Anda di halaman 1dari 11

REPRODUKSI TERNAK

“ ANATOMI DAN FISIOLOGI UTERUS BUNTING, MENENTUKAN UMUR


FETUS DAN DETEKSI KEBUNTINGAN“

LAPORAN PRAKTIKUM

OLEH :
Nama : Faalih Afif
Nim : D0A022070
Kelompok : 2H
Asisten : Nurvita Alvina Rahma S.

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK TERAPAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Keberhasilan reprosuksi pada pemeliharaan ternak sapi perah, dapat dinilai
dari sapi betina yang dapat melahirkan seekor anak setiap tahunnya. Peningkatan
produktivitas sapi perah dapat dicapai dengan pengelolaan pakan dan evaluasi
reproduksi. Evaluasi reproduksi dapat dilakukan dengan pemerisksaan
kebuntingan dini pasca perkawinan alam maupun dengan inseminasi buatan (IB).
Metode diagnosis kebuntingan dengan rentang waktu yang singkat dapat
menghindari kerugian waktu peternak dalam pemeliharaan sapinya karena tidak
terdeteksinya kematian embrio dini. Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat
penting bagi sebuah manajemen reproduksi.
Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang didalam
uterus seekor hewan betina. Secara visual, periode kebuntingan pada umumnya
dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak
secara normal. Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir
dengan kelahiran anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum
mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk. bermula dari sebuah sel tunggal,
yang mengalami peristiwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus
selama hidup individu tersebut tetapi berbeda dalam kadar dan derajatnya
sewaktu hewan menjadi dewasa dan menjadi tua.
Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan
setelah ternak dikawinkan. Kegiatan deteksi kebuntingan ini perlu untuk dilakukan
oleh peternak untuk meningkatkan produktivitas dan juga efisiensi dari sistem
peternakan yang ada. Terdapat berbagai macam metode yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi kebuntingan pada ternak. Pemeriksaan kebuntingan
merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan.
Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengidentifikasi
ternak yang bunting dan tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB,
sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat di tekan melalui
pemeriksaan kebuntingan yang cepat, tepat dan akurat. Pemeriksaan kebuntingan
pada ternak sapi umumnya dilakukan dengan explorasi rectal atau palpasi rectum.
Dalam melakukan palpasi rectum, tidak semua orang bisa melakukannya, hanya
orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang tersebut.

I.2 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami cara menentukan umur fetus.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami periode umur fetus.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami metode uji kebuntingan.
I.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Reproduksi Ternak acara “Anatomi dan Fisiologi Uterus Bunting,
Menentukan Umur Fetus dan Deteksi Kebuntingan” dilaksanakan pada hari Senin 06
November 2023 di Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Teknik Terapan, Fakultas
Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, pada pukul 18.30 WIB sampai dengan
selesai.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

II.1 Hasil
II.1.1 Anatomi Dan Fisiologi Uterus Bunting serta Menentukan Umur Bunting

Gambar 1. Pemeriksaan pada Fetus Sapi diduga Umur 3,5 Bulan


II.1.2 Deteksi Kebuntingan
No Uji Hasil Gambar

Sampel tabung urin sapi bunting


terdapat gelembung dan berwarna pink
1. H2SO4
keunguan, sedangkan urin sapi tidak
bunting tidak ada perubahan Gambar
2. Uji H2SO4

Sampel test pack urin sapi bunting tidak


ada dua garis biru, sedangkan uring ibu
2. Test Pack
hamil terdapat dua garis biru
mengandung HCG
Gambar 3. Uji test pack
3. Punyakoti Sampel kacang hijau dengan urin sapi Gambar 4. Uji punyakoti
tidak bunting mengalami pertumbuhan
lebih cepat daripada sampel kacang
hijau dengan sapi bunting
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Deteksi Kebuntingan
II.2 Pembahasan
II.2.1 Anatomi Dan Fisiologi Uterus Bunting Serta Menentukan Umur Fetus
Kebuntingan merupakan proses fisiologis dari mulai terjadinya fertilisasi sampai
terjadinya kelahiran (partus). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nuryanto et al.,
(2017) bahwa Kebuntingan merupakan proses fisiologis yang dimulai dari fertilisasi dan
diakhiri dengan partus atau melahirkan. Tidak munculnya estrus pada siklus berikutnya
sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa diasumsikan telah terjadi
kebuntingan. Saat kebuntingan terjadi maka perlu adanya penentuan umur maupun
jumlah fetus pada ternak. Kebuntingan juga berarti keadaan dimana anak sedang
berkembang di dalam uterus seekor hewan betina. Suatu interval waktu, yang disebut
periode kebuntingan (gestasi), dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum, sampai
lahirnya anak.
Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan adalah faktor induk jenis kelamin,
fetus, genetik, faktor musim dan pakan. Faktor induk yaitu adalah umur, semakin tua
ternak maka lama kebuntingan akan semakin lama. Faktor jenis kelamin yaitu jantan lebih
lama 1-2 hari dibandingkan fetus betina. Faktor faktor induk meliputi umur dan spesies,
yang berarti induk muda fetusnya cepat dan sebaliknya, sementara tiap faktor spesies
berarti tiap jenis hewan berbeda juga lama kebuntingannya. Faktor fetus yaitu jenis
kelamin dan kekembaran anak, betina lebih cepat keluar karena betina tidak
membutuhkan nutrisi sebanyak jantan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Harjanti et
al., (2016) bahwa pengaruh fetus antara lain yaitu jenis kelamin fetus, kelenjar adrenal
dan hipofise serta ukuran fetus. Anakan yang kembar juga lebih cepat keluarnya karena
ukuran fetus lebih kecil dan gennya lebih cepat. Harjanti et al., (2016) melanjutkan bahwa
pada ternak sapi lama kebuntingan beragam menurut bangsa, jenis kelamin anak yang
dikandung dan beberapa faktor lain.
Organ-organ ternak yang mengalami perubahan ketika terjadi kebuntingan
diantaranya yaitu vulva, vagina, cervix, uterus, dan ovarium. Vulva akan mengalami
pembengkakan atau odematus serta mengalami peningkatan atau pembesaran pembuluh
darah (vaskularisasi). Pertumbuhan dan perkembangan fetus terdapat tiga periode, yaitu
periode ovum, periode embrio, dan periode fetus. Periode ovum terjadi pada saat
fertilisasi sampai implantasi dan terjadi pembelahan pembelahan mulai dari morula
menjadi blastula. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ardhardiansyah et al., (2017)
bahwa perkembangan embrio setelah melalui fase morula adalah fase blastula. Blastula
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu eksoderm, mesoderm, dan endoderm. Eksoderm
merupakan bagian luar sebagai pembentukan kuku, kulit, dan tanduk. Mesoderm
merupakan bagian tengah sebagai pembentukan otot, pembuluh darah, pembuluh saraf,
dan tulang. Endoterm merupakan bagian dalam membentuk organ pencernaan
reproduksi dan respirasi.
Periode yang kedua adalah periode embrio yang terjadi pada umur 15-45 hari.
Periode embrio mulai terjadi dari implementasi sampai pembentukan organ dalam.
Selaput ekstra embrional pada embrio ada tiga yaitu amnion, alantois, dan chorion. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Yekti et al., (2017) bahwa amnion adalah pembungkus
embrio untuk melindungi embrio dari benturan, alantois yaitu lapisan tengah yang
berfungsi memberi nutrisi dan tempat sisa metabolisme, dan chorion sebagai tempat
sirkulasi darah. amnion muncul pada hari ke 13-16 serta alantois muncul pada hari ke 14 -
12 hari.
Periode fetus adalah periode terakhir sebagai pembentuk organ extremitas atau alat
gerak. Periode fetus terjadi pada hari ke 45 sampai hari kelahiran. Hal tersebut didukung
oleh pernyataan Pieter et al., (2011) bahwa periode fetus yaitu suatu periode kehamilan
dengan rentang usia akhir minggu ke delapan sampai awal kelahiran. Ciri umum periode
fetus ditandai dengan perkembangan organ-organ tubuh baik itu dalam bentuk rupa
maupun perubahan aktual.
II.2.2 Deteksi Kebuntingan
Deteksi kebuntingan adalah suatu uji untuk mengetahui bunting atau tidaknya
ternak setelah dikawinkan terutama pada kawin IB agar manajemen ternak lebih
ekonomis dan efisiensi waktu. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Nova et al., (2014)
bahwa diagnosis kebuntingan pada ternak betina sangat penting dilakukan setelah
dikawinkan baik secara kawin alami atau inseminasi buatan (IB). Diagnosis kebuntingan
dini dilakukan untuk mengetahui ternak yang bunting ataupun tidak bunting segera
setelah dikawinkan, sehingga waktu produksi yang hilang akibat infertilitas dapat segera
ditangani dengan tepat. Fungsi deteksi kebuntingan diantaranya yaitu untuk menentukan
ternak akan dijual atau akan dipelihara lagi tergantung berhasil atau tidak kebuntingan
tersebut. Fungsi lainnya yaitu untuk menentukan keberhasilan manajemen perkawinan
dan menekan biaya ekonomis karena pemeliharaan.
Informasi sedini mungkin mengenai status kebuntingan sangat bermanfaat bagi
usaha pengelolaan dan pengembangbiakan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Syaiful (2018) bahwa Deteksi kebuntingan pada sapi sangat penting bagi peternak bila
ditinjau dari segi ekonomi karena dengan mengetahui ternaknya bunting atau tidak dalam
waktu yang lebih cepat dan akurat maka peternak dapat lebih cepat mengambil tindakan
selanjutnya. Indikasi awal kebuntingan adalah adanya cairan embrionik di dalam uterus.
Efisiensi program perkawinan melalui informasi status kebuntingan dini sangat penting
dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan pengembangbiakan. Keberhasilan dalam
pemeriksaan kebuntingan dini akan meningkatkan efisiensi reproduksi ternak dengan
mengurangi kehilangan waktu untuk menghasilkan anak akibat kesalahan pendugaan
kebuntingan. Pemeriksaan kebuntingan dini dan penentuan jumlah anak yang akan
dilahirkan memiliki nilai besar dalam meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak.
Uji kebuntingan pada praktikum yaitu ada uji H2SO4, punyakoti, dan test pack. Prinsip
kerja dari pengujian H2SO4 yaitu hormon estrogen di dalam urine yang apabila diberikan
H2SO4 pekat akan terbakar dan menghasilkan flouresensi warna (perubahan warna). Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan dari Mage et al., (2018) bahwa Asam sulfat (H2SO4)
mengandung elektrolit yang dapat menyimpandan menghantarkan arus listrik, sehingga
asam sulfat yang bercampurdengan urine berfungsi membakar hormon estrogen disaat
kondisi ternakbunting. Cairan urin yang semakin sedikit dibakar dengan cairan asam sulfat
(H2SO4) akan memberikan proses deteksi kebuntingan yang lebih lambat. Punyakoti
memiliki prinsip kerja pada urin bunting yang mengandung asam ABA (abcicit acid) atau
absisat yang apabila disiramkan pada biji kacang ijo maka tidak akan tumbuh kecambah,
dan bisa menyebabkan sifat dormansi pada biji (menghambat pertumbuhan). Uji test
pack hanya bisa diujikan terhadap manusia, karena pada urin manusia khususnya ibu
hamil terkandung hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Menurut Harti (2013)
hormon HCG merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh jaringan plasenta yang masih
muda dan dikeluarkan lewat urin.
Uji punyakoti dilakukan untuk memperpanjang masa dormansi, ketika disiramkan
pada biji kacang hijau maka biji kacang hijau tidak dapat tumbuh karena terdapat hormon
ABA yang fungsinya untuk menghentikan pertumbuhan, dan ketika diketahui bahwa biji
kacang hijau tersebut tumbuh maka dapat diketahui bahwa ternak itu tidak bunting. Hal
tersebut sesuai dengan Syaiful et al., (2017) bahwa metode punyakoti adalah sebuah
metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi menggunakan urine. Uji punyakoti berhasil
apabila biji gandum tumbuh dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting
dan sebaliknya. Uji ini cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang
kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih.
Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas
bisa memanfaatkan uji punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan ternaknya.
Uji klinis merupakan salah satu metode deteksi kebuntingan yang terbagi menjadi
dua yaitu palpasi rektal dan ultrasonografi (USG). Palpasi rektal dilakukan dengan cara
meraba uterus melalui dinding rektum pada usia kebuntingan 30 hari dilihat dari ada
tidaknya tonjolan, serta ultrasonografi (USG) dapat dilihat pada usia kandungan 20 - 22
hari. Metode deteksi kebuntingan yang menunjukkan hasil paling akurat adalah
ultrasonografi (USG). Hal tersebut sesuai dengan Wahjuningsih et al., (2019) bahwa
ultrasonografi (USG) merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mendeteksi
kebuntingan secara akurat dan hampir tidak ada efek samping. Hasil yang didapat dari
pemeriksaan USG sangat akurat bahkan fisiologi ovarium dan uterus tidak dapat
terdeteksi secara akurat melalui palpasi rektal dapat mudah divisualisasikan dengan USG.
Diagnosa imunologik terbagi menjadi dua, yaitu pregnancy spesifik dan pragnancy
non spesifik. Pregnancy spesifik yaitu pengujian yang dilihat dari konsentrasi hormon
estrogen dan yang dapat dilihat di dalam darah. Pregancy non spesifik yaitu pengujian
yang dilihat dari hormon progesterone, estrogen sulfat, genotropin dalam darah, urin,
dan air susu dengan uji yang digunakan yaitu ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay)
dan uji RIA (Radio Immuno Assay). Hal tersebut sesuai dengan Yekti et al., (2017) bahwa
estron sulfat merupakan kandungan terbesar pada estrogen, selain itu genotropin yaitu
hormon yang cuma ada di kuda atau PMSG (Prognant Mare Serum Genotropin). Hormon
gonadotropin rendah dapat mengontrol vitelogenesis, sedangkan yang tinggi
mengakibatkan aksi ovulasi.
III. PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Menentukan umur fetus dapat dilakukan dengan menghitung panjang fetus
menggunakan alat ukur.
2. Periode perkembangan fetus ada tiga yaitu periode ovum, periode embrio, dan
periode periode fetus.
3. Uji kebuntungan dapat dilakukan dengan uji test pack, uji H₂SO₄, dan uji punyakoti.
III.2 Saran
Mungkin untuk praktikum kedepannya lebih menerapkan SOP yang lebih diperketat
lagi, jangan sampai kejadian seperti kelompok sebelah ada siswa yang terkena cairan
kimia melukai tubuh karena kelalaian atau kurangnya SOP yang kuat dari laboratorium
maupun dari asisten praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Ardhardiansyah, A, U. Subhan, A. Yustiati 2017. Embriogenesis dan karakteristik larva


