Anda di halaman 1dari 13

Reproduksi dan Kebidanan Tanggal Pelaksanaan

FKH
514 Bidang Reproduksi dan Kebidanan 1/05/2023 – 27/05/2023

LAPORAN AKHIR

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2022/2023
INTRAMURAL REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

1 – 27 MEI 2023

Disusun oleh:

Irfandi Makmur Putra, SKH | B9404222119

Kelompok G PPDH Periode II


Tahun Ajaran 2022/2023

Dibimbing oleh:
drh. Mokhamad Fakhrul Ulum, M.Si, Ph.D

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Reproduksi dan Kebidanan Tanggal Pelaksanaan


FKH
514 Bidang Reproduksi dan Kebidanan 1/05/2023 – 27/05/2023

LAPORAN AKHIR INTRAMURAL REPRODUKSI DAN


KEBIDANAN 1 – 27 MEI 2023

Disusun oleh:

Irfandi Makmur Putra, SKH | B9404222119

Disetujui oleh:

Koordinator Mata Kuliah Bidang Dosen Pembimbing Bidang Reproduksi dan


Reproduksi dan Kebidanan Kebidanan

Dr. drh. Dedi Rahmat Setiadi, M.Si drh. Mokhamad Fakhrul Ulum, M.Si, Ph.D
NIP. 19690717 199903 1 002 NIP. 19821024 201212 1 002

Diketahui oleh:
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Prof. Drh. Ni Wayan Kurniani Karja, M.P., Ph.D


