DI SUSUN OLEH :
Kelompok 6
FAKULTAS KESEHATAN
2019
DAFTAR ISI
C. Etiologi ...................................................................................................... 7
D. Patofisiologi............................................................................................... 8
E. Pathway .................................................................................................... 9
G. Komplikasi............................................................................................... 11
I. Penatalaksanaan .................................................................................... 13
A. Pengkajian .............................................................................................. 14
C. Intervensi Keperawatan........................................................................... 18
E. Evaluasi .................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 25
2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Kulit digambarkan sebagai pelindung, bersifat sensitif, reparatif, dan
mampu mempertahankan homeostatisnya sendiri. Kulit menutupi 1,2
sampai 2,3 m3 area dan merupakan organ terberat dalam tubuh. Ketiga
lapisan kulit tersebut adalah bagian terluar disebut epidermis, bagian
tengah disebut dermis, dan bagian dalam disebut hipodermis atau
jaringan subkutan. Apendiks kulit terdiri atas rambut, kuku, kelenjar
keringat ekrin dan apokrin, dan kelenjat sebasea (Gonce, 2011).
3
yang pada setiap orang berbeda. Maka atas hal ini studi sidik jari
dalam kriminologi dilandaskan (Pearce, 2012).
b. Dermis atau Korium
Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan
ikat yang elastis. Pada permukaan dermis tersusun papil-papil kecil
yang berisi ranitng-ranting pembuluh darah kapiler (Pearce, 2012).
Ujung akhir saraf sensoris, yaitu puting peraba, terletak di dalam
dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dan
banyak jumlahnya, terletak di sebelah dalam dermis, dan salurannya
yang keluar melalui dermis dan epidermis bermuara di atas
permukaan kulit di dalam lekukan halus yang disebut pori. Ada
beberapa kelenjar keringat yang berubah sifat yang dapat dijumpai di
kulit sebelah dalam telinga, yaitu kelenjar serumen (Pearce, 2012).
Kelenjar sebseus adalah kelenjar kantong di dalam kulit.
Bentuknya seperti botol dsan bermuara di dalam folikel rambut.
Kelenjar ini paling banyak terdapat di kepala dan wajah, yaitu sekitar
hidung, mulut, dan telinga, dan sama sekali tak terdapat dalam kulit
tapak tangan dan telapak kaki. Kelenjarnya dan selurannya dilapisi sel
epitel. Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi berlemak yang
disebut sebum (Pearce, 2012).
c. Hipodermis atau Subkutan
Hipodermis atau lapisan kulit subkutan terdiri atas jaringan ikat
yang diselingi dengan lemak. Lemak hipodermis memiliki fungsi
perlindungan terhadap retensi panas dan melindungi strukrtur
dibawahnya. Selain itu, lemak di lapisan kulit subkutan berfungsi
sebagai tempat penyimpanan kalori (Gonce, 2011)
2. Fisiologi
a. Kulit sebagai organ pengatur panas
Kulit adalah organ utama yang berurusan dengan pelepasan
panas dari tubuh. Sebagian panas menghilang melalui paru-paru, dan
sebagian lagi melalui feses dan urine. Panas dilepas oleh kulit dengan
berbagai cara, yaitu dengan penguapan, pemancaran, konduksi, dan
konveksi (pengaliran) (Pearce, 2012).
4
Persarafan vaso-motorik mengendalikan arteriol kutan dengan
dua cara, yaitu vaso-dilatasi dan vaso-konstriksi. Pada vaso-dilatasi
arteriol memekar, kulit menjadi lebih panas, dan kelebihan panas cepat
terpancar dan hilang, dan juga hilang karenas kelenjar keringat
bertambah aktif, dan karena itu terjadi penguapan cairan dari
permukaan tubuh. Pada vaso-konstriksi pembuluh darah dalam kulit
mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, keringat hampir dihentikan,
dan hilangnya panas dibatasi. Dengan pengendalian ini pelepasan
panas ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan tubuh (Pearce,
2012).
c. Tempat penyimpanan
Kulit dan jaringan dibawahnya bekerja sebagai tempat
penyimpanan air; jaringan adiposa di bawah kulit merupakan tempat
penyimpanan lemak yang utama pada tubuh (Pearce, 2012).
5
ketiga, proteksi ini hilang dan setiap sentuhan terasa nyeri, dan
eksudasi cairan dari dermis yang sekarang terbuka ini menyebabkan
hilangnya cairan dan elektrolit, dengan akibatnya klien berada dalam
bahaya dehidrasi, yamg dapat menimbulkan keadaan yang lebih parah
(Pearce, 2012)
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu
oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan
sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini.
Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner
& Suddarth, 2013)
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala
sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir
orifisium. Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema
multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme
mayor (Darmawan, 2014).
Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa
yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis
terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi
hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun
pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui
adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Kusuma &
Nurarif, 2015)
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom
steven johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana
seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang
kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi, dan
terkadang keganasan.
Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma &
Nurarif, 2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
6
C. Etiologi
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan
kanker merupakan faktor risiko penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan
dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, kasus lainnya idiopatik atau tidak
diketahui penyebabnya.
Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif,
2015):
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes
simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus
EpsteinBarr, atau sejenisnya).
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,
carbamazepin).
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng.
Sindrom steven johnson juga mungkin disebabkan oleh karena
penggunaan kokain.
6. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi virus, keganasan atau
reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya
karena penggunaan antibiotik dan sulfametoksazole. Pengobatan yang
secara turun menurun diketahui menyebabkan SSJ, eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfanomide
(antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin,
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.
7
D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III
dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang (Muttaqin, 2012).
8
E. Pathway
Limfosit T tersintesitasi
Antigen antibody terbentuk
terperangkap dalam jaringan
Pengakitfan sel T kapiler
Kerusakan jaringan
Post de entree
9
F. Manifestasi Klinis
Menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), pada sindroma ini terlihat adanya
kelainan berupa :
1. Kelainan kulit
10
Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema
mberbentuk seperti cincin (pinggir eritema tengahnya relatif
hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.
Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae
atau purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk.
Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi generalisate.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada
mukosa mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang
alat genitalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-
masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel
pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis merupakan
gejala yang dini dan menyolok. Stomatiti kemudian menjadi lebih berat
dengann pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi,
pendarahan, ulcerasi, dan dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dpaat
terbentuk psudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah
krusta berwarna hitam yang tevbal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menenlan. Kelainan ini di mukosa dapat
juga terjadi di faring, traktus respiratorus bagian atas, dan esophagus.
Terbentuknya pseudommebran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderitanya tidak dapat makan dan minum.
3. Kelainan Mata
Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus, yang
sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi
conjunctivitis purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus cornea,
iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga
dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivitis, balanitis, uretritis.
11
3. Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.
4. Gastroenterologi – Esophageal strictures.
5. Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,
stenosis vagina.
6. Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.
7. Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulit sekunder.
8. Infeksi sitemik, sepsis
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven
johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan
esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
12
I. Penatalaksanaan
Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara lain
mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan
mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama penanganan adalah
pemberian asuhan yang suportif, diantaranya yaitu :
1. Semua pengobatan yang tidak penting dihentikan dengan segera.
2. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka bakar
atau ICU
3. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk
mengangkat kulit yang rusak.
4. Sumpel jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit, dan
lepuhan yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi pathogen.
5. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit.
6. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat mungkin.
7. Kortikosteroid sistemik diberikan di awal proses penyakit.
8. Pemberian imunoglobulin melalui intravena (IVIG) dapat mempercepat
perbaikan kondisi dan penyembuhan kulit.
9. Kulit dilindungi dengan agens topikal; antibakteri topikal dan agens
anestesi digunakan untuk mencegah sepsis pada luka.
10. Balutan biologis sementara (pigskin, membran amnion) atau balutan
plastik semipermeabel (vigilon) dapat digunakan.
11. Perawatan orofaring dan perawatan mata yang cermat sangat penting
ketika membran mukosa dan mata mengalami gangguan berat.
13
BAB II
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
- Keluhan Utama
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan
Steven Johnson biasanya mengeluhkan demam, malaise, kulit
merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura dan
terbentuk krusta pada bibir. Riwayat perjalanan penyakit sehingga
klien dirawat di rumah sakit (Setelah ia mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh bidan, 2 hari yang lalu). Pada pemeriksaan mata,
didapatkan kelainan mata kongjungtivitis.
- Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan maupun obat-obatan klien, riwayat
konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya
dialami klien.
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit
yang sama.
3. Pola Fungsional Gordon
- Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?
b. Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan konsumsi
obat-obatan tertentu?
c. Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?
14
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit?
b. Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
c. Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah
sakit?
d. Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?
e. Apakah klien mengalami mual dan muntah?
f. Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau
sebaliknya?
- Pola eliminasi
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?
b. Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
c. Kaji konsistensi BAB dan BAK klien
d. Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?
0 = mandiri
2 = membutuhkan pengawasan
15
4 = ketergantungan
16
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?
b. Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
c. Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat
sekitarnya?
4. Pemeriksaan Fisik
a. Mata
Penglihatan kabur buram, conjungtiva anemis kelainan mata
kongjungtivitis, mata berair, edema,mata terasa gatal, menganjal, pedih,
dan lengket.
b. Mulut
Kotor, terdapat krusta, mukosa bibir kering, terdapat bula dan purpura
c. Kulit
Sawo matang (warna kulit), turgor kulit jelek, kering , eritema, vesikel, bula
dan terjadi purpura dan ada pula yang disertai tanda-tanda infeksi.
I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, faktor
P : Turgor kulit, edema
( Brunner and Suddarth, 2001 )
17
5. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Laboratorium : leukositosis atau eosinophilia
b. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan
esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit b.d agens farmaseutikal
2. Resiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan
integritas kulit)
3. Nyeri akut b.d agens cedera biologis
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan makan
5. Resiko kekurangan volume cairan b.d faktor yang mempengaruhi kebutuhan
cairan
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Planning Intervensi
Dx
Keperawatan (NOC) (NIC)
18
(sensasi, elastisitas, 4. Kaji lingkungan dan
temperatur, hidrasi, peralatan yang
pigmentasi) menyebabkan tekanan
2. Perfusi jaringan baik 5. Observasi luka : lokasi,
3. Menunjukkan dimensi, kedalaman luka,
pemahaman dalam karakteristik, warna
proses perbaikan kulit cairan, granulasi,
dan mencegah terjadinya jaringan nekrotik, tanda-
sedera berulang tanda infeksi lokal,
4. Mampu melindungi kulit formasi traktus
dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
5. Menunjukkan terjadinya
proses penyembuhan
luka
2 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Infection Control
berhubung b.d keperawatan selama…..
1. Kaji tanda-tanda infeksi ;
pertahanan tubuh pasien tidak menunjukkan
suhu tubuh, nyeri,
primer tidak tanda-tanda infeksi dengan
peradangan, dan
adekuat kriteria hasil:
pemeriksaan laboratorium,
(gangguan
Risk Control radiologi
integritas kulit)
2. Monitor tanda dan gejala
1. Pasien bebas dari tanda
infeksi sistemik dan local
dan gejala infeksi
3. Monitor gitung granulosit,
2. Menunjukkan
WBC
kemampuan untuk
4. Pertahankan teknik asepsis
mencegah timbulnya
pada pasien yang beresiko
infeksi
5. Kolaborasi pemberian
3. Jumlah leukosit dalam
antibiotic yang sesuai
batas normal
4. Tanda-tanda vital dalam
batas normal
5. Menunjukkan perilaku
hidup sehat
19
3 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Pain Management
agens cedera keperawatan selama.... jam
1. Lakukan pengkajian nyeri
biologis pasien dapat mengontrol
secara komperehensif
nyeri dengan kriteria hasil :
termasuk lokasi,
Pain Control
karakteristik, durasi,
1. Mampu mengontrol nyeri
frekuensi, kualitas dan faktor
(tahu penyebab nyeri,
presipitasi
mampu menggunakan
2. Observasi reaksi nonverbal
teknik nonfarmakologi
dari ketidaknyamanan
untuk mengurangi nyeri,
3. Kaji kultur yang
mencari bantuan)
mempengaruhi respon nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri
4. Ajarkan teknik
berkurang dengan
nonfarmakologi
menggunakan
5. Tingkatkan istirahat
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri
(skala,intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
4. Mengatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
5. Tanda vital dalam batas
normal
20
4 Ketidakseimbang Setelah dilakukan tindakan Nutrition Therapy
an nutrisi: kurang keperawatan selama.... jam
1. Lakukan pengkajian
dari kebutuhan kebutuhan nutrisi pasien
lengkap mengenai nutrisi
tubuh b.d terpenuhi dengan kriteria hasil
klien
ketidakmampuan :
2. Monitoring intake
makan Nutrional Status
makanan/cairan dan hitung
1. Pemasukan nutrisi yang
intake kalori harian
adekuat
3. Mengatur lingkungan
2. Jumlah cairan dan
menjadi menyenangkan
makanan yang diterima
dan rileks
sesuai dengan
4. Pilih suplemen nutrisi jika
kebutuhan pasien
diperlukan
3. Nilai laboratorium dalam
5. Anjurkan klien untuk
rentang normal, protein
memilih makanan yang
total 6-8 gr%, Albumin
lunak,tidak berbumbu, tidak
3,5-5 gr%, Glubolin 1,5-3
masam
gr%, HB tidak kurang
6. Monitor hasil pemeriksaan
dari 10 gr%
laboratorium jika diperlukan
4. Tidak terjadi penurunan
BB badan
5. Membran mukosa dan
konjungtiva tidak pucat
21
3. Membrane mucus lembab 1. Monitor status hidrasi (
membran mukus, tekanan
ortostatik, keadekuatan
denyut nadi )
D. Implementasi Keperawatan
No Hari/ Pukul No Implementasi
Tanggal Dx
1 1 1. Menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar : menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan
dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara
meningkatkan proses penyembuhan dan menurunkan
resiko infeksi
2. Menghindari kerutan pada tempat tidur : mencegah
gesekan pada luka agar tidak terjadi infeksi
3. Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
sekali : menghindari terjadinya tekanan pada luka
4. Mengkaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan
tekanan : menghindari terjadinya infeksi
5. Mengobservasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
karakteristik, warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus : mengetahui
keadaan inflamasi kulit pasien
2 2 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi ; suhu tubuh, nyeri,
peradangan, dan pemeriksaan laboratorium, radiologi
2. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local :
adanya demam, mual muntah, kelemahan, peradangan
3. Monitor gitung granulosit, WBC : adanya infeksi atau tidak
4. Mempertahankan teknik asepsis pada pasien yang
beresiko : mencengah infeksi
22
5. Kolaborasi pemberian antibiotic yang sesuai : pemberian
sesuai dengan yang dianjurkan dokter
23
E. Evaluasi
No Tanggal Evaluasi Keperawatan
Dx /Jam
P = Hentikan intervensi
A = Hentikan intervensi
P = Hentikkan intervensi
P = Hentikan intervensi
P = Hentikan intervensi
P = Hentikan intervensi
24
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta EGC
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta : Salemba Medika
Pearce, Evelyn C. 2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk para Medis. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
25