Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

REPRODUKSI TERNAK
KEBUNTINGAN

OLEH :
AUDRI WOLOLI
NPM: 91911407132013

UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO


FAKULTAS PERTANIAN
PETERNAKAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Setelah terjadinya pertemuan antara sperma dengan sel telur dalam
perkawinan, maka terjadilah kebuntinan. Kebuntingan yaitu perkembangan
embrio pasca fertilisasi menjadi fetus sampai dengan kelahiran   anak
hewan/ternak. Terjadinya kebuntingan dapat didiagnosa dengan melihat tanda-
tanda kebuntingan pada ternak yang ditandai dengan perubahan organ reproduksi
ternak selama kebuntingan. Lamanya kebuntingan pada ternak dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan regulasi hormon.
Mempelajari dan memahami masa kebuntingan pada siklus reproduksi ternak
sangat penting, karena dengan mempelajari dan memahami masa kebuntingan
ternak kita dapat mengetahui tanda-tanda kebuntingan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi lamanya kebuntingan.

II. Identifikasi Masalah


1.      Apa pengertian dari kebuntingan dan faktor lamanya kebuntingan ?
2.      Apasaja metode yang digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan ?
3.      Apa tipe dari placenta ?
4.      Bagaimana regulasi hormon pada saat kebuntingan ?
5.      Bagaimana perubahan organ reproduksi selama kebuntingan ?
6.      Apasaja nutrisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi prenatal ?

III. Maksud dan Tujuan


1.      Mengetahui pengertian kebuntingan dan faktor lamanya kebuntingan.
2.      Mengetahui metode yang digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan.
3.      Mengetahui tipe placenta.
4.      Mengetahui perubahan organ reproduksi selama kebuntingan.
5.      Mengetahui regulasi hormon pada saat kebuntingan.
6.      Mengetahui nutrisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi prenatal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN LAMANYA KEBUNTINGAN

1. Pengertian Kebuntingan
Kebuntingan merupakan perkembangan embrio pasca fertilisasi menjadi fetus
sampai dengan kelahiran   anak hewan/ternak (Rangga, 2014) (Gambar
1). Periode atau masa kebuntingan adalah jangka waktu sejak fertilisasi atau
pembuahan sampai partus atau kelahiran anak. Selama periode ini sel-sel tunggal
membagi diri dan berkembang menjadi induvidu yang sempurna (Toelihere,
1977).
Pada golongan hewan mamalia perkembangan embrio dan fetus terjadi di dalam
alat reproduksi induknya sampai saatnya dilahirkan (Gambar 2). Perkembangan di
dalam uterus sangat dipengaruhi oleh nutrisi untuk pertumbuhan fetus dan
penyesuaian dari induk sampai akhir kebuntingan (Damayanti, 2014).

2. Lama Waktu Kebuntingan


Lama waktu kebuntingan biasanya dihitung dari mulai terjadinya perkawinan
sampai dengan kelahiran. Lamanya waktu kebuntingan juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor yang berasal dari induk, fetus, faktor genetik
dan lingkungan (Damayanti, 2014).
a. Faktor yang berasal dari induk (maternal)
Umur induk berpengaruh terhadap lama kebuntingan pada berbagai jenis
hewan. Pada domba yang berumur delapan tahun mempunyai waktu kebuntingan
dua hari lebih lama dari kebuntingan normal. Pada sapi dara lamanya waktu
kebuntingan lebih pendek dari sapi yang lebih tua (Feradis, 2010).
b. Faktor yang berasal dari fetus (fetal)
Suatu hubungan terbalik antara lama kebuntingan dengan besar “litter” banyak
dilaporkan pada beberapa species kecuali pada babi. Foetus yang banyak pada
jenis hewan monotocus juga mempunyai masa kebuntingan yang lebih singkat.
Anak sapi kembar berada dalam kandungan 3 sampai 6 hari kurang dari anak sapi
tunggal (Nur, 2011).
c. Faktor Genetik
Perbedaan lama kebuntingan terjadi antara spesies dan bangsa hewan.
Beberapa spesies hewan mengalami perbedaan lama waktu kebuntingan karena
anak yang dikandungnya merupakan persilangan. Pada kuda betina yang
mengandung anak hasil persilangan dengan keledai waktu kebuntingannya lebih
lama (360-380 hari) daripada apabila mengandung anak dari hasil perkawinan
dengan sesama kuda (320-360 hari) (Damayanti, 2014).
d. Faktor lingkungan
Faktor musim juga berpengaruh terhadap lama kebuntingan. Waktu
kebuntingan pada kuda yang waktu perkawinannya pada akhir musim panas dan
gugur lebih pendek daripada perkawinan pada akhir musim semi. Demikian juga
waktu kebuntingan lebih pendek sekitar 4 hari pada kuda yan diberikan pakan
lebih baik dari yang biasa diberikan (Damayanti, 2014).

B. Metode Diagnosa Kebuntingan


Diagnose kebuntingan dapat dilakukan dalam berbagai cara, sesuai dengan
anatomi saluran kelamin dan fisiologi reproduksi masing-masing ternak. Sapi,
kerbau, dan kuda cara yang efektif dengan ekplorasi rectal. Diagnose didasarkan
pada asimetri, flktuasi, konsistensi, besar, dan lokasi cornua uteri dalam rongga
pelvis atau rongga perut. Akan terasa adanya membran foetus, plasenta,
pembesaran, serta fremitus arteria uterine media dan adanya gerak foetus itu
sendiri (Widyani, 2009).
Berikut beberapa metode pemeriksaan kebuntingan yang bisa dilakukan :
1.    Persentase dari jumlah ternak yang tidak kembali estrus setelah dikawinkan
(Non return rate)
Non return adalah persentase dari jumlah ternak yang tidak kembali berahi
antara hari ke 60-90 setelah perkawinan atau inseminasi. Cara ini merupakan
kriteria umum yang dipergunakan secara meluas untuk penentuan kebuntingan
pada sapi, khususnya dalam program inseminasi buatan sapi. Cara ini terdapat
beberapa kelemahan, yakni tidak semua ternak dapat diamati secara cermat,
sehingga tidak smeua ternak yang kembali berahi diketahui, atau ternak mungkin
dilaporkan atau sudah dijual. Ada juga kejadian dimana ternak bunting dapat
menunjukkan berahi (diagnose palsu negative) dan sapi tidak bunting atau
mengalami abortus menunjukkan anestrus (diagnose palsu positif) (Nur, 2011).
2.    Diagnosa Kebuntingan secara Hormonal
Cara ini dilakukan dengan pengukuran plasma progesterone antara hari ke 18-
24 setelah dikawinkan atau insenminasi. Prinsip dari cara ini adalah sapi-sapi
yang tidak bunting pada hari ke 18, corpus luteumnya akan mengalami
kemunduran, sehingga kadar progesteronnya rendah. Tetapi sebaliknya, pada sapi
bunting corpus luetum tidak mengalami kemunduran sehingga kadar progesterone
dalam darah tetap tinggi (Nur, 2011).
3.    Metode Klinis pada Diagnosa Kebuntingan
Metoda klinis tergantung deteksi pada konseptus-fetus, membran fetus dan
cairan fetus. Metoda ini meliputi eksplorasi rektal dan teknik ultrasonografi.
Radiografi sebagai metoda diagnosa kebuntingan pada domba, kambing dan babi
saat ini sudah harus ditinggalkan karena adanya bahaya radiasi bagi operatornya
(Damayanti, 2006).
4.    Eksplarasi Rektal
  Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan
pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus
melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama
kebuntingan, fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada tahap
awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui.
Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba, dan babi maka eksplorasi rektal
untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996).
Palpasi transrectal pada uterus telah sejak lama dilakukan. Teknik yang
dikenal cukup akurat dan cepat ini juga relative murah. Namun demikian
dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga
dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia
kebuntingan di atas 30 hari (Damayanti, 2006)
5.    Teknik Ultrasonik
Teknik ultrasonik yang dipergunakan pada manusia telah diterapkan untuk
mendiagnosa kebuntingan pada domba dan babi dengan hasil yang cukup
memuaskan, namun peralatannya cukup mahal dan kurang praktis (Feradis, 2010).

C. Tipe-Tipe Placenta
Placenta dapat dianggap sebagai suatu homograft (transplant dari species
yang sama) karena secara genetic ia berbeda dari hewan induk. Walaupun bersatu,
secara intim dengan jaringan induk, ia tidak ditolak sampai kelahiran, suatu
periode yang cukup lama untuk berlangsungnya suatu reaksi hormonal dari
homograft tersebut (Nur, 2011).
Pada plasenta terdapat dua sirkulasi paralel dari fetus dan induk, sehingga aliran
darah fetus dan induk tidak tercampur. Arteri dan vena uteria menyuplai darah ke
plasenta. Arteri umbilicus membawa darah dari fetus ke plasenta, sedangkan vena
umbilicus membawa darah balik dari plasenta ke fetus. Aliran darah pada
pembuluh yang berbatasan antara induk dan fetus dapat berlawanan, searah atau
terkonsentrasi (Damayanti, 2014).
 Plasenta mempunyai banyak fungsi bagi fetus, yaitu sebagai pengganti
fungsi saluran pencernaan, paru-paru, ginjal, hati, dan kelenjar endokrin. Plasenta
juga memisahkan antara organ fetus dengan induk, memastikan bahwa
perkembangan fetus terjadi secara terpisah. Dalam fetus dann induknya tidak
pernah bertemu langsung, kedua sirkulasi tersebut cukup dekat antara khorion dan
endometrium untuk lewatnya oksigen dan nutrisi dari sirkulasi darah maternal ke
dala darah fetus, serta membawa kotoran pada arah berlawanan (Damayanti,
2014).
Selama permulaan masa kebuntingan, placenta bertambah besar melalui
proliferasi aktif dari sel-sel trophoblast. Selama pertengahan kebuntingan placenta
mencapai ukurannya hamper maksimum, yang bertepatan dengna pertumbuhan
cepat foetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Nur, 2011).
Tipe Placenta :
Tipe palcenta masing-masing mamlia berbeda-beda tergantung besar litter,
struktur bagian dalam uterus dan serajat fusi antara jaringan induk dan
foetus (Nur, 2011) (Gambar 3).
1. Plancenta epitheliochorial atau placenta difussa, mempunyai hubungan yang
meluas dan relative licin antara chorin dan epithel uterus, tidak memiliki
carunculae pada uterus dan villi-villi chorion tersebar di seluruh permukaan
placenta. Tipe ini terdapat pada babi dan kuda.
2. Placenta  syndesmochorial atau placenta cotyledoner yang ditandai tidak
adanya epithel uterus yang menutupi caruncule dan dotemukan terutama pada
sapid an domba. Cotyledon pada chorioallantois bertaut pada  bersama-sama
membentuk placentom, namun tidak smeua carunculae bercampur dnegan villi
alantochorion. Jumlah carunculae yang fungsional bertambah dengan
melanjutnya kebuntingan atau pada kebuntingan jamak.
3. Hemochorialis
Sedangkan pengklasifikasian berdasarkan bentukan pertautan dari plasenta
(distrinduksi dari vili chorion) dikenal 4 tipe, yaitu:
(1)      Plasenta Diffusa
(2)      Plasenta Cotyledonaria
(3)      Plasenta Zonaria

D. Regulasi Hormon Selama Kebuntingan


 Konsentrasi Hormon Di Dalam Darah dan Urin
Terdapat perbedaan pada beberapa spesies hewan mengenai eksresi hormon
estrogen melalui urin. Pada kuda betina konsentrasi hormon estrogen di dalam
plasma darah cederung rendah pada 3 bulan sampai puncaknya antara bulan ke-9
sampai bulan ke-11 umur kebuntingan. Penurunan dan peningkatan dari
perkembangan gonad sinergi dengan peningkatan dan penurunan konsentrasi
estrogen dalam plasma darah dan estrogen dalam urin selama pertengahan ke-2
dari kebuntingan (Damayanti, 2014).
 Progesteron
Progesteron adalah hormon utama untuk memelihara kebuntingan. Cl hadir
selama kebuntingan terjadi pada semua ternak mamalia kecuali pada kuda.
Sumber progesteron selama pertengahan akhir kebuntingan berasal dari plasenta
(kuda dan domba) dan dari CL (sapi, kambing, dan babi) (Damayanti, 2014).
 Estrogen
Terjadi perbedaan antar spesies dalam eksresi estrogen dari saluran urinaria.
Pada kuda, konsentrasi plasma estrogen tetap rendah selama 3 bulan pertama
kebuntingan, kemudian meningkat mencapai puncak antara bulan ke-9 dan ke-11,
setelah itu menurun hingga waktu melahirkan (Damayanti, 2014).
 Equine Chorionic Gonadotopin (eCG)
Antara hari 40-130 kebuntingan, eCG (juga dikenal dengan nama PMSG)
dengan konsentrasi tinggi hadir dalam sirkulasi darah maternal tetapi tidak dalam
darah fetus. eCG yang disekreesi oleh sel-sel tropoblas dan bukan oleh
endometrium, melisiskan melutenisasi folikel dan memelihara fungsi corpora
lutea sekunder (Damayanti, 2014).

E. Perubahan Organ Reproduksi Selama Kebuntingan


Sampai pertengahan kebuntingan, terjadi perubahan-perubahan pada saluran
alat reproduksi terutama pada vulva dan vagina. Vulva menjadi odematus dan
vaskularisasi meningkat. Perubahan vulva pada sapi sangat jelas dibandingkan
pada kuda dan terjadi pada bulan kelima kebuntingan, pada sapi dara dan bulan
ketujuh pada sapi yang telah pernah beranak mukosa vagina tampak pucat dan
kering selama masa kebuntingan tetapi odematus dan lunak pada akhir masa ke
Serviks, selama masa kebuntingan, perkembangan fetus di dalam uterus ditahan
oleh os eksternal dari serviks terjadi lendir kental sebagai penutup kanalis
servikalis. Ini disebut sebagai lendir penyumbat kebuntingan (mucus plug of
pregnancy). Lendir ini akan meleleh ketika mendekati waktu kelahiran (Suharyati,
2003).
Uterus, sejalan dengan masa kebuntingan, uterus secara bertahap berkembang
membesar sesuai dengan perkembangan fetus, tetapi myometrium tak
berkontraksi sehingga tidak menimbulkan penekanan. Tiga fase dialami pada
perkembangan uterus, yaitu proliferasi, pertumbuhan dan peregangan. Proliferasi
pada sel-sel endometrium terjadi sebelum implantasi blastosis ini dicirikan oleh
persiapan pemekaan terhadap progesteron pada endometrium. Pertumbuhan uterus
dimulai setelah implantasi dan terdiri dari hiperopi otot, peningkatan jaringan ikat
substansi dasar dan peningkatan serabut kolagen (Suharyati, 2003).
Ovarium, corpus luteum pada kebuntingan dipertahankan sebagaii corpus
luteum graviditatum (corpus luteum verum) akibatnya siklus birahi tidak terjadi.
Pada beberapa sapi, estrus tetap terjadi meskipun dalam masa kebuntingan awal.
Hal ini karena tetap terjadi perkembangan folikel pada ovariumnya. Pada kuda
terdapat perkembangan 10-15 folikel pada ovariumnya pada hari ke-40 sampai
160 kebuntingan. Folikel-folikel ini akan mengalami uteinisasi menjadi corpus
luteum asesoris. Pada sapi corpus lueum dipertahankan selama masa kebuntingan,
tetapi pada kuda semua corpus luteum yang telah terbentuk mengalami regresi
pada bulan ketujuh dari masa kebuntingan (Damayanti, 2014).
buntingan (Damayanti, 2014).

 Kebuntingan Kembar pada Hewan Unipara


Sapi dan kerbau termasuk hewan unipara yang secara normal melepaskan
satu ovum sewaktu ovulasi dan hanya satu fetus yang berkembang di dalam
uterus. Terkadang terjadi kembar dua dan jarang sekali kembar tiga. Kelahiran
kembar atau majemuk pada unipara tidak diinginkan dan dalam banyak hal
bersifat patologik serta sering berbahaya terhadap induk maupun fetus. Kejadian
abortus untuk kebuntingan kembar sesudah tiga bulan masa kebuntingan adalah
lebih besar dari pada kebuntingan tunggal. Kira-kira 30-40% kebuntingan kembar
berakhir dengan abortus. Presentase ini kadang-kadang menigkat mencapai 50%.
Pada kebuntingan tunggal yang normalnya 3-5% berakhir dengan abortus. Angka
konsepsi sesudah ovulasi kembar hanya setengah dari ovulasi tunggal
(Suharyati,Sri. dkk, 2003).
Banyak kebuntingan kembar berakhir dengan premature. Periode kebuntingan
kembar umumnya 5 hari lebih singkat dari pada kebuntingan tunggal. Kejadian
abortus dan kelahiran premature adalah lebih tinggi pada triplet dan kebuntingan
majemuk lainnya. Sedikit sekali turunan betina fertil yang berhubungan dengan
sifat kembar.Anak kembar biasanya lebih kecil dan lebih lemah dari pada anak
tunggal. Hal ini mungkin disebabkan Karena berkurangnya daerah plasenta atau
berkurangnya zat makanan yang tersedia untuk setiap fetus, dan Karena
penyingkatan periode kebuntingan (Suharyati,Sri. dkk, 2003).
Distokia pada akhir kebuntingan kembar juga lebih sering terjadi
dibandingkan dengan pada kelahiran tunggal. Hal ini terjadi karena beberapa
sebab termasuk kehilangan tonus uterus yang berkembang, adanya fetus yang mati
dan menggembung, letak fetus kembar yang menyilang, dan sering terjadinya
letak sungsang pada salah satu fetus. Sebab – sebab kelahiran kembar perlu
diketahui agar dapat dicegah. Sebab – sebab tersebut dapat dibagi atas pengaruh
lingkungan dan pengaruh herediter (Suharyati,Sri. dkk, 2003).
Pengaruh lingkungan terdiri dari musim, umur induk, perkawinan yang
terlampau cepat, sesudah melahirkan dan penyuntikan hormone FSH. Musim
mungkin mempunyai pengaruh terhadap kebuntingan kembar dan berhubungan
dengan perbaikan makanan pada permulaan musim hujan. Umur induk ikut
mempengaruhi kebuntingan kembar. Kejadian kembar jarang terjadi pada induk
muda dan makin sering dengan meningkatnya umur, kemudian menurun lagi pada
hewan tua (Suharyati,Sri. dkk, 2003).
Pengaruh herediter meliputi perbedaan bangsa, perbedaan antara induk dan
pejantandan sista ovaria. Perbedaan bangsa dalam kejadian kembar dapat dilihat
dari kenyatan bahwa kembar sering terjadi pada bangsa sapi perah dan jarang
pada bangsa sapi potong (Suharyati,Sri. dkk, 2003).

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prenatal


 Nutrisi
Blastosis atau awal embryo mendapat asupan nutrisi dari cairan endometrial.
Sedangkan fetus menerima suplai makanan dari sirkulasi maternal melalui
plasenta. Fetus membutuhkan karbohidrat, protein, vitamin serta mineral untuk
berdiferensiasi pada perkembangan dan pertumbuhan selanjutnya (Damayanti,
2014).
Fetus menerima suplai glukosa secara kontinyu dari induknya melalui
plasenta. Glukosa adalah bahan bakar metabolis utama bagi fetus. Hingga akhir
masa kebuntingan, fetus mengakumulasikan glikogen pada hati dan otot skeletal
untuk membantu dalam periode transisi setelah lahir sampai waktu menyusu
yanng efisien terjadi. Fruktosa sedikit diabaikan, kecuali konsentrasi gula
darahnya sangat rendah (Damayanti, 2014).

 Jumlah Anak per Litter


Pada hewan jenis polytocus, makin banyak jumlah anak per litter makin
kurang kecepatan pertumbuhan individu prenatal karena kompetisi antara fetus di
dalam uterus. Berat fetus cenderung berbanding terbalik dengan jumlah anak per
litter. Hubungan ini sebgian disebabkan oleh variasi fungsi plasenta dan lama
kebuntingan. Pada jenis hewan monotocus, fetus kembar umumnya lebih kecil
daripada fetus tunggal (Feradis, 2010).

 Ukuran Plasenta
Gangguan pertumbuhan prenatal atas pengaruh plasenta dapat disebabkan oleh :
1. Ukuran plasenta.
2. Kondisi yang mempengaruhi ksndungan makanan di dalam daerah induk atau
pemberiannya ke plasenta.
3. Perkembagan yang kurang baik, kerusakan  dan abnormalitas membran plasma,
yang mempengaruhi pengangkutan melalui membran tersebut atau gangguan
sirkulasi plasenta fetalis (Feradis, 2010).

 Suhu dan Udara Luar


Suhu udara luar yang tinggi selama kebuntingan mempengaruhi besar fetus
pada beberapa spesies. Hewan-hewan yang terlampau kecil pada waktu lahir
adalah fisiologik prematur dan mudah mati sesudah lahir karena mekanisme
pengaruh  dalam kelahiran suhu yang kurang baik dan ketidaksanggupannya
menghadapi stres lingkungan baru. Sebab-sebab yang pasti dalam kelahiran
prematur secara fisiologik hingga kini belum jelas (Toelihere, 1993).

 Hereditas
Ukuran fetus secara genetik ditentukan oleh komplemensi gennya sendiri,
komplemensi gen induk dan komplemensi intrauterin dengan fetus lain.
Perbedaan-perbedaan jenis, bamgsa dan strai dalam ukuran fetus sebagian
disebabkan oleh perbedaab kadar pembagian seluler (Feradis, 2010).

 Besar dan Ukuran Induk


Besar induk mempunyai korelasi positif dengan pertumbuhan prenatal, lebih
besar lebih baik. Pengaruh induk terhadap ukuran  fetus lebih jelas terlihat pada
kuda dan sapi daripada domba karena masa kebuntingan yang relatif panjang,
dimana jaringan induk bersaing dengan pertumbuhan fetus untuk periode yang
lebih lama sehingga lebih efektif mengontrol besar fetus (Feradis, 2010).
BAB III
KESIMPULAN

1. Kebuntingan merupakan perkembangan embrio pasca fertilisasi menjadi fetus


sampai dengan kelahiran   anak hewan/ternak. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi lamanya kebunatingan antara lain faktor yang berasal dari
induk, fetus, dan genetik.
2.  Metode yang digunakan untuk memniagnosa kebuntingan
antaralain, persentase dari jumlah ternak yang tidak kembali estrus setelah
dikawinkan (non return rate), diagnosa kebuntingan secara hormonal, metode
klinis pada, eksplarasi rektal,teknik ultrasonik.
3. Tipe-tipe placenta diantaranya adalah plancenta epitheliochorial,
placenta  syndesmochorial, hemochorialis
4. Perubahan organ reproduksi salama kebuntingan diantaranya vulva menjadi
odematus dan vaskularisasi meningkat, vagina pucat dan kering, serviks terjadi
lendir kental sebagai penutup kanalis servikalis, uterus secara bertahap
berkembang membesar sesuai dengan perkembangan fetus, pada
ovarium corpus luteum pada kebuntingan dipertahankan sebagaii corpus
luteum graviditatum (corpus luteum verum) akibatnya siklus birahi tidak
terjadi.
5. Regulasi hormon pada saat kebutingan meliputi konsentrasi hormon di dalam
darah dan urin, progesteron, estrogen, equine chorionic gonadotopin (eCG).
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi prenatal adalah hereditas, besar dan umur
induk, nutrisi, jumlah anak per litter, suhu dan udara luar, dan ukuran plasenta.
DAFTAR PUSTAKA

Arthur, G. F.; Noakes, D.E.and Pearson, H. 1989. Veterinary Reproduction and


22 Obstetrics. 6ed . Bailliere Tindall. London.
Damayanti, Tita. 2006. Metode Deteksi Kebuntingan . Universitas Padjadjaran.
Bandung.
Damayanti, Tita. 2014. Ilmu Reproduksi Ternak. Airlangga University Press.
          Surabaya.
Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Alfabeta. Bandung.
Nur, Ihsan, Moh., MS. 2011. Ilmu Reproduksi Ternak Dasar. University
Brawijaya Press. Malang.
Rangga. 2014. Powerpoint Kebuntingan. Fakultas Peternakan. Universitas
          Padjajaran.
Suharyati,Sri.dkk. 2003. Buku Ajar Ilmu Reproduksi. Jurusan Reproduksi Ternak
FP Unila: Bandar Lampung.
Toeliher, M.R. 1977. Fisiologi Reproduksi pada Tenak. Angkasa. Bandung
Toeliher, M.R. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Tenak. Angkasa. Bandung.
Widyani, Retno. 2009. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan. Swaganti
          Press. Cirebon.

Anda mungkin juga menyukai