Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH GANGGUAN REPRODUKSI

RETENSI PLASENTA

Disusun Oleh :

Septi Nurcholida Sari, SKH B9404202114


Hikmah Nuradilah, SKH B9404202121

Kelompok I PPDH Periode II Tahun Ajaran 2020/2021

Koordinator MK:
Prof Drh Ni Wayan K Karja, MP, PHD

Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP MSc

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
PENDAHULUAN DAN DEFINISI
Retensi plasenta (retensio secundinae) merupakan suatu kondisi dimana
terjadi kegagalan dalam mengeluarkan seluruh atau sebagian plasenta dari uterus
dalam waktu 6-24 jam setelah pengeluaran fetus (Amin et al. 2013; Yusuf 2016).
Sedangkan menurut Taylor et al. (2010), retensi plasenta adalah kegagalan
keluarnya plasenta dalam 12 jam setelah pengeluaran fetus. Normalnya membran
fetus akan lepas dari membran uterin induk dalam kurun waktu 3-8 jam post partus
(Biner et al. 2015; Tucho dan Ahmed 2017).
Kondisi retensi plasenta dapat menyebabkan gangguan reproduksi lainnya
seperti peradangan uterus, demam, kehilangan berat badan, dan dapat
memperpanjang periode calving interval (Abdisa 2018). Retensi plasenta juga dapat
menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak, karena sapi yang
terinfeksi lanjut akan mengalmi penurunan produksi dan reproduksi (Moreki et al.
2012). Retensi plasenta akan memperpanjang waktu proses involusi uteri. Sapi yang
mengalami retensi plasenta memiliki jarak pelayanan inseminasi buatan (IB) pertama
setelah melahirkan jadi lebih lama dibandingkan sapi dengan kelahiran normal. Sapi
yang mengalami gangguan reproduksi membutuhkan waktu yang lebih panjang
dengan kata lain efisiensi reproduksi menurun (Gaafar et al. 2010).
ETIOLOGI
Sapi memiliki plasenta dengan tipe kotiledonary, dimana kotiledon dari fetus
berikatan dengan karunkula dari induk sehingga membentuk placentom (Eiler dan
Fecteau 2007). Ada dua faktor penting untuk pengeluaran plasenta selama proses
kelahiran. Pertama yaitu harus ada pelepasan antara kotiledon dan karunkula. Kedua,
harus ada kekuatan ekspulsif yang cukup dari kontraksi uterus untuk memulai
pelepasan lebih lanjut dan menyebabkan plasenta yang terlepas tidak mengalami
obtruksi mekanis (Jackson 2004).

Gambar 1. Struktur dari placenta dan perlekatan antara kotilen-karunkula


(Abdisa 2018)

Kegagalan mekanisme pelepasan kotiledon dari fetus terhadap kripta


karunkula induk setelah partus (melahirkan) menjadi penyebab utama terjadinya
retensi plasenta (Hemayatul 2012). Retensi plasenta dapat terjadi dikarenakan
defisiensi hormon yang menstimulir kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperti
prostaglandin, oksitosin, dan estrogen. Prostaglandin dan oksitosin memainkan
peranan penting dalam kontraksi miometrium. Kegagalan kontraksi dari
miometrium menyebabkan gagalnya membran fetus terlepas dari karunkula induk.
Pada saat akan partus, induksi kortisol fetus dari plasenta menginduksi terjadinya
sintesis progesteron menjadi estrogen. Peningkatan estrogen akan meransang
kontraksi uterus dengan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitoksin selama
kebuntingan (Fuchs et al. 2001).
Faktor risiko potensial retensi plasenta lainnya yaitu, adanya gangguan
dalam proses partus seperti torsio uteri, distokia, abortus (Gaafar et al. 2010). Faktor
yang dipengaruhi oleh fetus kembar dan fetus dengan bobot lahir lebih dari 40 kg.
Fetus yang memiliki bobot yang lebih berat dan ukuran yang lebih besar dapat
menyebabkan adanya tekanan dari fetus terhadap plasenta sehingga perlekatan
menjadi lebih kuat (Deyab 2000). Faktor dari induk yaitu bobot badan induk saat
partus yang terlalu berat (BCS >3,5). Kejadian retensi plasenta meningkat seiring
dengan peningkatan bobot badan sapi induk akibat bertambahnya jaringan adiposa
yang dapat menyebabkan terperangkapnya hormon sex steroid (Gaafar et al. 2010).
Defisiensi nutrisi juga dapat memengaruhi pelepasan plasenta oleh sebab itu penting
untuk menjaga keseimbangan pakan, mineral, dan vitamin. (Spears dan Weiss
2008). Kondisi kurangnya mineral seperti Ca, P, Fe, Zn, Se dan vitamin A D E yang
terganggu dapat merusak kekebalan umum dan juga kekebalan seluler sehingga
dapat meningkatkan risiko retensi plasenta (Hehenbenger et al. 2015). Kurangnya
exercise (sapi tidak digembala) dapat menyebabkan otot uterus tidak kuat untuk
berkontraksi (Gunay et al. 2011).

GEJALA KLINIS

Gejala klinis dari retensi plasenta (retensio secundinae) yang paling jelas
terlihat adalah dapat ditemukan plasenta yang menetap pada vagina atau uterus,
bahkan menutup pintu saluran urin sehingga induk tidak dapat atau kesulitan urinasi
Hal ini bisa jadi menyebabkan tidak ditemukan plasenta pada lingkungan tempat
melahirkan (Jesse et al. 2016). Selain itu dapat juga ditemukan keluarnya cairan
berbau busuk dan kecoklatan dari vulva. Plasenta vitalis secara progresif dapat
membusuk, terkontaminasi lantai kandang dan feses, kemudian diikuti metritis bila
terjadi infeksi oleh mikroorganisme. Gejala lainnya yaitu respirasi cepat, suhu badan
meningkat (demam), pulsus meningkat, vulva bengkak dan merah, diare, serta nafsu
makan dan produksi susu menurun (Hemayatul 2012).
Gambar 2 Retensi plasenta pada sapi (Affandy et al. 2007)

PREDISPOSISI

Salah satu predisposisi retensi plasenta pada sapi adalah tidak adanya program
manajemen pakan yang baik. Studi kasus terhadap 5 ekor sapi perah post partus yang
mengalami retensi plasenta menunjukan rendahnya konsentrasi Ca dan Mg pada
pemeriksaan laboratoris, diduga akibat manajemen pakan yang kurang baik pada
periode transisi (Wulansari et al. 2018). Retensi plasenta pada sapi perah kejadiannya
bisa mencapai 3-14% dari kelahiran normal (Drillich et al. 2006; Hur et al. 2011).
Faktor predisposisi lain yang dapat menyebabkan retensi plasenta meliputi abortus,
distokia, fetotomi, operasi caesar, hipocalsemia, kelahiran kembar, kondisi
metabolisme seperti defisiensi selenium dan vitamin E ( Beagley et al. 2010).

DIAGNOSA

Retensio plasenta dilapangan didiagnosa berdasarkan sinyalmen dan


anamnesis yang diperoleh dari pemilik hewan atau peternak, gejala klinis, dan
pemeriksaan klinis. Berdasarkan anamnesis biasanya plasenta belum keluar lebih dari
8 jam setelah melahirkan. Palpasi intravaginal dilakukan untuk memastikan penyebab
terjadinya retensi plasenta dan juga menentukan seberapa parah kejadian retensio
plasenta (Affandy et al. 2007)

PROGNOSA

Pada kasus tanpa komplikasi, angka kematian sangat sedikit dan tidak melebihi
1-2%. Apabila penanganan cepat dan dilakukan secara tepat, maka kesuburan sapi
yang bersangkutan tidak terganggu serta dapat berproduksi kembali (Toelihere 1985).

DIFERENSIAL DIAGNOSA

Pada sapi perah bunting, umur berpengaruh terhadap terjadinya retensi


plasenta. Kejadian retensi plasenta meningkat pada usia sapi perah tua. Sapi yang
lebih tua lebih berisiko terhadap rendahnya kadar kalsium dalam darah (Freselia et al.
2016). Selain itu, kondisi hipocalsemia pada saat partus sampai beberapa hari setelah
partus akan mempengaruhi fungsi ovarium melalui aksi blok pada kelenjar pituitary
(Yasothai 2014). Hipokalsemia dapat mengakibatkan kegagalan induk mengeluarkan
plasenta karena kelemahan otot atau hilangnya kontraksi uterus. Rendahnya sekresi
PGF2α, oksitosin dan konsentrasi Ca serum yang berperan mengatur kontraksi uterus
akan mengakibatkan terjadinya retensi plasenta (Sharma et al. 2015; Yanuartono et
al. 2016)

PENAGANAN DAN TERAPI

Penanganan kasus retensi plasenta bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa


plasenta dari saluran reproduksi, karena untuk menghindari terjadinya infertilitas
pada induk. Metode penanganan retensi plasenta pada sapi yaitu dapat dilakukan
pengeluaran plasenta secara manual (manual removal) (Drillich et al. 2006).
Pengeluaran plasenta yang tertahan secara manual adalah metode yang paling
mumum dilakukan yaitu dengan cara melepaskan pertautan antara kotiledon dan
karankula, maka plasenta dapat ditarik keluar namun tidak direkomendasikan karena
bisa menjadi sumber infeksi dan infertilitas induk jika penanganan yang dilakukan
kurang sempurna (tidak legeartis). Pengeluaran plasenta secara manual dengan
melepaskan pertautan kotiledon dan karunkula dapat menimbulkan risiko kerusakan
pada endometrium, trauma, hemoragi, hematom, dan mensuppresi fagositosis leukosit
di uterus dan mendukung terjadinya invasi bakteri (Fricke 2001; Uznur 2017).
Hormon yang digunakan untuk mengatasi retensi plasenta salah satunya adalah
oksitosin. Oksitosin memiliki fungsi untuk meransang kontraksi yang kuat pada
dinding uterus sehingga mempermudah dalam proses kelahiran, oksitosin juga
berfungsi mengeluarkan sisa plasenta dalam uterus, terutama pada kasus retensi
plasenta yang dipengaruhi faktor atoni uteri (Caldwell dan Young 2006). Penyuntikan
hormon oksitosin dilakukan secara subkutan atau intra-muskular dengan dosis 20 IU
untuk hewan besar seperti sapi dan kerbau, dengan pemakaian berulang 3-4 kali
dalam satu hari. Oksitosin mempunyai waktu paruh yang singkat, yaitu 2-5 menit,
oleh sebab itu pemberiannya harus diulang, sehingga pelepasan plasenta dapat lebih
efektif (Thresia 2004). Menurut Raheem et al. (2016) dalam kasus yang ia tangani,
sapi yang mengalami retensi plasenta di injeksi estrogen 10 mg/kg secara intra-
muskular kemudian diberi oksitosin 20 IU secara intra-muskular, enam jam setelah
injeksi oksitosin plasenta berhasil keluar.
Terapi antibiotik sistemik diyakini bermanfaat dalam kasus retensi plasenta
yang disertai demam (Risco dan Harnandez 3003). Oksitetrasiklin 25 mg/kg BB yang
bersifat long acting (LA) di injeksikan secara intra-muskular. Selain itu, antibiotik
tetrasiklin biasa digunakan untuk pengobatan intrauterin. Infus intrauterine harian 5 g
oksitetrasiklin selama retensi plasenta dapat mengurangi kejadian demam dari sekitar
50% pada sapi dengan retensi plasenta, Namun, penggunaan antibiotik intrauterine ini
tidak menyebabkan perlepasan membran fetus lebih awal sehingga tidak dapat
mencegah penurunan kesuburan (Beagley et al. 2010). Pemberian antibiotik
berspektrum luas seara intrauterin diperlukan untuk mencegah terjadinya metritis dan
infeksi sekunder oleh bakteri. Penggunaan antibiotik berbentuk bolus yang
mengandung sulfadiazine dan trimethoprim umum digunakan untuk terapi retensi
plasenta pada sapi perah untuk mengeliminasi bakteri uterus (Gilbert et al. 2002).
Salah satu formula khusus antibiotik berbentuk bolus adalah COLIBACT® bolus,
merupakan kombinasi Sulfadiazine dan Trimethoprim dalam bentuk bolus yang
sinergis dengan daya bakterisidal yang sangat efektif terhadap bakteri gram positif
maupun gram negatif. Dosis trimethoprim + sulfadiazine pada sapi adalah 16 mg/kg
BB (Papich 2011).
Adapun metode lainya yaitu dengan cara pemberian enzim kolagenase yang
membantu dalam pemecahan ikatan kotiledon-karunkula. injeksi 1 L saline yang
mengandug 200.000 IU kolagenase bakterial ke dalam arteri umbilikalis yang ada di
plasenta yang retensi. Namun metode ini jarang dilakukan karena mahal dan sulit.
Normalnya kolagenase akan di sekresikan oleh plasenta selama proses kelahiran yang
menyebabkan melemahnaya ikatan mekanis antara kotiledon dan karunkula, yang
kemudin akan terlepas oleh adanya kontraksi uterus dan kompresi plasentom hingga
terjadilaah pemisahan dua bagian (kotiledon fetus dan karunkula induk) (Hafez dan
Hafez 2006).
PENCEGAHAN

Pengendalian retensi plasenta perlu difokuskan pada pengendalian faktor


penyebab seperti aborsi, distokia, defisiensi vitamin dan mineral. Kontrol pemberian
pakan dan kondisi yang baik selama periode kering dan menghindari sapi yang
menjadi terlalu gemuk juga akan mengurangi kejadian retensi plasenta (Zhang et al.
2002; Melendez et al. 2004). Pemberian suplementasi antioksidan saat prepartum,
yaitu vitamin E (DL-tokoferol asetat 1100 IU) dan Se (sodium selenite 30 mg)
dengan injeksi intra-muscular dengan pemberian tunggal pada prepartum 3 minggu,
digunakan sebagai dosis profilaksis untuk menghindari retensi plasenta pada sapi
(Gupta et al. 2005) dapat membantu mengurangi resiko terjadinya retensi plasenta
(Bourne et al. 2007; Allison dan Laven 2000).
Selain itu, pencegahan dari retensio plasenta juga dapat dilakukan dengan
manajemen nutrisi yang baik dan memenuhi syarat. Pakan yang memenuhi syarat dan
berkualitas adalah pakan yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin,
mineral, dan air. Pakan tersebut bisa disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat
yang seimbang (Sandi dan Purnama 2017). Pemberian pakan tinggi Ca, P, dan
vitamin D untuk menegah hipokalsemia. Kondisi kandang dengan Sirkulasi udara
yang baik menjadi salah satu faktor agar hewan tidak merasa stress. Kandang
disesuaikan dengan jenis ternak, ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tersedia
ruang (jarak) yang cukup bagi ternak. Pembersihan kandang dan pembersihan ternak
dilakukan untuk mencegah adanya bibit penyakit karena sangat rawan bagi
tumbuhnya bibit penyakit dan terjadinya kontaminasi (Sari et al. 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Abdisa T. 2018. Mechanism of retained placenta and its treatment by plant medicine
in ruminant animals in Oromia, Ethiopi. Journal of Veterinary Medicine and
Animal Health. 10(6): 135-147.
Affandhy L, Pratiwi WC, Ratnawati D. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Allison RD, RA Laven. 2000. Effect of vitamin e supplementation on the health and
fertility of dairy cows: a review. Vet Record. 703-708.
Amin RUI, Bhat GR, Ahmad A, Swain PS, Aruna G. 2013. Understanding
phatophysiology of retained placenta and its management in cattle a review.
Veterinary Clinical Science. 1:1-4.
Beagley JC, Whitman KJ, Baptiste KE, Scherzer J. 2010. Physiology and treatment
of retained fetal membranes in cattle. Journal Veterinary Internal Medicine. 24:
261-268.
Biner B, Bischoff M, Klarer F, Suhner F, Hüsler J, Hirsbrunner G. (2015). Treatment
of retained fetal membranes: comparison of the postpartum period after routine
treatment or routine treatment including an additional phytotherapeutic
substance in dairy cattle in Switzerland. Open Journal of Veterinary Medicine.
5(04): 93-99.
Bourne N, Laven R, Wathes DC. 2007. A meta-analysis of the effects of vitamin e
supplementation on the incidence of retained fetal membranes in dairy cows.
Theriogenology. 67: 494-501.
Caldwell HK, Young W S. 2006. Oxytocin and Vasopressin: Genetics and
Behavioral Implications. Di dalam: Lim R, editor. Handbook of
Neurochemistry and Molecular Neurobiology. Ed ke-3. New York (USA):
Springer. hlm 573-607.
Deyab. 2000. The effect of different treatment upon the post partum involution of
uterus and retention of the placenta n dairy cows. The Veterinary Medical
Review. 1997 (1): 36-43.
Drillich M, Reichert U, Mahistedt M, Heuwieser W. 2006. Comparision of two
strategies for systemic antibiotic treatment of dairy cows with retained fetal
membranes: preventive versus selective treatment. J Dairy Sci. 89(5):1502-
1508.
Eiler H, Fecteau KA. 2007. Retained placenta. In Current Therapy in Large Animal
Theriogenology (Second Edition). Philadelphia (USA): WB Sanders.
Freselia EO, Soeharsono, Wurlina. 2016. Hubungan umur terhadap kasus retensio
placenta sekundinarum dan dampaknya terhadap birahi dan kebuntingan.
Ovozoa. 5(1): 25-28.
Fuchs AR, Ivell R, Ganz N, Fields MJ, Gimenez T. 2001. Secretion of oxytocin in
pregnant and parturient cows: corpus luteum may contribute to plasma oxytocin
at term. Biology of Reproduction. 65(4): 1135-1141.
Gaafar HMA, Shamiah SHM, Shitta AA, Ganah HAB. 2010. factors affecting
retention of placenta and its influence on postpartum reproductive performance
and milk production friesin cows. Slovak Journal of Animal Science. 43(1): 6-
11.
Gilbert ET, Esteras O. 2002. Retained fetal placenta and dry cow theraphy.
J.Vet.Med. 10(11): 277-282.
Gunay A, Gunay U, Orman A. 2011. Effects of retained placenta on the fertility in
treated dairy cows bulg. J Agric Sci. 17(1): 126-131.
Gupta S. Gupta H, Soni J. 2005. Effect of vitamin E and selenium supplement on
contractions of plasma cortisol and erytrocyt lipid peroxides and incidence of
retained fetal membranes in crossbred dairy cattle. Theriogenology. 64: 1273-
1286.
Hafez ESE, Hafez B. 2006. Reproduction in Farm Animals Seven edition.
Edinburgh(UK): Blackwell Publishing Limited.
Hanafi EM, Ahmed WM, Elkhdry HH, Zabaal M. 2011. An overview on placental
retention in farm animals. Middle- East Jornal of Scintific Research. 7(5): 643-
651.
Hehenberger EM, Doherr MG, Bodmer M, Steiner A, Hirsbrunner G. 2015.
Diagnosis and therapy of retained fetal membranes, puerperal metritis, and
clinical endometritis in cattle: results of the online-survey among swiss
practitioners. ii. puerperal metritis and clinical endometritis. Schweizer Archiv
fur Tierheilkunde. 157(9): 503- 512.
Hemayatul. 2012. Retained Placenta of Dairy Cows Associated With Managemental
Factors in Rajashahi, Bangladesh. Departement of Animal Husbandary and
Veterinary Science. Rajashi (BD): University of Rajashahi.
Hur TY, Jung YH, Kang SJ, Choe CY, Kim UH, Ryu, IS, Son DS, Park SJ, Kim IH.
2011. The impact of the duration of retained placenta on postpartum diseases
and culling rates in dairy cows. J Vet Res. 51(3): 233-237.
Jakson P. 2004. Handbook of Veterinary Obstetic. Edinburg (UK): Saunders
Jesse FFA, Chung ELM, Abba Y, Sadiq MA, Saharee AA. 2016. A case of retained
placenta in a dairy cow. Livestock Research International. 4(4): 125-127.
Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Banda Aceh (ID): Universitas Syiah
Kuala.
Melendez P, Donovan GA, Risco CA, Goff JP. 2004. Plasma mineral and energy
metabolite concentrations in dairy cows fed an anionic prepartum diet that did
or did not have retained fetal membranes after parturition. American Journal of
Veterinary Research. 65(8): 1071–1076.
Munawaroh L, Humaidah N, Suryanto D. 2010. Studi kasus berulang pada sapi perah
peranakan frisian holand wilayah kerja petugas kesehatan hewan batu. Jurnal
Dinamika Rekasatwa. 3(2):113-117.
Papich MG. 2011. Saunders Handsbook of Veterinary Drugs Third Edition Small and
Large Animal. Elsevier Saunnders.
Raheem KA, Uchechukwu NVS, Odirichukwu E, Onyegbulam O. 2016. Placenta
retention in the cow: report of three cases. Sokto Journal of veterinary Science.
14. (2): 72-76.
Sandi S, Purnama PP. 2017. Manajemen perkandangan sapi potong di Desa Sejaro
Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Perternakan Sriwijaya.
6(1):12-19.
Sari CE, Hartono M, Suharyati S. 2016. Faktor-faktor yang mempengaruhi service
per conception sapi perah pada perternakan rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal
Ilmiah Perternakan Terpadu. 4(4): 313-318.
Sharma BL, Bhatt VK, Jain SK, Shukla SN, Shukla MK. 2015. Peri-parturient
metabolic profile in murrah buffaloes with cervico-vaginal prolapse. Indian
Journal Of Animal Research. 49 (6): 770 – 773.
Spears JW, Weiss WP. Role of antioxidants at trace element in health and immunity
of transtition diry cows. The Vet J. 17620081: 70-76.
Toelihere MR. 1985. Insiminasi Buatan Pada Ternak. Bandung (ID): Angkasa.
Taylor F, T Brazil and M Hillyer, 2010. Ethnoveterinary Practices in the Treatment
retention of placenta in Kwara State, Nigeria. J Environm Issues Agric Develop
Countr. 5(1): 51.
Tucho TT, Ahmed WM. 2017. Economic and reproductive impacts of retained
placenta in dairy cows. Journal of Reproduction and Infertility. 8(1):18-27.
Uznur A Q I. 2017. Penanganan kasus (Retensio Sekundinae) pada sapi perah
(Fresian Holstein) di Kecamatan Pangalengan, Bandung Selatan. [tugas akhir].
Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Wulansari R, Esfandiari A, Widhyarti S D, Choliq C, Mihardi A P, Maylina L. 2018.
Studi Kasus: Profil Mineral Makro Pada Sapi Perah Yang Mengalami Retensi
Plasenta di Kunak Kabupaten Bogor. Di dalam: Indrawati A, Priosoeryanto B
P, Murtini S, Tiuria R, Idris S, Sailasuta A, editor. To Serve Mankind Through
Animal Kingdom. Proc. of the 20th FAVA CONGRESS & The 15th KIVNAS
PDHI; 2018 Nov 1-3; Bali, Indonesia. Jakarta (ID): Indonesian Veterinary
Medical Association. hlm 288-289.
Yanuartono, Nururrozi A, Soedarmanto, Indarjulianto, Purnamaningsih H. 2016. The
role of macrominerals on ruminants reproduction. Jurnal Sain Veteriner. 3(2):
155-165.
Yasothai R. 2014. Review Article: Importance of minerals on reproduction in dairy
cattle. International Journal of Science, Environment, and Technology. 3(6):
2051 – 2057.
Yusuf JJ. 2016. A review on retention of placenta in dairy cattles. International
Journal of Veterinay Science. 5(4): 200-207.
Zhang WC, Nakao T, Kida K, Moriyoshi M, Nakada K. 2002. Effect of nutrition
during pregnancy on calf birth weights and viability and fetal membrane
expulsion in dairy cattle. Journal of Reproduction and Development, 48(4),
415–415. Yusuf JJ. 2016. A Review on Retention of Placenta in Dairy Cattles.
International Journal of Veterinay Science. 5(4): 200-207

Anda mungkin juga menyukai