Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN JIGSAW

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA ABORTUS”


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Informasi
Keperawatan yang diampu oleh :
Aprilia Kartikasari, M.Kep, Ns.

Kelompok Ganjil

Anggota :

1. Anisa Ayu Setya Ramadhani (I1B018001)


2. Anindia Firna H (I1B018002)
3. Pratama Yulianto (I1B018003)
4. Amalia Nur Hayah (I1B018004)
5. Elis Gresita (I1B018005)
6. Dwi Lemintu (I1B018006)
7. Yolanda Sri Bhunga (I1B018007)
8. Gita Salsa V (I1B018008)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKWERTO
2019
A. Pengertian dan tanda gejala
Menurut kamus umum Bahasa Indonesia abortus didefinisikan sebagai
terjadi keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran
(dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu)
Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan,
yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun
tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda (sebelum bulan ke empat
masa kehamilan) (Badudu & Zain, 1996; Darmawati, 2011 )
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan. Sebagai batasan abortus adalah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Hadijanto,2009 dalam Hamidah,
2013).
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan yang batasannya adalah kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat badan janin kurang dari 500 gram. (Resya I. Noer, 2016)

B. Etiologi dan Patofisiologi


1. Etiologi Abortus
a. Kelainan telur
Kelainan telur menyebabkan kelainan pertumbuhan yang sedinikian
rupa hingga janin tidak mungkin hidup terus, misalnya karena faktor
endogen seperti kelainan chromosom (trisomi dan polyploidi).
b. Penyakit ibu
Berbagai penyakit ibu dapat menimbulkan abortus, yaitu:
1) Infeksi akut yang berat: pneumonia, thypus dapat mneyebabkan abortus
dan partus prematurus.
2) Kelainan endokrin, misalnya kekurangan progesteron atau disfungsi
kelenjar gondok.
3) Trauma, misalnya laparatomi atau kecelakaan langsung pada ibu.
4) Gizi ibu yang kurang baik.
5) Kelainan alat kandungan:
 Hypoplasia uteri.
 - Tumor uterus
 - Cerviks yang pendek
 - Retroflexio uteri incarcerata
 - Kelainan endometrium
6) Faktor psikologis ibu.
c. Faktor suami
Terdapat kelainan bentuk anomali kromosom pada kedua orang tua
serta faktor imunologik yang dapat memungkinkan hospes (ibu)
mempertahankan produk asing secara antigenetik (janin) tanpa terjadi
penolakan.

d. Faktor lingkungan
Paparan dari lingkungan seperti kebiasaan merokok, minum
minuman beralkohol serta paparan faktor eksogen seperti virus, radiasi, zat
kimia, memperbesar peluang terjadinya abortus.
2. Patofisilogi
Patofisiologi abortus dijelaskan dalam berbagai konsep teori antara
lain adanya abnormalitas kromosom, disregulasi sistem imun selama
kehamilan, defek fase luteal, peningkatan kadar kortisol, dan gangguan
oksidasi plasenta.
a. Abnormalitas Kromosom
Abnormalitas kromosom janin akan menyebabkan peningkatan reaksi
sistem imun ibu yang ditandai dengan peningkatan TNF dan IL-1-0 yang
akan menyebabkan gangguan perkembangan plasenta baik morfologi dan
fungsi, termasuk ukuran, bentuk dan vaskularisasi. Abnormalitas
kromosom juga dikaitkan dengan invasi trofoblas abnormal di desidua
sehingga terjadilah apoptosis janin.
b. Disregulasi Imunologi selama Kehamilan
Kehamilan bisa terjadi karena interaksi imun-endokrin. Respon imun
terjadi karena hasil konsepsi mengandung sel paternal. Selanjutnya,
kehamilan dapat dipertahankan karena rangsangan hormon progesteron
yang bekerja dengan mempertahankan proses desidualisasi dan mengontrol
kontraksi uterus.
Progesterone akan memicu keluarnya Progesterone Induced Blocking
Factor (PIBF) oleh limfosit dan sel desidua. PIBF sendiri merupakan anti
abortus karena melindungi fetus dari sel imun. PIBF juga akan merangsang
modulasi sitokin dari Th1 menjadi Th2. Hal ini terbukti dengan adanya
peningkatan respon inflamasi sistemik maternal dengan ketidakseimbangan
rasio Th1/Th2 di sirkulasi maternal pasien abortus. Beberapa penelitian
juga menunjukkan bahwa kadar progesteron serum dan PIBF yang rendah
akan meningkatkan risiko abortus.
c. Defek Fase Luteal
Defek luteal berperan dalam menyebabkan terjadinya 35% abortus.
Sebelum plasenta mengambil alih produksi progesteron, progesteron
diproduksi oleh korpus luteum. Adanya defek fase luteal menyebabkan
abortus karena berkurangnya hormon progesteron yang berperan penting
dalam mempertahankan kehamilan.
d. Peningkatan Kadar Kortisol
Pada penelitian didapati bahwa kadar kortisol tinggi menunjukkan
adanya stres oksidatif janin. Kortisol juga akan meningkatkan produksi
estrogen dan akan menurunkan produksi progesteron. Kadar estrogen yang
tinggi akan menyebabkan pelepasan prostaglandin plasenta yang akan
meningkatkan respon otot rahim terhadap oksitosin dan merangsang
kontraksi rahim sehingga terjadi abortus.
e. Gangguan Oksidasi di Plasenta
Penelitian case control terhadap 40 pasien dengan abortus spontan dan
40 pasien yang mengalami abortus mengancam pada usia kehamilan 6-10
minggu menyimpulkan bahwa pada abortus terdapat gangguan beta
oksidasi asam lemak plasenta. Gangguan oksidasi asam lemak akan
menyebabkan hipoglikemia dan kolaps kardiovaskular.
Gangguan oksidasi terjadi karena defisiensi karnitin akibat penumpukan
karnitin dalam urin. Penurunan kadar karnitin akan menyebabkan
penurunan energi untuk pertumbuhan dan keberlangsungan proses
metabolik janin. Selain itu, karnitin juga memegang peranan penting untuk
mencegah akumulasi berlebihan senyawa alkil yang merusak sel.
Penurunan kadar karnitin juga menyebabkan penurunan kadar leusin, asam
amino esensial yang penting dalam sintesa protein dan mempengaruhi
tumbuh kembang janin. [7-10]

C. Klasifikasi Abortus
Abortus digolongkan kedalam dua hal berdasarkan faktor yang
mempengaruhi menurut (Cunningham, 2013) dalam (Harsismanto, 2019),
yaitu:

1. Abortus Spontaneous
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara spontan atau atas
dasar faktor alamiah tanpa melalui tindakan medis maupun mekanis untuk
mengosongkan uterus (Rahim), sering dikenal dengan keguguran
(miscarriage). Menurut WHO keguguran yaitu usia janin ≤ 20 hingga 22
minggu dengan berat ≤ 500 gram. Aspek klinis abortus spontan terbagi atas
tujuh subkelompok:

a. Threatened Miscarriage (Abortus Iminens)


Peristiwa terjadinya perdarahan uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dengan hasil konsepsi masih dalam uterus
dan tanpa adanya dilatasi serviks. Ditandai dengan terjadinya
perdarahan pervaginam pada paruh pertama kehamilan dan
kadang-kadang terjadi perdarahan ringan selama beberapa
minggu. Seiring berjalannya waktu akan terjadi nyeri kram
perut yang terasa di anterior dan bersifat ritmis, nyeri lainnya
akan terasa di punggung bawah, rasa tertekan di panggul, dan
nyeri tumpul di garis tengah suprapubis.

b. Abortus Insipiens
Abortus Insipiens kurang lebih sama seperti Abortus
Iminens hanya saja pada abortus insipiens terjadi dilatasi
serviks uterus yang meningkat (Mitayani, 2009, dalam
Purwaningrum, 2017). Indikasi rasa nyeri menjadi meningkat
jangka waktunya yaitu sering, dan kual perdarahan bertambah.

c. Abortus Kompletus
Abortus Kompletus dapat didiagnosis lebih mudah
ketika hasil konsepsi sudah keluar dengan lengkap. Tanda-
tanda pada penderita yaitu ditemukannya sedikit perdarahan,
ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil.
d. Missed Abortion
Missed abortion adalah kematian janin sebelum usia 20
minggu dan tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.
Penggunaan hormon progesterone pada abortus imminens
diduga sebagai penyebab missed abortion.
e. Abortus Habitualis
Penderita abortus habitualis tidak sukar hamil, tetapi
kehamilannya tidak bertahan lebih dari 28 minggu dan ini bisa
terjadi sebanyak tiga kali sampai berturut-turut.

f. Abortus Inkompletus
Abortus spontan ini merupakan pengeluaran hasil
konsepsi pada kehamilan sebelum 10 minggu dengan sebagian
sisa masih dalam uterus. Tanda utama berupa perdarahan
akibat plasenta yang tertahan di uterus, perdarahan yang masif
dapat menyebabkan hipovolemia berat.

2. Abortus Provokatus
Abortus provokatus yaitu menghentikan kehamilan atau faktor
kesengajaan. Bayi pada umumnya dianggap belum dapat hidup di luar
kandungan apabila berat belum mencapai 1000 gram dan umur kehamilan
dibawah 28 minggu, walaupun terdapat kasus bayi tetap dapat hidup dalam
kondisi ini. Abortus provaktus terbagi atas dua yaitu:

a. Abortus medisinalis (abortus therapeutica)


Abortus ini akibat tindakan individu atas dasar indikasi
medis, dimana apabila kehamilan dilanjutkan akan
membahayakan nyawa ibu. Biasanya perlu persetujuan 2
sampai 3 tim dokter ahli.

b. Abortus Kriminalis
Abortus ini juga merupakan tindakan individu hanya
saja tidak didasari indikasi medis.

D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala keguguran bergantung pada durasi kehamilan.
Terjadinya perdarahan uterus, kontraksi rahim, atau nyeri rahim merupakan
gejala awal buruk yang harus dianggap sebagai ancaman keguguran.
Keguguran terjadi sebelum minggu keenam kehamilan, ibu merasakan aliran
darah menstruasi berat. Keguguran yang terjadi antara minggu ke-6 dan
12 kehamilan menyebabkan ketidaknyamanan sedang dan kehilangan darah.
Keguguran setelah minggu ke-12 disertai rasa sakit yang hebat seperti saat
melahirkan, karena janin harus dikeluarkan. Gejala terancam keguguran
antara lain: bercak darah tetapi dengan os serviks tertutup. Kram uterus ringan
mungkin muncul. (Cashion dkk, 2013).
Keguguran tidak terelakkan dan keguguran tidak lengkap disertai
perdarahan sedang hingga berat dengan os serviks terbuka. Jaringan mungkin
juga keluar bersama dengan perdarahan. Kram uterus ringan sampai berat
mungkin terjadi. Keguguran tidak terelakkan sering disertai oleh ruptur
membran spontan dan pelebaran serviks; pengeluaran hasil konsepsi akan
terjadi. Keguguran tidak lengkap melibatkan pengeluaran janin dengan retensi
plasenta (Cunningham dkk, 2005).
Pada keguguran lengkap serviks telah tertutup setelah semua jaringan
janin keluar dan sedikit perdarahan mungkin terjadi. Kram uterus ringan
mungkin dialami. Istilah keguguran terabaikan mengacu pada kehamilan
dimana janin telah meninggal tetapi produk konsepsi dipertahankan dalam
rahim sampai beberapa minggu. (Cashion dkk, 2013).

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis
abortus adalah plano pregnancy test, laboratorium darah, dan
ultrasonografi.
1. Plano Pregnancy Test
Plano pregnancy test yang diperiksa melalui urin akan
menunjukkan hasil positif pada 2 minggu pasca terbentuknya konsepsi
janin. Pada abortus, plano pregnancy test umumnya masih positif sampai
7-10 hari pasca abortus namun berangsur-angsur akan menjadi negatif
(N., J., R., P., & G., 2012).
2. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jika terjadi perdarahan hebat pada abortus, akan ditemukan
penurunan hemoglobin (Hb) dan hematokrit, serta terjadi peningkatan
leukosit dengan pergeseran ke kiri (shift to the left) jika terjadi infeksi.
Profil koagulasi dianjurkan diperiksa hanya jika ada perdarahan masif.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch dilakukan jika ada indikasi
transfusi darah. Pemeriksaan golongan darah dan rhesus juga diperlukan
untuk melihat adanya kemungkinan inkompatibilitas, serta untuk
menentukan jika diperlukan pemberian anti-D. Pemeriksaan beta HCG
darah dapat dilakukan untuk mengetahui perkembangan plasenta. Pada
abortus, kadar beta HCG bisa lebih rendah atau menurun dibanding
sebelumnya dan akan normal dalam 2 minggu setelah abortus.
Pemeriksaan ini jarang diperlukan, tetapi dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan serial untuk menunjang diagnosis jika kelangsungan
kehamilan meragukan (Adi Y & Sheiner, 2011).
3. USG
USG umumnya dianjurkan dilakukan untuk melihat ada tidaknya
kantung gestasi, untuk mengetahui apakah embrio masih berkembang,
dan untuk mendeteksi detak jantung janin. USG transvaginal lebih baik
dibanding transabdominal karena gambaran yang ditampilkan lebih
jelas. USG transvaginal disarankan terutama pada pasien obesitas dan
pasien dengan uterus retrofleksi (Prine & Macnaughton, 2011).

F. Penatalaksanaan
Sebelum melakukan penatalaksanaan abortus, lakukan konfirmasi
diagnosis. Hal tersebut dikarenan penatalaksanaan tanpa indikasi dapat
menyebabkan gangguan dan komplikasi kehamilan serta timbul defek pada
janin.

1. Abortus Imminens
Biasanya dianjurkan untuk tirah baring ditempat tidur (kontroversial),
sedasi, menghindari stress, stimulasi seksual, orgasme. Asetaminofen
berbasis analgesic dapat diberikan.Perawatan lebih lanjut bergantung pada
respon ibu terhadap pengobatan.
2. Abortus Insipiens
Jika tidak ada rasa sakit, demam, atau pendarahan dianjurkan untuk
tirah baring ditempat tidur. Apabila terasa nyeri, pecah ketuban, perdarahan
dan demam, maka terminasi kehamilan segera dilakukan. Biasanya dengan
dilatasi dan kuretase.

3. Abortus Kompletus
Tidak ada invertase lebih lanjut yang diperlukan jika kontraksi uterus
adekuat untuk mencegah pendarahan dan infeksi. Suction atau kuret mungkin
dilakukan untuk memastikan tidak ada janin yang tertinggal.

4. Abortus Inkompletus
Perlu atau mungkin tidak memerlukan dilatasi serviks tambahan
sebelum kuretase. Suction kuretase dapat dilakukan.

5. Missed Abortion
Jika evakuasi spontan uterus tidak terjadi dala 1 bulan, kehamilan
diakhiri dengan metode yang tepat untuk usia kehamilan. Faktor pembekuan
darah dimonitor sampai rahim kosong. Koagulasi intravascular diseminata
(Disseminated Intravascular Disease - DIC) dan ketidakmampuan darah
membeku dengan perdarahan yang tidak terkontrol dapat berkembang pada
kasus janin mati setelah minggu ke-12, jika produk konsepsi dipertahankan
selama lebih dari 5 minggu. Dapat diobati dengan dilatasi dan kuretase atau
800 mcg misoprostol.

6. Abortus Habitualis
Penatalaksanaan dilakukan bervariasi, bergantung pada jenis. Cerclage
profilaksis dapat dilakukan jika penyebabnya pelebaran serviks premature.
Nilai-nilai yang diuji meliputi : analisis sitogenetika orangtua dan lupus,
antikoagulan dan uji anticardiolipin.
7. Abortus Sepsis
Segera terminasi kehamilan dengan metode yang tepat untuk usia
kehamilan. Studi kultur dan sensitivitas jaringan serviks dilakukan, dan mulai
diberikan antibiotik spektrum luas (contoh : ampisilin ). Pengobatan untuk
syok sepsis dimulai jika diperluakan

G. Faktor Resiko
Faktor risiko pada ibu abortus :

1. Usia ibu pada saat hamil : berisiko rahim tidak sehat dan pendarahan pada
dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi pada janin
2. Paritas ibu : seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai resiko untuk
dirinya dan janinnya.
3. Kadar hemoglobin : kadar hemoglobin pada darah dikenal dengan sebutan
anemia. Berisiko pada pertumbuhan janin kandungan melalui plasenta
4. Hipertensi berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian abortus tetapi
apabila hipertensi dikelola dengan baik maka tidak akan terjadi komplikasi
pada kehamilan dan dan tidak menjurus pada kejadian pre-eklamsia
5. Pekerjaan ibu : berisiko pada kesehatan reproduksi wanita karena
diakbiatkan oleh bahan kimia dan radiasi

H. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. PENGKAJIAN

menganalisanya sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan


bagi klien. Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
a. Biodata : mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama,
umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat

b. Keluhan utama : Kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan
pervaginam berulang pervaginam berulang

c. Riwayat kesehatan , yang terdiri atas :

1) Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke


Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di
luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.

2) Riwayat kesehatan masa lalu

d. Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh


klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut
berlangsung.

e. Riwayat penyakit yang pernah dialami : Kaji adanya penyakit yang pernah
dialami oleh klien misalnya DM , jantung , hipertensi , masalah
ginekologi/urinary , penyakit endokrin , dan penyakit-penyakit lainnya

f. Riwayat kesehatan keluarga : Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari
genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan
penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.

g. Riwayat kesehatan reproduksi : Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi,


lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya dismenorhoe serta
kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan yang menyertainya

h. Riwayat kehamilan , persalinan dan nifas : Kaji bagaimana keadaan anak


klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan
kesehatan anaknya.
i. Riwayat seksual : Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi
yang digunakan serta keluahn yang menyertainya.

j. Riwayat pemakaian obat : Kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi


oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.

k. Pola aktivitas sehari-hari : Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit,


eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik
sebelum dan saat sakit.

2. PEMERIKSAAN FISIK, meliputi :

 Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas
pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
 Hal yang diinspeksi antara lain :
 mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap
drainase, pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan, bahasa tubuh,
pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya keterbatasan fifik,
dan seterusnya
 Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
 Sentuhan : merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat
kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
 Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema, memperhatikan
posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor.
 Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri yang
abnormal
 Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada
permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau
jaringan yang ada dibawahnya.
 Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang
menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
 Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya
refleks/gerakan pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah ada
kontraksi dinding perut atau tidak
 Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan
stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang
terdengar. Mendengar : mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan
darah, dada untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut
jantung janin (Johnson & Taylor, 2005 : 39).

3. PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN

a. Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas
pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
(keadaan perut ibu) Hal yang diinspeksi antara lain :
1) mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi
terhadap drainase, pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan,
pada bagian abdomen ibu
2) Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar abdomen dengan
jari.
3) Sentuhan : merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat
kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
4) Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema,
memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor,
menentukan adanya nyeri atau tidak
5) Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri
yang abnormal
6) Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada
permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau
jaringan yang ada dibawahnya.
7) Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan
stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang
terdengar. Mendengar : mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan
darah, dada untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau
denyut jantung janin (Johnson & Taylor, 2005 : 39).
b. Pemeriksaan laboratorium :
Darah dan urine serta pemeriksaan penunjang : rontgen, USG, biopsi, pap
smear. Keluarga berencana : Kaji mengenai pengetahuan klien tentang KB,
apakah klien setuju, apakah klien menggunakan kontrasepsi, dan
menggunakan KB jenis apa.
c. Data lain-lain :
1) Kaji mengenai perawatan dan pengobatan yang telah diberikan selama
dirawat di RS.
2) Data psikososial. Kaji orang terdekat dengan klien, bagaimana pola
komunikasi dalam keluarga, hal yang menjadi beban pikiran klien dan
mekanisme koping yang digunakan.Status sosio-ekonomi : Kaji masalah
finansial klien
3) Data spiritual : Kaji tentang keyakinan klien terhadap Tuhan YME, dan
kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan.

4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Devisit Volume Cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Gangguan Aktivitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sirkulasi
c. Gangguan rasa nyaman Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan
intrauteri
d. Resiko tinggi Infeksi berhubungan dengan perdarahan, kondisi vulva
lembab
e. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
5. RENCANA TINDAKAN
a. Devisit Volume Cairan berhubungan dengan Perdarahan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Tidak terjadi devisit volume cairan,
seimbang antara intake dan output baik jumlah maupun kualitas.
Kriteria Hasil :

 Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikkan dengan


haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal 3 – 5 ml/ jam
 Tanda vital stabil
 Turgor kulit kembali normal dapat balik kembali dalam dan delik

Intervensi :

1) Kaji kondisi status hemodinamika

 Rasional : Pengeluaran cairan pervaginal sebagai akibat abortus


memiliki karekteristik bervariasi

2) Ukur pengeluaran harian

 Rasional : Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian


ditambah dengan jumlah cairan yang hilang pervaginal

3) Berikan sejumlah cairan pengganti harian

 Rasional : Tranfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan massif

4) Evaluasi status hemodinamika

 Rasional : Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan


fisik
b. Gangguan Aktivitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sirkulasi

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Klien dapat melakukan aktivitas tanpa


adanya komplikasi

Intervensi :

1) Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas

 Rasional : Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi


perdarahan masif perlu diwaspadai untuk menccegah kondisi klien lebih
buruk

2) Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi uterus/kandungan

 Rasional : Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi


organ reproduksi

3) Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari

 Rasional : Mengistiratkan klilen secara optimal

4) Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi


klien

 Rasional : Mengoptimalkan kondisi klien, pada abortus imminens,


istirahat mutlak sangat diperlukan

5) Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas

 Rasional : Menilai kondisi umum klien

c. Gangguan rasa nyaman Nyeri berhubungan dengan Kerusakan jaringan


intrauteri

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Klien dapat beradaptasi dengan nyeri
yang dialami

Intervensi :

1) Kaji kondisi nyeri yang dialami klien

 Rasional : Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala


maupun dsekripsi.

2) Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya

 Rasional : Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance


mengatasi nyeri

3) Kolaborasi pemberian analgetika

 Rasional : Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan


pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum
luas/spesifik

d. Resiko tinggi Infeksi berhubungan dengan perdarahan, kondisi vulva


lembab

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Tidak terjadi infeksi selama


perawatan perdarahan

Intervensi :

1) Kaji kondisi keluaran/dischart yang keluar ; jumlah, warna, dan bau

 Rasional : Perubahan yang terjadi pada dishart dikaji setiap saat dischart
keluar. Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak mungkin
merupakan tanda infeksi

2) Terangkan pada klien pentingnya perawatan vulva selama masa perdarahan


 Rasional : Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan genital
yang lebih luar

3) Lakukan pemeriksaan biakan pada dischart

 Rasional : Berbagai kuman dapat teridentifikasi melalui dischart

4) Lakukan perawatan vulva

 Rasional : Inkubasi kuman pada area genital yang relatif cepat dapat
menyebabkan infeksi.

5) Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda inveksi

 Rasional : Berbagai manivestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik


infeksi; demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin merupakan gejala
infeksi

6) Anjurkan pada suami untuk tidak melakukan hubungan senggama se;ama


masa perdarahan

 Rasional : Pengertian pada keluarga sangat penting artinya untuk


kebaikan ibu; senggama dalam kondisi perdarahan dapat memperburuk
kondisi system reproduksi ibu dan sekaligus meningkatkan resiko
infeksi pada pasangan.

e. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tidak terjadi kecemasan, pengetahuan


klien dan keluarga terhadap penyakit meningkat.

Intervensi :

1) Kaji tingkat pengetahuan/persepsi klien dan keluarga terhadap penyakit

 Rasional : Ketidaktahuan dapat menjadi dasar peningkatan rasa cemas


2) Kaji derajat kecemasan yang dialami klien

 Rasional : Kecemasan yang tinggi dapat menyebabkan penurunan


penialaian objektif klien tentang penyakit

3) Bantu klien mengidentifikasi penyebab kecemasan

 Rasional : Pelibatan klien secara aktif dalam tindakan keperawatan


merupakan support yang mungkin berguna bagi klien dan meningkatkan
kesadaran diri klien

4) Asistensi klien menentukan tujuan perawatan bersama

 Rasional : Peningkatan nilai objektif terhadap masalah berkontibusi


menurunkan kecemasan

5) Terangkan hal-hal seputar aborsi yang perlu diketahui oleh klien dan
keluarga

 Rasional : Konseling bagi klien sangat diperlukan bagi klien untuk


meningkatkan pengetahuan dan membangun support system keluarga;
untuk mengurangi kecemasan klien dan keluarga.
Daftar Pustaka

Anggraini, Dini Eka, and Sri Ratna Rahayu. 2017. “Higeia Journal of Public Health.”
Higeia Journal of Public Health Research and Development 1(3): 84–94.

Bengkulu, U. M. (2019) ‘Dosen Pengampu : Ns . Harsismanto J ., S . Kep ., M .


Kep’, (January). doi: 10.13140/RG.2.2.15999.46247.

Cashion, Perry, Lowdermilk. (2013). Keperawatan Maternitas Edisi 8. Singapore:


Elsevier Morby.
CILACAP . Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
149 - 163.
Cunningham, F G,dkk., 2005. Obstetri Williams Volume I. Jakarta : EGC.
Darmawati, D. (2011). Mengenali Abortus Dan Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Abortus. Idea Nursing Journal, 2(1), 12–18.
Hamidah, & Masitoh, S. (2013). Faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian
abortus imminens. Jurnal Ilmu & Teknologi Ilmu Kesehatan, 1(1), 29–33.
Lu'lul, Sayono. 2015. Faktor resiko terjadinya abortus (terjadi di rumah sakit Islam
Sultan agung Semarang). Jurnal kesehatan masyarakat.
N., C., J., B., R., I.-K., P., S., & G., V. (2012). Determinants affecting pregnant
women’s utilization of prenatal screening for Down’s syndrome. Prenatal
Diagnosis.
Ningtyas, R., Nani, D., & S, K. G. (2010). EKSPLORASI PERASAAN IBU YANG
MENGALAMI STRES PASCA ABORTUS SPONTAN DI RSUD
Noer, R. I., Ermawati, & Afdal. (2016). Karakteristik Ibu pada Penderita Abortus dan
Tidak Abortus. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(3), 575–583.
Prine, L. W., & Macnaughton, H. (2011). Office management of early pregnancy
loss. American Family Physician.
Rahayuwati, L., E, E., & Trisyani, M. (2016). Process Evaluation: Standard,
Effectiveness, Efficiency and Sustainability of Maternity Nursing Care. Jurnal
Keperawatan Padjadjaran. https://doi.org/10.24198/jkp.v4n2.3

Anda mungkin juga menyukai