Anda di halaman 1dari 20

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.

com

Makalah Pembicara drh Agung Budiyanto MP.Ph.D., pada seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar, 8 Maret 2012.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com

PENINGKATAN TINGKAT KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN SAPI DI INDONESIA dan MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT
drh Agung Budiyanto MP.Ph.D Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM, Yogyakarta

Pendahuluan Keberhasilan pemeliharaan ternak sapi dalam bidang reproduksi pada hewan betina khususnya dapat dilihat dari reproduction performance atau penampilan reproduksi yang langsung dapat dilihat antara lain service per conception, conception rate, pregnancy rate, calving rate, estrous post partum dan calving interval. Secara garis besar tiga faktor yang berpengaruh terhadap tingkat performan reproduksi yaitu faktor peternak, ternak dan faktor petugas. Dalam makalah ini kami mencoba melihat beberapa hal yang perlu lebih ditingkatkan dalam pelaksanaan kegiatan medis reproduksi di lapangan dan perkembangan teknologi reproduksi akhir-akhir ini. Makalah dan presentasi kami buat berdasa rpengamatan dan penelitian kami selaku akademisi yang sekaligus praktisi di lapangan. Latar belakang keilmuan, pengalaman dan lingkungan tentunya sangat mempengaruhi tulisan kami, yang mungkin berbeda dengan pengetahuan dan pemahaman para pembaca. Diskusi dan semangat saling melengkapi dengan tujuan untuk memperaiki semoga dapat menambah pengetahuan tentang medis reproduksi di Indonesia yang pada akhirnya mampu meningkatkan performan reproduksi di Indoneisa dan juga menambah kasanah ilmu pengetahuan yang tersifat selalu berkembang berdasar pengalaman dan penelitian. Secara khusus kami sampaiakan tiga hal dalam makalah ini dengan bahasan yang cukup banyak dibanding yang lain yaitu tentang folikuler dynamik ovarium sapai di Indonesia, nutrisi dan involusi uterus serta spermatozoa. Fakta di lapangan dan beberapa literatur telah membuktikan bahwa faktor nutrisi merupakan faktor yang lebih kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena reproduksi dibanding faktor lainnya. Jadi, nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi genetiknya, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan mengurangi performans dibawah potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan. Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis yang panas termasuk di Indonesia, merupakan salah satu penyebab penurunan efisiensi reproduksi karena selalu diikuti oleh adanya gangguan reproduksi yang menyebabkan timbulnya kemajiran pada ternak betina Pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan kemajiran sering bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain (Arthur,
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com 2001). Faktor penyakit, gangguan reproduksi post partum, manjemen pemeliharaan post partum menjadi faktor penyebab panjangnya calving interval. Hal ini terkait dengan proses involusi uterus. Proses involusi uterus tsb coba kami paparkan secara detail dalam makalah ini, sehingga dapat menambah pemahaman betapa proses fisiologis dari involusi sangat dipengaruhi faktor perawatan post partum sehingga mempengaruhi calving interval. Disamping hal tsb, faktor lain kami tulis dalah tentang LN2 , spermatozoa, fertilisasi dan kemajuan teknologi repoduski modern walaupun secara singkat. Tulisan ini sangat jauh dari sempurna, kritik dan saran emoga dapat lebih melengkapi dan meningkatkan kualitas tulisan kami yang jauh dari sempurna ini. Ke depan dalam eksempatan yang lain kami mencoba menulis lagi sehingga dapat sedikit melengkapi kekurangan tulisan ini.

Pokok bahasan/Materi : 1. Kegagalan perkawinan : Faktor induk folycullardynamic fertilization cleavage and blastocyst involusi uterus

2. Faktor nutrisi terhadap performance reproduksi 3. Crossbreed : Performance reproduksi crossbreed Antisipasi perubahan performance reproduksi crossbreed Penyimpananan spermatozoa dan hal-hal terkait

