Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL PENELITIAN

PERAN EKSTRAK TEMPE TERHADAP KADAR DNA RNA


DAN BOBOT ORGAN REPRODUKSI TIKUS PUTIH BETINA
(Rattus norvegicus) USIA 72 HARI

FIRMAN EKA PERMATA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Peran Ekstrak Tempe Terhadap Kadar Dna Rna dan
Bobot Organ Reproduksi Tikus Putih Betina (Rattus
Norvegicus) Usia 72 Hari
Nama
: Firman Eka Permata
NIM
: B04100143

Disetujui oleh

Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc AIF


Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet


Wakil Dekan

Tanggal Disetujui:

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

PENDAHULUAN

Error! Bookmark not defined.

Latar Belakang

Error! Bookmark not defined.

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Error! Bookmark not defined.

Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina

Fitoestrogen dalam Tempe

METODE

Waktu dan Tempat

Alat dan Bahan

Prosedur Penelitian

Parameter yang Diamati dan Teknik Pengukuran

Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan Prosedur Penelitian

Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem reproduksi melibatkan suatu substansi yang penting yaitu hormon
(Hafez et al. 2000). Organ reproduksi mulai berfungsi pada masa pubertas yang
ditandai siklus berahi dan ovulasi, juga terjadi perubahan-perubahan pada organ
kelamin sekunder. Pertumbuhan organ reproduksi yang kurang optimal pada masa
prapubertas akan berakibat buruk terhadap kinerja reproduksi hewan di kemudian
hari. Salah satu pertumbuhan organ reproduksi kurang optial yaitu uterus yang
tidak berkembang, miometrium atropi dan inaktif. Hal ini diakibatkan oleh
rendahnya kadar estrogen di masa prapubertas (Ganong 2003).
Tempe merupakan salah satu makanan tradisonal khas Indonesia. Menurut
Survei Sosial Ekonomi Nasional, rata-rata konsumsi tempe di Indonesia sekitar
7,091 kg/orang/tahun (BPS 2013). Tempe terbuat dari biji kedelai atau beberapa
bahan lain yang diproses melalui fermentasi. Kedelai, menjadi salah satu sumber
zat-zat asal tumbuhan yang baik untuk tubuh, seperti protein nabati, asam amino,
dan zat lainnya. Salah satu zat kimia asal tumbuhan disebut dengan fitokimia.
Polifenol, merupakan salah satu dari delapan kelas utama fitokimia. Secara
spesifik, polifenol memiliki dua golongan besar, yaitu fenolat dan flavonoid, yang
terkandung pada tempe merupakan golongan flavonoid khususnya isoflavon.
Fitoestrogen dapat digolongkan menjadi isoflavonoid dan lignan. Struktur
kimia fitoestrogen memiliki kemiripan dengan struktur kimia estrogen pada
mammalia (Sitasiwi 2009). Fitoestrogen merupakan suatu senyawa yang bersifat
estrogenik yang berasal dari tumbuhan. Menjadikan kedalai atau hasil olahannya
dapat digunkan sebagai terapi non-hormonal atau sebagai alternative untuk terapi
sulih hormon estrogen (Astawan 2009).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemberian ekstrak tempe
pada anak tikus umur 21 hari dengan dosis 0.25 gram per ekor per hari dan 0.5
gram per ekor per hari selama 28 hari terhadap perkembangan reproduksi tikus
betina saat berumur 72.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang efektivitas
pemberian fitoestrogen dalam tempe yang diberikan pada tikus betina umur 72
hari terhadap perkembangan reproduksinya. Data yang diperoleh diharapkan dapat
mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kedokteran dan
fisiologi reproduksi hewan maupun manusia.

2
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina
Pubertas terjadi sebagai akibat peningkatan sekresi gonadotropin releasing
hormone (GnRH) dari hipotalamus, diikuti oleh sekuens perubahan sistem
endokrin yang kompleks yang melibatkan sistem umpan balik negatif dan positif.
Selanjutnya, sekuens ini akan diikuti dengan timbulnya tandatanda seks sekunder,
pacu tumbuh, dan kesiapan untuk reproduksi (Batubara 2010). Salah satu hormon
gonadotropin yang berperan sebelum pubertas adalah estrogen. Menurut Hafez et
al. (2000), estrogen akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ
reproduksi, perkembangan sifat seksual sekunder, perilaku persiapan kawin,
persiapan uterus untuk implantasi (kehamilan) dan perkembangan kelenjar
mammae.
Vaginal opening merupakan tanda awal pubertas pada tikus betina dan
secara bersamaan terjadi ovulasi pertama. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
meningkatnya sekresi estradiol. Vaginal opening terjadi ketika tikus berumur 26
hari (Caligioni 2009). Siklus reproduksi dapat teramati dari fase-fase yang terjadi
pada ovarium dan fase-fase yang terjadi pada vagina. Dalam satu siklus
reproduksi, terjadi pergantian fase pada ovarium, yaitu fase folikuler dan fase
luteal. Pergantian fase pada vagina secara beruntun adalah fase proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus. Fase folikular berlangsung bersamaan dengan proestrus
dan estrus, sedangkan fase luteal berlangsung saat metestrus dan diestrus
(Campbel et al. 2004). Fase folikular terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating
Hormone (FSH) yang menyebabkan perkembangan beberapa folikel dalam
ovarium. Perkembangan folikel akan terus terjadi sampai dengan ukuran
maksimal untuk diovulasikan. Fase ini ditandai dengan tingginya kadar estrogen
yang dihasilkan folikel yang sedang berkembang dalam ovarium dan kemudian
akan memicu sekresi Luteinizing Hormone (LH) dan ovulasi. Setelah terjadi
ovulasi, akan terbentuk korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri dari sel-sel
teka granulosa yang mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel-sel lutein
atas pengaruh LH. Fase ini merupakan fase luteal yang ditandai dengan tingginya
kadar progesteron yang diperlukan untuk memelihara kebuntingan jika terjadi
fertilisasi. Apabila tidak terjadi fertilisasi atau kebuntingan, korpus luteum akan
beregresi dan kadar progesteron akan menurun (Guyton dan Hall 1997).
Sedangkan estrogen yang disekresikan saat fase folikular akan digunakan
untuk proliferasi sel-sel pada uterus sehingga pada awal fase folikular uterus
memiliki lapisan endometrium yang kaya pembuluh darah (Campbell et al. 2004).
Estrogen yang telah berikatan dengan protein reseptor di dalam sitoplasma sel
target akan bermigrasi ke dalam inti sel dan berikatan dengan DNA, kemudian
akan segera memulai transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom yang akhirnya
terjadi pembelahan sel (Guyton 1996). Hormon estrogen juga berpengaruh
terhadap perkembangan organ reproduksi yang akan mulai berfungsi pada saat
mencapai pubertas (Ganong 2003).

3
Fitoestrogen dalam Tempe
Secara menyeluruh tempe mengandung zat gizi yang cukup tinggi: 25%
protein (17 gram protein/100 gram), 5% lemak, 4% karbohidrat dan 66% air,
sumber vitamin B12 yang cukup tinggi. Di samping itu diketahui pula pemanfaatan
tempe kedelai sebagai sumber makanan rendah lemak jenuh, bebas kolesterol. Di
samping itu diketahui pula pemanfaatan tempe kedelai sebagai sumber makanan
rendah lemak jenuh, menurunkan kadar kolesterol, mudah dicerna, sumber utama
mineral, efek antibiotik dan stimulasi pertumbuhan, bebas toksin kimia dan dapat
terjangkau dari segi ekonomis. Kedelai sebagai bahan pangan secara alamiah
memiliki kandungan isofloavonic phyroestrogens (isoflavones, subkelas dari
flavonoid) yang cukup tinggi; mencapai 5.15.5 mg isoflavon total/gram protein
kedelai, tergantung jenis kedelai, area penanaman atau geografi dan proses
pengolahan (Alrasyid 2007). Menurut Suprihatin (2008), kandungan total
senyawa isoflavon pada tepung tempe sebesar 901.24 mg/kg BK (90.124 mg/100
g BK) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan total senyawa isoflavon tepung
kedelai sebesar 206.37 mg/kg BK (20.637 mg/100 g BK). Tingginya senyawa
isoflavon pada tepung tempe karena untuk pembuatan tepung tempe dibutuhkan
kedelai dalam jumlah yang lebih banyak daripada pembuatan tepung kedelai, dan
semakin banyak kedelai semakin banyak pula kandungan isoflavonnya.
Fitoestrogen dapat digolongkan menjadi isoflavonoid dan lignan.
Isoflavonoid dibagi menjadi tiga kelompok yaitu isoflavon, isoflavan dan
coumestan. Genistein dan daidzein merupakan contoh isoflavon, sedangkan equol
termasuk isoflavan dan cuomestral termasuk dalam coumestan. Coumestan
terdapat dalam biji bunga matahari dan kacang-kacangan (Sitasiwi 2009).
Cincin fenolat pada isoflavon merupakan struktur penting pada kebanyakan
komponen isoflavon yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor estrogen
(Winarsi 2005). Estrogen reseptor mamalia dikodekan oleh dua gen yaitu, alfa
untuk estrogen reseptor (ER ) dan beta untuk reseptor estrogen (ER )
(Klinge 2001). Reseptor estrogen terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis,
ginjal, epididimis, dan adrenal, sedangkan reseptor estrogen terdapat di ovarium,
prostat, paru-paru, kandung kemih, dan tulang. Pengaturan fungsi ovarium oleh
sumbu hipofisis-ovarium diperantarai oleh reseptor , sedangkan estrogen yang
disekresikan ke dalam folikel ovarium bekerja melalui reseptor estrogen beta
(Ganong 2003).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL)
dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Pebruari 2014
hingga Juli 2014.

4
Alat dan Bahan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus Rattus
novergicus galur Sprague Dawley betina. Selama penelitian, pakan dan minum
diberikan ad libitum. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kandang tikus plastik berukuran 30cmx20cmx12cm dengan penutup kawat kasa
yang dialasi sekam pada dasarnya, timbangan analitik, mortar, sonde lambung,
alat sentrifugasi darah, spoit 1 mL, spoit 3 mL, tabung effendorf, tabung reaksi,
pot organ, alat bedah (alas bedah, gunting, pinset, skalpel), kit DRG Estradiol
ELISA EIA-293 produksi DRG Instruments GmBH Germany dan
spektrofotometer Hitachi tipe U-2001. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ekstrak tempe dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro),
aquades, Neutral Buffered Formalin (NBF) dan eter. Dalam pengujian kadar RNA
digunakan TCA 5%, KOH 1 N, H2O, HCl 1 N, FeCl3 0.1%, orcinol dan standar
RNA. Dalam pengujian kadar DNA digunakan TCA 5% dan Genomic DNA Mini
Kit (Tissue).

Prosedur dan Pengamatan Penelitian


Tikus putih betina yang telah lepas sapih pada umur 21 hari dibagi
menjadi 3 kelompok percobaan dengan masing-masing tiap kelompok terdapat
tiga ekor tikus. Kelompok pertama sebagai kelompok kontrol yang tidak diberi
perlakuan, kelompok kedua sebagai kelompok perlakuan satu yang diberi ekstrak
tempe dengan dosis 0.25 gram/ekor/hari dalam 1 ml larutan, dan kelompok ketiga
sebagai kelompok perlakuan dua yang diberi ekstrak tempe dengan dosis 0.5
gram/ekor/hari dalam 1 ml larutan. Ekstrak tempe diberikan menggunakan sonde
lambung selama 28 hari.
Setelah tikus berumur 72 hari, tikus yang sedang mengalami fase estrus
dari masing-masing kelompok percobaan dinekropsi. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara pengambilan sampel ulas vagina dengan menggunakan cotton bud.
Nekropsi diawali dengan pembiusan tikus menggunakan larutan eter. Selanjutnya,
dilakukan pembukaan rongga abdominal untuk pengambilan ovarium dan uterus.
Tikus yang belum mengalami fase estrus dibiarkan dahulu hingga fase estrus tiba.
Bagan prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

