Anda di halaman 1dari 25

Makalah Keperawatan Kritis

ASUHAN KEPERAWATAN
SYNDROMA STEVEN
JOHNSON
DISUSUN OLEH :

NASHRATUL ‘ULYA (18172073P)

TUTI ANGGRAINI (18172075P)

PEMBIMBING :

Ns. MAIMUN THARIDA, M. Kes

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (PSIK)

UNIVERSITAS ABULYATAMA

ACEH BESAR

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji sukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas rahmat dan hidayah-
NYA sehingga proses penyusunan makalah ini dapat diselesaikan. Sebab sebesar apapun
semangat dan keinginan seorang hamba untuk melakukan suatu pekerjaan itu tidak akan
tercapai, namun tanpa pertolongan dan hidayah-NYA, mustahil keinginan dan cita-
citanya dapat terwujud. Karena pada hakekatnya segala daya dan upaya hanya milik-
NYA.
Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya
kepada bapak Ns. MAIMUN THARIDA, M. Kes selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pengetahuan, arahan, serta masukan dalam penulisan makalah ini.

Sesuai dengan materi kami ini, kami berharap makalah ini dapat membantu
teman-teman sekalian untuk memahami tentang keperawatan kritis khususnya mengenai
Asuhan Keperawatan Syndroma Steven Jhonson yang menjadi pembahasan kami
sehingga materi-materi yang ada di dalam makalah kami ini dapat menjadi satu alternatif
pembelajaran untuk seluruh pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kami siap menerima saran dan kritik dari pembaca agar kualitas makalah ini menjadi
lebih baik lagi.

Demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan apabila ada
kesalahan kami mohon untuk dimaafkan.

Banda Aceh, Desember 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS atau dikenal juga
dengan sebutan eritema multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat, infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker
merupakan faktor risiko penyakit ini. Efek samping obat ini mengenai kulit, mata
terutama selaput mukosa. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. Steven
dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan
reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta di ruang rawat inap di
bangsal Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, yang didiagnosis SSJ, SSJ overlap NET, dan
NET periode Agustus 2011-Agustus 2013. Hasil menunjukkan, bahwa terdapat 27 kasus
SSJ, SSJ overlap NET, dan NET dari 485 pasien yang dirawat. Dari 27 pasien, sebanyak
15 pasien (3,09%) didiagnosis SSJ, 7 pasien (1,44%) dengan SSJ overlap NET, dan 5
pasien (1,030%) didiagnosis sebagai NET. Pada penelitian ini didapatkan, bahwa angka
kejadian SSJ lebih tinggi dibandingkan dengan NET selama periode Agustus 2011-
Agustus 2013. Penanganan NET yang komprehensif, dapat membantu klinisi dalam
menurunkan angka kematian pada pasien dengan NET di rumah sakit.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-
14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat
pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa
waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam,
sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti
keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV
dan AIDS serta lupus angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Berdasarkan data diatas, penulis menarik untuk menulis makalah mengenai
steven johnson dan mempelajari tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan steven
johnson.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai
sindroma steven jhonson dan bagaimana cara memberikan penatalaksaan yang cepat
dan tepat, serta pembaca diharapkan memahami dan menerapkan asuhan keperawatan
pada kasus sindroma steven jhonson secara komprehensif.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar teoritis penyakit sindroma steven jhonson
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan sindroma steven
jhonson, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementsi,
dan evaluasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Kulit


1. Anatomi
Kulit digambarkan sebagai pelindung, bersifat sensitif, reparatif, dan mampu
mempertahankan homeostatisnya sendiri. Kulit menutupi 1,2 sampai 2,3 m 3 area dan
merupakan organ terberat dalam tubuh. Ketiga lapisan kulit tersebut adalah bagian
terluar disebut epidermis, bagian tengah disebut dermis, dan bagian dalam disebut
hipodermis atau jaringan subkutan. Apendiks kulit terdiri atas rambut, kuku, kelenjar
keringat ekrin dan apokrin, dan kelenjat sebasea (Gonce, 2011).

Ketiga lapisan kulit, diantaranya :


a. Epidermis atau Kutikula
Epidermis tersusun atas epitelium berlapis dan terdiri atas sejumlah lapisan
sel yang disusun atas dua lapis yang jelas tampak: selapis lapisan tanduk dan
selapis zona germinalis. Lapisan tanduk terletak paling luar, dan tersusun atas
tiga lapisan sel yang membentuk epidermis, yaitu stratum korneum, stratum
lusidum, dan stratum granulosum. Sedangkan zona germinalis terletak dibawah
lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapisan epitel yang berbentuk tegas, yaitu sel
berduri dan sel basal (Pearce, 2012).
Epidermis tidak berisi pembuluh darah. Saluran kelenjar keringat
menembus epidermis dan mendampingi rambut. Sel epidermis membatasi folikel
rambut. Di atas permukaan epidermis terdapat garis lekukan yang berjalan sesuai
dengan papil dermis dibawahnya. Garis-garis ini berbeda-beda; pada ujung jari
berbentuk ukiran yang jelas, yang pada setiap orang berbeda. Maka atas hal ini
studi sidik jari dalam kriminologi dilandaskan (Pearce, 2012).

b. Dermis atau Korium


Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat yang
elastis. Pada permukaan dermis tersusun papil-papil kecil yang berisi ranitng-
ranting pembuluh darah kapiler (Pearce, 2012).
Ujung akhir saraf sensoris, yaitu puting peraba, terletak di dalam dermis.
Kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dan banyak jumlahnya,
terletak di sebelah dalam dermis, dan salurannya yang keluar melalui dermis dan
epidermis bermuara di atas permukaan kulit di dalam lekukan halus yang disebut
pori. Ada beberapa kelenjar keringat yang berubah sifat yang dapat dijumpai di
kulit sebelah dalam telinga, yaitu kelenjar serumen (Pearce, 2012).
Kelenjar sebseus adalah kelenjar kantong di dalam kulit. Bentuknya seperti
botol dsan bermuara di dalam folikel rambut. Kelenjar ini paling banyak terdapat
di kepala dan wajah, yaitu sekitar hidung, mulut, dan telinga, dan sama sekali tak
terdapat dalam kulit tapak tangan dan telapak kaki. Kelenjarnya dan selurannya
dilapisi sel epitel. Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi berlemak yang
disebut sebum (Pearce, 2012).
c. Hipodermis atau Subkutan
Hipodermis atau lapisan kulit subkutan terdiri atas jaringan ikat yang
diselingi dengan lemak. Lemak hipodermis memiliki fungsi perlindungan
terhadap retensi panas dan melindungi strukrtur dibawahnya. Selain itu, lemak di
lapisan kulit subkutan berfungsi sebagai tempat penyimpanan kalori (Gonce,
2011)

2. Fisiologi
a. Kulit sebagai organ pengatur panas
Kulit adalah organ utama yang berurusan dengan pelepasan panas dari
tubuh. Sebagian panas menghilang melalui paru-paru, dan sebagian lagi melalui
feses dan urine. Panas dilepas oleh kulit dengan berbagai cara, yaitu dengan
penguapan, pemancaran, konduksi, dan konveksi (pengaliran) (Pearce, 2012).
Persarafan vaso-motorik mengendalikan arteriol kutan dengan dua cara,
yaitu vaso-dilatasi dan vaso-konstriksi. Pada vaso-dilatasi arteriol memekar, kulit
menjadi lebih panas, dan kelebihan panas cepat terpancar dan hilang, dan juga
hilang karenas kelenjar keringat bertambah aktif, dan karena itu terjadi
penguapan cairan dari permukaan tubuh. Pada vaso-konstriksi pembuluh darah
dalam kulit mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, keringat hampir dihentikan,
dan hilangnya panas dibatasi. Dengan pengendalian ini pelepasan panas ditambah
atau dikurangi sesuai kebutuhan tubuh (Pearce, 2012).

b. Kulit sebagai indra peraba


Rasa sentuhan yang disebabkan rangsangan pada ujung saraf di dalam kulit
berbeda-beda menurut ujung saraf yang dirangsang. Perasaan panas, dingin, sakit,
semua ini perasaan yang berlainan. Di dalam kulit terdapat tempat-tempat
tertentu, yaitu tempat perabaan, beberapa sensitif (peka) terhadap dingin,
beberapa terhadap panas, dan lain lagi terhadap sakit (Pearce, 2012).
Perasaan yang disebabkan tekanan yang dalam, dan perasaan yang
memungkinkan seorang menentukan dan menilai berat suatu benda, timbul pada
struktur lebih dalam, misalnya pada otot dan sendi (Pearce, 2012).

c. Tempat penyimpanan
Kulit dan jaringan dibawahnya bekerja sebagai tempat penyimpanan air;
jaringan adiposa di bawah kulit merupakan tempat penyimpanan lemak yang
utama pada tubuh (Pearce, 2012).

d. Beberapa kemampuan melindungi dari kulit


Kulit relatif tak tertembus air, dalam arti menghindarkan hilangnya cairan
dari jaringan dan juga menghindarkan masuknya air ke dalam jaringan, misalnya
bila tubuh terendam air. Epidermis menghalangi cedera pada struktur di
bawahnya dan karena menutupi ujung akhir saraf sensorik di dalam dermis, maka
kulit mengurangi rasa sakit. Bila epidermis rusak, misalnya karena terbakar
sampai derajat ketiga, proteksi ini hilang dan setiap sentuhan terasa nyeri, dan
eksudasi cairan dari dermis yang sekarang terbuka ini menyebabkan hilangnya
cairan dan elektrolit, dengan akibatnya klien berada dalam bahaya dehidrasi,
yamg dapat menimbulkan keadaan yang lebih parah (Pearce, 2012)
B. Definisi Sindrom Steven Johnson
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput
lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat
kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura (Djuanda, 2000).
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS atau dikenal juga
dengan sebutan eritema multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat, infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker
merupakan faktor risiko penyakit ini. Efek samping obat ini mengenai kulit, mata
terutama selaput mukosa. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh
penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah
obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh
dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner & Suddarth, 2013)
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik
dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. Sindrom
Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal
juga dengan sebutan eritema multiforme mayor[ CITATION Dar14 \l 1057 ].
Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis.
Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit
dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab
utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Kusuma
& Nurarif, 2015)
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom steven johnson
yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh
dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon
dari pengobatan, infeksi, dan terkadang keganasan.
Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
C. Etiologi
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi)
terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko
penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia,
kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.
Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks,
influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus EpsteinBarr, atau sejenisnya).
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang
jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom steven johnson
juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
6. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi virus, keganasan atau reaksi alergi
berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan
antibiotik dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui
menyebabkan SSJ, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal
toksik diantaranya sulfanomide (antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate
(sedative), lamotrigin, (antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi
lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.

D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk
mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga
terjadi reaksi radang (Muttaqin, 2012).
E. Pathway

Obat-obatan, infeksi Kelainan Hipersensitifitas


virus, keganasan

Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitifitas tipe III

Limfosit T tersintesitasi
Antigen antibody terbentuk
terperangkap dalam jaringan
Pengakitfan sel T kapiler

Melepaskan Aktivasi S.komplemen


limfokin/sitotoksik

Degranulasi sel mast


Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak
Reaksi Peradangan

Nyeri Akut Melepas sel yang rusak

Kerusakan jaringan

Kerusakan Integritas Triase gangguan pada kulit,


Kulit mukosa, dan mata
Respon lokal: eritema,
vesikel, dan bula

Respon inflamasi sistemik


Post de entree

Terjadi evaporasi Gangguan gastrointestinal,


Resiko Infeksi pada kulit demam, malaise

Intake tidak adekuat


Resiko kekurangan
volume cairan
Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan
tubuh

Kusuma & Nurarif, 2015


F. Manifestasi Klinis

Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) tanda-tanda awal sindrom steven johnson
antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus, demam, sakit
kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia (nyeri dan sakit).
Dilanjutkan dengan awitan eritema yang cepat yang mengenai sebagian besar permukaan
tubuh dan membran mukosa, munculnya bula yang kaku dan luas dibeberapa area. Di
area lain, lapisan epidermis yang luas mengelupas sehingga jaringan dermis dibawahnya
terlihat kuku kaki, kuku tangan, alis dan bulu mata dapat rontok, begitu juga dengan
epidermis di sekitarnya. Kulit yang sangat sensitif dan kulit yang mengelupas akan
menghasilkan permukaan kulit yang mengeluarkan cairan, mirip seperti luka bakar
partial thickness burn di seluruh tubuh, kondisi ini disebut juga sindrom kulit melepuh.
Pada kasus berat yang mengenai mukosa, mungkin terdapat bahaya kerusakan pada
laring, bronki, dan esofagus akibat ulserasi.
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi (30º - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan yang dapat berlangsung dua minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan
menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi
melemah, kelemahan yang hebat serta menunrunnya kesadaran, soporeus sampai koma
(Kusuma & Nurarif, 2015).
Menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), pada sindroma ini terlihat adanya kelainan
berupa :
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema mberbentuk
seperti cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang
menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis
dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae
atau purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan
yang berat kelainannya menjadi generalisate.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa
mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genitalia (50%),
sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan
yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian
buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatiti kemudian
menjadi lebih berat dengann pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi,
excoriasi, pendarahan, ulcerasi, dan dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dpaat
terbentuk psudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tevbal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar
menenlan. Kelainan ini di mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorus
bagian atas, dan esophagus. Terbentuknya pseudommebran di faring dapat
memberikan keluhan sukar bernafas dan penderitanya tidak dapat makan dan minum.
3. Kelainan Mata
Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi
ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivitis purulen,
pendarahan, simblefaron, ulcus cornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat
terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivitis, balanitis,
uretritis.

G. Komplikasi
Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara lain :
1. Kehilangan cairan dan darah.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.
3. Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.
4. Gastroenterologi – Esophageal strictures.
5. Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina.
6. Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.
7. Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder.
8. Infeksi sitemik, sepsis
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven johnson
menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan esktravasasi
sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis
dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

I. Penatalaksanaan
Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara lain mengontrol
keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan mencegah komplikasi pada
mata. Fokus utama penanganan adalah pemberian asuhan yang suportif, diantaranya
yaitu :
1. Semua pengobatan yang tidak penting dihentikan dengan segera.
2. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka bakar atau ICU
3. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk mengangkat
kulit yang rusak.
4. Sumpel jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit, dan lepuhan
yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi pathogen.
5. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
6. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat mungkin.
7. Kortikosteroid sistemik diberikan di awal proses penyakit.
8. Pemberian imunoglobulin melalui intravena (IVIG) dapat mempercepat perbaikan
kondisi dan penyembuhan kulit.
9. Kulit dilindungi dengan agens topikal; antibakteri topikal dan agens anestesi
digunakan untuk mencegah sepsis pada luka.
10. Balutan biologis sementara (pigskin, membran amnion) atau balutan plastik
semipermeabel (vigilon) dapat digunakan.
11. Perawatan orofaring dan perawatan mata yang cermat sangat penting ketika
membran mukosa dan mata mengalami gangguan berat.
BAB III

TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan
Steven Johnson biasanya mengeluhkan demam, malaise, kulit merah dan gatal,
nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura dan terbentuk
krusta pada bibir. Riwayat perjalanan penyakit sehingga klien dirawat di rumah
sakit (Setelah ia mengkonsumsi obat yang diberikan oleh bidan, 2 hari yang
lalu). Pada  pemeriksaan mata, didapatkan kelainan mata kongjungtivitis.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan maupun obat-obatan klien, riwayat konsumsi
obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang
sama.
3. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?
2) Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan konsumsi obat-
obatan tertentu?
3) Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?

Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat


konsumsi obat-obatan tertentu.

b. Pola nutrisi –metabolik


Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama dirawat di
rumah sakit?
2) Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
3) Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah sakit?
4) Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?
5) Apakah klien mengalami mual dan muntah?
6) Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau sebaliknya?

Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan


nafsu makan, sariawan pada mulut, dan kesulitan menelan.

c. Pola eliminasi
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?
2) Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
3) Kaji konsistensi BAB dan BAK klien
4) Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?

Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin,


konstipasi, membutuhkan bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau perawat.

d. Pola aktivitas – latihan


Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di rumah sakit?
2) Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri
3) Kaji tingkat ketergantungan klien

0 = mandiri

1 = membutuhkan alat bantu

2 = membutuhkan pengawasan

3 = membutuhkan bantuan dari orang lain

4 = ketergantungan

4) Apakah klien mengeluh mudah lelah?

Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa


lemas, sehingga sulit untuk beraktifitas.
e. Pola istirahat – tidur
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Apakah klien mengalami gangguang tidur?
2) Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?
3) Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?

Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan
istirahat karena nyeri yang dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.

f. Pola kognitif – persepsi


Pada pola ini kita mengkaji:
1) Kaji tingkat kesadaran klien
2) Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah mengalami
perubahan?
3) Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?
4) Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?

Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada


penglihatannya, serta rasa nyeri dan panas di kulitnya

g. Pola persepsi diri - konsep diri


Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah klien memandang dirinya terhadap penyakit yang
dialaminya?
2) Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien?
3) Apakah klien merasa rendah diri?

Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa


malu dengan keadaan tersebut, dan mengalami gangguan pada citra dirinya.

h. Pola peran – hubungan


Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?
2) Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
3) Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat sekitarnya?
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah status reproduksi klien?
2) Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
j. Pola koping dan toleransi stress
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?
2) Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya?
3) Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
k. Pola nilai dan kepercayaan
Pada pola ini kita mengakaji:
1) Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien
2) Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?

4. Pemeriksaan Fisik
a. Mata
Penglihatan kabur buram, conjungtiva anemis kelainan mata kongjungtivitis,
mata berair, edema,mata terasa gatal, menganjal, pedih, dan lengket.
b. Mulut
Kotor, terdapat krusta, mukosa bibir kering, terdapat bula dan purpura
c. Kulit 
Sawo matang (warna kulit), turgor kulit jelek, kering , eritema, vesikel, bula
dan terjadi purpura dan ada pula yang disertai tanda-tanda infeksi.
I  : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, faktor
P : Turgor kulit, edema
( Brunner and Suddarth, 2001 )

5. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang


a. Laboratorium : leukositosis atau eosinophilia
b. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan
esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal
dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit b.d agens farmaseutikal
2. Resiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan integritas kulit)
3. Nyeri akut b.d agens cedera biologis
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan makan
5. Resiko kekurangan volume cairan b.d faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Planning Intervensi
Dx Keperawatan (NOC) (NIC)
1 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk me
integritas kulit b.d keperawatan selama….. nggunakan pakaian yang
agens kerusakan integritas kulit longgar 
farmaseutikal pasien teratasi dengan kriteria 2. Hindari kerutan pada
hasil: tempat tidur 
Tissue Integrity : Skin and 3. Mobilisasi pasien (ubah
Mucous Membranes posisi pasien) setiap dua
Wound Healing : primer jam sekali
dan sekunder  4. Kaji lingkungan dan
1. Integritas kulit yang baik peralatan yang
bisa dipertahankan menyebabkan tekanan
(sensasi, elastisitas, 5. Observasi luka : lokasi,
temperatur, hidrasi, dimensi, kedalaman luka,
pigmentasi) karakteristik, warna
2. Perfusi jaringan baik cairan, granulasi, jaringan
3. Menunjukkan nekrotik, tanda-tanda
pemahaman dalam infeksi lokal, formasi
proses perbaikan kulit traktus
dan mencegah terjadinya
sedera berulang
4. Mampu melindungi kulit
dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
5. Menunjukkan terjadinya 
proses penyembuhan
luka
2 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda-tanda infeksi ;
berhubung b.d keperawatan selama….. suhu tubuh, nyeri,
pertahanan tubuh pasien tidak menunjukkan peradangan, dan
primer tidak tanda-tanda infeksi dengan pemeriksaan laboratorium,
adekuat kriteria hasil: radiologi
(gangguan 1. Pasien bebas dari tanda 2. Monitor tanda dan gejala
integritas kulit) dan gejala infeksi infeksi sistemik dan local
2. Menunjukkan 3. Monitor gitung granulosit,
kemampuan untuk WBC
mencegah timbulnya 4. Pertahankan teknik asepsis
infeksi pada pasien yang beresiko
3. Jumlah leukosit dalam 5. Kolaborasi pemberian
batas normal antibiotic yang sesuai
4. Tanda-tanda vital dalam
batas normal
5. Menunjukkan perilaku
hidup sehat
3 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri
agens cedera keperawatan selama.... jam secara komperehensif
biologis pasien dapat mengontrol termasuk lokasi,
nyeri dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi,
1. Mampu mengontrol frekuensi, kualitas dan faktor
nyeri (tahu penyebab presipitasi
nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal
menggunakan teknik dari ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk 3. Kaji kultur yang
mengurangi nyeri, mempengaruhi respon nyeri
mencari bantuan) 4. Ajarkan teknik
2. Melaporkan bahwa nyeri nonfarmakologi
berkurang dengan 5. Tingkatkan istirahat
menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri
(skala,intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
4. Mengatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
5. Tanda vital dalam batas
normal

4 Ketidakseimbang Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian


an nutrisi: kurang keperawatan selama.... jam lengkap mengenai nutrisi
dari kebutuhan kebutuhan nutrisi pasien klien
tubuh b.d terpenuhi dengan kriteria 2. Monitoring intake
ketidakmampuan hasil : makanan/cairan dan hitung
makan 1. Pemasukan nutrisi yang intake kalori harian
adekuat 3. Mengatur lingkungan
2. Jumlah cairan dan menjadi menyenangkan dan
makanan yang diterima rileks
sesuai dengan kebutuhan 4. Pilih suplemen nutrisi jika
pasien diperlukan
3. Nilai laboratorium dalam 5. Anjurkan klien untuk
rentang normal, protein memilih makanan yang
total 6-8 gr%, Albumin lunak,tidak berbumbu,
3,5-5 gr%, Glubolin 1,5- tidak masam
3 gr%, HB tidak kurang 6. Monitor hasil pemeriksaan
dari 10 gr% laboratorium jika
4. Tidak terjadi penurunan diperlukan
BB badan
5. Membran mukosa dan
konjungtiva tidak pucat

5 Resiko Setelah diberikan asuhan 1. Identifikasi kemungkinan


kekurangan keperawatan selama ….x penyebab
volume cairan b.d diharapkan cairan dan ketidakseimbangan
faktor yang elektrolit klien seimbang elektrolit
mempengaruhi dengan kriteria hasil : 2. Monitor adanya kehilangan
kebutuhan cairan 1. Turgor kulit elastic cairan dan elektrolit
2. Intake dan output cairan 3. Monitor adanya
seimbang mual,muntah dan diare

3. Membrane mucus lembab 4. Monitor status hidrasi


( membran mukus, tekanan
ortostatik, keadekuatan
denyut nadi )

5. Monitor keakuratan intake


dan output cairan

D. Implementasi Keperawatan
No Hari/ Pukul No Implementasi
Tanggal Dx
1 1 1. Menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar : menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan
dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara
meningkatkan proses penyembuhan dan menurunkan
resiko infeksi
2. Menghindari kerutan pada tempat tidur : mencegah
gesekan pada luka agar tidak terjadi infeksi
3. Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
sekali : menghindari terjadinya tekanan pada luka
4. Mengkaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan
tekanan : menghindari terjadinya infeksi
5. Mengobservasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
karakteristik, warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus : mengetahui
keadaan inflamasi kulit pasien
2 2 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi ; suhu tubuh, nyeri,
peradangan, dan pemeriksaan laboratorium, radiologi
2. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local :
adanya demam, mual muntah, kelemahan, peradangan
3. Monitor gitung granulosit, WBC : adanya infeksi atau
tidak
4. Mempertahankan teknik asepsis pada pasien yang
beresiko : mencengah infeksi
5. Kolaborasi pemberian antibiotic yang sesuai : pemberian
sesuai dengan yang dianjurkan dokter
3 3 1. Melakukan pengkajian nyeri secara komperehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi : nyeri hampir selalu ada pada
derajat besatnya keterlibatan jaringan
2. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan :
pasien meringis atau tidak
3. Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
4. Mengajarkan teknik nonfarmakologi : meningkatkan
relaksasi dan menurunkan tegangan otot dan kelelahan
umum
5. Meningkatkan istirahat : anjurkan pasien untuk istirahat
pada malam hari dan tidak begadang
4 4 1. Melakukan pengkajian lengkap mengenai nutrisi klien :
apakah klien makan banyak atau tidak
2. Monitoring intake makanan/cairan dan hitung intake
kalori harian
3. Mengatur lingkungan menjadi menyenangkan dan rileks
4. Pilih suplemen nutrisi jika diperlukan
5. Menganjurkan klien untuk memilih makanan yang
lunak,tidak berbumbu, tidak masam
6. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium jika diperlukan
5 5 1. Mengidentifikasi kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan elektrolit
2. Lakukan monitor adanya kehilangan cairan dan elektrolit
3. Melakukan monitor adanya mual,muntah dan diare
4. Melakukan monitor status hidrasi (membran mukus,
tekanan ortostatik, keadekuatan denyut nadi)
5. Melakukan monitor keakuratan intake dan output cairan
E. Evaluasi
No. Tanggal Evaluasi Keperawatan
Dx /Jam
1. S = Pasien mengatakan mengatakan tidak merasa nyeri
dan panas pada luka
O = Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
A = Masalah keperawatan teratasi
P = Hentikan intervensi
2. S = Pasien mengatakan tidak demam, panas pada kulit
O = Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
A = Hentikan intervensi
P = Hentikkan intervensi
3. S = Pasien mengatakan tidak merasa nyeri
O = Pasien terlihat rileks
A = Masalah keperawatan teratasi
P = Hentikan intervensi
4. S = Pasien mengatakan makan dan minum tidak ada
masalah
O = Berat badan pasien dalam rentang normal
A = Masalah keperawatan teratasi
P = Hentikan intervensi
5. S = Pasien mengatakan minum 8 gelas sehari
O = Intake dan output cairan normal
A = Masalah keperawatan teratasi
P = Hentikan intervensi
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput
lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat
kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura (Djuanda, 2000).
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat
dianggap sebagai penyebab antara lain alergi, obat, infeksi, makanan, neoplasma, dan
faktor fisik. Sindrom ini jarang dijumpaipada usia 3 tahun kebawah. Pada sindrom ini
terlihat adanya trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium,
kelainan berupa vesikel dan bula, kelianan dimukosa, kelainan mata. Disamping trias
kelainan tersebut terdapat pula kelaianan lain, misalnya : nefritis dan onikolisis.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan sindroma steven
johnson terdiri dari : pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

B. SARAN
Disarankan untuk mahasiswa sebaiknya memperdalam ilmu dalam perawatan
pasien sindroma steven johnson agar dapat membantu klien untuk mencapai kesembuhan
dan pengobatan. Serta mahasiswa dapat mengetahui cara-cara untuk memberikan
pendidikan kesehatan terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta EGC

Darmawan, H. (2014). Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat Siprofloksasin. CDK-


217/Vol. 41 No. 6, 432-435.

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen.
Jakarta : Salemba Medika

NANDA Internasional. 2015. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi (2015-2017)


Herdman. T. Heather. Jakarta :EGC

Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda (North American Nursing Diagnosis Association) Nic-Noc, Panduan
Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional Jilid 3. Yogyakarta : MediaAction

Pearce, Evelyn C. 2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk para Medis. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai