PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1.4. Mamfaat
1. Sebagai wacana atau bacaan bagi para pelajar.
2. Sebagai bahan untuk memahami lebih mendalam tentang pandangan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2
Manusia diciptakan oleh Allah swt dilengkapi dengan akal yang sempurna,
karena dengan adanya akal-pikiran, maka manusia mampu membaca,memahami, dan
meneliti alam.
Proses bayi tabung pertama kali berhasil di lakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan Dr.
R.G. Edwards atas pasangan suami-istri John Brown dan Leslie, sperma dan ovum
yang berasal dari pasangan tersebut kemudian embrionya di transplitasikan kedalam
rahim isterinya, sehingga pada tanggal 25 juli 1978 lahirlah bayi tabung yang pertama
yang bernama Louise di Oldham Inggris dengan berat badan 2.700 gram.
1. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-
isteri, kemudian embrionya di transplantasikan kedalam rahim isteri;
2. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-
isteri, lalu embrionya di transplantasikan kedalam rahimibu pengganti
(surrogate mother);
3. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami sedangkan ovumnya
berasal dari donor, lalu embrionya di transplantasikan ke dalam rahim isteri;
4. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya
berasal dari isteri, lalu embrionya di transplantasikan ke dalam rahim si isteri;
5. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya
berasal dari isteri, lalu embrionya di transplantasikan ke dalam rahim
surrotage mother;
3
6. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami, sedangkan ovumnya
berasal dari donor, lalu embrionya di transplantasikan ke dalam rahim
surrotage mother;
7. Bayi tabung yang menggunakan sperma ovumnya berasal dari donor, lalu
embrionya di transplantasikan ke dalam rahim isteri;
8. Bayi tabung yang menggunakan sperma ovumnya berasal dari donor, lalu
embrionya di transplantasikan ke dalam rahim surrotage mother.
1. Pengelolaan infertilitas
Pengolaan infertilitas merupakan suatu usaha dari dokter untuk mengetahui
factor penyebab infertilitas dari pasangan suami-isteri, yang memakan waktu
selama 6 siklus haid atau selama 6 bulan.
2. Terdapat alasan yang sangat jelas.
3. Sehat jiwa dan raga.
4. Mampu membiayai program fertilisasi in vitro dan pemindahan embrio dan
biaya persalinan.
5. Mengerti secara umum, seluk beluk tentang bayi tabung.
6. Informed consent.
1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung
telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid
dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur sipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri
dan pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui
vagina dengan tuntunan ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi
dengan sel sperma suaminya yang telah diproses sebelumnya dan dipilih
yang terbaik.
4
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri
kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20
jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan
sel.
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian
diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu
terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi
menstruasi, dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu
kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan
menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah
SWT. Demikian halnya di antara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-
syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan
5
kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia.
Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk
kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu
biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur
dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains
modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran
dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan
terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak
beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan
fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam
penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu
sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif
Medicine, DR. Andrew Weil sangat meresahkan dan mengkhawatirkan penggunaan
inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk
memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur
Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of
Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi
kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech -
High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi paada 1960 –an
sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh
kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di
kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih
Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan
sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1
September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam
sidangnya di Amman tahun 1986.
Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada
manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan
sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami
kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan
cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di
dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-
benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut
memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al
dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan
darurat).
7
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma
dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan
dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan
menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
Pertama: firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat
tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan
lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya
manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama
manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat
merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu
Hibban).
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan
pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa
Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa
berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal
dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih
yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari
mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik
maslahah/kebaikan.
8
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan
donor sperma /atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah.
Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul,
baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang
mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh
lebih besar, antara lain berupa:
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma
dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan
anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan
bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi
pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang
sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU
Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam
pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1
(sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena
agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan
dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan
hukum yang berlaku.
9
Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami
dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan
sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan
membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini
kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan
akan terjadi secara alamiah di dalamnya.
Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang
alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk
manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena
rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur
ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau
karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk
bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma
tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu
dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat
suami isteri untuk berbanyak anak. Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong
hal tersebut dan kaum muslimin pun telah disunnahkan melakukannya.
Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan –
antara sel sperma suami dengan sel telur isteri– dapat terjadi di luar tempatnya yang
alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam
suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur
yang telah terbuahi itu lalu diletakkan pada tempatnya yang alami, yakni rahim isteri.
Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat
dilahirkan bayi secara normal.
10
Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada,
dan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk
mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak,
yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas
RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab
sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah
kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti”
(surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan
tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel
telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram
hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami
dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
rahim isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan
menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh
ajaran Islam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW
11
bersabda ketika turun ayat li’an :
“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang)
yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah
dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki
yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah
akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan
orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi).
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui
perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak
dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir*, yang
besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).
Ada Qadha, ada Qodar, diantaranya ada ihktiar. Qodha adalah ketetapan Allah yang
masih menjadi rahasiaNya, sementara Qodar adalah ketetapan Allah yang telah
menjadi fakta kejadian. Ini bagian dari rukun iman.
Salah satu yang sering menjadi kegundahan manusia terkait dengan qodha dan
qodar adalah seputar jodoh, anak dan rejeki. Khususnya seputar anak. Siapa yang
tidak berkehendak dirinya diberi keturunan anak-anak yang insya allah akan menjadi
penerus generasinya.Namun apa daya ada qadha dan qodar yang harus diterimanya
dengan keihklasan, yaitu tidak dikaruniai keturunan. Adakah sebuah ikhtiar untuk itu,
maka sebagaimana nasehat seorang ulama kepada diri saya terkait dengan masalah
keyakinan, beliau berkata : ‘ kalau kita sakit, yakin kepada obat adalah syirik ,
meninggalkan obat adalah haram, maka wajib kita berobat namun harus dilakukan
dengan cara sunnah.
Maka bagi yang belum dikarunai keturunan, ikhtiar perlu juga dilakukan, namun bila
berhasil janganlah yakin kepada hasil ikhtiar, ini bisa berakibat syirik, jangan pula
sampai tidak berikhtiar karena selama masih ada usaha terletak harapan, dan
seandainyapun melakukan berbagai macam ikhtiar, maka tetap gunakan prinsip-prinsip
syariat dan sunnah agar kita tetap dalam jalan yang diridhoiNya.
Salah satu bentuk ikhtiar adalah upaya lewat bantuan teknologi yang kemudian
dikenal dengan bayi tabung. Masalah ini termasuk ke dalam bab fiqih kontemporer,
sebuah kajian fiqih yang sedikit rumit, lantaran belum pernah terjadi di masa lampau.
Sehingga para ulama di masa lalu tidak pernah menulisannya. Untuk itu diperlukan
ijtihad yang bersifat komprehensif, aktual serta tingkat kefaqihan yang mumpuni untuk
menjawabnya. Berikut ini adalah petikan sejumlah pendapat seputar bayi tabung.
13
a. Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
1. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidah
agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain
(misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan
masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya
antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang
mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah ( ), sebab hal ini akan
menimbulkan masala~ yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan
nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami
isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan
kaidah Sadd az-zari’ah ( ), yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina
sesungguhnya.
Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim
ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di
Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi tabung.
Karena praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan
dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut
adalah mani suaminya. Menurut pendapat saya, hendaknya seseorang ridha dengan
keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya:
14
Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS. 42:50)
Namun demikian ada fatwa lain yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma’ Fiqih Islami.
Majelis ini menetapkan sebagai berikut:
Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat
mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara
lain yang dikecam oleh syariat.
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita
yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang
diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam
rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami
istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia
mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan
istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan
setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai
berikut:
a. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya
atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Sementara itu Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh ahli sunnah wal jamaah
berpendapat lain, beliau berpendapat sebagai berikut : “Tidak boleh, karena proses
pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter
(laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri
15
sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh
Pendapat lain pertama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab
upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam,
yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari
suatu pernikahan
16
Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran
tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan
sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan
pada rahim isteri.
Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti”
(surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan
buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun
sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram
hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami
dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
rahim isteri.
Masalah tentang bayi tabung ini memunculkan banyak pendapat, boleh atau tidak?
Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan
bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi
nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi
Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung
dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel
sperma suami dan ovum dari isteri sendiri.
Pengambilan sel telur dilakukan dengan dua cara, cara pertama : indung telur di
pegang dengan penjepit dan dilakukan pengisapan. Cairan folikel yang berisi sel telur di
17
periksa di mikroskop untuk ditemukan sel telur. Sedangkan cara kedua ( USG) folikel
yang tampak di layar ditusuk dengan jarum melalui vagina kemudian dilakukan
pengisapan folikel yang berisi sel telur seperti pengisapan laparoskopi.
~Istimna’ ( onani)
Diantara kelima cara diatas, cara yang dipandang baik adalah dengan cara onani
(mastrubasi) yang dilakukan di rumah sakit.
Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah memberikan
makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak di
bebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Jangan ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
18
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, dan tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan upah (pembayaran) menurut patut. Bertaqwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.
c. Perintah untuk menyusui anaknya kepada wanita lain, apabila ada kerelaan dan
permusyawaratan antara pasangan suami-isteri tersebut wajib member upah
kepada wanita yang menyusui itu.
Tetapi pertanyaannya adalah apakah ibu susuan sama dengan ibu pengganti?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa pendapat dan pandangan ulama
islam.
Menitipkan bayi tabung kepada wanita yang buka ibunya boleh, karena si
ibu tidak mengahamilinya, sebab rahimnya mengalami ganguan,
sedangkan menyusukan kepada wanita lain di blehkan dalam islam,
malah di upahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada
waanita yang meminjam rahimnya.
Pendapat ini pada prinsipnya menyetujui hal tersebut, namun ada ijtihad yang
melarang penggunaan tehnik tersebut. Hal ini tertuang dari hasil ijtihad ahli fiqih dari
berbagai pelosok dunia islam pada tahun 1986. Hasil ijtihad tersebut senada dengan
keputusan MUI Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang inseminasi buatan/bayi tabung.
Di dalam keputusan tersebut di sebutkan bahwa:inseminasi buatan/bayi tabung dengan
sperma dan ovum yang diambil secara muhtaram dari pasangan suami-isteri untuk
isteri-isteri yang lain hukumnya haram/tidak dibenarkan dalam islam.
B. Pendapat Ulama
19
memerintahkan manusia untuk menjaga kehormatan kelamin dalam setiap
keadaan, kecuali terhadap istri dan budak.
Ada 2 hal yang menyebutkan bahwa bayi tabung itu halal, yaitu:
1. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
Hal tersebut dibolehkan asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan
inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan.
Sebaliknya, Ada 5 hal yang membuat bayi tabung menjadi haram yaitu:
1. Sperma yang diambil dari pihak laki-laki disemaikan kepada indung telur pihak
wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang
diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam
rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami
istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia
mengandung persemaian benih mereka tersebut.
20
4. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
5. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami
dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
Yusuf Qardawi mengatakan dalam keadaan darurat atau hajat melihat atau
memegang aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu dapat
dijaga. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul fiqih:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya”
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
21
Menurut kami, bayi tabung dibolehkan jika sel telur dan sperma berasal dari
pasangan suami dan isteri yang sah serta setelah pembuahan diluar rahim tersebut
berhasil, maka sel hasil pembuahan tersebut dimasukan kembali kedalam rahim isteri
yang sah. apabila salah satu sel (telur atau sperma) bukan berasal dari pasangan
suami isteri yang sah maka itu diharamkan.
3.2. Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan ialah:
1) Diharapkan para pembaca makalah ini dapat lebih mengenal dan mengetahui
pandangan Islam terhadap bayi tabung, kami berharap akan ada analisis lebih lanjut
dan lebih mendalam, sehingga kita akan memperoleh wawasan yang luas tentang hal
ini.
DAFTAR PUSTAKA
22