5
Tikus putih betina lepas sapih usia 21 hari
(9 ekor)

Kontrol (K)
Tanpa perlakuan
(3 ekor)

Perlakuan 1
Diberi ekstrak tempe
0.25 gram/ekor/hari
(3 ekor)

Perlakuan 2
Diberi ekstrak tempe
0.5 gram/ekor/hari
(3 ekor)

Perlakuan selama 28 hari

Tikus dibiarkan dan dipelihara hingga


berumur 72 hari

Pemeriksan siklus reproduksi

Tikus dalam fase estrus disampling uterus


dan ovariumnya

Pengukuran parameter
(bobot basah, bobot kering, kadar DNA
dan RNA)

Gambar 1 Bagan prosedur penelitian

Parameter yang Diamati dan Teknik Pengukuran


Bobot organ
Organ ovarium dan uterus yang diperoleh ditimbang menggunakan
timbangan analitik untuk mendapatkan bobot basah. Ovarium dan uterus
kemudian dimasukkan ke dalam pot organ berisi larutan NBF untuk difiksasi.
Setelah difiksasi, organ ovarium dan uterus dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 50-60 oC. Organ yang telah kering ditimbang menggunakan timbangan
analitik untuk mendapatkan bobot kering dan kemudian digerus untuk analisis
konsentrasi DNA dan RNA.

6
Kadar air organ
Kadar air organ ovarium dan uterus dapat diperoleh dengan rumus :
Kadar air (%) =
Konsentrasi DNA organ
Metode penentuan konsentrasi DNA dilakukan berdasarkan instruksi
prosedur perusahaan Geneaid (PT Genetika Science Indonesia 2008). Sampel
ovarium dan uterus yang telah digerus dimasukkan ke dalam micropestle.
Selanjutnya ditambahkan TCA 5%, ditutup dan dimasukkan ke dalam penangas
air selama 20 menit. Sampel kemudian didinginkan selama 5 menit dan
disentrifugasi pada kecepatan 1500 rpm selama 20 menit. Supernatan dipisahkan
dan pelet yang diperoleh diekstraksi ulang seperti tata cara di atas. Supernatan
hasil ekstraksi pertama dan kedua dicampur, kemudian diencerkan sampai volume
15 mL dengan TCA 5% dan disimpan dalam refrigerator selama 24 jam.
Selanjutnya dilakukan pewarnaan dan pengujiaan konsentrasi DNA menggunakan
Genomic DNA Mini Kit (Tissue) dan dibaca menggunakan spektrofotometer
(Hitachi U-2001) dengan panjang gelombang 260 nm. Konsentrasi DNA
dinyatakan dalam satuan milligram per gram sampel. Perhitungan total
konsentrasi DNA dapat diperoleh dengan rumus :
Total kadar DNA = Konsentrasi DNA (mg/g sampel) x Bobot kering (mg)
Konsentrasi RNA organ
Metode penentuan konsentrasi RNA dilakukan berdasarkan metode yang
dimodifikasi dan digunakan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998). Sampel ovarium
dan uterus yang telah digerus dimasukkan ke tabung reaksi. Setelah itu,
ditambahkan sebanyak 1 mL KOH 1 N pada setiap sampel dan diletakkan pada
penangas air selama 5 jam pada suhu 37 oC. Selanjutnya tabung reaksi
ditempatkan dalam wadah yang berisi es dan ditambahkan 100 l HCl 6 N. Dalam
tempat yang sama, 5 mL TCA 5% ditambahkan sehingga terbentuk larutan putih
keruh. Larutan ini kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10
menit. Supernatan dipisahkan pada tabung 15 mL dan disimpan. Pelet yang
diperoleh diekstraksi ulang dengan 5 mL TCA 5% dan kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil ekstraksi pertama
dan kedua kemudian diencerkan sampai volume 15 mL dengan TCA 5%.
Selanjutnya dilakukan pewarnaan dan pengujian kadar RNA dengan
mempersiapkan tabung reaksi yang dilabel untuk blank, standar, dan sampel.
Masing-masing tabung reaksi diisi reagan FeCl3 0.1 % dan 100 l orcinol 10.75%
hingga berwarna kuning. Selanjutnya semua tabung ditutup dengan aluminium foil
dan diletakkan pada penangas selama 30 menit. Pemanasan diusahakan merata
untuk setiap tabung sehingga larutan akan berwarna hijau. Konsentrasi RNA
dalam tabung dibaca dengan spektrofotometer (Hitachi U-2001) dengan panjang
gelombang 280 nm. Konsentrasi RNA dinyatakan dalam satuan milligram per
gram sampel. Perhitungan total kadar RNA dapat diperoleh dengan rumus :
Total kadar RNA = Konsentrasi RNA (mg/g sampel) x Bobot kering (mg)

7
Analisis Data
Hasil pengukuran bobot basah, bobot kering, kadar air dan kadar DNA dan
RNA ovarium dan uterus dinyatakan dengan rataan simpangan baku. Perbedaan
antar kelompok akan diuji secara statistika dengan uji ANOVA.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007-2013.
Jakarta (ID): Badan Pusat Statitistik.
Alrasyid Harun. 2007. Peran Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan
Komorbid. Majalah Kedokteran Nusantara. 40(3): 203-210.
Astawan M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Batubara Jose RL. 2010. Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Sari
Pediatri. 12(1): 21-29.
Caligioni Claudia S. 2009. Assessing Reproductive Status/Stages in Mice.
Current
Protocols
in
Neuroscience.
A.4I:
1-8.
Doi:
10.1002/0471142301.nsa04is48
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biology. Ed ke-3. California (USA):
Benjamin Cummings.
Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusuma H,
penerjemah; Djauhari, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Medical
Physiology.
Genetika Science Indonesia, PT. 2008. Genomic DNA Mini Kit (Tissue) Protocol
V. 04.09.12. Jakarta, Indonesia.
Guyton AC. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human
Physiology and Mechanism of Disease). Ed ke-3. Jakarta (ID): EGC.
Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9.
Setiawan I, Tengadi Ka, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta
(ID): EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology 9th Ed.
Hafez ESE, Jainudeen MR, Rosnina Y. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed.
ke-3. Philadelphia (USA): Lippincott Williams & Wilkins.
Klinge CM. 2001. Estrogen receptor interaction with estrogen response elements.
Nucleic Acids Res. 29 (14): 2905-2919.
Manalu W dan Sumaryadi MY. 1998. Maternal serum progesterone concetration
during gestation and mammary gland growth and development at parturirion
in javanese thin-tail ewes with carrying a single or multiple fetuses. Small
Rum Res. 27: 131-136.
Sitasiwi Agung Janika. 2009. Efek Paparan Tepung Kedelai dan Tepung Tempe
sebagai Sumber Fitoestrogen terhadap Jumlah Kelenjar Endometrium Uterus
Mencit (Mus musculus L). Jurnal Anatomi Fisiologi. 17(1).
Suprihatin. 2008. Optimalisasi kinerja reproduksi tikus betina setelah pemberian
tepung kedelai dan tepung tempe pada usia prapubertas [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Winarsi. 2005. Isoflavon, Berbagai Sumber, Sifat dan Manfaatnya pada Penyakit
Degeneratif. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai