Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESAREA PADA POST TERM

A. DEFINISI
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan saraf rahim
dalam keadaan utuh serta berat diatas 500 gram (Prawirohardjo, 2005).
Kehamilan post term adalah kehamilan yang berlangsung melebihi 42
minggu yaitu kehamilan memanjang, kehamilan lewat bulan, kehamilan
posterm dan pascamaturitas. Kehamilan lewat bulan merupakan suatu kondisi
antepartum yang dibedakan dengan sindrom pasca maturitas dan merupakan
kondisi neonatal yang didiagnosis setelah pemerikasaan bayi baru lahir.
Definisi standar untuk kehamilan lewat bulan adalah 294 hari setelah hari
pertama menstruasi terakhir atau 280 hari setelah ovulasi. Istilah lewat bulan
(postdate) digunakan karena tidak menyatakan secara langsung pemahaman
mengenai lama kehamilan dan maturitas janin. (Varney H, 2011).

B. ETIOLOGI
Beberapa kelainan/ hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal/ spontan, misalnya plasenta previa
sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi chepalo pelvic, ruptur uteri
mengancam ,partus lama, partus tidak maju, pre eklampsi, distorsia serviks,
post term dan malpresentasi janin kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya
suatu tindakan pembedahan yaitu sectio caesarea (Winkjosastro, 2008). Pada
keadaan post term, etiologinya masih belum pasti. Faktor yang dikemukakan
adalah hormonal yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun
kehamilan telah cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin
berkurang (Mochtar, Rustam, 2010). Diduga adanya kadar kortisol yang
rendah pada darah janin. Selain itu, kurangnya air ketuban dan insufisiensi
plasenta juga diduga berhubungan dengan kehamilan lewat waktu. Fungsi
plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun
setelah 42 minggu, terlihat dari menurunnya kadar estrogen dan laktogen
plasenta. Terjadi juga spasme arteri spiralis plasenta. Akibatnya dapat terjadi
gangguan suplai oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin
intrauterin. Sirkulasi uteroplasenta berkurang sampai 50%.Volume air ketuban
juga berkurang karena mulai terjadi absorpsi. Keadaan-keadaan ini merupakan
kondisi yang tidak baik untuk janin. Risiko kematian perinatal pada bayi
postmatur cukup tinggi : 30% prepartum, 55% intrapartum, 15% postpartum.
Ketika usia kehamilan melewati usia 42 minggu plasenta akan mengecil
dan fungsinya menurun. Mengakibatkan kemampuan plasenta untuk
menyediakan makanan semakin berkurang dan janin akan menggunakan
persediaan lemak dan karbohidratnya sendiri sebagai sumber energy. Sehingga
laju pertumbuhan janin menjadi lambat. Jika plasenta tidak dapat
menyediakan oksigen yang cukup selama persalinan, bisa terjadi gawat janin,
sehingga janin menjadi rentan terhadap cedera otak dan organ lainnya. Cedera
tersebut merupakan resiko terbesar pada seorang bayi post-matur dan untuk
mencegah terjadinya hal tersebut, banyak dokter yang melakukan induksi
persalinan maupu tindakan terakhir yaitu operasi sectio caesarea jika suatu
kehamilan telah lebih 42 minggu.
Menurut Sarwono Prawirohardjo dalam bukunya (Ilmu Kebidanan, 2013)
faktor penyebab kehamilan postterm adalah:
1) Pengaruh Progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan
kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses
biomolekuler pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus
terhadap oksitosin , sehingga terjadinya kehamilan dan persalinan postterm
adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron.
2) Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm
memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis
memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan
oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan
lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebabnya.
3) Teori Kortisol/ACTH Janin
Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda” untuk dimulainya
persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol
plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen,
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin.
Pada cacat bawaan janin seperti anansefalus, hipoplasia adrenal janin, dan
tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol
janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung
lewat bulan.
4) Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebabnya.
5) Heriditer
Beberapa penulis menyatakan bahwa seseorang ibu yang mengalami
kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat
bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (2010) seperti dikutip
Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seseorang ibu mengalami
kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar
kemungkinan anak perempuannya mengalami kehamilan postterm.

C. PATOFISIOLOGI
Penyebab dari pada terjadinya bayi lahir post term adalah faktor hormonal,
yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup
bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang (Mochtar,
Rustam, 1999). Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan
pembedahan yaitu sectio caesarea (Winkjosastro, 2008). Sectio caesaria
adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka perut dan
dinding uterus atau vagina atau suatu histerektomi untuk melahirkan janin dari
dalam rahim. Dari sini klien mengalami adaptasi fisiologi dan psikologi. Pada
adaptasi fisiologi seperti terputusnya kontiunitas yang dapat menyebabkan
nyeri (Prawirohardjo, 2005). Dalam proses operasinya dilakukan tindakan
anastesi yang menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan
menimbulkan masalah hambatan mobilitas fisik. Adanya kelumpuhan
sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul
masalah defisit perawatan diri (Winkjosastro, 2008).
Kurangnya infromasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada ibu. Selain
itu dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan,
pembuluh darah, dan saraf-saraf disekitar daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan
rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi
akan ditutup dan menimbulkan luka post op yang bila tidak dirawat dengan
baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi (Winkjosastro, 2008).
Komplikasi, pendarahan, dan volume darah menurun dapat menyebabkan
resti kurang volume cairan serta jalan masuk organisme dapat menyebabkan
resti infeksi serta Hb turun, O2 dan nutrisi ke sel berkurang dapat
menyebabkan intoleransi aktivitas, efek anestesi menyebabkan peristaltik usus
menurun serta apabila belum flaktus tidak boleh makan minum akibatnya
pemenuhan nutrisi bertahap dapat menyebabkan terjadinya perubahan pola
makan yang akan menyebabkan munculnya konstipasi. Penurunan hormon
estrogen dan progesteron dapat menyebabkan multimulasi hipofisis anterior
dan posterior menimbulkan sekresi prolaktin yang menimbukan laktasi yang
menyebabkan pengeluaran ASI tidak lancar yang dapat menimbulkan
pembengkakan payudara (Manuaba, 2001).
Adaptasi psikologi itu ada taking in, taking hold dan letting go. Kalau
taking in dapat menyebabkan ketergantungan yang mengakibatkan mobilitas
fisik menurun yang dapat menyebabkan gangguan perawatan diri sedangkan
taking hold dan letting go kurangnya informasi yang dimiliki pasien tentang
perawatan bayi dan cara menyusui bayi yang benar menyebabkan kurang
pengetahuan tentang perawatan bayi dan cara menyusui bayi yang benar
(Manuaba, 2001).

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis sectio ceasarea menurut Dongoes (2001), antara lain:
1) Nyeri akibat adanya luka pembedahan.
2) Adanya luka insisi pada bagian abdomen.
3) Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus.
4) Aliran lochea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak
banyak).
5) Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 ml.
6) Emosi labil/ perubahan emosional dengan mengekspresikan
ketidakmampuan menghadapi situasi baru.
7) Terpasang kateter urin.
8) Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar.
9) Pengaruh anastesi dapat menimbulkan mual dan muntah.
Manifestasi klinis yang mungkin terjadi pada post term antara lain:
1) Volume cairan amnion mengalami penurunan sekitar 300 ml.
2) Berkurangnya berat badan Ibu (lebih dari 1,4 kg/minggu).
3) Berkurangnya ukuran lingkar perut (akibat berkurangnya cairan amnion)
4) Cairan amnion keruh, terdapat feces bayi, resiko terjadi aspirasi
mekonium.
5) O2 supply kepada janin mengalami penurunan: Resiko asfiksi.
6) Hipoglikemy pada janin, akibat kurang asupan dan simpanan glukosa.
Manifestasi yang terjadi pada janin denga post term antara lain:
1) Janin tampak seperti berusia term/ cukup umur, namun terkadang tampak
telah tua 1-3 minggu.
2) Janin panjang dan kurus (akumulasi lemak menurun), namun dapat pula
terjadi peningkatan berat janin.
3) Kulit agak pucat dengan deskuamasi.
4) Vernix casiosa menipis, kulit kering dan pecah-pecah.
5) Kuku janin panjang terkadang terisi dengan mekonium.
6) Terdapat akumulasi scalp pada rambut janin.
7) Tali pusat layu dan berwarna kuning.
8) Palpasi kepala janin mengeras.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada post term antara lain:
1) Usia kehamilan ditentukan dengan menghitung HPHT (Hari Pertama Haid
Terakhir) di kurangi dengan hari pemeriksaan ibu. Usia kehamilan diatas
42 minggu menandakan terjadinya Bayi Lahir Postmatur.
2) Pemeriksaan antenatal yang teratur diikuti dengan tinggi dan naiknya
fundus uteri dapat membantu penegakan diagnosis Bayi Lahir Postmatur.
3) Pemeriksaan rontgenologi pada janin dapat dijumpai telah terjadi
penulangan pada bagian distal femur, baguan proksimal tibia, tulang
kuboid diameter biparietal 9,8 atau lebih.
4) USG: ukuran diameter biparietal, gerakan janin yang mengalami
perubahan semakin aktif maupun semakin lemah dan jumlah air ketuban
mengalami penurunan.
5) Pemeriksaan sitologik air ketuban : biru Nil, maka sel – sel yang
mengandung lemak akan berwarna jingga.
a) Melebihi 10% = kehamilan diatas 36 minggu
b) Melebihi 50% = kehamilan diatas 39 minggu
6) Amnioskopi : melihat derajat kekeruhan air ketuban, tampak kekeruhan
karena bercampur mekonium.
7) Kardiotografi: mengidentifikasi denyut jantung janin, penurunan DJJ
terjadi karena insufiensi plasenta.
8) Uji oksitosin ( stress test), yaitu dengan infus tetes oksitosin dan diawasi
reaksi janin terhadap kontraksi uterus. Jika ternyata reaksi janin kurang
baik, hal ini mungkin janin akan berbahaya dalam kandungan dan dapat
segera dilakukan SC.
9) Pemeriksaan kadar estriol dalam urin ibu.
10) Pemeriksaan pH darah janin : menentukan derjat hipoksia, maupun
intrepretasi asidosis/alkalosis pada janin.
Pemeriksaan penunjang untuk sectio caesarea menurut Nurarif & Kusuma
(2015) :
1) Hemoglobin atau hematokrik (Hb-Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan
2) Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3) Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4) Urinalisis/ kultur urine
5) Pemeriksaan elektrolit

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dil akukan pada post term yaitu:
1) Setelah usia kehamilan lebih dari atau sama dengan 40-42 minggu monitoring
janin secara intensif.
2) Nonstress test (NST) dapat dua kali dalam seminggu, yang dimulai saat
kehamilan berusia 41 minggu dan berlanjut hingga persalinan untuk
melakukan pilihan antara persalinan tanpa intervensi persalinan yang di
induksi atau secara sectio caesaria..
3) Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat
ditunggu dengan pengawasan ketat.
4) Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai kematangan serviks, kalau sudah
matang boleh dilakukan induksi persalinan spontan dengan atau tanpa
amniotomi. Bila :
a) Riwayat kehamilan yang lalu ada kematian janin dalam rahim.
b) Terdapat hipertensi, pre-eklampsia.
c) Kehamilan ini adalah anak pertama karena infertilitas.
d) Pada kehamilan > 40-42 minggu.
e) Pada persalinan pervaginam harus diperhatikan bahwa partus lama akan
sangat merugikan bayi, janin postmatur kadang-kadang besar dan
kemungkinan diproporsi sefalo-pelvik dan distosia janin perlu
dipertimbangkan (Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri Jilid I, 1998).
5) Tindakan operasi seksio sesarea dapat dipertimbangkan pada:
a) Insufisiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang
b) Pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama dan terjadi gawat
janin, atau
c) Pada primigravida tua, kematian janin dalam kandungan, pre-
eklampsia, hipertensi menahun, anak berharga (infertilitas) dan
kesalahan letak janin.
6) Penatalaksanaan aktif pada kehamilan lewat bulan:
a) Induksi persalinan
Induksi persalinan adalah persalinan yang dilakukan setelah servik
matang dengan menggunakan prostaglandin E2 (PGE2) bersama
oksitosin, dan prostaglandin terbukti lebih efektif sebagai agens yang
mematangkan servik dibanding oksitosin.
b) Metode lain yang digunakan untuk menginduksi persalinan (misalnya
minyak jarak, stimulasi payudara, peregangan servik secara mekanis),
memiliki kisaran keberhasilan secara beragam dan atau sedikit
penelitian untuk menguatkan rekomendasinya.
c) Metode hormon untuk induksi persalinan :
1. Oksitosin yang digunakan melalui intravena dengan catatan servik
sudah matang.
2. Prostaglandin dapat digunakan untuk mematangkan servik
sehingga lebih baik dari oksitosin namun kombinasi keduanya
menunjukkan hal yang positif.
3. Misprostol adalah suatu tablet sintetis analog PGE1 yang diberikan
intravagina (disetujui FDA untuk mencegah ulkus peptikum, bukan
untuk induksi).
4. Dinoproston Merk dagang cervidil suatu preparat PGE2, tersedia
dalam dosis 10 mg yang dimasukkan ke vagina ( disetujui FDA
untuk induksi persalinan pada tahun 1995).
5. Predipil yakni suatu sintetis preparat PGE2 yang tersedia dalam
bentuk jel 0,5 mg deng diberika intraservik (disetujui FDA untuk
induksi persalinan pada tahun 1993).
d) Metode non hormon Induksi persalinan
1. Pemisahan ketuban
Prosedurnya dikenal dengan pemisahan atau mengusap ketuban
mengacu pada upaya memisahkan membran amnion dari bagian
servik yang mudah diraih dan segmen uterus bagian bawah.
Mekanisme kerjanya memungkinkan melepaskan prostaglandin ke
dalam sirkulasi ibu. Pemisahan hendaknya jangan dilakukan jika
terdapat ruptur membran yang tidak disengaja dan dirasa tidak
aman baik bagi ibu maupun bagi janin. Pemisahan memban serviks
tidak dilakukan pada kasus – kasus servisitis, plasenta letak rendah,
maupun plasenta previa, posisi yang tidak diketahui, atau
perdarahan pervaginam yang tidak diketahui.
2. Amniotomi yakni pemecahan ketuban secara sengaja
3. Pompa Payudara dan stimulasi puting.
Penggunaan cara ini relatif lebih aman karena menggunakan
metode yang sesuai dengan fisiologi kehamilan dan persalinan.
Penanganannya dengan menstimulasi putting selama 15 menit
diselingi istirahat dengan metode kompres hangat selama 1 jam
sebanyak 3 kali perhari.
4. Minyak jarak
Ingesti minyak jarak 60 mg yang dicampur dengan jus apel
maupun jus jeruk dapat meningkatkan angka kejadian persalinan
spontan jika diberikan pada kehamilan cukup bulan.
5. Kateter foley atau Kateter balon.
Secara umum kateter dimasukkan kedalam servik kemudian balon
di isi udara 25 hingg 50 mililiter untuk menjaga kateter tetap pada
tempatnya. Beberapa uji klinis membuktikan bahwa teknik ini
sangat efektif.
Penatalaksanaan pada sectio caesarea menurut Winkjosastro (2008) :
1) Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan yaitu DS 10% dan RL secara
bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2) Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6-10
jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3) Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a) Miring kanan dan kiri dapat dilakukan sejak 6-10 jam setelah operasi
b) Latihan pernapasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang
sedini mungkin setelah sadar
c) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit
dan diminta untuk bernapas dalam lalu menghembuskannya
d) Posisi tidur terletang agar dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
e) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari pasien diajarkan
untuk duduk selama sehari, belajar berjalan dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke 3 hingga hari ke 5 pasca operasi
4) Katerisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita. Menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24-48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
5) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
6) Perawatan payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan
tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan
payudara tanpa banyak menimbulkan kompresi, biasanya dapat
mengurangi rasa yeri.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada post term antaralain:
1) Terhadap Ibu
Persalinan postmatur dapat menyebabkan distosis karena aksi uterus tidak
terkoordinir, janin besar, Air ketuban berkurang dan makin kental,
moulding kepala kurang. Maka akan sering dijumpai partus lama,
kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu dan perdarahan postpartum.
Hal ini akan menaikkan angka mordibitas dan mortalitas.
2) Terhadap Janin
Jumlah kematian janin/ bayi pada kehamilan 43 minggu tiga kali lebih
besar dari kehamilan 40 minggu karena post maturitas akan menambah
bahaya pada janin. Pengaruh post maturitas pada janin bervariasi yaitu
berat badan janin dapat bertambah besar serhingga memerlukan tindakan
persalinan, tetap dan ada yang berkurang sesudah kehamilan 42 minggu,
Pertumbuhan janin makin lambat, Berkurangnya nutrisi dan O2 ke janin
yang menimbulkan asfiksia akibat makrosomia, aspirasi mekonium,
hipoksia dan hipoglikemia dan setiap saat dapat meninggal di rahim,
terjadi perubahan metabolisme janin, Ada pula yang bisa terjadi kematian
janin dalam kandungan (IUFD).
3) Suhu yang tidak stabil.
4) Hipoglikemi.
5) Polisitemia.
6) Kelainan neurogenik.

H. PROGNOSIS
Beberapa ahli menyatakan kehamilan lewat bulan jika lebih dari 41
minggu karena angka mordibitas dan mortalitas neonatus meningkat setelah
usia 40 minggu. Namun sekitar 18 % kehamilan akan berlanjut melebihi 41
minggu hingga 7% akan menjadi 42 minggu tergantung populasi dan kriteria
yang digunakan.
Seringnya kesalahan dalam mendefinisikan postmatur diperlukan deteksi
sedini mungkin untuk menghindari kesalahan dalam menentukan usia
kehamilan. Jika TP telah ditentukan pada trimester terakhir atau berdasarkan
data yang tidak dapat diandalkan, maka data yang terkumpul sering
menunjukkan peningkatan resiko lahir mati seiring peningkatan usia
kehamilan lebih dari 40 minggu.
Penyebab bayi lahir mati tidak mudah dipahami dan juga tidak ada
kesepakatan tentang pendekatan yang paling tepat guna mencegah kematian
tersebut (Varney H., 2007). Apabila diambil batas waktu 42 minggu
frekuensinya adalah 10,4 – 12%. Apabila diambil batas waktu 43 minggu
frekuensinya adalah 3,4 -4% ( Mochtar, R., 1998).

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian
a) Identitas
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai,
status pendidikan dan pekerjaan pasien dan suaminya.
b) Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada
pasien dengan post operasi sectio caesarea hari 1-3 adalah adanya
rasa nyeri.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Mulai kapan klien merasakan adanya keluhan, dan usaha apa saja
yang telah dilakukan untuk mengatasi keadaan ini.
3. Riwayat kesehatan dahulu
a. Riwayat kesehatan klien
Menarche pada usia berapa, haid teratur atau tidak, siklus haid
berapa hari, lama haid, warna darah haid, HPHT kapan,
terdapat sakit waktu haid atau tidak.
b. Riwayat kehamilan, persalinan dan nipas yang lalu
Hamil dan persalinan berapa kali, anak hidup atau mati, usia,
sehat atau tidak, penolong siapa, nifas normal atau tidak.
c. Riwayat pemakaian alat kontrasepsi
Untuk mengetahui jenis KB yang digunakan oleh klien apakah
menggunakan KB hormonal atau yang lainya.
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan
komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan
hubungan angota keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang
dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit
klien dan lain-lain.
c) Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dibuktikan melalui pertanyaan sederhana yang
harus dijawab oleh klien atau di suruh untuk melakukan perintah.
Variasi tingkat kesadaran dimulai dari siuman sampai ngantuk,
harus di observasi dan penurunan tingkat kesadaran merupakan
gejala syok.
2. Sistem pernafasan
Respirasi bias meningkat atau menurun . Pernafasan yang ribut
dapat terdengar tanpa stetoskop. Bunyi pernafasan akibat lidah
jatuh kebelakang atau akibat terdapat secret. Suara paru yang kasar
merupakan gejala terdapat secret pada saluran nafas . Usaha batuk
dan bernafas dalam dilaksalanakan segera pada klien yang
memakai anaestesi general.
3. Sistem perkemihan
Retensi urine paling umum terjadi setelah pembedahan ginekologi,
klien yang hidrasinya baik biasanya kencing setelah 6 sampai 8
jam setelah pembedahan. Jumlah autput urine yang sedikit akibat
kehilangan cairan tubuh saat operasi, muntah akibat anestesi.
4. Sistem pencernaan
Fungsi gastrointestinal biasanya pulih pada 24-74 jam setelah
pembedahan, tergantung pada kekuatan efek narkose pada
penekanan intestinal. Ambulatori perlu diberikan untuk
menghilangkan gas dalam usus.
5. Integritas ego
a. Dapat menunjukkan labilitas emosional, dari kegembiraan,
sampai ketakutan, marah atau menarik diri.
b. Klien/ pasangan dapat memiliki pertanyaan atau salah terima
peran dalam pengalaman kelahiran, mungkin mengekspresikan
ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.
6. Eliminasi
a. Kateter urinaris indweiling mungkin terpasang: urine jernih
pucat.
b. Bising usus tidak ada, samar atau jelas.

7. Nutrisi
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal.
8. Nyeri/ ketidaknyamanan
9. Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber. Misal:
trauma bedah/ insisi, nyeri penyerta, distensi kandung kemih/
abdomen, efek-efek anestesia, mulut mungkin kering.
10. Keamanan
a. Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda kering dan utuh.
b. Jalur parental bila digunakan paten can sisi bebas eritema,
bengkok, nyeri tekan.
11. Seksualitas
a. Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus.
b. Aliran lokhia sedang dan bebas bekuan berlebihan/banyak.
2) Diagnose keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (prosedur bedah)
2. Hambatan mobilitas fisik b.d luka insisi bedah
3. Defisit perawatan diri b.d nyeri luka post operasi
4. Defisit pengetahuan b.d kurangn informasi
5. Resiko infeksi b.d prosedur invasive
3) Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA
NO (NOC) (NIC)
KEPERAWATAN
1 Nyeri akut b.d agen  Pain level Pain management
injuri fisik (luka  Pain control
insisi operasi) - Lakukan
 Comfort level
pegkajian nyeri
Krikteria hasil:
secara
 Mampu mengontrol komprehensif,
nyeri(tahu penyebab termasuk lokasi,
nyeri, mampu karakteristik,
menggunakan teknik non durasi,
farmakologi untuk frekuensi,
mengurangu nyeri, kualitas dan
mencari bantuan) faktorpresipitasi
 Melaporkan bahwa nyeri - Observasi reaksi
berkurang dengan nonverbal dari
menggunakan manajemen ketidaknyamana
nyeri n
 Mampu mengenali nyeri - Gunakan
(skala, intensitas, komunikasi
frekuensi, dan tanda terapeutik untuk
nyeri) mengetahui
 Menyatakan rasa nyaman pengalaman
setelah nyeri berkurang nyeri pasien
- Kaji kultur yang
mempengaruhi
respon nyeri
- Evaluasi
pengalaman
nyeri masa
lampau
- Evaluasi
bersama pasien
dan tim
kesehatan
laintentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri
masa lampau
- Bantu pasien
dan keluarga
untuk mencari
dan menemukan
dukungan
- Kontrol
lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti
suhu ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan
- Kurangi faktor
presipitasi nyeri
- Pilih dan
lakukan
penanganan
nyeri
(famakologi,
non
faramakologi
dan
interpersonal)
- Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
melakukan
intervensi
- Ajarkan tentang
teknik
nonfamakologi
- Berikan
analgetik untuk
mengurangi
nyeri
- Evaluasi
keefektifan
untuk kontrol
nyeri
- Tingkatkan
istirahat
- Kolaborasi
dengan dokter
jika ada keluhan
dan tindakan
nyeri tidak
berhasil
- Monitor
penerimaan
pasien tentang
manajemen
nyeri
Analgesic
administration

- Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan
derajat nyeri
sebelum
pemberian obat
- Cek instruksi
dokter tentang
jenis obat, dosis
dan frekuensi
- Cek riwayat
alegi
- Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi
dari analgesik
ketika
pemberian lebih
dari satu
- Tentukan
pilihan anageik
tergantung tipe
dan berat nyeri
- Ttukan
analgesik
pilihan, rute
pemberian dan
dosis optimal
- Pilih rute
pemberian
secara IV, IM
untuk
mengobati nyeri
secara teratur
- Monitor vitak
sign sebekum
dan sesudah
pemberian
analgesim
pertama kali
- Berikan
analgesik tept
waktu terutama
saat nyeri hebat
- Evaluasi
kefektifan
analgesik, tanda
dan gejala.
2 Hambatan NOC Exercise therapy
mobilitas fisik b.d o Joint movement: active ambulation
luka insisi bedah o Mobility level - Monitoring vital
o Self care: ADLs sign sebelum /
o Transfer performance sesudah latihan
Krikteria Hasil: dan lihat respon
 Klien meningkat pasien saat
dalam aktivitas fisik latihan
 Mengerti tujuan dari - Konsultasikan
peningkatan mobilitas dengan trerapi
 Memverbalisasikan fisik tentang
perasaan dalam rencana
meningkatkan amblansi sesuai
kekuatan dan kebutuhan
kemampuan berpindah - Bantu klien
 Memperagakan menggunkan
penggunaan alat bantu tongkat saat
untuk mobilisasi berjalan dan
cegah cidera
- Ajarkan pasien
atau anggota
keluarga lain
tentang teknik
ambulasi
- Kaji
kemampuan
klien dalam
mobilisasi
- Latih pasien
dalam
pemenuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
- Dampingi dan
bantu paien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan
ADLs pasien
- Berikan alat
bantu jika klien
memerlukan
- Ajarkan pasien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
3 Defisit perawatan NOC Self care
diri b.d nyeri luka  Activity intolerance assistence:
post operasi  Mobility: physical bathing/hygiene
impaired - Pertimbangkan
 Self care deficit hygiene budaya pasien
 Sensory preception, ketika
auditory disturbed mempromosikan
Krikteria hasil: aktivitas
 Perawatan diri ostomi: perawatan diri
tindakan pribadi untuk - Pertimbangkan
mempertahankan ostomi usia pasien
untuk eliminasi ketika
 Perawatan diri: mampu mempromosikan
melakukan aktivitas aktivitas
perawatan fisik dan pribadi perawatan diri
secara mandiri atau dengan - Memnentukan
alat bantu jumlah dan jenis
 Perawatan diri mandi: bantuan yang
mampu membersihkan dibutuhkan
tubuh seniri secara mandiri - Tempatkan
dengan atau tanpa alat perlengkapan
bantu mandi yang
 Perawatan diri hygiene: diburtuhkan di
mampu mempertahankan samping tempat
kebersihan dan penampilan tidur pasien atau
yang rapi secara mandiri di kamar mandi
dengan atau tanpa alat - Menyediakan
bantu lingkungan yang
 Perawatan hygiene diri terapeutik
oral: mampu untuk - Memfasilitasi
merawat mulut dan gigi alat kebersihan
secara mandiri dengan atau gigi
tanpa alat bantu - Memfasilitasi
 Mampu mempertahankan pasien mandi
mobilitas yang diperlukan sesuai kebutuhan
untuk ke kamar mandi dan - Memantau
menyediakan keprluan kebersihan kuku
mandi - Memantau
 Membersihkan dan integritas kulit
mengeringkan tubuh pasien
 Mengungkapkan secara - Medorong
verbal kepuasan keluarga turut
kebersihan tubuh dengan berpartisipasi
oral hygiene dalam
kebersihan
pasien
- Membrikan
bantuan sampai
pasien
sepenuhnya
mampu
melakukan
perawatan diri
secara mandiri
4 Defisit NOC Teaching: disease
pengetahuan b.d  Knowledge: disease process
kurangnya sumber process
- Berikan penilaian
informasi  Knowledge: healt
behaviour tentang tingkat
kriteria hasil : pengetahuan
 Pasien dan keluarga
pasien tentang
menyatakan
pemahaman tentang proses penyakit
penyakit, kondisi, yang spesifik
prognosis dan program
- Jelaskan
pengobatan
 Pasien dan keluarga patofosiologi dari
mampu melaksanakan penyakit dan
prosedur yang bagaimana hal
dijelaskan secara benar
 Pasien dan keluarga yang
mampu menjelaskan berhubungan
kembali apa yang dengn anatomi
dijelaskan perawat/tim
dan fisiologi
kesehatan lainya.
dengan cara yang
tepat.
- Gambarkan tanda
gejala yang biasa
muncul pada
penyakit dengan
cara yang tepat
- Gambarkan proes
penyakit dengan
cara yang tepat
- Sediakan
informasi pada
klien tengang
kondisi dengan
cara yang tepat
- Hindari jaminan
yang kosong
- Sedikan bagi
keluarga atau
pasien tentang
informasi
kemajuan pasien
dengan cara yang
tepat
- Diskusikan gaya
hidup yang
mungkin
diperlukanuntuk
mencegah
komplikasi
dimasa yang
akan datang dan
atau proses
pegontrolan
penyakit
- Diskusikan pilih
terapo dan
penanganan
- Instrukikan
pasien mengal
tanda dan gejala
untuk
melaporkan pada
perawat dengan
cara yang tepat
5 Resiko infeksi b.d NOC Infection control:
prosedur invasive  Immune status kontrol infeksi
 Knowledge: infection - Bersihkan
control lingkungan
 Risk conrol setelah dipakai
Krikteria Hasil: pasien lain
 Klien bebas dari tanda dan - Pertahankan
gejala infeksi teknik isolasi
 Mendeskripsikan proses - Batasi
penularan penyait, faktor pengunjung bila
yang mempengaruhi, perlu
penukaran serta - Instruksikan pada
penatalaksanaan pengunjung
 Menunjukan kemampuan untuk mencuci
untuk mencegah timbulnya tangan saat
infeksi berkunjung dan
 Jumlah leukosit dalam setelah
batas normal berkunjung
 Menunjukan prilaku hidup meninggalkan
sehat pasien
- Gunakan sabun
anti mikroba
untuk cuci
tangan
- Cuci tangna
sebelum dan
sesudah
melakukan
tindakan
- Gunakan APD
- Gunakan
lingkungan
seprik selama
pemasangan alat
- Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan
infeksi kandung
kencing
- Berikan terapi
antibiotik bila
perlu
- Monitor tanda
dan gejala infeksi
- Monitor hidtung
granulosit dan
WBC
- Monitor
kerentanan
terhadap infeksi
- Pertahankan
teknik asespsi
pada pasien yang
beresiko
- Berikan
perawatan kulit
pada area
apidema
- Inspeksi kulit
dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,
panas, drainase
- Inspeksi kondisi
luka atau insisi
bedah
- Dorong masukan
nutrisi yang
cukup
- Dorong masukan
cairan
- Dorong istirahat
- Ajarkan pasien
dan keluarga
tentang tanda dan
gejala ifeksi
- Ajarkan cara
menghindari
infeksi
- Laporkan
kecurigaan
infeksi
- Laporkan kultur
positif
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Widjanarko, SpOG., (2009), Masa nifas. www.um-jakarta.com

Doengoes, Marilyn E, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Jakarta:
EGC.

Manuaba, I. B. G. 2001. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga


Berencana. Jakarta. EGC

Manuaba, I. B. G. 2002. Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia.


Jakarta. EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetry. Jakarta: EGC

Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction

Prawirohardjo, Sarwono., (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina


Pustaka.

Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka

Varney,H., 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta;EGC

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo; 2009

Anda mungkin juga menyukai