml IM s. pro. inj. 5 ml IM

R/ Oxytetracycline inj No I vial R/ Vet-Oxy SB inj No I vial


s. pro. inj. 20 ml s. pro. inj. 20 ml

Jenis : Sapi Berat : 400 kg Jenis : Sapi Berat : 400 kg


Breed : Aceh Breed : Aceh
Nama : Nama :
Nama pemilik : Nama pemilik :
Alamat : Alamat :
68

SIMPULAN

Penanganan kasus endometritis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu


pertama terdapat cairan discharge yang keluar melalui vagina, dapat dilakukan
flushing terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemberian antibiotik secara
langsung maupun melalui IM. Kedua dengan menyuntikan hormon PGF2α untuk
membantu pengeluaran cairan discharge akibat adanya corpus luteum persisten,
kemudian dilanjutkan dengan pemberian antibiotik secara intra uterin. Pemberian
antibiotik seperti ini harus diperhatikan penggunaan dan perhitugan dosis yang
tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah FFJ, Chung ELT, Abba Y, Tijjani A, Sadiq MA, Mohammed K, Osman
AY, Adamu L, Lila MAM and Haron AW. 2015. Management of clinical
case of endometritis in a cow: a case report. Journal of Veterinary
Advances. 5(4): 887-890.
Basri H. 2006. Penelusuran Arah Pembibitan Sapi Aceh. Banda Aceh (ID):
Universitas Syiah Kuala Darussalam.
Blood DC, Studdert VP, Gay CC. 2011. Saunders Comprehensive Veterinary
Dictionary 4th Ed. London (UK): Saunders.
Budiyanto A, Tophianong TC, Dewi HK. 2016. Gangguan reproduksi Sapi Bali
pada pola pemeliharaan semi intensif di daerah system integrase sapi –
kelapa sawit. Acta Veterinaria Indonesiana. 4(1): 14-18.
Dolezel R, Palenik T, Cech S, Kohoutova L, Vyskocil. 2010. Bacterial
contamination of the uterus in cows with various clinical types of metritis
and endometritis and use of hydrogen peroxide for intrauterine treatment.
Veterinarmi Medicina. 55(10): 504-511.
Fazil R, Ginta R, Razali D. 2019. Diagnosa endometritis pada sapi aceh dengan
menggunakan alat metricheck dan vaginoskop. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Veteriner. 3(4):181-188.
Galvao KN. 2011. Identifying and treating uterine disease in dairy cows.
Proceeding 47th Florida Dairy Prod Conf. Gainesville.
Gilbert R.O. 2015. Metritis and Endometritis in Large Animals [Internet]. MSD
Manual Veterinary Manual [Internet]. [diakses 5 September 2020].
Tersedia pada: https://www.msdvetmanual.com/reproductive-system/met
ritis-in-large-animals/metritis-and-endometritis-in-large-animals.
Kahn CM, Line S. 2005. The Merck Veterinary Manual 9th Ed. USA: Merial.
Lee SC, Jeong JK, Choi IS, Kang HG, Jung YH, Park SB, Kim IH. 2018.
Cytological endometritis in dairy cows: diagnostic threshold, risk factors,
and impact on reproductive performance. Journal of Veterinary Science.
19(2): 301-308.
McDougall S, Macaulay R, Compoton C. 2007. Association between endometritis
diagnosis using a novel intravaginal device and reproductive performance
in dairy cattle. Animal Reproduction Science. 99(1): 19-23.
69

Melia J, Amrozi A, Tumbelaka LITA. 2014. Dinamika ovarium sapi endometritis


yang diterapi dengan gentamicine, flumequine dan analog prostaglandin
F2 alpha (PGF2α) secara intra uterus. Jurnal Kedokteran Hewan-
Indonesian Journal, of Veterinary Sciences. 8(2): 111-115.
Munawaroh L, Humaidah N, Suryanto D. 2020. Studi kasus kawin berulang pada
sapi perah Peranakan Frisian Holland di wilayah kerja petugas kesehatan
hewan batu. Jurnal Dinamika Rekasatwa. 3(2): 113-117.
Pleticha S, Drillich M, Heuwieser W. 2009. Evaluation of the metricheck device
and the gloved hand for the diagnosis of clinical endometritis in dairy
cows. Journal of Dairy Science. 92 (11) :5429–5435.
Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook. Ames (US): Iowa State University
Press.
Plumb DC. 2011. Plumb's Veterinary Drug Handbook: Desk. Hoboken (US): John
Wiley & Sons.
Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhi L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Jakarta (ID): Penerbit Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Sheldon IM, Noakes DE. 1998. Comparison of three treatments for bovine
endometritis. Veterinary Record. 142(21): 575-579.
Sheldon IM. 2004. The postpartum uterus. Veterinary Clinics of North America:
Food Animal Practice. 20(3): 569-591.
Udhayavel S, Malmarugan S, Palanisamy K, Rajeswar J. 2013. Antibiogram pattern
of bacteria causing endometritis in cows. Vet World. 6(2): 100-102.
70

LAMPIRAN – TANYA JAWAB


Sesi 1

Stevani Virda Evangelista (B0901201062)


Pada kasus ke dua apa pertimbangan menggunakan antibiotik oxcytetrasiklin?

Prasad Vaithilingam (B0901201813)


Oxcytetrasiklin merupakan antibiotik broad spectrum yang artinya mampu
digunakan untuk infeksi dari bakteri gram postif dan negatif, dengan cara
menghambat protein sintesis pada bakteri tersebut.

Stevani Virda Evangelista (B0901201062)


Berarti obat ini termasuk drug of choice pada penyakit ini?

Prasad Vaithilingam (B0901201813)


Iya dan dari beberapa jurnal yang saya baca kebanyakan menggunakan obat ini.
Selain itu ada yang pakai cefapirin.

Atika Saraswati Alpiah (B0901201047)


Tadi disebutkan bahwa prostaglandin tidak boleh pada kasus pyometra tertutup,
kenapa?

Muhammad Nabil Ramadhan (B0901201082)


Karena prostaglandin itu akan menyebabkan kontraksi dari uterus. Jika pada saat
servixnya tertutup dan uterusnya ruptur maka dikhawatirkan discharge akan keluar
ke ruang abdomen dan menyebabkan peritonitis. Kalau yang open pyometra
discharge bisa keluar karena servixnya terbuka.

Fadhil Arifwal (B0901201014)


Mengapa metricheck dapat digunakan untuk deteksi dini endometritis?

Allyssa Zain (B0901201019)


Prinsip metricheck sama dengan pengukuran score vaginal discharge, yaitu dengan
menggunakan discharge. Metricheck tidak membutuhkan discharge yang banyak,
sehingga dapat mendeteksi lebih awal.

Sesi 2

Silvia Anggraini (B0901201026)


Di kedua jurnal terdapat corpus luteum persisten, kenapa pada kasus kedua di
lakukan penyuntikan hormon, sedangkan yang pertama tidak?

Umi Hasanah (B0901201007)


Pada kasus pertama menggunakan antibiotik wash secara intra uterin yang dapat
berfungsi sebagai alternatif penggunakan pgf 2 alpha. Dan digunakan antibiotik
wash oxcytetrasiklin.
71

Silvia Anggraini (B0901201026)


Jadi penggunaan antibiotik itu sama dengan pgf 2 alpha?

Umi Hasanah (B0901201007)


Berdasarkan jurnal yang saya baca, iya sama, dan sebagai altetnatif.

Resma Ismawati (B0901201024)


Antara corpus luteum dan endometritis, apakah ada hubungannya?

Prasad Vaithilingam (B0901201813)


Prostaglandin akan memicu proses lisisnya corpus luteum. Dan maksimal 17 hari
corpus luteum berada di ovarium pasca partus. Jika corpus luteum masih berada di
ovarium > 20 hari maka disebut corpus luteum persisten. Dengan lisisnya corpus
luteum makan akan memicu terjadinya estrus kembali. Endometritis salah satu
gangguan yang membuat protaglandin tidak diproduksi oleh tubuh. Maka dari itu
perlu menyuntikan prostaglandin dari luar tubuh agar memicu servix membuka dan
kontraksi uterus sehingga discharge dapat keluar dengan alami serta sapi dapat
estrus.

Allyssa Zain (B0901201019)


Jika ada progesterone maka servix akan menutup dan sulit dilakukan flushing.

Raudhatul Fitri (B0901201003)


Pada tahap terakhir flushing diberikan antibiotik, apa manfaat pemberian antibiotik
tersebut?

Dewa Ayu Regina Amelia (B0901201081)


Tadi sebagian manfaat sudah dijelaskan oleh umi. Selain itu tujuan memberian
antibiotik secara langsung adalah membantu membunuh bakteri yang masih tersisa
di permukan endometrium. Penyuntikan secara IM dilakukan agar mencegah
terjadinya sepsis jika bakteri terlanjur masuk ke sistem sirkulasi karena di lapisan
uterus banyak terdapat pembuluh darah.

Prasad Vaithilingam (B0901201813)


Penyuntikan IM juga lambat untuk mencapai infeksi di lapisan endometrium,
sedangkan secara intra uterine lebih cepat.

Elvina Nurfadhilah (B0901201040)


Pada kasus pertama diberikan suplement zat besi, kenapa di kasus kedua tidak
diberikan?

Umi Hasanah (B0901201007)


Karena zat besi tidak bisa didapatkan dari dalam tubuh dan sehingga didapatkan
dari makanan. Pada pemeriksaan fisik sapi di kasus pertama menunjukan gelaja
klinis tidak nafsu makan, kulit kusam, dan mukosa pucat, serta baru melahirkan 5
bulan yg lalu. Mukosa pucat dapat menjadi indikasi anemia dan zat besi sangat
72

dibutuhkan dalam sistem sirkulasi. Serta penggunaan suplement ini bergantung


pada kondisi hewan tersebut.

Tambahan

M Agung Nulhakim (B0901201022)


Test metristis itu di lapangan, saat sapi itu sudah melahirkan, langsung diberikan
antibiotik berupa bolus sebagai tindakan pencegahan. Jadi setelah plasentanya
keluar langsung dimasukan bolus antibotik tersebut ke dalam uterus. Setiap hari di
monitoring dengan melakukan flushing. Kemudian di palpasi rektal dan dari sana
uterus di remas hingga cairan keluar dan di cek dischargenya menggunakan skor
yang telah dijelaskan. Untuk penanganan disesuaikan dengan nilar skor yang
didapat.
73

Anda mungkin juga menyukai