Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN

PADA PASIEN HALUSINASI PENGLIHATAN

Disusun oleh
Icha Kristina
(21220023)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN HALUSINASI PENGLIHATAN

A. Definisi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra.
Halusinasi merupakam salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan perbaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak
ada (Yusuf, dkk, 2015)
Halusinasi adalah terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak
terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran,
penglihatan, penciuman, pengecapan (Varcarolis, 2006 dalam Yosep, 2009).
Halusinasi penglihatan (Visual-seeing person or things) merupakan Stimulus
penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang, atau panorama yang luas
dan komplek, bisa yang menyenangkan atau menakutkan. Biasamya prilaku yang
muncul adalah tatapan mata pada tempay tertentu, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan
pada objek yang dilihat (Trimelia, 2011).

B. Klasifikasi Halusinasi
Menurut Trimelia (2011):
1. Halusinasi pendengaran:
ditandai dengan mendengar suara, terutama suara suara orang, biasanya klien
mendengar suara orang yang membicarakan, mengejek, menertawakan,
mengancam, memerintah untuk melakukan sesuatu (kadang-kadang hal yang
berbahaya).
Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara
atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat
kamit, dan ada gerakan tangan.
2. Halusinasi penglihatan
ditandai dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan fenomena yang luas dan komplek.
Penglihatan bisa menyenangkan dan menakutkan.
Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk
kearah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat.
3. Halusinasi penciuman: ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau
menjijikkan seperti darah, urine, fases. Kadang-kadang tercium bau harum
seperti parfum.

C. Etiologi
Menurut AH.Yusuf, dkk (2015) faktor-faktor yang menyebabkan Halusinasi
Sebagai berikut :
a. Faktor predisposisi
1). Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan menganggu hubungan interpersonal yang dapat
meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi. Klien
mungkin menekan perasaannya sehingga permatangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
2). Faktor Sosial Budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa disingkirkan
atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti
halusinasi.
3). Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau peran yang
bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan, sehingga terjadi halusinasi
4). Faktor Biologis
Stuktur otak yang abnormal ditemukan pada klien gangguan orientasi realitas,
serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran, ventrikel, perubahan besar, serta
bentuk sel kortikal dan limbik.
5). Faktor Genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan pada klien
skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami skizifrenia, serta akan lebih tinggi jika kedua orang tuanya
skizofrenia.

b. Faktor Presipitasi
1). Stesor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas keluarga,
perpisahan dengan orang penting, atau diasingkan dari kelompok dapat menimbulkan
halusinasi.

2). Faktor Biokimia


Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat
halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi.
3). Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi
realitas. Klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang tidak
menyenangkan.
4). Faktor Prilaku
Prilaku yang perlu di kaji pada klien dengan orientasi realitas berkaitan dengan
perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan sosial.

D. Manifestasi Klinis
Menurut Stuart & Sundeen (1998) dikutip oleh Trimeilia (2011), data subyektif
dan obyektif klien halusinasi adalah sebagai berikut:
- Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
- Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
- Gerakan mata cepat
- Respon verbal lamban atau diam
- Diam yang dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan
- Terlihat bicara sendiri
- Menggerakkan bola mata dengan cepat
- Bergerak seperti membuang atau mengambil sesuatu
- Duduk terpaku, memandang sesuatu, tiba-tiba berlari keruangan lain
- Disorientasi (waktu, tempat, orang)
- Perubahan kemampuan dan memecahkan masalah
- Perubahan prilaku dan pola komunikasi
- Gelisah, ketakutan, ansietas
- Peka rangsang dan melaporkan adanya halusinasi.

E. Patofisiologi
Tahapan Proses Terjadinya Halusinasi
Menurut Trimelia (2011) tahapan proses terjadinya halusinasi adalah sebagai
berikut:
1. Tahap I (sleep Disorder)
Fase awal individu sebelum muncul halusinasi.
Karakteristiknya:
Individu merasa banyak masalah, ingin menghindar dari orang lingkungan,
takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
Masalah makin terasa sulit, karena berbagai stressor terakumulasi (missal:
putus cinta, dikhianati kekasih, di PHK, bercerai, masalah kuliah dan lain-lain).
Masalah semakin merasa menekan, support system kurang dan persepsi
terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur terus-menerus sehingga terbiasa menghayal.
Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai upaya pemecahan
masalah.

2. Tahap II (Comforting Moderate Level of Anxiety)


Halusinasi bersifat menyenangkan dan secara umum individu terima sebagai
sesuatu yang alami.
Karakteristiknya:
Individu mengalami emosi yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa dan ketakutan.
Individu mencoba untuk memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan
dan pada penenangan pikiran untuk mengurangi kecemasan tersebut.
Individu beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensori yang dialaminya
dapat dikontrol atau dikendalikan jika kecemasannya bisa diatasi. Dalam tahap
ini ada kecendrungan individu merasa nyaman dengan halusinasinya dan
halusinasi bisa bersifat sementara.
Perilaku yang muncul adalah menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara, gerakan mata cepat, respon
verbal lamban, diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.

3. Tahap III (Condemning Severe Level of Anxiety)


Halusinasi bersifat menyalahkan, sering mendatangi individu dan secara umum
halusinasi menjijikkan.
Karakteristiknya:
Pengalaman sensori individu menjadi sering dating dan mengalami bias.
Pengalaman sensori mulai bersifat menjijikkan dan menakutkan.Mulai merasa
kehilangan kendali dan merasa tidak mampu lagi mengontrolnya.
Mulai berusaha untuk menjaga jarak antara dirinya dan objek sumber yang
dipersepsikan individu.
Individu mungkin merasa malu kerena pengalaman sensorinya tersebut dan
menarik dir dari orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
Perilaku yang muncul adalah terjadi peningkatan system syaraf otonom yang
menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti: pernafasan meningkat, tekanan
darah dan denyut nadi meningkat, konsentrasi menurun, dipenuhi dengan
pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan
antara halusinasi dan realita.

4. Tahap IV (Controling Severe Level of Anxiety)


Halusinasi bersifat mengendalikan, fungsi sensori menjadi tidak relevan
dengan kenyataan dan pengalaman sensori tersebut menjadi penguasa.
Karakteristiknya:
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol individu.
Klien berusaha melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang.
Klien menjadi tidak berdaya dan menyerah untuk melawan halusinasi,
sehingga membiarkan halusinasi menguasai dirinya.
Individu mungkin akan mengalami kesepian jika pengalaman sensori atau
halusinasinya tersebut berakhir (dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik).
Perilaku yang muncul: cendrung mengikuti petunjuk isi halusinasi, kesulitan
berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik/
menit, gejala fisik dari kecemasan berat, seperti: berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.

5. Tahap V (Councuering Panic Level of Anxiety)


Halusiansi bersifat menaklukkan, halusinasi menjadi lebih rumit dan klien
mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya.
Karakteristiknya:
Pengalaman sensori menjadi terganggu.
Halusinasi berubah mengancam, memerintah, memarahi, dan menakutkan
apabila tidak mengikuti perintahnya, sehingga klien terasa terancam.
Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri, klien tidak dapat
berhubungan dengan orang lain dan menjadi menarik diri.
Klien berada dalam dunia menakutkan dalam waktu yang singkat atau bisa
juga beberapa jam atau beberapa hari atau selamanya/ kronis (terjadi gangguan
psikotik berat).
Perilaku yang muncul adalah perilaku menyerang, resiko membunuh diri atau
membunuh, kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi (amuk, agitasi,
menarik diri), tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek dan
lebih dari satu orang.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kasus
Seorang perempuan berusia 40 tahun dirawat RSJ dengan alasan masuk susah
tidur, mondar mandir, dan 3 bulan tidak minum obat. Pasien mengatakan
suaminya sering melakukan KDRT dan saat ini sudah dicerai, malu dengan
kondisinya. Hasil pengkajian: pakaian tidak rapi, sering mondar mandir dan
sering melihat kearah sudut ruangan dengan ekspresi ketakutan. Saat ditanya,
pasien mengatakan sering melihat suaminya di sudut ruangan membawa pedang
panjang.

2. Pertanyaan Klinis
Apakah strategi pelaksanaan keluarga bisa membantu pengetahuan dan
kemampuan merawat anggota klien dengan halusunasi?

3. PICO
P : Halusinasi Penglihatan
I : Strategi pelaksanaan keluarga
C:-
O : Pengetahuan dan kemampuan keluarga

4. Searching literature (journal)


Setalah dilakukan Searching literature (journal) di Goggle scholar, didapatkan 70
journal yang terkait dan dipilih 1 jurnal dengan judul “Pengaruh Intervensi
Strategi Pelaksanaan Keluarga Terhadap Pengetahuan dan Kemampuan
Keluarga dalam Merawat Klien Skizofrenia dengan Halusinasi”
Dengan alasan
a. Jurnal tersebut sesuai dengan kasus
b. Jurnal tersebut up to date (terbit : 1 Desember 2019)
5. VIA
a. Validity :
a) Desain : menggunakan desain one-group pre test and post test
b) Sampel :
Teknik pengambilan sampel dengan teknik nonprobability
sampling, yaitu apabila setiap subjek dalam populasi tidak
mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih
sebagai sampel, rancangan yang digunakan adalah purposive
sampling yaitu cara pengambilan sampel berdasarkan kriteria
general. Jumlah sampel yang ada sebanyak 15 responden.

c) Kriteria inklusi dan ekslusi :


bersedia secara sukarela dan telah mendapatkan ijin untuk mengikuti
penelitian ini secara penuh dan sebagai subyek penelitian melalui
informed consent, bersifat kooperatif selama pengambilan data.
Kriteria eksklusi yaitu keluarga yang mempunyai anggota keluarga
dengan gangguan jiwa halusinasi

d) Randomisasi : Tidak dilakukan randomisasi dalam pengambilan


sampel, dilakukan pemberian Teknik pengambilan sampel dengan
menggunakan teknik purposive Sampling. sampel pada penelitian ini
dengan besar sampel yaitu 15 responden.

b. Importance dalam hasil


1) Karakteristik subjek :Karakteristik subjek dalam penelitian ini meliputi usia
responden, jenis kelamin responden, pendidikan,
pekerjaan, suku, agama,
2) Beda proporsi : Beda proporsi tidak dicantumkan dalam penelitian.
3) Beda mean :  beda mean tidak dijelaskan, tetapi dari analisis univariat
didapatkan pengetahuan keluarga untuk kategori tahu
yaitu 1 orang (6,7%) dan kategori tidak tahu 14 orang
(93,3%).
4) Nilai p value : Dari hasil penelitian didapatkan bahwa nilai P
value=0,000 (> 0, 05). Intervensi strategi pelaksanaan
dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan keluarga dalam merawat klien skizofrenia,
sehingga klien yang sudah pulang kerumah dapat dirawat
dengan baik dan benar oleh keluarganya, dan keluarga dapat
dengan segera memutuskan untuk klien kembali
mendapatkan perawatan apabila terjadi kekambuhan.

c. Applicability
1) Dalam diskusi
Hasil pengkajian didapatkan pasien mengatakan susah tidur,
suaminya sering melakukan KDRT, malu dengan kondisinya. Data
obyektifnya pakaian tidak rapi, mondar-mandir, sering melihat ke sudut
ruangan dengan ekspresi ketakutan, pasien nampak gelisah dan TTV (TD :
120/80 mmHg, S : 35,7C, P : 24 x/m, N: 84 x/m). Diagnosa keperawatan
yang utama ditegakkan adalah gangguan persepsi sensori : halusinasi
penglihatan dan resiko perilaku kekerasan. Dalam perencanaan penulis
melibatkan keluarga dalam menentukan prioritas masalah memilih tindakan
yang tepat dalam proses strategi pelaksanaan keperawatan. Pada tahap ini
intervensi yang dilaksanakan disesuaikan dengan intervensi yang terdapat
dalam teori. Tahap pelaksanaan asuhan keperawatan Ny. S didasarkan pada
perencanaan yang telah disusun penulis bersama klien dan keluarga. Hasil
evaluasi yang dilakukan selama tiga hari menunjukkan semua masalah
dapat teratasi. Sesuai dengan tujuan dari intervensi didapatkan data hasil
evaluasi berdasarkan kriteria hasil yaitu, pada pasien sudah bisa
mempraktekkan apa yang diajarkan, bisa mengontrol halusinasinya.

2) Karakteristik responden : Usia, jenis kelamin responden, pendidikan,


pekerjaan, suku, agama
3) Fasilitas biaya : Tidak dicantumkan jumlah biaya yang digunakan
d. Diskusi (Membandingkan Jurnal dan Kasus)
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Pengaruh Intervensi Strategi Pelaksanaan
Keluarga Terhadap Pengetahuan dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat
Klien Skizofrenia dengan Halusinasi” menunjukkan bahwa asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan.
mengobservasi tindakan keperawatan sesuai rencana keperawatan yang telah
disusun pada pasien yaitu mengajarkan cara menghardik halusinasi, mengontrol
halusinasi hasilnya klien sudah mulai merasa tenang dengan cara yang diajarkan.
Mengobservasi frekuensi halusinasi, hasilnya semakin hari terjadi penurunan
frekuensi halusinasi menjadi lebih tenang, tidak ketakutan dan gelisah. dengan P
value=0,000 (> 0, 05).
BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
Pengetahuan keluarga dengan klien skizofrenia dengan halusinasi sebelum
diberikan intervensi strategi pelaksanaan keluarga menujukkan bahwa dari 15 orang
keluarga yang menjadi responden didapatkan sebagian besar pengetahuan responden
dengan kategori tidak tahu. Setelah diberikan intervensi strategi pelaksanaan keluarga
menujukkan bahwa dari 15 orang keluarga yang menjadi responden didapatkan
sebagian besar pengetahuan responden menjadi tahu.
Ada pengaruh intervensi strategi pelaksanaan keluarga tehadap pengetahuan dan
kemampuan keluarga dalam merawat klien skizofrenia dengan halusinasi.
Daftar Pustaka

Keliat, B A. (2014). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).


Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Kemenkes RI (2014). UU RI No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta:


Kemenkes RI

Saragih., Sasmaida (2014). Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap Keluarga tentang
Perawatan Pasien Resiko Perilaku Kekerasan di Rumah. Jurnal Online
mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan, 1(1)

Suryaningrum & Yuliawardhani. (2013). Hubungan antara Beban Keluarga dengan


Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1(2), 148–
55

Yosep, I. (2013). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai