A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi Darah
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup
(kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat
dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-
bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai pertahanan tubuh
terhadap virus atau bakteri (Larasuci, 2018).
Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup yang berada
dalam ruang vaskuler, karena perannya sebagai media komunikasi
antar sel ke berbagai bagian tubuh dengan dunia luar karena fungsinya
membawa oksigen dari paru-paru kejaringan dan karbondioksida dari
jaringan ke paru-paru untuk dikeluarkan, membawa zat nutrien dari
saluran cerna ke jaringan kemudian menghantarkan hormon dan materi-
materi pembekuan darah (Larasuci, 2018).
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh dimana fungsi
utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh selsel di
seluruh tubuh. Darah juga mensuplai tubuh dengan nutrisi, mengangkut
zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun
sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai
penyakit (Nurarif, 2015).
2. Karakteristik Darah
Karakteristik umum darah meliputi warna, vsikositas, pH, volume,
dan komposisinya (Larasuci, 2018).
a. Darah arteri berwarna merah muda karena banyak oksigen yang
berkaitan dengan hemoglobin dalam sel darah merah. Darah vena
berwarna merah tua/gelap karena kurang oksigen dibandingkan
dengan darah arteri.
b. Viskositas darah ¾ lebih tinggi dari pada viskositas air yaitu sekitar
1.048 sampai 1.066.
c. pH darah bersifat alkaline dengan pH 7.35 sampai 7.45 (netral 7.00).
d. Volume darah pada orang dewasa sekitar 70 sampai 75 ml/kg BB,
atau sekitar 4 sampai 5 liter darah.
e. Komposisi darah tersusun atas dua komponen utama yaitu :
1) Plasma darah yaitu bagian cair darah (55%) yang sebagian terdiri
dari 92% air, 7% protein, 1% nutrien, hasil metabolisme, gas
pernapasan, enzim, hormon-hormon, faktor pembekuan dan
garam-garam organik. Proteinprotein dalam plasma terdiri dari
serum albumin (alpha-1 globulin, alpha-2 globulin, beta globulin
dan gamma globulin), fibrinogen, protombin, dan protein esensial
untuk koagulasi. Serum albumin dan gamma globulin sangat
penting untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid dan
gamma globulin juga mengandung antibodi (immunoglobulin)
seperti IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE untuk mempertahankan tubuh
terhadap mikroorganisme.
2) Sel-sel darah/butir darah (bagian padat) kira-kira 45%, terdiri atas
eritrosit atau sel darah merah (SDM) atau red blood cell (RBC),
leukosit atau sel darah putih (SDP) atau white blood cell (WBC),
dan trombosit atau platelet. Sel darah merah merupakan unsur
terbanyak dari sel darah (44%) sedangkan sel darah putih dan
trombosit 1%. Sel darah putih terdiri dari Basofil, Eusinofil,
Neutrofil, Limfosit dan Monosit.
3. Struktur Sel
a. Sel darah merah (Eritrosit)
Sel darah merah berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter
sekitar 7,6 mikron, tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1
mikron atau kurang, tersusun atas membran yang sangat tipis
sehingga sangat mudah terjadi difusi oksigen, karbondioksida dan
sitoplasma, tetapi tidak mempunyai inti sel. Produksi eritrosit
(eritropoisis) dimulai dari munculnya eritroblas dari sel sistem primitif
dalam sumsum tulang. Eritroblas adalah sel berinti dalam proses
pematangan disumsum tulang menimbun hemoglobin dan secara
bertahap kehilangan intinya yang disebut retikulosit, kemudian
selanjutnya mengalami penyusutan ukuran dan menghilangnya
material berwarna gelap (Desmawati, 2013).
b. Sel darah putih (Leukosit)
Sel darah putih (leukosit) jauh lebih besar daripada sel darah
merah. Pada orang dewasa setiap 1 mm3 datah terdapat 6.000-9.000
sel darah putih, tidak seperti sel darah merah, sel darah putih
memiliki inti (nukleus). Sebagian besar sel darah putih bisa bergerak
seperti amoeba dan dapat menembus dinding kepiler. Sel darah putih
diproduksi di dalam sumsum merah, kelenjar limfa, dan limpa (kura).
Sel darah putih memiliki ciri-ciri antara lain tidak berwarna (bening),
bentuk tidak tetap (ameboid), berinti dan ukurannya lebih besar dari
pada sel darah merah (eritrosit) (Desmawati, 2013).
4. Fungsi Darah
Menurut Gaol (2015) dalam Larasuci (2018) fungsi darah adalah
sebagai berikut:
a. Membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan
menuju ke jaringan tubuh.
b. Mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
c. Mengangkut produk buang dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk
di ekskresikan.
d. Mengangkut hasil sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzim dari
organ ke organ.
e. Ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, sistem
buffer seperti bicarbonat di dalam darah, membantu
mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh.
f. Berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh dengan cara
mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke
permukaan tubuh.
g. Mengatur konsentrasi ion hydrogen dalam tubuh (keseimbangan
asam dan basa).
h. Membantu pertahanan tubuh terhadap penyakit.
i. Pembekuan darah pada luka, mencegah terjadinya kehilangan darah
yang berlebihan pada waktu luka, serta mengandung faktor-faktor
penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit.
2. Klasifikasi
Menurut Arif (2002) dalam Anisa (2017) leukemia diklasifikasikan
menjadi 4 bagian, diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Leukemia Meilogenus Akut
LMA mengenai sel system hematopeotik yang kelak
berdiferensiasi ke semua sel myeloid, monosit, granulosit, eritrosit
dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena, insidensi
meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimpositik yang paling sering terjadi.
b. Leukemia Mielogenus Kronik
LMC juga dimasukan dalam sistem keganasan sel myeloid.
Namun banyak sel normal dibandingkan bentuk akut, sehingga
penyakit ini lebih ringan. LMC jarang menyerang individu dibawah 30
tahun. Manifestasi mirip dengan LMA, tetapi tanda dan gejala lebih
ringan, pasien menunjukan tanpa gejala selama bertahun-tahun,
peningkatan leukosit sampai jumlah yang luar biasa, limpa
membesar.
c. Leukemia Limfositik Akut
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering
terjadi pada anakanak, laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah 15 tahun LLA
jarang terjadi. Manifestasi limfosit berproliferasi dalam sumsum tulang
dan jaringan perifer sehingga menggangu perkembangan sel normal.
d. Leukemia Limfositik Kronik
LLC merupakan kelainan ringan mengenail individu usia 50
sampai 70 tahun. Manifestasi pasien tidak menunjukan gejala, baru
terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penangan penyakit lain.
3. Etiologi
Penyebab dari leukemia masih diketahui secara pasti, namun
beberapa faktor predisposisi atau faktor yang berperan telah diketahui
oleh beberapa ahli. Para ahli mengemukakakn faktor lingkungan,
genetik dan keadaan imunodefisiensi dapat menjadi pencetus leukemia
(Ni Ketut & Agus, 2016).
Faktor lingkungan dapat didapatkan dari terpaparnya
medan magnet seperti medan magnet kecil yang digunakan dalam
pemeriksaan kesehatan, efek samping radioterapi dari penyakit
sebelum terdiagnosis (American Cancer, Society, 2015).
Faktor genetik sendiri karena adanya kelainan genetik. Pada
kelainan genetik tersebut individu mempunyai kromosom defek atau
kelainan genetik tertentu yang mempunyai resiko lebih besar
terhadap leukemia. Misalnya, seseorang dengan gejala down’s
syndrome mempunyai resiko tinggi terhadap kejadian leukemia
(Hanifah, 2019).
Penyebab leukemia juga dapat berasal pada seseorang
yang sebelumnya memiliki kanker selain leukemia, yang
mendapatkan terapi chemotherapy maupun pengobatan yang menekan
sistem imun tubuh juga dapat beresiko terkena leukemia di masa yang
akan datang (Hanifah, 2019).
4. Patofisiologi
Leukemia terjadi dari proses mutasi tunggal dari sel progenitor
pada sistem hematopoiesis yang meneyebabkan sel mampu
untuk berproliferasi secara tidak terkontrol yang dapat menjadi suatu
keganasan dan sel prekursor yang tidak mampu berdiferensiasi
pada sistem hematopoiesis (Hanifah, 2019).
Pada leukemia, terjadi keganasan sel darah pada fase
limphoid. Penyebab dari hal ini belum sepenuhnya belum diketahui.
Namun didiga hal ini berhubungan dengan genetik lingkungan dan
keadaan imunodefisiensi. Perubahan susunan dari kromosom
mungkin dapat mempengaruhi struktur atau pengaturan dari sel-sel
onkogen. Leukemia pada sel limfosit B terjadi translokasi dari
kromosom pada gen yang normal berproliferasi menjadi gen yang
aktif untuk berproliferasi. Hal ini menyebabkan limfoblas memenuhi
tubuh dan menyebabkan sumsum tulang gagal untuk berproduksi
dan akhirnya menjadi pansitopenia. Seiring sumsum tulang gagal, sel-
sel yang abnormal bersirkulasi dalam tubuh dan masuk keorgan-
organ lain, seperti hati, limpa, extramedullary invasion, dan SSP.
Gangguan pada sistemik ini menyebabkan perubahan pada kadar
hematologi tubuh, pembesaran limpa, spleen, dan hepar (Hanifah,
2019).
Pathway
Sel-sel abnormal
LEUKEMIA
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Anisa (2017) dan Hanifah (2019) pemeriksaan
penunjang pada leukemia adalah:
a. Darah Tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan
pada kelainan sumsum tulang, yaitu berupa pansitopenia, limfositosis
yang kadangkadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton
dan terdapatnya sel blas. Terdapat sel blas pada darah tepi yang
merupakan gejala leukemia.
b. Sumsum Tulang
Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan gambaran yang
monoton yaitu hanya terdiri dari sel lomfopoetik patologis sedangkan
sistem lain menjadi terdesak (aplasia sekunder). Hiperselular, hampir
semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak
monoton oleh sel blast, dengan adanya leukemia gap (terdapat
perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa
sel antara). Sistem hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah
blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam
hitungan 500 sel pada asupan sumsum tulang).
c. Biopsy Limpa
Pemeriksaan ini memperlihatkan proliferasi sel-sel yang berasal
dari jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, ranulosit,
pulp cell.
d. Kimia Darah
Kolesterol mungkin merendah, asam urat dapat meningkat,
hipogamaglobulinemia.
e. Cairan Serebrospinal
Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein,
maka hal ini menunjukkan suatu leukemia meningeal. Kelainan ini
dapat terjadi setiap saat dari perjalanan penyakit baik pada keadaan
remisi maupun pada keadaan kambuh. Untuk mencegahnya
dilakukan fungsi lumbal dan pemberian metotreksat (MTX) intratekal
secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka yang
menunjukkan gejala tekanan intracranial yang meninggi.
f. Sitogenik
70-90% dari kasus LMK menunjukkan kelainan kromosom,
yaitu pada kromosom 21 (kromosom Phiadelphia atau Phl) 50-70%
dari penderita LLA dan LMA mempunyai kelainan berupa :
1) Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a),
hiperploid (2n+a).
2) Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom
yang diploid.
g. Pemeriksaan Immuniphenotyping
Pemeriksaan ini sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk
pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis leukemia.
7. Komplikasi
Komplikasi menurut Zelly (2012) dalam Fitriana (2017) leukemia
yaitu:
a. Trombositopenia
Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia akut biasanya
merupakan akibat infiltrasi sumsum tulang atau kemoterapi.
b. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah suatu sindrom
yang ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa
pembentukan dan penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga
menimbulkan trombus mikrovaskuler pada berbagai organ yang
dapat mengakibatkan kegagalan multiorgan.
c. Fibrinolisis Primer
Beberapa peneliti menemukan bahwa leukosit pada leukemia
akut memiliki aktivitas fibrinolitik yang dapat menyebabkan fibrinolisis
primer terutama pada leukemia promielositik akut. Pada fibrinolisis
primer, perdarahan disebabkan oleh degradasi faktor pembekuan
yang diinduksi plasmin seperti fibrinogen.
8. Penatalaksanaan
Menurut Anisa (2017) dan Hanifah (2019) terapi pengobatan yang
dapat diberikan pada pasien leukemia adalah:
a. Transfusi Darah
Biasanya diberikan jika kadar Hb kurang dari 6%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masih, dapat diberikan
tranfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan
heparin.
b. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya)
Setelah tercapai, remisi dosis dapat dikurangi sedikit demi
sedikit dan akhirnya dihentikan.
c. Sitostika
Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan
lebih paten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine)
dan berbagai nama obat lainnya. Umumnya sistostatika diberikan
dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian
obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopsia
(botak), stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis.
d. Imunoterapi
Merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapainya
remisi dan jumlah sel leukemia yang cukup rendah, kemudian
imunoterapi mulai diberikan (mengenai cara pengobatan yang terbaru
masih dalam pengembangan).
e. Kemoterapi
Merupakan cara yang lebih baik untuk pengobatan kanker.
Bahan kimia yang dipakai diharapkan dapat menghancurkan sel-sel
yang oleh pembedahan atau penyinaran tidak dapat dicapai.
f. Terapi Radiasi
Beberapa klien leukemia mungkin membutuhkan terapi
radiasi untuk mendampingi kemoterapi, terapi ini menggunakan sinar
berenergi tinggi yang diarahkan pada titik yang terdapat sejumlah sel
besar leukemia seperti massa kelenjar getah bening atau limfa
oleh ahli onkologi radiasi
g. Transplatasi Sumsum Tulang
Terapi sumsum tulang adalah bentuk terapi paling agresif
untuk leukemia dan merupakan prosedur yang kompleks
yang memerlukan sebuah tim multidisplinir. Hal ini digunakan
untuk menghasilkan efek imunologi yang bekerja untuk membunuh
sel-sel leukemia.
Ni Ketut & Agus Sarwo Prayogi. (2016). Asuhan Keperawatan Anak Sakit dan
Bayi Resiko Tinggi. Yogyakarta : PT. Pustaka Baru.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI