Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ILMU REPRODUKSI TERNAK

POSTPARTUM

Disusun Oleh :

1. Siti Zulaeha
2. Nur Aisyah Taufiq
3. Nahda Fajriyani
4. Putri Yusuf
5. Amirul Isnaini
6. Chandra Gunawan
7. Muh Yasin
8. Rahmat Hidayat

JURUSAN ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh
sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Samata, 04 Juni 2022

Penyusun kelompok II

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestrus postpartum merupakan penyebab utama perpanjangan
interval kelahiran sehingga menurunkan produktivitas induk sapi potong.
Kondisi anestrus berhubungan erat dengan kondisi ovarium yang tidak
aktif. Kondisi umum sapi yang mengalami anestrus postpartum dapat
dilihat dari penampilan umum eksterior tubuh yaitu dengan Skor Kondisi
Tubuh. Menurut Awaluddin dan Panjaitan (2010) sapi diberi skor dengan
rentang 1-5. Angka menunjukkan tingkat kurus atau gemuknya ternak,
semakin gemuk semakin tinggi skornya. Secara umum tingkat kegemukan
ternak menunjukkan status kesehatan dan nutrisi dari individu ternak yang
dinilai. Sapi-sapi betina yang mengalami anestrus postpartum mempunyai
skor kondisi tubuh 2,6 ± 0,7 dengan rentang 2,0 sampai dengan 3,2 masuk
kriteria kurus sampai sedang. Kisaran angka demikian menunjukkan
bahwa sebagian besar sapi-sapi tersebut mempunyai status nutrisi
suboptimal walaupun pada kisaran tersebut masih memungkinkan proses
reproduksi berlangsung. Semua induk ternak dengan skala kepemilikian
peternak rendah, dengan rataan 2-3 ekor, ternak dikandangkan, dan diberi
pakan dari hijauan yang disediakan oleh peternak. Tidk ada peternak yang
menyediakan pakan tambahan selain rumput. Mengingat kondisi
demikian, Hal tersebut dapat mengakibatkan induk-induk sapi ini
mengalami kekurangan nutrisi yang penting untuk proses pemulihan
postpartum dan melanjutkan kembali proses reproduksi, dengan
kembalinya pertumbuhan folikel sampai matang, ditandai dengan
munculnya gejala estrus. Gangguan Pada ovarium sapi betina yang
diperiksa per rektal didapatkan beberapa jenis gangguan di antaranya
hipofungsi, cystic folikel, corpus luteum persisten, atropi, dan agenesis
parsial (Tabel 1) Munculnya gangguan pada ovarium diduga diakibatkan
defisiensi nutrisi. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sapi
induk dalam periode postpartum yang memperoleh pakan berenergi rendah
dan dengan kandungan protein yang rendah, sehingga tidak mencukupi
kebutuhan minimum untuk mempertahankan kondisi badannya. Kondisi
demikian secara nyata menekan proses sintesis dan pelepasan hormon
gonadotropin kelenjar pituitari, dan berakibat aktivitas ovarium terganggu.
Implikasi nyata akibat kondisi tersebut adalah periode anestrus postpartum
menjadi lebih lama daripada kondisi fisiologis yang normal.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud Anestrus Postpartum
2. Apa itu Estrus Postpartum
3. Apa itu Tipologi Ferning
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Anestrus Postpartum
2. Untuk mengetahui Estrus Pospartum
3. Untuk mengetahui Tipologt Ferning

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anestrus Postpartum
Anestrus postpartum merupakan suatu kondisi yang terjadi setelah
melahirkan dimana betina postpartum tidak menunjukkan estrus dan ovulasi
(Berardinelli 2007). Kondisi ini berkaitan dengan adanya ovarium yang inaktif,
dan jika terjadi perkembangan folikel, tidak ada folikel yang menjadi cukup
matang untuk ovulasi (Montiel dan Ahuja 2005). Anestrus terjadi akibat banyak
faktor yang berkaitan meliputi faktor managerial, faktor fisiologi, faktor dan
faktor nutrisi. Faktor-faktor ini mencakup umur, bangsa, nutrisi prepartum dan
postpartum, kondisi badan saat menyusui, produksi susu, ada atau tidaknya
pejantan, tertundanya involusi uteri, dystocia, dan status kesehatan umum
mempengaruhi lamanya anestrus postpartum (Yavas and Walton, 2000).
Pada sapi potong, perpanjangan anestrus postpartum adalah penyebab
utama betina gagal kawin kembali selama musim kawin sehingga merupakan
penyebab infertilitas yang utama (Whitier et al 2008). Penelitian menunjukkan
hubungan negatif antara interval postpartum terhadap estrus pertama dengan
angka kebuntingan secara keseluruhan. Penurunan ini kemungkinan disebabkan
oleh faktor-faktor penyebab perpanjangan anestrus postpartum dan bukan oleh
efek perpanjangan itu sendiri (Hess et al 2005). Di negara empat musim,
kebuntingan dini pada sapi potong yang menyusui dapat tertekan secara drastis
oleh proporsi betina menyusui yang tidak menunjukkan gejala siklus estrus
regular (anestrus) pada awal musim kawin (Short et al., 1990).
Faktor nutrisi merupakan salah satu penyebab utama anestrus postpartum.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sapi induk dalam periode
pasca beranak yang memperoleh pakan berenersi rendah dan selalu berkaitan
dengan kandungan protein yang rendah pula sehingga tidak mencukupi
kebutuh-.an minimum untuk mempertahankan kondisi badannya, secara nyata
akan mcnckan proses sintesis dan pelepasan hormon gonsdotropin di kelenjar
pituitari, dan berakibat aktivitas oavrium akan terganggu. Implikasi nyata akibat
kondisi tcrsebut adalah lebih lamanya periode anestrus postpartum dari kondisi
fisiologis yang normal (Dunn et al., 1969; Stevenson dan Britt, 1980; Bearden dan
Fuquay,. 1980; Kaufmann, 1981).
Lama anestrus postpartum terkait dengan masa involusi uteri pasca
melahirkan. Setelah melahirkan uterus gravid harus kembali kondisi non-gravid
dan siklisitas seksual harus muncul untuk mendaapatkan konsepsi. Efisiensi dari
dua proses reproduksi kritis inibersam efsoesni kawin alam atau inseminasi buatan

5
direfleksikan dari perkiraan interval kelahiran (Abeygunawardena dan
Dematawewa, 2004). Penelitian menunjukkan bahwa involusi uteri terjadi antara
25 sampai 35 hari pasca melahirkan (Rao dan Rao, 1980; Bastindas et al, 1984;
Tan et al, 1986). Kadu dan Kalkini (1976) melaporkan korelasi nyata antara waktu
yang diperlukan untuk menyempurnakan involusi uterus dangan estrus pertama.
B. Estrus Post Partum
Estrus atau berahi pada ternak betina setelah melahirkan atau estrus post
partum perlu diperhatikan. Peranakan Etawah (PE) mempunyai lama involusi
uterus berkisar antara 20 - 40 hari (Agrawal et al., 1992). Terjadinya estrus post
partum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu menyusui, pakan yang diberikan
secara kualitas dan kuantitas, serta aktivitas hormonal. Kecepatan involusi
dipengaruhi oleh varietas atau jenis ternak, penyusuan, iklim, gangguan sekitar
proses partus dan kecepatan kembalinya siklus normal ovarium (Jainudeen
danHafez, 2000). Estrus atau berahi pada ternak betina setelah melahirkan atau
estruspost partum perlu diperhatikan. Jarak antar kelahiran yang baik adalah
sekitar 8 sampai 9 bulan sehingga kambing dapat dikawinkan kembali pada hari
ke-60 setelah kelahiran sebelumnya (Setiawan dan Tanius, 2003). Proses
melahirkan dianggap sebagai suatu keberhasilan dari proses reproduksi yang
panjang dimulai dari estrus, ovulasi, dan bunting. Siklus reproduksi akan terus
berlanjut apabila fertilitas seekor induk setelah melahirkan dimulai. Seekor
kambing betina dapat menjadi fertil setelah melahirkan sangat ditentukan oleh dua
faktor utama yaitu involusi uterus dan dimulainya siklus ovarium pascapartus.
Involusi uterus merupakan penghambat utama yang akan memperlama kesuburan
selama periode awal setelah melahirkan (Kiracofe, 1980). Pengamatan terjadinya
estrus dilihat melalui intensitas estrus. Intensitas estrusdapat diamati secara visual
yaitu dengan melihat tingkah laku ternak pada saat estrus. Tingkah laku yang
diamati pada ternak saat berahi adalah vulva merah dan hangat, menaiki ternak
lain, diam bila dinaikki dan mengeluarkan lendir. Penilaian intensitas berahi dapat
dilakukan dengan memberikan skor. Skor tersebut diberi nilai dari 1 hingga 3, jika
tanda-tanda tersebut terlihat maka diberi tanda (+). Pengamatan intensitas estrus
yang dilihat dari aktivitas ternak tersebut dan pengamatan dilakukan dengan
membedakan antara ternak yang sudah pernah mengalami partus dan ternak yang
belum pernah mengalami partus (Kune dan Solihati, 2007).
Ternak kambing yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali,
memperlihatkan tanda-tanda estrus sangat jelas yaitu bagian vulva terdapat lendir
yang kental, ketika diraba terasa hangat dan berwarna kemerahan, ternak terlihat
gelisah dengan sering mengembik, menggosok-gosok badannya pada dinding,
kaki depannya dihentak-hentakkan, serta kelihatan ternak mengibas-ngibaskan
ekornya dengan melihat ke arah pejantan yang berada di sebelah kandang dengan

6
ternak betina. Intensitas estrus yang sangat jelas tersebut berkaitan erat dengan
pertumbuhan dan perkembangan folikel. Intensitas estrus yang terlihat jelas
seperti penjelasan tersebut diberikan skor 3 yaitu ternak memperlihatkan semua
gejala estrus, intensitas dengan skor 2 diberikan kepada ternak yang
memperlihatkan semua gejala estrus dan terlihat tenang tetapi pada saat dinaiki
pejantan, ternak tersebut diam (Kune dan Solihati, 2007). Kambing yang belum
pernah melahirkan, tanda-tanda estrus terlihat kurang jelas hanya terlihat pada
vulva yang berwarna merah dan terasa hangat, ternak terlihat biasa-biasa sajatidak
terlalu menampakkan tingkah laku yang lain dari biasanya. Ketika dimasukkan
pejantan ke dalam kandang betina, pejantan memperlihatkan gejala ingin menaiki
betina setelah dia mencium vulva dari ternak betina. Intensitas estrus yang sesuai
dengan penjelasan tersebut diberi skor 1 (Ismail, 2009).
C. Tipologi Ferning
Pemeriksaan lendir serviks memiliki banyak manfaat yaitu menggambarkan
kegiatan estrogen, ada tidaknya ovulasi dan sifat lendir serviks yang berhubungan
dengan penetrasi pejantan (Mardiati, 2003). Sekresi lendir yang berlebihan terjadi
pada saat estrus dan lendir tersebut akan mengalami kristalisasi yang disebut
ferning (gambaran daun pakis), sehingga ferning dapat dijadikan indikator tingkat
kesuburan ternak dan dapat digunakan untuk menentukan berahi ternak
(Jainudeen dan Hafez, 2000). Terbentuknya ferning (gambaran daun pakis) dari
lendir serviks pada sapi perah betina yang sedang berahi dikarenakan adanya
pengaruh kadar estrogen yang tinggi (Salisbury dan Van Demark, 1985).Tipologi
ferning merupakan gambaran menyerupai daun pakis dari lendir serviks akibat
pengkristalan Natrium Chlorida (NaCl) yang dapat dilihat di bawah mikroskop
(Wijayanti, 2014). Tes ferning (uji pakis) adalah kemampuanlendir serviks
membentuk gambaran seperti daun pakis sewaktu lendir dikeringkan pada object
glass. Ferning dari lendir serviks yang terbentuk pada saat berahi diukur dengan
nilai skor guna untuk memberikan penilaian (Utomo dan Astiti, 2012).

7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anestrus postpartum merupakan suatu kondisi yang terjadi setelah
melahirkan dimana betina postpartum tidak menunjukkan estrus dan ovulasi
(Berardinelli 2007). Kondisi ini berkaitan dengan adanya ovarium yang inaktif,
dan jika terjadi perkembangan folikel, tidak ada folikel yang menjadi cukup
matang untuk ovulasi (Montiel dan Ahuja 2005). Anestrus terjadi akibat banyak
faktor yang berkaitan meliputi faktor managerial, faktor fisiologi, faktor dan
faktor nutrisi. Faktor-faktor ini mencakup umur, bangsa, nutrisi prepartum dan
postpartum, kondisi badan saat menyusui, produksi susu, ada atau tidaknya
pejantan, tertundanya involusi uteri, dystocia, dan status kesehatan umum
mempengaruhi lamanya anestrus postpartum

Anda mungkin juga menyukai