persilangan ikan patin siam (pangasius hypophthalmus) jantan dengan ikan baung
(hemibagrus nemurus) betina. Jurnal Perikanan Kelautan. 8 (2): 17-27.
Harjanti, D. W., N. U. Aprily, dan P. Sambodho. 2016. Evaluasi kelahiran pedet sapi perah
di balai besar pembibitan ternak unggul dan hijauan pakan ternak baturraden.
Jurnal Peternakan Indonesia. 18 (1): 36-43.
Harti, A. S., Estuningsih, dan H. Nurkusumawati. 2013. Pemeriksaan HCG (Human
Chorionic Gonadotropin) untuk deteksi kehamilan dini secara
immunokromatografi. Jurnal kesmadaska. 1(3): 1-10.
Mage, A. R., Nuryanto, N., dan Sucipto, S. 2018. Diagnosa Kebuntingan Sapi Dengan
Menggunakan Accu Zuur. In Prosiding Seminar Nasional Tahun 2020.
Nova, M. E., R. Ginta, dan M. Juli. 2014. Diagnosis kebuntingan dini menggunakan kit
progesteron air susu pada kambing peranakan ettawah (capra hircus). Jurnal
Medika Veterinaria. 8(2): 120-124.
Nuryanto, L. B., R Handarini, dan Y. Setiawan. 2017. Evaluasi kebuntingan sapi peranakan
frisian holstein yang disuntik prostaglandin secara intra muskuler dan intra uteri.
Jurnal peternakan nusantara. 3(2): 81-88.
Pieter, Z. H, B. Janiwarti, dan M. Saragih. 2011. Pengantar psikopatologi untuk
keperawatan. Jakarta: Kencana.
Syaiful, F. L, Lendrawati, dan T. Afriani. 2017. Akurasi deteksi kebuntingan dini sapi pesisir
pada berbagai biji-biji tanaman terhadap metode uji punyakoti. UNES Journal of
Scientech Research. 2 (2): 121-126.
Syaiful, F. L.2018. Diseminasi Teknologi Deteksi Kebuntingan Dini “DEEA Gest Dect”
Terhadap Sapi Potong Di Kinali Kabupaten Pasaman Barat. Jurnal Hilirisasi
IPTEKS, 1(3. a): 18-26.
Wahjuningsih, S, T. S. Suyadi, M. N. Ihsan, W. B. N. Isnaini, A. P. A. Yekti. 2019. Teknologi
reproduksi ternak. Malang: UB press.
Yekti, A. P. A, T. Susilawati, M. N. Ihsan, S. Wahjuingsih. 2017. Fisiologi reproduksi ternak.
Malang: UB Press.

Anda mungkin juga menyukai