Anda di halaman 1dari 4

TERATOGENIK

Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Salah satu tindakan untuk mencegah
terjadinya teratogenesis akibat ulah manusia adalah melakukan berbagai jenis uji pada sejumlah
besar obat, zat tambahan makanan, pestisida, bahan pencemar lingkungan, dan zat kimia lainnya
untuk menentukan potensi teratogenesisnya (Lu, 1995).
Wujud dari efek teratogen dapat berupa cacat structural, penghambatan pertumbuhan, dan
kematian. Ada tidaknya pemenjanan teratogen yang menghasilkan kelahiran abnormal
tergantung dari berbagai factor. Dua dari banyak factor yang penting adalah dosis (tingkat
pemejanan) dan waktu pemejanan. Efek waktu pemejanan pada teratogenesis dapat terjadi
karena variasi kejadian selama masa yang berbeda pada periode kehamilan.Hal tersebut
mendukung alasan bahwa waktu pemejanan zat teratogenik merupakan hal yang kritis dalam
menentukan efek yang potensial. Pemejanan selama masa awal (awal implantasi) berpengaruh
pada kematian embrio. Pemejanan pada masa akhir (pada manusia trimester ketiga) sangat
mungkin berpengaruh pada penghambatan pertumbuhan. Pemejanan pada masa tengah, masa
organogenesis, akan sangat mungkin berpengaruh pada kerusakan struktur. Pemejanan teratogen
selama periode kritis perkembangan janin kemingkinan besar akan menyebabakan malformasi
pada sistem organ (Stine dan Brown, 1996).
Beberapa jenis zat kimia telah terbukti bersifat teratogen pada hewan uji. Mengingat
beragamnya sifat zat – zat ini, tidak mengherankan bila banyak mekanisme yang terlibat dalam
efek teratogennya. Berikut ini beberapa contoh mekanismenya :
 Gangguan terhadap Asam Nukleat
Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat, atau translasi
RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit, dan intercalating agent (Lu, 1995).
 Kekurangan Pasokan Energi dan Osmolaritas
Hipoksia dan zat penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan
mengurangi oksigen dalam proses metabolism yang membutuhkan oksigen dan mungkin
juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas (Lu, 1995).
 Penghambatan Enzim
Penghambatan enzim, seperti 5-fluorourasil, dapat menyebabkan cacat karena mengganggu
diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat ditetase.Contoh lainnya,
6-aminonikotinamid menghambat glukosa 6-fosfat dehidrogenase (Lu, 1995).
Berdasarkan sifat teratogeniknya obat dapat digolongkan menjadi 3 yaitu obat dengan
sifat teratogenik pasti (known teratogens), obat dengan kecurigaan kuat bersifat teratogenik
(probable teratogens), dan obat dengan dugaan bersifat teratogenik (possible teratogens)
(Donatus, 2005).
Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan khas yang dirancang untuk
mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuattu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji,
tepatnya adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan/dipejankan selama masa organogenesis
suatu jenis hewan bunting. Uji keteratogenikan bermanfaat sekali sebagai landasan evaluasi batas
aman dan resiko penggunaan suatu obat oleh wanita hamil, utamanya berkaitan dengan zat-zat
bawaan janin yang dikandungnya (Mutscler, 1994).

Bagaimanapun, wanita hamil tidak bebas dari penyakit, sehingga penggunaan suatu obat
terkadang merupakan keharusan. Bahkan wanita hamil yang sehatpun terkadang menggunakan
suatu obat, baik obat modern atau tradisional, utamanya sebagai upaya menjaga kesehatan si ibu
selama masa kehamilannya. Agar obat yang digunakan oleh si ibu tidak membahayakan diri si
janin yang dikandungnya, maka keamanan obat terhadap diri janin harus ditegaskan. Untuk itu,
perlu dilakukan beberapa uji reproduksi terhadap obat yang kemungkinan besar salah satu
diantaranya adalah uji keteratogenikan (Mutschler, 1994).

Dalam uji keteratogenikan ini meliputi, beberapa kegiatan utama, pengawinan


(pembuntingan) hewan uji terpilih, penegasan masa pembuntingan, penetapan masa
organogenesis (pembentukan organ), pemberian atau pemejanan obat uji pada masa
organogenesis tersidik, pemeriksaan dan pengamatan tolak ukur kuantitatif dan kualitatif
kelainan atau cacat bawaan pada masa kelahiran normal, dan akhirnya analisis serta evaluasi
hasil. Kecermatan dalam mengelola berbagai kegiatan tersebut, jelas merupakan penentu
kesahihan hasil ujinya (Donatus, 2005).

Pada uji ini dilakukan pemilihan hewan uji yang meliputi umur, keperawanan, berat
badan, keteraturan daur estrus, periode laktasi pendek, jumlah anak dan kerentanan terhadap
keteratogenikan. Daur estrus dibagi dalam 4 fase yaitu:

a. Pro estrus
stadium ini merupakan suatu tanda datangnya birahi dengan ciri infolusi fungsional
korpora lutea serta pembengkakan pra ovulasi volikel. Cairan terkumpul dalam uterus
dan uterus menjadi sangat kontraktil. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam. Pada
apus vagina dapat dilihat hanya sel-sel epitel dengan inti bulat. Pada akhir masa ini betina
mulai menerima pejantan.

b. Estrus
fase ini merupakan periode birahi sehingga kopulasi dimungkinkan terjadi pada saat ini
ditandai dengan sekresi estrogen yang meningkat sehingga dibawah pengaruh FSF,
selusin atau lebih folikel ovari yang tumbuh dengan cepat. Ovulasi terjadi selama fase
estrus dan didahului dengan perubahan histologik di dalam volikel yang menunjukkan
adanya luteinisasi awal. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam.pada apus vaginanya
dapat dilihat adanya sel epeitel cornified atau sel epitel yang terkornifikasi. Tikus betinna
siap menerima tubuh pejantan dan siap kawin.

c. Metestrus
stadium ini terjadi segera setelah ovulasi yang merupakan fase antara estrus dan
proestrus. Ovari mengandung corpora lutea dan volikel-volikel kecil, osterus
vaskularisasi serta kontraktilitasnnya. Pada apus vaginanya terlihata adanya sel pasir dan
sel epitel cornified. Durasi fase ini selama 21 jam. Pada masa ini tikus betina tidak
bersedia menerima tikus janntan.

d. Diestrus
stadium ini merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan terjadinyya regresi fungsional
corpora lutea, mengecilnya uterus, mukosa vagina menipis dan leukosit migrasi
melintasinya. Masa ini berlangsung kira-kira 57-60 jam. Pada apus vaginanya terlihat sel-
sel epitel berinti dan leukosit. Pada stadium ini tikus betina belum mau menerima
pejantan (Donatus, 2005).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji keteratogenikan adalah peringkat dosis,
frekuensi dan saat pemberian senyawa uji, dan pengamatannya. Dalam uji ini, sekurang –
kurangnya digunakan tiga peringkat dosis, yang berkisar antara dosis letal terhadap induk atau
semua janin dan dosis yang tidak memiliki efek tertogenik. Dosis tertinggi yang digunakan tidak
boleh menunjukkan pengaruh negative terhadap induk. Dosis teratogenik erat kaitannya dengan
factor genetic hewan uji. Menurut Palmer (1978), bila rasio dosis antara hewan uji dan manusia
belum diketahui, maka dosis teratogenik dapat diperkirakan dari harga LD50 induk (antara ¼
sampai 1/3 LD50 induk). Bila terdapat kesulitan dalam menentukan LD50 induk, maka dosis
teratogenik dapat dicari secara tentatif (misal 1x, 2x, 4x, dan seterusnya dosis manusia)
(Donatus, 2005).

Pemeriksaan dan pengamatan dalam uji keteratogenikan dimulai sejak diakhirinya masa
bunting hewan uij yakni 12-14 jam sebelum masa kelahiran normal, melalui bedah sesar.
Kriteria pengamatan yang dilakukan meliputi :

 Biometrika janin : angka kematian, angka resorpsi, angka cacat, berat plasenta, dan berat
jenis.
 Gross morfologi / cacat makroskopi
 Histopatologi / cacat mikroskopi dengan pembuatan preparat histology meliputi
pengecatan hematoksislin – eosin.
 Kelainan rangka dengan pengecatan alizarin’S
(Donatus, 2005)

DAFTAR PUSTAKA

Donatus, I.A., 2005, Toksikologi Dasar, Edisi II, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Dasar Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Lu, F.C., 1995, Basic Toxicology Fundamentals, Target Organ, and Birds, diterjemahkan oleh
Edi Nugroho, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko, Edisi II, 154
– 165, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Mutscler, E, dkk., 1994, Toksikologi Umum, Cetakan ke-3, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Palmer, A.K., 1978, Handbook of Toxicology, Vol. 4, Plenum Press, New York.

Stine and Brown, 1996, Principles of Toxicology, CRC Press LLC, USA.

Anda mungkin juga menyukai