Disusun oleh
Icha Kristina
(21220023)
A. Definisi
(1) Infeksi
f. Trauma fisik.
(3) Retroversikronis.
2) Mola hidatidosa.
C. KLASIFIKASI
1. Abortus Spontan :
Yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk
mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan.
Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage).
Keguguran adalah setiap kehamilan yang berakhir secara spontan
sebelum janin dapat bertahan. Sebuah keguguran secara medis disebut
sebagai aborsi
spontan. WHO mendefenisikan tidak dapat bertahan hidup sebagai
embrio atau janin seberat 500 gram atau kurang, yang biasanya sesuai
dengan usia janin (usia kehamilan) dari 20 hingga 22 minggu atau
kurang. Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi lima subkelompok,
yaitu:
a.Threatened Miscarriage (Abortus Iminens)
Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan
plasentabiasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu ini keluar
secara terpisah. Apabila seluruh atau sebagian plasenta tertahan di
uterus, cepat atau lambatakan terjadi perdarahan yang merupakan tanda
utama abortus inkomplet.
d. Missed Abortion
D. Patofisiologi Abortus
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti
nekrosis jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda
asing dalam uterus. Sehingga menyebabkan uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. Apabila pada kehamilan kurang dari 8
minggu, villi khorialis belum menembus desidua serta mendalam sehingga hasil
konsepsi dapat keluar seluruhnya. Apabila kehamilan 8-14 minggu villi khorialis
sudah menembus terlalu dalam hingga plasenta tidak dapat dilepaskan sempurna
dan menimbulkan banyak perdarahan dari pada plasenta. Apabila mudigah yang
mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka dia dapat diliputi oleh lapisan
bekuan darah. Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat
terjadi proses modifikasi janin mengering dan karena cairan amion menjadi
kurang oleh sebab diserap dan menjadi agak gepeng. Dalam tingkat lebih lanjut
menjadi tipis. Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan
ialah terjadinya maserasi, kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek, perut
membesar karena terasa cairan dan seluruh janin bewarna kemerah-merahan
(Prawiroharjo, 2010).
E. MANIFESTASI KLINIS
4. Rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri pingang
akibat kontraksi uterus
5. Pemeriksaan ginekologi :
1. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan
tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera
pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.
2. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila
setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat
kemungkinan adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan
histologik harus dilakukan dengan teliti.
Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam
uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga
gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama
sistem vena di endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah
kecil biasanya tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-
100 ml dilaporkan sudah dapat memastikan dengan segera.
3. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini
dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak
dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
4. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal
seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat
mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-
obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb,
pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
5. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu.
6. Lain-lain seperti tersengat arus listrik saat melakukan abortus dengan
menggunakan pengaliran arus listrik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kasus
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang kepoliklinik kandungan dengan
keluhan hami 8 minggu, dengan status gravida G3P0A2. Pasien mengeluh
keluar flek dari daerah kemaluan yang semakin lama semakin banyak. Darah
keluar segar. Pasien mengatakan cemas dengan kondisi saat ini dan tidak mau
kehilangan bayinya. Pasien menangis karena suaminya jauh dan tidak tau
kondisinya saat ini. Pasien dilakukan pemeriksaan lanjutan dan diapatkan bahwa
toxoplasma positif dan hasil USG janin tidak bisa dipertahankan
2. Pertanyaan Klinis
Apakah anemia mempengaruhi penyebab terjadinya abortus?
3. PICO
P : abortus
I : kuretase
C : anemia, hipertensi
O : istirahat
4) Nilai p value : bahwa (p value = 0,209) yang berarti tidak ada hubungan
riwayat hipertensi dalam kehamilan dengan kejadian abortus dan
hubungan anemia dalam kehamilan dengan kejadian abortus (p value =
0,000), dan usia ibu hamil dengan kejadian abortus (p value = 0,005) yang
berarti ada hubungan anemia dalam kehamilan dan usia ibu hamil dengan
kejadian abortus.
b. Applicability
1) Dalam diskusi
Abortus adalah terhentinya kehamilan sebelum janin mampu hidup di
luar kandungan pada usia kurang dari 28 minggu, karena sebagian besar
keguguran tidak diketahui dan terjadi secara spontan (Hutahaean, 2013).
Menurut Aspiani (2017) abortus adalah dikeluarkannya hasil konsepsi
sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan kurang dari 1000 g
atau umur hamil kurang dari 28 minggu. Faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya abortus adalah faktor sel telur (ovum) yang kurang baik, faktor
spermatozoa yang kurang sempurna, ketidak suburan endometrium yang
disebabkan oleh kekurangan gizi, kehamilan dengan jarak pendek, terdapat
penyakit di dalam rahim, faktor sistematik pada ibu seperti penyakit jantung
paru, ginjal, tekanan darah tinggi, anemia, hati, dan penyakit kelenjar dengan
gangguan hormon pada ibu (Hutahaean, 2013).
Hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil
dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg (Prawirohardjo, 2014). Perubahan
kardiovaskuler pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung
akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh
berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan akibat perubahan
hematologis, gangguan fungsi ginjal dan edema paru. Prognosis selalu
dipengaruhi oleh komplikasi yang menyertai penyakit tersebut. Prognosis untuk
hipertensi dalam kehamilan selalu serius. Penyakit ini paling berbahaya yang
dapat menyerang wanita hamil dan janinnya ( Wagiyo, 2016).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) (2015) di dunia
terdapat 83% ibu hamil yang mengalami anemia, di Afrika 93,9%, Amerika
Serikat 65,8%, Eropa 21,7% sedangkan di Asia Tenggara kejadian anemia pada
ibu hamil di Asia yaitu 97 %, 50% kejadian anemia di dunia terjadi karena
kekurangan zat besi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,
persentase anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 48, 90%, prevalensi ini
mengalami peningkatan dari tahun 2013 anemia pada ibu hamil di Indonesia
sebesar 37,10%.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Istiana (2017) “Analisis
hubungan hipertensi dalam kehamilan dengan kejadian abortus di RSUD Demang
Sepulau Raya Kabupaten Lampung Tengah” menunjukkan terdapat hubungan
antara riwayat abortus dalam kehamilan ibu dengan kejadian abortus dengan p
0.032.
2) Karakteristik responden : Usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat
badan
3) Fasilitas biaya : Tidak dicantumkan jumlah biaya yang digunakan
Kesimpulan
1. Sebagian kecil responden (16.1%) mengalami hipertensi dalam kehamilan
yang terjadi diruang kebidanan.
2. Sebagian kecil responden ( 31%) mengalami kejadian abortus yang terjadi
diruang kebidanan.
3. Sebagian kecil responden ( 20.7%) mengalami usia yang berisiko.
4. Sebagian kecil responden ( 26.4%) mengalami anemia dalam kehamilan.