Anda di halaman 1dari 13

REPRODUKSI TERNAK

“Anatomi Dan Fisiologi Uterus Bunting, Menentukan Umur Fetus dan Deteksi
Kebuntingan”

LAPORAN PRAKTIKUM

Oleh:
Nama : Tiara Kasya Aulia Thifa
Nim : D0A022043
Kelompok : 3H
Asisten : Syifa Nayami Hikmatul Waliy

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK TERAPAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anatomi reproduksi adalah


ilmu yang mempelajari
tentang struktur dan tata letak
organ reproduksi. Anatomi
unggas merupakan ilmu yang
mempelajari bagian bagian
dari
tubuh unggas. Fisiologi
reproduksi adalah ilmu yang
mempelajari tentang fungsi
organ
reproduksi. Organ reproduksi
unggas terdapat dua macam
yaitu organ primer dan organ
sekunder. Pengetahuan
anatomi dan fisiologi
mengenai alat reproduksi
unggas sangat
diperlukan bagi orang
yang berkecimpung dalam
bidang peternakan. Organ
primer
pejantan terdiri dari testis,
sedangkan organ sekunder
terdiri dari vas eferens,
epididimis,
vas deferens, papile, kloaka.
Ilmu Reproduksi adalah ilmu
yang mempelajari tentang
reproduksi organisme. Siklus
reproduksi, anatomi organ
reproduksi, dan histologi
organ reproduksi adalah hal
yang
dibahas di dalam Ilmu
Reproduksi. Ilmu Reproduksi
Ternak adalah ilmu yang
mempelajari
tentang reproduksi organisme,
namun lebih terkhusus pada
organisme ternak. Anatomi
dan histologi dari organ
reproduksi jantan dan betina
dipelajari berikut dengan
proses
pembentukan sel-sel gamet.
Sapi adalah salah satu jenis ternak yang termasuk paling banyak di pelihara di
indonesia, baik itu dipeliihara oleh peternak lokal maupun pabrik-pabrik yang
membutuhkan banyak daging maupun susu agar laju produksi pabrik terus berjalan.
Semua itu tentu membutuhkan biaya yang besar semakin banyak sapi yang di pelihara
maka semakin banyak juga kebutuhan biaya untuk perawatan agar mendapatkan sapi
yang berkualitas. Salah satu hal yang perlu peternak ketahui adalah bagaimana cara
mengetahui atau mengindentifikasi kapan ternak sapi bunting, hal ini sangat penting
untuk diketahui karena dibutuhkan persiapan untuk membantu saat kelahiran anak sapi
serta persiapan awal masa pertumbuhan.
Sangat penting untuk mempelajari dan mengetahui apa saja tanda-tanda ketika sapi
yang sedang bunting dan akan melahirkan sejak dini, agar Peternak bisa mempersiapkan
kelahiran ternak sapi lebih awal. Jika sudah diketahui tanda-tanda kebuntingan peternak
bisa mengurangi potensi kejadiankejadian tertentu yang tidak diinginkan seperti cacat
pada pedet yang baru lahir, kematian pada induk sapi, susahnya kelahiran pada induk
atau distokia, dan kejadian lainnya yang tidak diinginkan yang dapat menghambat
kehidupan anak sapi dan induk sapi serta dapat mengancam keberlangsungan hidup
mereka.
Deteksi kebuntingan dini pada sapi juga sangat penting dilihat dari segi ekonomi hal
ini dapat mempengaruhi dari segi pendapatan peternak. Dengan mengetahui ternak
tersebut bunting atau tidak dalam waktu cepat, peternak dapat mengambil tindakan
selanjutnya yaitu memperbaiki pakan apabila ternaknya bunting. Sebaliknya jika ternak
tersebut diketahui tidak bunting makan peternak dapat menjual atau memotong
ternaknya untuk menekan masa produksi sehingga peternak tersebut tidak mengalami
kerugian akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan.
Deteksi kebuntingan pada ternak merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan
setelah melakukan perkawinan atau IB. Pada umumnya, deteksi kebuntingan dini perlu
dilakukan dalam hal mengindetifikasi ternak yang tidak bunting setelah perkawinan atau
IB. Peternak dapat mendeteksi kebuntingan dengan memperhatikan tingkah laku ternak
tersebut, apabila ternak telah dikawinkan tidak terlihat gejala estrus maka peternak
menyimpulkan bahwa ternak bunting dan sebaliknya. Namun cara tersebut tidaklah
efektif dan sering terjadi kesalahan dalam deteksi kebuntingan dini.
Tujuan dalam melakukan pemeriksaan kebuntingan pada sapi adalah dapat
mementukan status kebuntingan secara tepat dan akurat, dapat menentukan usia
kebuntingan, keberlangsungan kebuntingan, dan jenis kelamin fetus. Salah satu cara yang
dapat dilakukan dalam mendeteksi kebuntingan pada ternak sapi dengan menggunkan
asam sulfat (H2SO4) dapat menjadi alternatif yang murah dan mudah dilakukan, tanpa
harus memiliki keterampilan khusus. Semua orang dapat melakukan test kebuntingan dini
dengan metode Asam Sulfat pada sapi, hanya perlu dilakukan kehati-hatian saat
menggunakan asam sulfat pekat karna sifatnya yang keras dan bisa menimbulkan luka
bakar pada kulit.
3.1 Tujuan
1. Praktikan dapat mengetahui anatomi dan fisiologi uterus bunting serta menentukan
umur fetus.
2. Praktikan dapat mengetahui sapi yang bunting dengan cara deteksi kebuntingan pada
sapi.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum “Anatomi dan Fisiologi Uterus Bunting, Menentukan Umur Fetus dan
Deteksi Kebuntingan” dilaksanakan pada hari Senin, 6 November 2023 serta bertempat di
Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Ternak Terapan, Fakultas Peternakan, Universitas
Jenderal Soedirman.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Uterus Bunting serta Menentukan Umur Fetus
(1)
(3)
(2)

Gambar 1. Fetus Sapi


Keterangan :
Fetus (1) = Panjang fetus 17,5 cm ; Umur fetus 3 bulan
Fetus (2) = Panjang fetus 18 cm ; Umur fetus 3 bulan
Fetus (3) = Panjang fetus 19 cm ; Umur fetus 3,5 bulan
2.1.2 Deteksi Kebuntingan
No Uji Hasil Gambar

Sampel tabung urin sapi bunting


terdapat gelembung dan berwarna
1. H2SO4
pink keunguan, sedangkan urin sapi
tidak bunting tidak ada perubahan. Gambar
2. Uji H2SO4

Sampel test pack urin sapi bunting


tidak ada dua garis biru, sedangkan
2. Test Pack
uring ibu hamil terdapat dua garis
biru karena mengandung HCG.
Gambar 3. Uji test pack
3. Punyakoti Sampel kacang hijau dengan urin sapi
bunting mengalami pertumbuhan
lebih cepat daripada sampel kacang
hijau dengan sapi tidak bunting.

Gambar 4. Uji
punyakoti

2.2 Pembahasan
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Uterus Bunting serta Menentukan Umur Fetus
Kebuntingan merupakan suatu keadaan dimana anak sedang berkembang didalam
uterus seekor betina, suatu rentan waktu yang disebut dengan periode kebuntingan yang
terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) sampai lahirnya anak. Uterus merupakan
bagian saluran organ kelamin yang berbentuk buluh, berurat daging licin, untuk
menerima ovum yang telah dibuahi atau embrio dari oviduct, dan pemberian makanan
dan perlindungan bagi fetus, selanjutnya untuk mendorong fetus ke arah luar pada saat
kelahiran. Bentuk morfologi pada uterus dipengaruhi oleh derajat ersenyawaan dari
saluran muller pada periode embrional. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Aritonang
(2017) yang menyatakan bahwa bentuk morfologi uterus pada berbagai spesies hewan
berbeda-beda menurut derajat ersenyawaan dari saluran muller pada periode embrional.
Uterus adalah salah satu saluran reproduksi betina selain tuba fallopi, serviks dan
vagina. Perubahan struktur dan fungsi uterus ditentu-kan oleh siklus hormonal betina.
Awalnya fungsi uterus menyiapkan penerimaan dan transportasi spermatozoa
dari cervix ke tuba fallopi dan pada masa kehamilan uterus menjadi tempat tumbuhnya
zygot, hingga kelahiran tiba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Agustini etal. (2017)
yang menyatakan bahwa bila terjadi pembuahan pada masa kehamilan, uterus menjadi
tempat tumbuhnya zygot, hingga kelahiran tiba. Fungsi uterus itu banyak, sebagai contoh,
sebagai jalannya sperma pada saat kopulasi dan motilitas (pergerakan) sperma
ke oviduct dibantu dengan kerja yang sifatnya kontraktil.
Uterus yang mendukung perkembangan embrio pada minggu-minggu awal masa
kebuntingan melalui sekresi dari kelenjar uterus dan plasma darah (susu uterin). Uterus
yang dapat mengalami perubahan-perubahan besar dalam ukuran serta bentuknya,
berperan sebagai temoat perlekatan melalui plasetom bagi embrio yang sedang
berkembang selama kebuntingan. Uterus juga berperan besar dala mendorong fetus serta
membrannya pada saat kelahiran. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Agung etal.
(2010) yang menyatakan bahwa uterus berperan besar dala mendorong fetus serta
membrannya pada saat kelahiran, kemudian dapat kembali dengan cepat ke bentuk
semula setelah kelahiran melalui proses involusi.
Pertumbuhan fetal dan perkembangannya merupakan suatu proses kompleks yang
bekaitan dengan interaksi antara potensi genetik, faktor lingkungan, dan suplai nutrisi
selama kebuntingan induk sapi serta berbeda pula menurut jenis kelamin fetus. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Mao etal. (2020) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan fetal dan perkembangannya merupakan suatu proses kompleks yang
bekaitan dengan interaksi antara potensi genetik, faktor lingkungan, dan suplai nutrisi
selama kebuntingan induk sapi serta berbeda pula menurut jenis kelamin fetus.
Perkembangan berat badan berawal pada umur kebuntingan induk sapi 3 bulan hingga
lahir, sedangkan perkembangan organ tubuh mulai dari usia kebuntingan 3 bulan hingga 9
bulan. Perkembangan hati dan jantung fetus sapi perkembangannya cepat pada tahapan
ketiga periode kebuntingan. Perbedaan jenis kelamin fetus dapat tampak pada usia
kebuntingan induk sapi 60 hari.
Penentuan umur fetus dapat diketahui secara fetometrik dari panjang badan, lebar
kepala dan panjang kerpala. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Krog etal. (2018)
yang menyatakan bahwa penentuan umur fetus dapat diketahui secara fetometrik dari
panjang badan, lebar kepala, panjang kerpala, dapat berbeda hasilnya menurut
perbadaan jenis kelamin. Panjang fetus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor
nutrisi induk, kondisi suhu lingkungan, paritas dan genotif induk. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Taylor etal. (2017) yang menyatakan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi berat dan panjang fetus yang dihasilkan seekor ternak induk, diantaranya
adalah faktor nutrisi induk, kondisi suhu lingkungan, paritas, dan genotif induk.
2.3 Deteksi Kebuntingan
Metode punyakoti adalah sebuah metode deteksi kebuntingan ternak sapi dengan
menggunankan urine. Metode punyakoti hampir sama dengan metode deteksi
kebuntingan lain yang menggnakan urine. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Wahyudi dan Hartati (2017) yang menayatakan bahwa metode punyakoti hampir sama
dengan uji kebuntingan modern pada manusia menggunakan HCG dari urine sebagai
senyawa yang menentukan kebuntingan. Ada senyawa lain pada metode punyakoti yang
menyusun urine yang digunakan untuk menentukan kebuntingan baik pada manusia
maupun sapi (ruminansia).
Hormon tumbuhan yang disebut abscisic acid (ABA) merupakan bagian terpenting
yang menentukan dalam uji Punyakoti. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Illawati
(2012) yang menyatakan bahwa bagian terpenting selain urea dan asam urat yang
dikeluarkan oleh urine sapi yang menentukan dalam uji Punyakoti ini adalah hormon
tumbuhan yang disebut abscisic acid (ABA). Hormon progesteron dan estrogen yang
tergandung dalam urine tidak mempengaruhi uji ini, karena kedua hormon ini tidak
mempengaruhi perkecambahan biji.
Selama kebuntingan terjadi pertumbuhan dan perkembangan individu baru yang
merupakan hasil dari perbanyakan, pertumbuhan, perubahan susunan serta fungsi sel.
Perubahan tersebut meliputi bertambahnya volume dan sirkulasi darah kelenjar uterus
yang tumbuh membesar dan berkelok–kelok serta infiltrasi sel darah putih yang
mempersiapkan saluran reproduksi betina untuk kebuntingan. Lama bunting masing-
masing sapi berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik,
maternal, fetal dan lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sastradipradja
(2015) yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki lama bunting bervariasi, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor genetik, faktor maternal, fetal dan
lingkungan. Contohnya sapi dara pada umur muda akan mempunyai masa kebuntingan
yang lebih pendek dari sapi yang lebih tua.
Metode H2SO4 digunakan untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi dengan
menggunakan urine, karena didalam urine sapi yang sedang bunting mengandung
hormon estrogen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Amiruddin etal. (2021) yang
menyatakan bahwa asam sulfat dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan dengan
menambahkan bahwa metode deteksi ini telah diterapkan untuk mendeteksi
kebuntingan ternak sapi, di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon
estrogen yang dihasilkan oleh plasenta. Sapi-sapi yang tidak bunting tidak mungkin akan
dapat dideteksi adanya estrogen di dalam urinenya.
Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari
kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Asam sulfat
mengandung elektrolit yang dapat menyimpan dan menghantarkan arus listrik yang
berfungsi membakar hormon estrogen disaat kondisi ternak bunting. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Jabbour etal. (2019) yang menyatakan bahwa asam sulfat (H2SO4)
mengandung elektrolit yang dapat menyimpan dan menghantarkan arus listrik, sehingga
asam sulfat yang bercampur dengan urine berfungsi membakar hormon estrogen disaat
kondisi ternak bunting. Metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal,
mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi
dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Uterus yang mendukung perkembangan embrio pada minggu-minggu awal masa
kebuntingan melalui sekresi dari kelenjar uterus dan plasma darah (susu uterin)
serta penentuan umur fetus dapat diketahui secara fetometrik dari panjang badan,
lebar kepala dan panjang kerpala.
2. Metode punyakoti adalah sebuah metode deteksi kebuntingan ternak sapi dengan
menggunankan urine.
3.2 Saran
Praktikum sudah berjalan dengan lancar dan semoga kedepannya dapat
dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, K., S. Djojowidagdo, Arito, dan Sunardi. 2010. Inventarisasi polusi supply ternak
potong. Kerja sama Dinas Peternakan Daerah Tingkat I Jawa Tengah Fakultas
Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Agustini, K., W. Sumali, dan K. Dadang. 2017. Pengaruh pemberian ekstrak biji klabet
(Trigonella foenum-graecum L.) terhadap perkembangan uterus tikus putih
betina galur wistar prepubertal. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 9(1) : 8-
16.

Amiruddin, T. N., G. Siregar, Riady, dan H. Budiman. 2021. Efektifitas beberapa metode
diagnosis kebuntingan pada sapi. J. Med. Vet, 1(2) : 45-48.

Aritonang, M. W. 2017. Kecenderungan pemotongan sapi dan kerbau betina produktif di


provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 20(1) : 17-24.

Illawati, R. W. 2012. Efektivitas dan akurasi penggunaan berbagai dosis asam sulfat
(H2SO4) pekat dibandingkan palpasi per rektal terhadap uji kebuntingan ternak
sapi. Padang (Indonesia) : Universitas Andalas.

Jabbour, H. M., F. A. Valehuizen, G. Green, dan G. W. Asher. 2019. Endocrine responses


and conception votes in follow deer (dama dama) following oestrous
synchronization and cervical insemination with fresh or frozen-thawed
spermatozoa. J. Reprod. Fert, 3(2) : 495-502.

Krog, C. H., J. S. Agerholm, dan S. S. Nielsen. 2018. Fetal assessment for holstein cattle.
Ploss On November 19.

Mao, W. H., E. Albrecht, F. Teuscher, Q. Yang, R. Q. Zhao, dan J. Wegner. 2020. Growth
and breed-related changes of fetal development in cattle. J. Anim.Sci, 21(5) :
640-647.

Sastradipradja, D. 2015. Potensi internal sapi Bali sebgai salah satu sumber plasma nutfah
untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong dan ternak kerja
secara nasional. Seminar nasional sapi Bali. Universitas Udayana. Denpasar.

Taylor, R. K., C. T. LeMaster, K. S. Mangrum, R. E. Ricks, dan N. M. Long. 2017. Effect of


maternal nutrien restriction during early or mid-gestation without
realimentation on maternal physiology and foetal growth and development in
beef cattle. Animal, 12(2) : 1-10.

Wahyudi, E., dan S. Hartati. 2017. Case-based reasoning untuk diagnosis penyakit jantung.
IJCCS (Indonesian Journal of Computing and Cybernetics Systems), 11(1) : 1-10.

Anda mungkin juga menyukai