4. Teknologi Reproduksi : IVF (IVP) dan Transfer Embrio ICSI Clonning

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com 1. KEGAGALAN PERKAWINAN KARENA FAKTOR INDUK a. Folliculerdynamic of bovine ovarium b. Review keadaan di lapangan terkait kegagalan perkawinan Folikuler dinamik ovarium sangat menentukan siklus reproduksi dan perkembangan folikel yang akan menentukan terjadinya ovulasi oosit pada akhir estrus dan awal medestrus. Oosit dengan kualitas yang baik (grade A) akan memmungkinkan keberhasilan proses fertilisasi. Indoensia mempunyai 2 gelombang perkembangan folikel dengan midestrouscycle kira-kira pada hari ke 11 dan 12 dari siklus estrus. Pemahaman yang baik tentang folikulerdynamik akan memudahkan perkiraan stadium estrus dari sapi betina, yang pada akhirnya memudahkan waktu yang tepat untuk perkawinan. Siklus Estrus Sapi Sapi merupakan hewan poliestrus, setelah mencapai usia pubertas siklus estrus berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun, kecuali pada saat hewan bunting, siklus estrusnya terhenti sementara. Panjang siklus estrus normal pada sapi induk 21 + 3 hari dan sapi dara 20 + 2 hari, walaupun ada sedikit variasi bangsa sapi. Kebanyakan bangsa sapi mempunyai rerata lama estrus 12 jam dengan variasi normal antara 8 sampai 16 jam. Waktu ovulasi pada sapi umumnya terjadi sekitar 12 jam dari akhir estrus. Tabel 1. Parameter faal reproduksi sapi betina Parameter Tipe siklus estrus Umur pubertas Siklus estrus Lama estrus Waktu ovulasi Jumlah oosit matang Masa hidup korpus luteum Masa kebuntingan Umur beranak pertama kali Involusi uterus pasca beranak Ovulasi pertama pasca beranak Jarak beranak Besaran Poliestrus 15 (10 24) bulan 21 (18 24) hari. 12 (8 16) jam. 30 (18 - 48) jam dari awal estrus. 1 buah 16 hari 280 (278 290) hari 30 (24 36) bulan 45 (32 50) hari. 30 (10 110) hari. 13 (12 14) bulan. Fase Siklus Estrus Siklus estrus sapi secara umum dibagi dalam 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi 2 fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase lutea, meliputi akhir metestrus dan diestrus.
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Fase 1. Proestrus (prestanding events). Fase ini hanya berlangsung 1 - 2 hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan, berusaha menaiki teman-temannya (homoseksualitas), menjadi gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk, melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta svulva mulai membengkak. Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betina diam bila dinaiki oleh temannya atau standing position. Tetapi juga perlu diperhatikan hal lain seperti seringkali melenguh, gelisah, mencoba untuk menaiki teman-temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar lendir vulva jernih, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba. Fase 3. Metestrus (Pasca Birahi). Periode ini berlangsung selama 3 - 4 hari setelah birahi, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85% dari periode birahi pada sapi dara dan 50% pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva (untuk cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut perdarahan metestrus (metestrual bleeding), ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah birahi. Perdarahan ini biasanya akan berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua siklus birahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus birahi. Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12 - 18 hari setelah periode metestrus sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis tidak aktif selama periode ini karena di bawah pengaruh hormon progesteron dari korpus luteum. Hormon Siklus Estrus Hormon gonadotropin dari pituitari anterior, FSH dan LH (follicle stimulating hormone dan luteinizing hormone) dibebaskan segera sebelum dan saat ovulasi, pada saat hewan menunjukkan gejala estrus. Pada saat ini, estrogen yang berasal dari folikel Graaf dibebaskan, serta menimbulkan gejala birahi. Estrogen, utamanya dihasilkan oleh folikel ovarium, akan menurun setelah proses ovulasi terjadi, sampai dengan fase proestrus, kemudian kembali lagi meningkat sampai terjadi ovulasi pada siklus berikutnya. Progesteron akan dihasilkan oleh korpus luteum, meningkat sampai hari ke 7 17 siklus, kemudian terjadi penurunan pada fase proestrus Perubahan Ovaria Selama Estrus

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Lonjakan pembebasan LH (luteinizing hormone) terjadi 6 sampai 12 jam pertama estrus, diikuti rangkaian proses yang menyebabkan ovulasi pada jam-jam pertama metestrus, sekitar 24 sampai 30 jam setelah timbulnya estrus. Korpus luteum mulai berkembang dari sel-sel yang berasal dari dinding folikel ovulasi, kemudian setelah beberapa hari mulailah secara bertahap menghasilkan hormon progesteron (P4). Pada akhir diestrus, endometrium mulai menghasilkan PGF2a yang menyebabkan regresi korpus luteum atau luteolisis. Selama proestrus, folikel dominan matang menghasilkan estradiol-17b (E-17b) secara bertahap, bersamaan dengan rendahnya hormon progesteron, menyebabkan munculnya tingkah laku dan tanda-tanda lain estrus. Perkembangan folikel dominan ovaria terjadi dalam bentuk gelombang, dengan 2 atau 3 gelombang perkembangan dalam satu siklus estrus, sehingga folikel-folikel kecil atau besar, berkembang atau regresi, dapat dijumpai dalam ovaria pada setiap saat selama siklus estrus Pada saat estrus (hari 0 atau 21) terdapat folikel masak, proses ovulasi terjadi pada hari 1. Korpus luteum akan berkembang pada bekas tempat ovulasi, mulai hari 2 sampai mencapai ukuran maksimum pada hari 15. Selanjutnya korpus luteum akan mengalami regresi sampai hari 20. Pertumbuhan folikel di dalam ovaria sapi umumnya terjadi dalam 2 gelombang dinamika perkembangan. Folikel gelombang pertama akan mengalami regresi pada hari 12, sedang folikel gelombang kedua akan mencapai ukuran maksimum hari 21 dan berakhir ovulasi pada hari berikutnya Hubungan hipotalamus-pituitari-ovaria Pembebasan utama FSH dan LH terjadi pada saat estrus. Terdapat 2 faktor yang diperlukan untuk menimbulkan lonjakan pembebasan hormon gonadotropin, yaitu penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan kadar estrogen dalam darah. Inhibin mempunyai pengaruh negatif terhadap hipotalamus dalam sintesa dan pembebasan GnRH, berakibat terjadi penurunan produksi FSH dari pituitari, sehingga secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel dominan. Perubahan hormon steroid juga terlibat dalam sekresi pulsatil LH setelah partus. Peningkatan sekresi basal LH terjadi 2 - 3 hari sebelum lonjakan pembebasan gonadotropin tanpa perubahan sekresi basal FSH. Frekuensi pulsus pembebasan FSH sedikit meningkat selama periode preovulasi, dari 3 - 4 pulsus selama fase mid-lutea menjadi 5-6 pulsus per 6 jam selama fase folikel lanjut. Lonjakan pembebasan hormon gonadotropin dipacu oleh pengaruh umpan balik positif estrogen dari folikel ovulasi. Estrogen mempercepat pembebasan LH dari pituitari selama periode preovulasi. Hormon ini mempertahankan amplitudo pulsus LH sewaktu frekuensinya meningkat sebagai akibat penurunan kadar hormon progesteron karena regresi korpus luteum. Selama periode metestrus, ketika steroid ovaria dalam darah rendah, FSH meningkat tanpa disertai dengan kehadiran LH. Peningkatan FSH ini terjadi karena penyingkiran pengaruh umpan balik negatif dari
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com inhibin, akibat folikel besar penghasilnya ruptur pada proses ovulasi. Hormon ini juga berperan dalam pemilihan folikel-folikel preantrum (Arthur, 2001 and Ball, 2004). Pada hari ke 3 - 4 setelah estrus, satu folikel besar berkembang dari ovarium. Estrogen dari folikel ini beserta progesteron dari korpus luteum yang baru saja terbentuk mempunyai umpan balik negatif terhadap pembebasan LH dari pituitari. Selama fase lutea, sekresi hormon gonadotropin di bawah pengaruh umpan balik negatif dari estrogen dan progesteron. Setelah regresi korpus luteum, terjadilah pembebasan LH yang berakibat pemasakan folikel dan peningkatan proestrus hormon estradiol (Arthur, 2001 and Ball, 2004). Dinamika Perkembangan Folikel Selama Siklus Estrus Folikel merupakan struktur seperti lepuh yang berkembang didalam ovaria. Setiap folikel berisi satu sel telur yang akan dibebaskan ke dalam oviduk pada saat ovulasi. Folikel ovaria secara terus menerus berkembang dan regresi selama siklus estrus berlangsung. Perkembangan folikel ovaria sapi telah diketahui dalam bentuk 2 atau 3 gelombang. Folikel-folikel primordial, dengan oosit tunggal dikelilingi oleh epitel folikel skuamosa, berkembang di dalam ovaria selama kehidupan fetus. Setelah kelahiran, kebanyakan oosit berhenti pada stadium diktiat dari profase meiotik pertama. Folikel-folikel primordial memasuki fase pertumbuhan ketika sel-sel folikel skuamosa mengalami proliferasi dan membentuk beberapa lapisan dari sel-sel granulosa. Dengan pertumbuhan folikel, lapisan ini terletak di tengah-tengah ovaria. Lapiran sel-sel teka mengalami diferensiasi dari jaringan ikat sekitarnya menjadi 2 lapisan, eksterna dan interna, serta oosit memperoleh zona pelusida. Folikel-folikel yang sedang berkembang membentuk rongga-rongga yang berisi cairan, yaitu antra folikel. Diameter oosit mencapai kurang lebih 2 kalinya pada saat terbentuk folikel antral Folikulogenesis merupakan pembentukan folikel-folikel Graaf (folikel matang, preovulasi) dari cadangan folikel-folikel primordial (folikel yang belum berkembang). Cadangan folikel-folikel primordial sapi tetap stabil, dengan kurang lebih 133.000 folikel dari lahir sampai dengan umur 4 tahun, namun jumlahnya akan berkurang secara cepat sampai jumlahnya menjadi sekitar 3.000 di dalam ovaria sapi umur 15 - 20 tahun. Folikel yang sedang berkembang dapat dibedakan menjadi 2 kelompok: folikel-folikel preantrum dan antrum (Bearden, 2004). Kedua kelompok folikel meningkat jumlahnya dari lahir sampai usia 70 hari. Jumlah folikel preantrum yang sedang berkembang relatif tetap, 200 - 250 folikel dalam sepasang ovaria sampai sapi mencapai umur 4 tahun, kemudian jumlahnya menurun seiring dengan penurunan folikel primordial, sampai jumlah kurang dari separuhnya pada usia 15 - 20 tahun (Ball et al, 2004).

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Perkembangan dan pertumbuhan folikel ovaria selama siklus estrus pada sapi masih menimbulkan beberapa pendapat yang berbeda. Perkembangan folikel dalam satu siklus estrus dalam bentuk gelombang pertumbuhan akan berakhir dengan ovulasi. Beberapa peneliti melaporkan bahwa dalam satu siklus hanya ada dua gelombang perkembangan, gelombang pertama hari ke 1 - 12 dan kedua hari ke 13 - 21. Peningkatan jumlah folikel antrum besar (diameter lebih dari 5 mm) terjadi pada hari 1 - 18, sementara peningkatan kecepatan atresia folikel-folikel besar lainnya terjadi pada hari 7 - 15 siklus estrus. Peneliti lain melaporkan bahwa pola paling umum adalah tiga gelombang, gelombang pertama hari ke 1 - 8, kedua hari ke 9 - 13, dan ketiga hari ke 14 - 21. Mendekati proses ovulasi juga terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan dari folikel-folikel antrum kecil menjadi folikel-folikel yang lebih besar, seiring dengan peningkatan kecepatan atresia folikel-folikel besar. Laporan lain menyebutkan perkembangan folikel dominan terdiri dari kurang lebih 70% dua gelombang pertumbuhan dan sisanya 30% tiga gelombang atau lebih pada sapi perah dan sapi potong. Pemahaman pola perkembangan folikel diperlukan dalam mengatasi permasalahan respon yang bervariasi pada perlakuan sinkronisasi estrus pada sapi (Ball et al, 2004). Perkembangan folikel ke stadium antrum dapat berlangsung tanpa pengaruh gonadotropin, namun kecepatan perkembangan preantrum dipercepat oleh hormon gonadotropin. Folikel terbesar pada hari ke 3 akan diganti oleh folikel terbesar yang lain pada hari ke 8. Folikel terbesar ini akan diganti oleh folikel terbesar lainnya pada hari ke 13, semua folikel-folikel besar ini akan diganti oleh folikel terbesar lain pada hari ke 18, akhirnya folikel ini yang akan mengalami ovulasi. Adanya folikel-folikel besar akan berpengaruh menghambat pertumbuhan folikel-folikel lain yang lebih kecil.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com

Gambar 1. Folicular Dynamic (Bearden, 2004) Pada gambar 1 terlihat tiga gelombang folikuler dinamik , keadaan ini terjadi pada sapisapi di daerah subtropis, sedangkan di Indonesia terdiri dari 2 gelombang saja dengan sistem yang hampir sama. Folikel Aktif dan Inaktif Estrogen Menurut kemampuannya menghasilkan hormon estrogen, folikel dibedakan menjadi aktif estrogen atau berkembang dan inaktif estrogen atau atretik. Diameter folikel-folikel aktif estrogen meningkat pesat dari hari ke 17 sampai akhir lonjakan LH atau sekitar 1 hari sebelum ovulasi, sementara itu folikel terbesar tetap berkembang sampai mendekati estrus. Diperlukan waktu 22 hari bagi suatu folikel ovaria sapi untuk berkembang dari ukuran antrum kecil (diameter 0,4 mm) sampai mencapai ukuran antrum besar (diameter > 10 mm). Suatu folikel yang sedang berkembang membutuhkan waktu 5 hari untuk dipilih dalam proses pematangan dan fungsional pada saat estrus. Mulai hari ke 4 sampai estrus terdapat satu folikel besar (diameter lebih dari 8 mm) di dalam ovarianya setiap hari (Arthur, 2001 and Ball, 2004). Setelah regresi korpus luteum, folikel-folikel aktif estrogen maupun inaktif estrogen ada di dalam ovaria, namun setelah lonjakan LH hanya folikel-folikel aktif estrogen saja yang tertinggal. Folikel-folikel ovulasi berkembang dalam ukurannya dan jumlah reseptor LH dalam sel-sel teka dan granulosa bertambah. Sebagai hasilnya, folikel-folikel ini menjadi lebih responsif terhadap LH dan meningkat kemampuannya menghasilkan estrogen. Sebaliknya, jumlah reseptor FSH berkurang di dalam folikel-folikel ovulasi pada saat ini. Folikel ovulasi merupakan folikel dominan terbesar di dalam ovaria pada saat estrus dan merupakan salah satu dari dua folikel terbesar selama 3 hari sebelum estrus.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Lonjakan hormon gonadotropin preovulasi merubah folikel-folikel aktif estrogen menjadi inaktif estrogen, kadar estrogen dan jumlah reseptor LH dalam sel-sel granulosa dan teka berkurang. Konsentrasi estradiol tetap tinggi (> 1 mg/ml) dalam folikel preovulasi sebelum lonjakan LH, kemudian menurun secara tajam setelah lonjakan tersebut. Selama periode pasca ovulasi, hari ke 3 - 7, satu folikel aktif estrogen tunggal berkembang, sedangkan folikel-folikel aktif estrogen lainnya mengalami regresi. Folikel ini kemungkinan merupakan sumber peningkatan kadar estradiol dalam darah pada periode tersebut (Arthur, 2001 and Ball, 2004). 2. Fertilisasi

Gb.1. oosit sapi sebelum masak

Gb 2. Oosit masak yang diovulasikan

Gb 3. Pronukleus jantan dan betina

Gb.4. Polyspermia fertilization setelah fertilisasi

Keberhasilan fertlisasi ditentukan oleh keberhasilan pembentukan polimorfonuklear setelah fertilisasi yaitu pronukelus jantan yang merupakan hasil kondensasi dari kepala spermatozoa postdekapitasi dan pronukleus betina yang merupakan perubahan dari nukleus Metafase II oosit. Seperti diketahui kapasitasi spermatozoa dimana terjadi perubahan kapasitas spermatozoa sehingga mampu melakukan fertilisasi di saluran
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

reproduksi betina sangat menentukan keberhasilan fertilisasi, perubahan akrosome, 10

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com pelepasan enzim hyaluronidase dan procrosin, hypermetabolisme dan hyepermotility sebagai salah satu proses seleksi spermatozoa pada saat proses fertilisasi. Monospermia sebagai salah satu syarat utama normalitas kromosom setelah fertiliasasi, gambar 4 nmenunjukkan kegagalan fertilisasi yang berupa polyspermia yang akan mengakibatkan abnormalitas kromosom yang akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan bahkan kematian embrio.

Gb.5 Embryo cleavage Day 3

PI

Gb6. Blastocyst Day 7,8 PI

Cleavage terjadi pada hari ke 3 setelah inseminasi (PI:Post Inseminasi)), hari ke 3 PI akan bterlihat variasi cleavage/pembelahan, mulai dari 2 sel sampai 8 sel. Embrio dengan 8 sel blastomere akan mempunyai peluang untuk berkembang menjadi blastocyst di hari ke 7, sedangkan yang kuarng dari 8 sel biasanya akan mengalami block development dan gagal menjaid blastocyst. Blastocysts yang baik akan mempunyai blastocoel yang bersih dan Inner Cell Mass yang kompak dan bersih juga. SKEMA PENGARUH NUTRISI TERHADAP SIKLUS REPRODUKSI

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

11

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com

Skema Difisiensi Nutrisi

Involusi uterus Involusi Uterus Pada sapi bunting, selama periode 1 bulan sebelum kelahiran dan 1 bulan pasca kelahiran, dipengaruhi secara langsung oleh metabolisme endokrin. Saat sapi memasuki periode transisi, pertahanan harus sudah dipersiapkan untuk kelahiran yang akan datang, uterus dan ovarium harus sudah kembali ke tahap tertentu untuk mempersiapkan kebuntingan baru . Lumen uterus menegang sekitar 70 kg pada saat kelahiran, termasuk cairan, membran fetus, dan fetus. Sekitar setengah dari berat ini berisi cairan dan setengah lainnya termasuk fetus dan selaput fetus.Namun, setelah proses kelahiran tersebut, uterus menjadi besar dan lembek, panjang mencapai hampir satu meter dan berat mencapai 9 Kg.Kembalinya uterus dengan penyusutan kecepatan diameter merupakan mekanisme perlindungan terhadap infeksi yang meningkat .
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

12

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Involusi uterus melibatkan hilangnya cairan intraluminal, penyusutan ukuran, dan perbaikan endometrium. Selama dua hari pertama setelah melahirkan, cairan yang dikeluarkan adalah serosanguineous, dan perubahan karakter setelah terputusnya karunkula menggambarkan eliminasi sisa-sisa jaringan desidua karunkula mulai 3 sampai 4 hari setelah kelahiran dan meningkat sampai hari ke-9, dan secara bertahap bercampur dengan darah yang berasal dari perdarahan pada permukaan karunkel. Sejumlah besar darah dalam uterus pasca kelahiran, yang bercampur dengan sisa-sisa bagian karunkula setelah 4 hari, yang berubah menjadi caitran bening pada hari ke-12 pasca melahirkan dan lama-kelamaan menurun kuantitas cairan tersebut pada hari ke-23 pasca melahirkan. Cairan ini disebut lokia uterus, terdiri dari leleran mukosa, dentritus, darah, jaringan yang dimulai 3-4 hari dan mulai berkurang sampai hari ke-9 pasca melahirkan. Lokia mempunyai warna yang berbeda, mulai dari putih, putih kekuningan atau abu-abu dengan karakter mukopurulent yang merupakan bagian akhir dari periode puerperal. Cairan ini dianggap sebagai proses normal (Diagram 1).

Diagram 1. Perubahan volume lokia dalam involusi uterus selama 20 hari pertama pasca melahirkan pada sapi perah Selama periode pasca melahirkan, terjadi involusi uterus dan cervix tetap membuka yang berfungsi untuk mengeluarkan isi uterus. Penurunan berat uterus, diameter dan panjang yang terjadi ditunjukkan dalam skala logaritmik (Diagram 2). Penyusutan ukuran dapat dijelaskan oleh kontraksi peristaltik sebagian pada interval 3 sampai 4 menit selama hari pertama pasca melahirkan dan terus berlanjut sampai hari kedua. Kontraktilitas uterus pasca melahirkan dengan merekam dan mengukur frekuensi, amplitudo dan durasi perubahan tekanan intrauterin antara 12 jam sampai 48 jam setelah kelahiran

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

13

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com

Diagram 2. Perubahan uterus pada -Berat; -Diameter dan -Panjang selama 20 hari pertama pasca melahirkan pada sapi (Benzaquen, 2006). Frekuensi rata-rata kontraksi uterus adalah 8,9 per jam pada 12 jam pasca melahirkan dengan kisaran 6 sampai 11 kontraksi setiap jam. Frekuensi kontraksi menurun menjadi 1,8 kontraksi per jam pada 48 jam post partum. Penurunan terbesar nilai rata-rata terjadi antara 12 dan 24 jam pasca melahirkan, dan frekuensi menurun sebesar 46% dari nilai rata-rata awal. Hasil dari amplitudo menunjukkan nilai rata-rata individu awal 40 mmHg pada 12 jam. Perubahan amplitudo berarti menunjukkan pola yang sama sebagai frekuensi, dengan nilai rata-rata tertinggi awal 12 jam pasca melahirkan (19,6 mmHg) dan penurunan 16% dari nilai awal pada 48 jam pasca melahirkan (3,2 mmHg). Penurunan paling menonjol (42%) dalam hal ini juga terjadi antara 12 dan 24 jam pasca melahirkan. Rata-rata durasi pada 12 jam adalah 89,8 detik dan bervariasi menjadi 102,5 pada 36 jam serta 67,9 detik pada 48 jam pasca melahirkan. Ada hubungan yang signifikan dengan kadar darah Ca2+ pada salah satu sapi dari empat kali rekaman tersebut. CROSSBREED dan ANTISIPASINYA Di Indonesia, di Jawa khususnya peternak suka dengan crossbreed yang dikenal dengan Simpo dan Limpo. Persilangan antara Simental dan PO serta Limousine dan PO (Perakanan Ongole). Anak yang dihasilkan sangat bagus, karena sebagian sifat pejantan yaitutuimental dan Limousine dominan dan diturunkan pada anaknya, badan yang besar, pertumbuhan yang cepat menyebabkan harga melambung melebihi breed lokal yaiyu PO. Seiring dengan maraknya crossbreed yang tidak terkendali sampai F3 dan F4 maka performan reproduksinya berubah, yang paling mudah dirasakan adalah adanya kesulitan kebuntingan ketika perkawinan terutama pada F2.
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

14

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Hal ini menajdi masalah namun crosbreed terus saja berlangsung. Masih dalam penelitian mengapa hal tersebut terjadi. Dalam tabel dibawah ini ada data sederhana tentang panjang estrus dari sapisapi crossbreed yang mungkin terkait dengan kegagalan perkawinan atau IB (Inseminasi Buatan) Tabel 3. Panjang estrus pada siklus estrus beberapa jenis sapi di sebagian daerah Yogyakarta _________________________________________________________________________ Jenis sapi Simpo Limpo PO Jumlah sapi 55 45 37 Panjang estrus >24 jam 45 38 2 _________________________________________________________________________

_________________________________________________________________________ Data di atas kami ambil sebagai hal yang penting terkait dengan waktu perkawinan, seperti diketahui bahwa panjang eatrusdari crossbreed Simpo (Simmetal PO) dan Limpo (Limousine PO)melebihi 24 jam, Dapat dipastikan waktu ovulasinyapun akan bertambah panjang, karena ovulasi terjadi pada akhir estrus dan awal medestrus, sehingga apabila IB dilakukan 12 jam sesudah puncak estrus atau teori sore minta pagi di IB pastulah terlalu cepat sehingga ovulasi belm terjadi sudah di IB, akibatnya spermatozoa terlalu cepat diinseminasikan. Bahkan beberapa sapi mempunyai panjang estrus lebih dari 6 hari. Data di atas masih snagat sederhana perlu penelitian lebih lanjut. Sedangkan sapi PO sebagian besar masih menunjukkan panjang estrus yang normal, sehingga teori tentang waktu IB yang lama masih bisa digunakan. Untuk memastikan waktu estrus dokter dapat melakukan pemeriksaan pada folikel apakah sudah ada ovulasi atau belum (baca folikuler dinamika ovarium) Penelitian lain yang terkait sebagai tambahan, pada sapi perah jenis Holstein terjadi peningkatan waktu anestrus postpartum dan lebih panjang waktu 90 hari dibanding crossbreed lain pada sapi perah.Berat lahir crossbreed sapi perah lebih ringan namun lebih cepat mengelami pubertas dibanding yang non crossbreed. Tidak ada perbedaan pada BCS dengan pola pemelihraan yang sama antara pure dan crossbreed. Daptlah kami garis bawahi bahwa kita harus perhatikan bahwa crosbreed dapat merubah performan reproduksi sehingga diperlukan langkah-langkah antisipasi dan pengendalian sehingga tidak merugikan.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

15

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Penyimpanan spermatozoa Spermatozoa beku berupaka salah satu faktor keberhasilan IB yang penting. Kualitas post thawing yang baik akan emmberikan tingkat kebuntingan yang baik. Salah satu hal yang kurang diperhatikan adalah kualitas penyimpanan semen beku dan thawing yang tidak mengikuti aturan. Sekedar untuk pengetahuan bahwa Nitrogen cair adalah zat yang menjaga suhu penyimpaan jauh di bawah 0 C secara ekstrim. Nitrogen cair adalah nitrogen yang sangat rendah temeraturnya, yang merupakan hasil proses dari fraksional destilisai dari udard. Liquis nitrogen tanpa warna dengan densitas 0.807 g/mL. Sering disingkat dengan LN2. Suhunya mencapai 196 C atau -321 F dan bersifar cryogenik dapat disimpan dalam tangki yang vakum, ukuran tangki sangat mempengaruhi kondisi LN2. Penemu dari LN2 ini adalah Jagiellonian University pada 15 April 1883 oleh ilmuwan Polish physicists, Zygmunt Wrblewski and Karol Olszewski. Leidenfrost effect adalah efek yang timbul dari LN2 yang mudah berubah sifatnya terutama temperaturnya ketika bertemu dengan obyek yang hangat atau lebih tinggi temperaturnya. Terkait dengan hal tersebut, salah satu yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan spermatozoa adalah peningkatan suhu termos atau container yang dapat mengakibatkan kenaikana suhu termos dan berkurangnya LN2 cair. Peningkatan suhu termos dapat diketahui secara linear dengan penurunan permukaan dari LN2. Setiap penurunan 1 cm tinggi permukaan pada container dapat meningkatkan suhu sampai 10 C. Jadi betapa pentingnya menjaga volume LN2 cair pada container penyimpanan spermatozoa. Semakin sering dibuka maka semakin cepat LN2 menguap dan meningkatkan suhu container yang akan menurunkan tingkat viabilitas spermatozoa Di bawah ini beberapa hasil penelitian terkait sistem thawing yang benar, thawing yang slah juga akan mengakibatkan kegagalan post thawing motility menjadi baik. Data tersebut menunjukkkan pengaruh suhu thawing, waktu thawing dan metode thawing yang baik dengan parameter tingkat motilitas dan viabilitas dari sperma post thawing. Lebih lanjut diterangkan bahwapPerubahan pada liquid nitrogen agar berpengaruh pada sturuktur morfologi spermatozoa dan kemampuan hidup seprmatozoa. Suhu optimum adalah 35 s.d 37 C selama 30 detik . Semakin rendah atau suhu thawing akan menurunkan motilitas dan viabilitas spermatozoa. Penggunaan saku/pocket dan alat lain dengan suhu yang tidak tertentu untuk thawing sama sekali tidak dibenarkan karena dapat mengakibatkan tingkat viabilitas menjadi sangat rendah (bisa mencapai lebih kurang 1 % motilitas). Meskipun contaner sudah dirancang untuk circulating gas LN2 namun suhu minus 80 C selama 4 detik sudah akan merusak semua spermatozoa di dalam container tersebut.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

16

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

17

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Terkait dengan hal tersebut yang harus diperhatikan : 1. Kondisi container tidak bocor dapat dicoba dengan memasukkan liquid nitrogen beberapa ml liter lalu dibiarkan untyuk menguji tingkat kebocoran. Bocoar bisanaya pada penutup dan sambungan container 2. 3. Containet apabila diisi LN2 harus secara reguler diperiksa tingkat ketinggian dari Canister harus tercelup dalam LN2, dan straw yang didinginkan harus tercelup permukaan LN2, berkurangnya ketinggian harus selalu diukur secara periodik secara utuh ke dalam canister, apabila volumen LN2 berkurang akan mengakibatkan pendeknya viabilitas spermatozoa/ embrio. 4. 5. Pada saat mengambil straw untuk thawing pastikan canister selalu di dalam Teknologi Reproduksi : IVF (IVP) dan Transfer Embrio ICSI Cloning container untuk menghindari suhu yang meningkat.

Transfer embrio mulai dipraktekkan pada petani di negara maju, seperti Jepang, Amerika, Eropa dan Australia. Di Indonesia biaya produksi yang tinggi serta material yang terbatas kualitasnya menyebabkan teknologi ini belum bisa dimasyarakatkan. IVF (In Vitro Fertilization ) atau produksi embrio IVP (In Vitro Embryo Production) dapat diproduksi di Indonesia termasuk laboratorium repoduksi FKH UGM. Teknik ini dimulai dengan koleksi oosit immature dari ovarium di slaughter house atau ovum pick up dari ovarium hewan hidup. Kemudian di laboratorium dilakukan IVM (In vitro Maturation) bertujuan suapaya oosit dengan nukeus belum masak (GV/GVBD/MI atau Anafase Telofase) dapat menjadi nukleus Metafase II (MII). IVF dilakukan dnegan menginseminasikan spermatozoa dalam MII tadi selama 5 jam dalam medium IVF , antara lain Bracket Oliphant medium IVF. Setelah IVF dilanjutkan dengan In Vitro Culture (IVC). IVC selakukan sampai hari ke 7, 8 dan 9 post insemination (PI) pada sapi dan bervariasi pada species lain. Blastocysts yang diperoduksi bisa langsung ditansfer maupun dilakukan manipulasi misalnya dilakukan pembekuan, sexing, membuat chimera embrio dll. ICSI (Intra Sitoplasmic Sperm Injection) adalah salah satu bagian dari IVF yang dilakukan menggunakan alat micromanipulation. Teknologi ini dilakukan sebagai metode untuk membantu penetrasi spermatozoa dan membantu proses fertilisasi spermatozoa ke dalam oosit. Seperti diketahui tidak semua spermatozoa mempunyai kemampuan untuk menembus zona pelusida oosit. Hal ini bisa dikarenakan kualitas spermatozoa yang rendah sehingga tidak mampu menembus zoan pelusida atau hal khusus seperti sifat antibodi yang muncul pada oosit tertentu yang menaganggap
Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

18

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com spermatozoa yang masuk bersifat antigen sehingga dibunuh. Dengan ICSI maka spermatozoa dapat masuk langsung ke ooplasma dan melanjutkan proses fertilisasi disamping itu karena hanya satu spermatozoa yang dimasukkan (single spem pick up) maka dapat mencegah kejadian polyspermia pada spesies yang cenderung polyspermia dan menajadi monospermia. Selanjutnya proses perkembangbiakan seperti pada proses IVP di atas. Cloning adalah teknologi perkembangbiakan khusus yang tanpa melibatkan spermatozoa. Cloning bertujuan menghasilkan individu baru yang sama 100 % kromosomnya dengan sel donor. Teknologi ini bisa digunakan pada pet animal ataupun untuk tujuan kesehatan. Secara garis besar cloning dimulai dengan maturasi oosit, kemudian dilakukan denucleasi dengan pengambilan nukleus oosit MII supaya oosit tidak membawa sifat gamet lagi (fertilisasi harus ada gamet jantan dan betina). Sel donor yang sudah siap dimasukkan dengan alat micromanipulai atau ditempelkan pada oosit. Penyatuan atau fusion dilakukan secara kimiawi maupun listrik, supaya anatara sel donor dan oosit penerima menyatu. Selanjutnya dilakukan culture seperti IVC pada IVP. Blastocyst yang dihasilkan akan mempunyai kromosom yang sama dengan sel donor karena tidak adanya fertilisasi atau pembiakan generatif. Demikian sekilas tentang teknologi reproduksi modern yang sudah kita kuasai, bahasan secara detail mungkin di kesempatan lain atau di tulisan selanjutnya. Terimakasih. Ucapan terimakasih Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada mahaiswa koas atas data yang diberikan, Indah dan Frenki yang tulisannya yang sudah saya sitasi. Kepada semua fihak yang membantu tuilisan ini selesai.
SUMBER PUSTAKA

Agung B, Otoi T, Wongsrikeao P, Taniguchi M, Shimizu R, Watari H, Nagai T. Effect of maturation culture period of oocytes on the sex ratio of in vitro fertilized bovine embryos. J Reprod Dev. 2006 Feb;52(1):123-7. Epub 2005 Nov 7. Agung B, Otoi T, Abe H, Hoshi H, Murakami M, Karja NW, Murakami MK, Wongsrikeao P, Watari H, Suzuki T.Relationship between oxygen consumption and sex of bovine in vitro fertilized embryos. Reprod Domest Anim. 2005 Feb;40(1):51-6. Arthur,G.H., David, E.N., Pearson H.2001. Veterinary Reproducttion and Obstetrics.8th ed. Balliere Tindall. London. Barth, A.D.; Brito, L.F.C.; Kastelic, J.P. 2008. The effect of nutrition on sexualdevelopment of bulls. Theriogenology. 70:485-494. Ball, P.J.H and A.R. Peters.2004. Reproduction in Cattle. Blackweel Publishing : Oxford.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

19

Diunduh dari : www.dokterhewanjogja.com Bajcsy, A. C., O. Szenci, A. Doornenbal, G. C van der Weijden, C. Csorba, L. Kocsis, I. Szucs, S. Ostgard, and M. A. Taverne. 2005. Characteristics of Bovine Early Puerperal Uterine Contractility Recorded Under Farm Conditions. Theriogenology. 64:99-111. Bearden, H.J., Fuquay, J.W., and Willard, S.T. 2004. Applied Animal Reproduction, Sixth Edition. Upper Saddle River. New Jersey. Ferrel, C.L. 1991. Nutritional influences on reproduction. In Reproduction in DomesticAnimal. Fourth Edition. Ed. P.T. Cupps. Academic Press. San Diego California. Garnsworthy, P.C.; Lock, A.; Mann, G.E.; Sinclair,K.D.; Webb, R. 2008. Nutrition,Metabolism, and Fertility in Dairy Cows: 1. Dietary Energy Source and OvarianFunction. Journal of Dairy Science. 91:3814-3823. Hardjopranjoto, H.S.1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya : Airlangga. Howland, B.E. and Ibrahim, E.A. 1973. Increased LH-suppressing effect of oestrogen inovariectomized rats as a result of underfeeding. Journal of Reproduction Fertility.35:545548.IAnson, H.; Foster, D.L.; Foxcroft; G.R.; Booth, P.J.; 1991. Nutrition and reproduction. InOxford Reviews of Reproductive Biology. Volume 13. Ed. Lindsay, D.R.; Martin, G.B.; Williams, I.H. 1993. Nutrition and reproduction. In WorldAnimal Science B.9 Reproduction in Domesticated Animals. Ed. King,G.J. Elsevier Hafez, E. S. E. 1993. Anatomy of Female Reproduction. In Reproduction in Farm Animals 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia. Hasty, L. A., J. D. Lambris, B. A. Lessey, K. Pruksananonda, and C. R. Lyttle. 1994. Hormonal Regulation of Complement Components and Receptors Throughout the Menstrual Cycle. American Journal Obstetry Gynecology. 170:168-175. Marazziti D, Dell'Osso B, Baroni S et al. 2006. A relationship between oxytocin and anxiety of romantic attachment. Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health 2: 28. Moraitis, S., I. A. Taitzogloub, M. P. Tsantarliotouc, C. M. Boscosa, E. Kaldrimidoud and Ph. Saratsisa. 2004. Involvement of The Plasminogen Activation System in Cow Endometritis. Theriogenology. 61:337-349. Mortimer, R. G,. P. W. Farin, and R. D. Stevens. 1997. Reproductive examination of the nonpregnant cow. Current Therapy in Large Animals Theriogenology. W. B.Sounders Comp. Philadelphia. Nathanielsz, P. W. 1993. A Time to be Born: How The Fetus Signals to the Mother that it is Time to Leave the Uterus. Cornell Veterinay. 83:181-187. Martin, G.B. and Walkden-Brown. 1995. Nutritional influences on reproduction in maturemale sheep and goats. Journal of Reproduction Fertility. Supplement 49:437-449. Wattiaux, M.A. 2011. Nutritiond and feeding. Chapter 5 : Protein Metabolsm in Dairy cows.

Seminar Updating Penyakit Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar PDHI Cab. DIY 8 Maret 2012

20

Anda mungkin juga menyukai