“Anatomi Dan Fisiologi Uterus Bunting, Menentukan Umur Fetus dan Deteksi
Kebuntingan”
LAPORAN PRAKTIKUM
Oleh:
Nama : Tiara Kasya Aulia Thifa
Nim : D0A022043
Kelompok : 3H
Asisten : Syifa Nayami Hikmatul Waliy
2.1 Hasil
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Uterus Bunting serta Menentukan Umur Fetus
(1)
(3)
(2)
Gambar 4. Uji
punyakoti
2.2 Pembahasan
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Uterus Bunting serta Menentukan Umur Fetus
Kebuntingan merupakan suatu keadaan dimana anak sedang berkembang didalam
uterus seekor betina, suatu rentan waktu yang disebut dengan periode kebuntingan yang
terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) sampai lahirnya anak. Uterus merupakan
bagian saluran organ kelamin yang berbentuk buluh, berurat daging licin, untuk
menerima ovum yang telah dibuahi atau embrio dari oviduct, dan pemberian makanan
dan perlindungan bagi fetus, selanjutnya untuk mendorong fetus ke arah luar pada saat
kelahiran. Bentuk morfologi pada uterus dipengaruhi oleh derajat ersenyawaan dari
saluran muller pada periode embrional. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Aritonang
(2017) yang menyatakan bahwa bentuk morfologi uterus pada berbagai spesies hewan
berbeda-beda menurut derajat ersenyawaan dari saluran muller pada periode embrional.
Uterus adalah salah satu saluran reproduksi betina selain tuba fallopi, serviks dan
vagina. Perubahan struktur dan fungsi uterus ditentu-kan oleh siklus hormonal betina.
Awalnya fungsi uterus menyiapkan penerimaan dan transportasi spermatozoa
dari cervix ke tuba fallopi dan pada masa kehamilan uterus menjadi tempat tumbuhnya
zygot, hingga kelahiran tiba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Agustini etal. (2017)
yang menyatakan bahwa bila terjadi pembuahan pada masa kehamilan, uterus menjadi
tempat tumbuhnya zygot, hingga kelahiran tiba. Fungsi uterus itu banyak, sebagai contoh,
sebagai jalannya sperma pada saat kopulasi dan motilitas (pergerakan) sperma
ke oviduct dibantu dengan kerja yang sifatnya kontraktil.
Uterus yang mendukung perkembangan embrio pada minggu-minggu awal masa
kebuntingan melalui sekresi dari kelenjar uterus dan plasma darah (susu uterin). Uterus
yang dapat mengalami perubahan-perubahan besar dalam ukuran serta bentuknya,
berperan sebagai temoat perlekatan melalui plasetom bagi embrio yang sedang
berkembang selama kebuntingan. Uterus juga berperan besar dala mendorong fetus serta
membrannya pada saat kelahiran. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Agung etal.
(2010) yang menyatakan bahwa uterus berperan besar dala mendorong fetus serta
membrannya pada saat kelahiran, kemudian dapat kembali dengan cepat ke bentuk
semula setelah kelahiran melalui proses involusi.
Pertumbuhan fetal dan perkembangannya merupakan suatu proses kompleks yang
bekaitan dengan interaksi antara potensi genetik, faktor lingkungan, dan suplai nutrisi
selama kebuntingan induk sapi serta berbeda pula menurut jenis kelamin fetus. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Mao etal. (2020) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan fetal dan perkembangannya merupakan suatu proses kompleks yang
bekaitan dengan interaksi antara potensi genetik, faktor lingkungan, dan suplai nutrisi
selama kebuntingan induk sapi serta berbeda pula menurut jenis kelamin fetus.
Perkembangan berat badan berawal pada umur kebuntingan induk sapi 3 bulan hingga
lahir, sedangkan perkembangan organ tubuh mulai dari usia kebuntingan 3 bulan hingga 9
bulan. Perkembangan hati dan jantung fetus sapi perkembangannya cepat pada tahapan
ketiga periode kebuntingan. Perbedaan jenis kelamin fetus dapat tampak pada usia
kebuntingan induk sapi 60 hari.
Penentuan umur fetus dapat diketahui secara fetometrik dari panjang badan, lebar
kepala dan panjang kerpala. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Krog etal. (2018)
yang menyatakan bahwa penentuan umur fetus dapat diketahui secara fetometrik dari
panjang badan, lebar kepala, panjang kerpala, dapat berbeda hasilnya menurut
perbadaan jenis kelamin. Panjang fetus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor
nutrisi induk, kondisi suhu lingkungan, paritas dan genotif induk. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Taylor etal. (2017) yang menyatakan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi berat dan panjang fetus yang dihasilkan seekor ternak induk, diantaranya
adalah faktor nutrisi induk, kondisi suhu lingkungan, paritas, dan genotif induk.
2.3 Deteksi Kebuntingan
Metode punyakoti adalah sebuah metode deteksi kebuntingan ternak sapi dengan
menggunankan urine. Metode punyakoti hampir sama dengan metode deteksi
kebuntingan lain yang menggnakan urine. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Wahyudi dan Hartati (2017) yang menayatakan bahwa metode punyakoti hampir sama
dengan uji kebuntingan modern pada manusia menggunakan HCG dari urine sebagai
senyawa yang menentukan kebuntingan. Ada senyawa lain pada metode punyakoti yang
menyusun urine yang digunakan untuk menentukan kebuntingan baik pada manusia
maupun sapi (ruminansia).
Hormon tumbuhan yang disebut abscisic acid (ABA) merupakan bagian terpenting
yang menentukan dalam uji Punyakoti. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Illawati
(2012) yang menyatakan bahwa bagian terpenting selain urea dan asam urat yang
dikeluarkan oleh urine sapi yang menentukan dalam uji Punyakoti ini adalah hormon
tumbuhan yang disebut abscisic acid (ABA). Hormon progesteron dan estrogen yang
tergandung dalam urine tidak mempengaruhi uji ini, karena kedua hormon ini tidak
mempengaruhi perkecambahan biji.
Selama kebuntingan terjadi pertumbuhan dan perkembangan individu baru yang
merupakan hasil dari perbanyakan, pertumbuhan, perubahan susunan serta fungsi sel.
Perubahan tersebut meliputi bertambahnya volume dan sirkulasi darah kelenjar uterus
yang tumbuh membesar dan berkelok–kelok serta infiltrasi sel darah putih yang
mempersiapkan saluran reproduksi betina untuk kebuntingan. Lama bunting masing-
masing sapi berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik,
maternal, fetal dan lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sastradipradja
(2015) yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki lama bunting bervariasi, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor genetik, faktor maternal, fetal dan
lingkungan. Contohnya sapi dara pada umur muda akan mempunyai masa kebuntingan
yang lebih pendek dari sapi yang lebih tua.
Metode H2SO4 digunakan untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi dengan
menggunakan urine, karena didalam urine sapi yang sedang bunting mengandung
hormon estrogen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Amiruddin etal. (2021) yang
menyatakan bahwa asam sulfat dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan dengan
menambahkan bahwa metode deteksi ini telah diterapkan untuk mendeteksi
kebuntingan ternak sapi, di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon
estrogen yang dihasilkan oleh plasenta. Sapi-sapi yang tidak bunting tidak mungkin akan
dapat dideteksi adanya estrogen di dalam urinenya.
Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari
kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Asam sulfat
mengandung elektrolit yang dapat menyimpan dan menghantarkan arus listrik yang
berfungsi membakar hormon estrogen disaat kondisi ternak bunting. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Jabbour etal. (2019) yang menyatakan bahwa asam sulfat (H2SO4)
mengandung elektrolit yang dapat menyimpan dan menghantarkan arus listrik, sehingga
asam sulfat yang bercampur dengan urine berfungsi membakar hormon estrogen disaat
kondisi ternak bunting. Metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal,
mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi
dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Uterus yang mendukung perkembangan embrio pada minggu-minggu awal masa
kebuntingan melalui sekresi dari kelenjar uterus dan plasma darah (susu uterin)
serta penentuan umur fetus dapat diketahui secara fetometrik dari panjang badan,
lebar kepala dan panjang kerpala.
2. Metode punyakoti adalah sebuah metode deteksi kebuntingan ternak sapi dengan
menggunankan urine.
3.2 Saran
Praktikum sudah berjalan dengan lancar dan semoga kedepannya dapat
dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, K., S. Djojowidagdo, Arito, dan Sunardi. 2010. Inventarisasi polusi supply ternak
potong. Kerja sama Dinas Peternakan Daerah Tingkat I Jawa Tengah Fakultas
Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Agustini, K., W. Sumali, dan K. Dadang. 2017. Pengaruh pemberian ekstrak biji klabet
(Trigonella foenum-graecum L.) terhadap perkembangan uterus tikus putih
betina galur wistar prepubertal. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 9(1) : 8-
16.
Amiruddin, T. N., G. Siregar, Riady, dan H. Budiman. 2021. Efektifitas beberapa metode
diagnosis kebuntingan pada sapi. J. Med. Vet, 1(2) : 45-48.
Illawati, R. W. 2012. Efektivitas dan akurasi penggunaan berbagai dosis asam sulfat
(H2SO4) pekat dibandingkan palpasi per rektal terhadap uji kebuntingan ternak
sapi. Padang (Indonesia) : Universitas Andalas.
Krog, C. H., J. S. Agerholm, dan S. S. Nielsen. 2018. Fetal assessment for holstein cattle.
Ploss On November 19.
Mao, W. H., E. Albrecht, F. Teuscher, Q. Yang, R. Q. Zhao, dan J. Wegner. 2020. Growth
and breed-related changes of fetal development in cattle. J. Anim.Sci, 21(5) :
640-647.
Sastradipradja, D. 2015. Potensi internal sapi Bali sebgai salah satu sumber plasma nutfah
untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong dan ternak kerja
secara nasional. Seminar nasional sapi Bali. Universitas Udayana. Denpasar.
Wahyudi, E., dan S. Hartati. 2017. Case-based reasoning untuk diagnosis penyakit jantung.
IJCCS (Indonesian Journal of Computing and Cybernetics Systems), 11(1) : 1-10.