NIP 19690207 199601 2 001

Tanggal Pengesahan:
REVIEW ANATOMI FISIOLOGI ORGAN REPRODUKSI

1. Reproduksi Hewan Jantan


Organ reproduksi hewan jantan terdiri dari organ kelamin primer, saluran
reproduksi, kelenjar aksesorius, dan organ kopulatoris. Organ kelamin primer pada
jantan adalah gonad jantan atau testis yang merupakan sebagai tempat pembentukan
spermatozoa dan juga hormon testosteron. Testis terdiri dari sel leydig dan sel sertoli,
sel leydig berfungsi sebagai penghasil hormon testosteron sedangkan sel sertoli
berfungsi sebagai penghasil nutrisi untuk spermatozoa. Rata-rata pada setiap hewan,
testis terdapat pada kantung luar yang disebut skrotum. Skrotum berfungsi untuk
mrlindungi testis dan memepertahankan suhu yang lebih rendah dibandingkan suhu
tubuh untuk proses spermatogenesis. Spermatogenesis terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu
spermatositogenesis dan spermiogenesis. Spermatositogenesis merupakan pembentuka
spermatosit primer dan sekunder dari spermatogonia sedangkan spermiogenesis
merupakan pematangan spermatozoa dari spermatosid. Spermatogenesis dipengeruhi
oleh dipengaruhi oleh beberapa hormon yang dihasilkan oleh adenohipofisa yaitu LH
dan FSH.
Saluran reproduksi jantan terdiri dari epididimis, vas deferens, dan
urethra/urogenital. Epididimis mempunyai 4 fungsi utama yaitu transport, konsentrasi,
maturasi, dan penyimpanan sperma. Epididimis terdiri dari caput, corpus, dan cauda.
Vas deferens dan ampula berfungsi untuk mengangkut sperma dari cauda epididimis ke
urethra dan dapat mensekresikan fruktosa dan asam citrat. Urethra berfungsi sebagai
saluran urinasi dan saluran reproduksi saat spermatozoa diejakulasikan. Kelenjar
aksesorius terdiri dari Kelenjar aksesorius terdiri dari vesicula seminalis, kelenjar
prostat, dan kelenjar bulboutethralis. Vesicula seminalis berfungsi zat nutrisi bagi
spermatozoa. Kelenjar prostat berfungsi menetralisir plasma sperma, merangsang gerak
aktif sperma dalam ejakulat. Kelenjar bulboutethralis berfungsi sebagai media pelumas,
mempersiapkan jalur yang bersih untuk ejakulasi, dan membantu menetralkan sisa urin
yang bersifat asam pada saluran kencing. Organ kopulatoris hewan yaitu penis yang
mempunyai fungsi sebagai pengeluaran urin dan peletakan semen ke dalam saluran
reproduksi betina. Penis terbagi menjadi dua jenis yaitu corpus cavernosus dan
fibroelastik. Tipe penis corpus cavernosus bersifat seperti spons dan terbagi atas
rongga-rongga seperti kapiler yang bisa membesar. Ereksi tipe penis ini disebabkan
oleh pembesaran rongga-rongga yang disebabkan oleh darah yang berkumpul. Tipe
penis ini dimiliki oleh hewan mamalia, kuda, dan manusia Tipe penis fibroelastik selalu
menegang, panjangnya tetap, dan terdapat fleksura sigmoidea untuk menarik ke dalam
abdomen. Tipe ini dimiliki oleh ruminansia.
2. Reproduksi Hewan Betina
Sistem reproduksi betina terdiri atas gonad yaitu ovarium, tuba falopii, uterus,
sevik, vagina, dan vulva. Ovarium berfungsi sebagai penghasil sel telur, hormon
estrogen dan progestreron. Ovarium terdiri atas bagian korteks dan medulla. Korteks
terdiri dari folikel, corpus luteum, dan pembuatan hormon sedangkan medulla
merupakan tempat jaringan ikat, sistem syaraf, pembuluh darah, dan hilus. Tuba falopii
dibagi menjadi beberapa bagian yaitu infundibulum, ampula dan isthmus. Tuba falopii
sebagai tempat terjadinya fertilisasi, menerima ovum dari ovarium, menerima sperma
dari uterus, dan menyalurkan ovum yang telah dibuahi ke uterus. Uterus terdiri dari
cornua, corpus, dan servik.
Siklus estrus merupakan jarak antara satu siklus estrus ke estrus berikutnya.Satu
siklus estrus terdapat beberapa fase yaitu fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Regulasi hormone yang terjadi adalah FSH akan menginduksi pembentukan folikel dan
akan menghasikan estrogen. Hormon estrogen tersebut akan memunculkan gejala-
gejala birahi dan LH akan menghasilkan sel-sel luteal yang akan memproduksi hormon
progesteron. Pada saat fase estrus, hormon estrogen akan memberikan feedback positif
(+) kepada hipotalamus, sehingga akan memicu lonjakan LH (LH Surge). Puncak LH
ini menyebabkan terjadinya ovulasi, keluarnya sel telur. Lama ovulasi berbeda-beda
tiap hewan. Ovulasi pada kuda terjadi 1-2 hari sebelum estrus, sapi terjadi 10-15 jam
sesudah akhir estrus, domba terjadi 12-14 jam sebelum akhir estrus, dan babi terjaid 30-
40 jam sesudah permulaan estrus.
Satu gelombang folikel adalah proses pertumbuhan folikel dari beberapa folikel
kecil. Kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan
tumbuh menjadi folikel dominan, sedang folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya
dan menuju atresi. Atresi folikel dominan atau tidak dapat diovulasikannya pada fase
luteal adalah karena adanya corpus luteum yang mensekresikan progesteron dan
terbatasnya hormon LH sehingga terjadilah atresi folikel dominan tersebut. Hambatan
estrogen dan gonadotropin akan menginduksi kematian sel selain disebabkan oleh
apoptosis sel. Folikel terjadi secara bergelombang, Gelombang pertama dimulai saat
terjadi ovulasi yang ditandai dengan adanya folikel kecil-kecil, kemudain folikel
berkompetisi sebagian tumbuh dan sebagian ada yang mati, lalu folikel dominan tidak
terjadi ovulasi karena adanya CL (menghambat FSH dan LH) selama 1-12 hari.
Gelombang ke-dua tejadi pertumbuhan pertumbuhan folikel dan terjadi ovulasi
dikarenakan adanya penurnan CL menjadi corpus albican hari ke-13-21.

BREEDING SOUNDNESS EXAMINATION

Breeding Soundness Examination (BSE) merupakan suatu teknik evaluasi dalam


menentukan keunggulan seekor hewan dengan melihat performa fisik dan reproduksinya.
BSE dapat digunakan untuk menilai jantan dan betina. Pada hewan jantan dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti pemeriksan fisik dan riwayat kesehatan, seperti
menentukan BCS, kesehatan mata, kulit, status nutrisi umur, breed. Pengukuran lingkar
skrotum dan pemeriksaan bagian organ reproduksi seperti testisnya turun sempurna, tidak
ada tumor, tidak ada frenulum. Pengukuran skrotum ini berkaitan dengan kemampuan
produksi sperma yang dihasilkan.. Pemeriksaan kualitas semen, perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah semennya layak untuk diolah lebih lanjut meliputi pemeriksaan
makroskpis dan mikroskopis. Pemeriksaan semen makroskopis meliputi volume, warna,
konsentrasi, pH, bau dan mikroskopis meliputi gerakan spermatozoa, motilitas
spermatozoa, viabilitas, dan morfologi spermatozoa. Pemeriksaan mikrobiologi dan
parasit untuk menghindari penularan penyakit yang dapat terjadi melalui semen.

Secara umum protokol BSE betina dan jantan sama, untuk protokol dasar BSE
pada betina adalah pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, pemeriksaan organ
reproduksi, pengukuran ruang pelvis, dan pemeriksaan mikrobiologis/parasitik. Bagian
luar yang diperiksa pada BSE betina adalah kelenjar mamae dan puting. Dua hal penting
dalam BSE betina yaitu scoring organ reproduksi dan lebar area pelvis. BSE dapat
dilakukan di dua titik yaitu pre pubertas dan sudah bereproduksi. pada pemeriksaan BSE
di pre pubertas tidak ada pencatatan perkawinan dan perilaku kawin, sedangkan pada
betina yang sudah bereproduksi ditambahkan catatan perkawinan, perilaku kawin,
kondisi anak, dan proses kelahiran. Betina harus memiliki BCS antara 2,5-4 dimana BCS
4 tercapai menjelang partus sedangkan BCS 2,5 pada puncak laktasi. Pemeriksaan organ
reproduksi hasilnya berbentuk skor. Patokan penilaian skor tersebut adalah diameter
uterus, tonus/konsistensi kornua uterus, dan struktur ovarium. Pengukuran ruang pelvis
dapat menggunakan pelvimeter. Pengukuran lebar ruang pelvis dilakukan dengan
meletakkan ujung alat di dinding ileum sedangkan tingginya di titik tengah pelvis dan
sacrum.

TEKNOLOGI REPRODUKSI

1. Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan (IB) merupakan metode yang digunakan untuk memasukkan
semen pejantan ke dalam saluran reproduksi betina menggunakan bantuan alat sehingga
dapat meningkatkan populasi dan produktivitas hewan tanpa kawin alami. Keuntungan
melakukan IB yaitu menghemat biaya, dapat memanfaatkan sperma pejantan unggul
untuk lebih dari satu betina, menghemat waktu dan tenaga, dan mencegah penularan
penyakit saat perkawinan alami. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
IB yaitu kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi untuk pemilihan waktu IB,
kondisi betina dalam keadaan normal/tidak mengalami kelainan reproduksi, dan
keterampilan inseminator. Desposisi semen pada inseminasi buatan dapat dilakukan
secara intravagina, transervical maupun intrauterine bergantung pada jenis hewan.
Inseminasi pada sapi dilakukan pada cincin ke 4 dari cervik, sedangkan pada kambing
dilakukan pada cervik. Inseminasi buatan dapat menggunakan semen beku maupun
semen cair. Semen dibuat dengan menggunakan beberapa bahan pengencer seperti tris
citric acid, fruktosa, sodium sitrat, kuning telur, dan susu segar/skim.
Semen yang akan diolah menjadi semen beku maupun semen cair harus melalui
beberapa tahap pemeriksaan mikroskopis dan makroskopis. Pemeriksaan makroskopis
yang meliputi volume, warna, konsistensi, pH. Pemeriksaan mikroskopis yang meliputi
pemeriksaan gerakan massa, gerakan individu, viabilitas, konsentrasi spermatozoa, dan
morfologi spermatozoa. Pengamatan gerakan massa digunakan untuk melihat gerakan
spermatozoa bersama-sama yang terlihat seperti gumpalan awan yang bergerak di bawah
mikroskop. Pengamatan gerakan individu atau motilitas digunakan untuk menilai
gerakan spermatozoa secara individual, baik kecepatannya atau perbandingan antara
yang bergerak aktif progresif dengan gerakan spermatozoa yang lainnya. Pengamatan
viabilitas spermatozoa dilakukan untuk melihat persentase spermatozoa yang hidup dan
mati dengan pewarnaan eosin-negrosin. Spermatozoa yang masih hidup akan berwarna
putih sedangkan, spermatozoa yang mati berwarna merah. Pengamatan morfologi
spermatozoa dilakukan untuk melihat persentase spermatozoa yang memiliki morfologi
normal dan abnormal.
Bahan pengencer yang dibutuhkan dihitung dengan rumus total volume dikurangi
volume semen. Rumus perhitungan volume total adalah V total = V semen x Motilitas x
Konsentrasi / Dosis IB. Dosis per volume inseminasi semen cair pada sapi yaitu 5 juta/0,5
mL 10 juta/1,0 Ml, dam 15 juta/1,0 mL, sedangkan dosis IB pada domba adalah 50
juta/0,05 mL atau 150 juta/0,2 mL. Dosis antibiotik dalam semen adalah penisilin 500-
1000 IU/ml semen cair dan streptomisin 0.5-1 mg/ml semen cair. Dosis untuk pembuatan
semen beku adalah 25 juta/0,25 ml untuk dan 150 juta/0,25 ml untuk kambing atau
domba. Pengolahan pada semen beku membutuhkan pengencer yang mengandung
cryoprotectan dan anticold shock. Setelah tahap pengenceran semen selesai, kemudian
semen dikemas dalam bentuk straw dan dilakukan equilibrasi dengan suhu 5℃ dalam
waktu 4 jam. Dilanjutkan dengan pre-freezing dengan suhu −130℃ selama 10 menit.

2. Fertilisasi Invitro

Fertilisasi in vitro (IVF) merupakan teknologi reproduksi berbantuan dengan


proses fertilisasi yang terjadi di luar tubuh hewan (in vitro) sampai terbentuk embrio
kemudian ditransfer pada resipien. Prosedur fertilisasi in vitro yaitu koleksi oosit,
maturasi oosit , kapasitasi sperma, dan fertilisasi in vitro. Koleksi oosit dapat dilakukan
pada hewan betina yang hidup atau yang sudah mati dengan mengambil ovarium.
Kapasitasi sperma dapat menggunakan heparin dan juga epinefrin. Kultur dilakukan pada
media TCM dan CRIay hingga terbentuk embrio kemudian ditransfer ke resipien. Embrio
yang akan ditransfer ke betina resipien berada pada fase morula. IVF ini diharapkan dapat
memproduksi embrio sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk resipien,
sehingga dapat diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk meningkatkan populasi
ternak.
3. Transfer Embrio
Transfer embrio adalah metode transfer sel telur yang sudah dibuahi sebelum
terjadi implantasi ke resipien yang berada dalam siklus yang sama dengan pendonor.
Tujuan TE adalah mendapatkan genetik yang murni dari betina yang unggul, menambah
jumlah ternak dalam waktu yang lebih singkat, dan untuk memanfaatkan semen yang
langka. Betina pendonor yang digunakan harus memenuhi 4 kriteria yaitu unggul genetik,
fertil, keturunannya memiliki nilai pasar, dan fenotip yang unggul. Proses pelaksanaan
TE dimulai dari seleksi pendonor dan resipien, pelaksanaan superovulasi dan dilanjutkan
dengan inseminasi pada betina pendonor, sinkronisasi estrus pada betina resipien,
flushing embrio donor, dan transfer embrio ke betina resipien. Superovulasi dilakukan
dengan pemberian hormon seperti FSH, prostaglandin dan PMSG 4 sampai 5 hari
sebelum ovulasi. IB dilakukan 60 jam setela penyuntikan prostaglandin yang pertama.
Pemanenan embrio pada donor dilakukan sebelum terjadi impantasi pada cornua uteri
(embrio praimplantasi) yaitu pada tahap morulla dan blastocyst yaitu pada hari ke 7.
MANAJEMEN REPRODUKSI

1. Manajemen reproduksi pada hewan ternak sapi


Lama kebuntingan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor maternal, faktor
foetal, dan faktor genetik. Faktor maternal seperti sapi dara yang bunting akan memiliki
masa kebuntingan yang relative lebih pendek dibandingkan dengan induk sapi tua. Faktor
foetal seperti kebahimalan kembar akan berada dikandungan 3-6 hari kurang dari anak
sapi tunggal. Faktor genetik seperti perbedaan spesies tiap hewan. Sapi akan bunting
selama sekitar 279 hari, domba sekitar 148 hari, babi sekitar 114 hari, dan kuda sekitar
337 hari. Fertilitas/tingkat kesuburan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap perekonomian peternakan sapi perah maupun sapi potong. Fertilitas sebagian
besar dipengaruhi oleh manajemen, selain dari fisiologi reproduksi itu sendiri. Perlu
efesiensi dalam pemeliharaan untuk meningkatkan hasil/produksi dan mampu beranak 1
ekor/tahun (one calf one year). Masa transisi terjadi 21 hari sebelum dan sesudah partus.
Masa transisi merupakan salah satu kondisi kristis dalam tahapan siklus reproduksi
ternak. Efisiensi reproduksi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kegagalan IB,
kegagalan penanganan masa transisi, dan kegagalan penanganan new born.
Masa transisi harus diperhatikan dengan baik, dipantau, dan dihindari dari
masalah yang mungkin terjadi. Hal yang harus diperhatikan ketika masa transisi adalah
mineral dan vitamin, monitoring blood parameter, dan far off dan close up. Kemungkinan
yang akan terjadi pada masa transisi akibat dari manajemen yang buruk yaitu distokia,
milk fever, retensi plasenta, ketosis, metritis, silent heat, longer days open, dan infertility
problems. Patokan sapi dara siap kawin bisa diketahui dari persentase terhadap ukuran
badan pada saat matang. Biasanya pada sapi perah mature size berkisar antara 500 kg.
Induk yang memiliki BCS yang terjaga berkaitan dengan kualitaas kolostrum. Purpurium
period merupakan proses mengembalikan kondisi fisiologi yang terdiri dari involusi
uteri, restorasi endometrium, eliminasi bakteri, dan ovarian reborn. Involusi uteri adalah
kembalinya ukuran dan fungsi uterus dalam kondisi normal seperti sebelum mengalami
kebuntingan. Involusi uteri ditandai dengan menyusutnya ukuran corpus dan cornua uteri,
uterus kembali berada di rongga pelvik, konsistensi dan tekanan uterus normal,dan
degenerasi karunkula yang diikuti oleh regenerasi jaringan epitel uterus. Proses involusi
uteri secara keseluruhan akan berlangsung selama 2-3 minggu. Lochia adalah keluarnya
darah, vili-vili plasenta, serum darah, sisa-sisa cairan allantois atau amnion yang masih
tertinggal dalam uterus. Lochia dapat berlansung selama 4-25 hari post partus. Lochia
dapat dicek dengan pengamatan secara langsung dengan melihat lendir yang keluar atau
menggunakan metricheck. Ovarian reborn merupakan kondisi ovarium sudah mulai
untuk bersiklus secara normal Kembali. Panjang dari periode purpurium berpengaruh
terhadap panjang dari days open.
Sinkronisasi estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk
menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada sekelompok hewan secara bersamaan
dengan cara memanipulasi corpus luteum dan pertumbuhan folikel serta waktu
ovulasinya. Sinkronisasi dapat dilakukan dengan menyerentakan waktu estrus atau waktu
ovulasi. Sinkronisasi memiliki dua pilihan yaitu dengan cara memperpendek hidup CL
dengan cara memakai sediaan prostaglandin atau memperpanjang hidup CL dengan
memakasi sediaan progesterone.

Pemberian prostaglandin pada sinkronisasi estrus sebanyak 2 kali dengan jarak


penyuntikan kedua yaitu 11 hari setelah penyuntikan pertama. Hal ini dilakukan dengan
tujuan harapannya agar terbentuk siklus estrus yang bersamaan. Pemberian progesterone
sebagai upaya sinkronisasi estrus dilakukan dengan memasangkan CIDR selama 7 hari
kemudian dilakukan inseminasi buatan sekitar 48 jam.

2. Manajemen reproduksi pada hewan satwa liar


Satwaliar merupakan semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau
di udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara
oleh manusia menurut UU No.5 Tahun 1999. Konservasi satwa liar adalah kegiatan
pengelolaan satwa liar (termasuk perencanaan) yang mencakup unsur perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan. Dalam pelestarian hewan yang terancam punah keaslian
genetik penting dijaga, sehingga perlu dilakukan silsilah. Upaya untuk memaksimalkan
reproduksi pada satwa liar dapat dilakukan beberapa cara seperti inseminasi buatan,
fertilisasi invitro, dan embrio transfer. Koleksi semen pada satwa liar dilakukan
pembiusan kemudian menggunakan elektroejakulator. Semen yang sudah berhasil
dikoleksi kemudian dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis.
Manajemen reproduksi yang baik pada satwa liar akan sangat membantu dalam upaya
memaksimalkan produktivitas dan pelestarian dari hewannya itu sendiri. Karakteristik
setiap individu pada satwa liar berbeda – beda sehingga diperlukan mempelajari dan
memahaminya sebelum melakukan manajemen reproduksi. Kawin sedarah atau
inbreeding pada satwa liar tidak selamanya dianggap buruk. Hal ini terkait populasi satwa
lira yang mungkin akan terancam punah.

3. Manajemen reproduksi pada kuda


Manajemen kesehatan maupun kesehatan reproduksi sangat bergantung pada dua
hal yang saling berkaitan yaitu perawatan dan fasilitas yang baik. Ukuran kandang kuda
yang idealnya 4x5 M. Pembuatan kandang kuda juga harus memastikan jenis atap yang
digunakan, di negara tropis disarankan menggunakan atap dari bahan genteng. Jenis
bahan bangunan yang bisa digunakan dari metal, kayu,batu bata. Untuk lantai terbuat dari
bahan yang mudah dibersihkan , tidak licin, tidak panas, tidak mudah digaruk dan diberi
bedding jerami/serbuk gergaji. Harus ada tempat pembuangan manure (feses, urin, sisa
pakan dan rumput) yang permanen dan jauh dari kandang. Fasilitas lain yang perlu
disediakan adalah paddocks yaitu area terbuka yang luas dan dibatasi pagar yg aman
untuk kuda berjemur. Untuk peternakan yang bagus biasanya terdapat lahan rumput
(pasture) untuk menjamin keterdedian pakan. Ketersediaan air harus diperiksa
kelayannya untuk dikonsumsi dan perawatan kuda, air yang bagus memiliki pH yang
netral dan kebutuhan kuda adalah sekitar 30-40L/hari.
Siklus estrus pada kuda berlangsung selama 21 hari dan durasi fase estrus selama
5 hari. Gelombang folikel pada kuda terjadi sebanyak 2 atau 3 kali. Folikel dominan pada
kuda berukuran 4-6 cm. Ovulasi pada kuda rata-rata terjadi pada hari ke-4 estrus. Corpus
uteum (CL) pada kuda berukuran 3 cm, lebih kecil dari folikel dominan karena CL tidak
tumbuh ke luar dari ovari. Pada sapi, folikel dominan 1.5 cm dan CL lebih besar (1.8-2.5
cm).
Masa kebuntingan pada kuda terjadi selama 11 bulan dan foal heat atau estrus
pertama setelah partus terjadi dalam rentang waktu 5-10 hari. Palpasi manual untuk
mendeteksi CL pada kuda sulit untuk dilakukan.npada kuda terdapat fossa ovulatory yang
merupakan tempat ovulasi. Embrio transfer sulit dilakukan pada kuda. Deteksi estrus
pada kuda harus menggunakan teaser. Sistem scoring pengamatan tingkah laku estrus
pada kuda antara lain 0 (agresif – menyerang, menendang, meringkik), 1 (diam terhadap
jantan), 2 (winked vulva, mengangkat ekor, standing estrus), 3 (squatting dan urinasi),
dan 4 (urinasi yang berkelanjutan). Standing estrus ditunjukkan dengan ekor terangkat
dan kaki mengangkang.

PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN DAN STERILITY

Pemeriksan organ reproduksi dapat dilakukan dengan palpasi rektal dan


ultrasonografi (USG). Palpasi perektal dapat dilakukan saat pemeriksaan status
reproduksi, pemeriksaan kebuntingan, diagnosa penyakit, dan teknologi reproduksi yaitu
IB, TE, IVF. Pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi perektal dapat dilakukan <35 hari.
Palpasi perekatal dapat memprediksi 95% kebuntingan yang diperika pada >60 hari
kebuntingan dengan meraba membran fetus, karankula, dan fremitus arteri uterina media.
Pemeriksaan lanjut >90 hari dapat mendeteksi posisi, ukuran, uterus, dan karankula.
Pemeriksaan paling baik dilakukan >60 hari untuk pemeriksaaan posisi dan ukuran fetus.
Pemeriksaan fetal slip dengan memegang embrio masih di cornua pada umur 35 hari
secara hari-hati agar tidak terjadi abortus. Protokol SNI adalah 60 hari. Teknik
pemeriksaan organ reproduksi dengan palpasi rektal memiliki kelebihan yaitu hemat
biaya, cepat dan memiliki akurasi yang cukup baik, sedangkan kelemahannya yaitu
dalam pemeriksaan fertilitas kurang akurat, waktu pemeriksaan untuk kebuntingan
setelah perkawinan cukup lama, pemeriksaan yang tidak benae bisa menyebabkan infeksi
dan tidak adanya bukti pemeriksaan selain pernyataan dari pemeriksa.

Penggunaan USG dalam pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan paling cepat


pada umur kebuntingan 14 hari. Prinsip cara kerja USG yaitu dengan memacarkan
gelombag suara terhadap organ yang berasal dari probe, gelombang suara yang
digunakan berkisar sebesar 7.5 Hz untuk pemeriksaan kebuntingan pada umur 13-25 hari
secara trans-rektal. Sementara untuk usia kebuntingan 25-100 hari dapat digunakan
gelombang suara sebesar 5 Hz dengan pemeriksaan transabdominal (domba/ kambing).
Interpretasi gambar yang dihasilkan oleh USG adalah hyperechoic ditunjukkan dengan
adanya warna putih, hypoechoic menghasilkan warna abu-abu dan anechoic akan
menghasilkan warna hitam. Teknik pemeriksaan dengan ultrasonografi memiliki
kelebihan yaitu cepat dan akurat dalam pemeriksan kebuntingan dan diagnosa infertilitas
yang lebih akurat. Ultrasonografi pada hewan besar dapat dilakukan dengan perektal
sedangkan hewan kecil dilakukan di abdominal.
PENCITRAAN RADIOLOGI ORGAN REPRODUKSI

1. Ultrasonografi

Ultrasonografi adalah suatu teknologi medis yang digunakan untuk mendapatkan


gambar organ dalam tubuh secara non-invasif dengan menggunakan gelombang suara
berfrekuensi tinggi. Gelombang suara ini dihasilkan oleh transduser yang memiliki dua
fungsi, yaitu mengubah energi listrik menjadi energi suara dan sebaliknya. Transduser
ini memiliki kristal piesoelektrik yang mengubah gelombang suara menjadi gelombang
elektronik, yang kemudian dapat dibaca oleh komputer dan ditranslasikan menjadi
gambar. Gelombang ultrasound yang digunakan dalam ultrasonografi diproduksi oleh
kristal piesoelektrik pada transduser. Terdapat empat jenis transduser utama, yaitu linear
array, curved array, phased array, dan annular array. Probe linear memiliki kristal yang
disusun sejajar dalam garis lurus. Probe curved array adalah variasi dari probe linear,
namun dengan kristal yang disusun pada permukaan melengkung sehingga menghasilkan
gambar berbentuk kerucut. Probe phased array memiliki ukuran lebih kecil daripada
probe lainnya dan memiliki kristal yang disusun pada permukaan melengkung seperti
probe curved array.

2. Radiografi

Radiografi adalah salah satu metode diagnostik yang menggunakan sinar-X.


Sinar-X terbentuk ketika filamen dalam alat sinar-X dialiri arus dan menghasilkan awan
elektron. Awan elektron ini bergerak dari katoda ke target di anoda saat tegangan
diberikan, sehingga sinar-X terbentuk. Saat ini, teknik radiografi telah mengalami
perkembangan menjadi digital radiografi, yang tidak lagi memerlukan proses kimia dan
penggunaan film. Digital radiografi memiliki beberapa keunggulan, seperti paparan
radiasi yang lebih rendah daripada radiografi konvensional, lebih mudah dalam
pengoperasian, hasilnya dapat diamati secara langsung, dan dapat disimpan dalam format
BMP, JPG, JPEG, atau format lainnya di komputer.

EUTOKIA

Eutokia merupakan proses fisilogis yang berhubungan dengan pengeluaran fetus


atau partus dan plasenta melalui saluran reproduksi yang terjadi secara normal dan
merupakan lanjutan atau akhir dari massa kebuntingan. Proses kelahiran terdiri dari 3
tahap yaitu fase persiapan, fase pengeluran fetus, dan fase pengeluaran plasenta. Fase
persiapan bisa berlangsung singkat atau lama tergantung dari kondisi individual dari
hewan. Terdapat beberapa tanda yang dapat diamatai atau diperiksa menggunakan
palpasi perektal yaitu ambing dan vulva membengkak, pengenduran ligamentum Sacro
illiaca, ligamentum Sacro ischiadika dan otot sekitar ekor. Secara fisiologis terdapat
regulasi dari beberapa hormon yang berperan dalam proses kelahiran. Ukuran fetus yang
semakin membesar dan asupan makanan untuk fetal dari induk melalui plasenta semakin
menipis yang menyebabkan stress pada fertus atau Fetal stres. Fetal stres akan
mengsilkan ACTH dan Fetal kortisol yang juga akan mempengaruhi induk untuk
menghasilkan beberpa enzim serta hormone yang akan meregulasi pengeluaran fetus.
Induk akan mengeluarkan PGF2α yang akan melisiskan corpus luteum sehingga kadar
progesterone akan turun. PGF2α juga akan menginisiasi pengeluaran hormone relaxin
yang akan merelaksasi ligamentum pelvis dan kontraksi myometrial.

Progesteron akan juga diubah menjadi esterogen oleh enzim yang akan bekerja
untuk kontraksi myometrial dan menginisiasi hormone oksitosin untuk keluar sehingga
kontraksi akan meningkat. Tahap Pengeluaran Fetus dimulai dari pengeluaran kantung
amnion atau ketuban sampai mulai keluarnya fetus, pada tahap ini sering terjadi distokia
karena kedudukan fetus. Pemeriksaan kedudukan fetus dapat dilakukan melalui palpasi
perektal. Terdapat beberapa kedudukan fetus dalam uterus yaitu Presen merupakan
panjang poros fetus terhadap panjang poros saluran reproduksi. Posisi merupakan
kedudukan punggung fetus terhadap tulang – tulang yang membatasi jalan kelahiran
(tulang pelvis). Sikap / Postur merupakan keadaan dari bagian tubuh fetus yang mudah
dibengkokan seperti leher dan ekstremitas depan maupun belakang. Fase pengeluaran
plasenta akan berlangsung 3 – 8 jam, maksimal 12 jam. Apabila lebih dari 12 jam plasenta
belum keluar maka termasuk kedalam kondisi retensio secundinae.

GANGGUAN REPRODUKSI

Gangguan reproduksi pada sapi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor,


diantaranya adalah yang bersifat tidak menular (non infectious agent) dan yang bersifat
menular (infectious agent). Gangguan reproduksi pada ternak akan merugikan para
peternak dan tentunya akan memperlambat laju peningkatan populasi ternak. Terdapat
beberapa kasus gangguang reproduksi seperti distokia, abortus, mumifikasi, dan
maserasi. Distokisa merupakan hewan dalam proses kelahiran yang diakibatkan oleh
faktor induk atau fetus. Faktor induk seperti kekurangan tenaga saat partus dan gangguan
pada saluran kelahiran. Faktor distokia yang disebabkan oleh fetus adalah posisi dan
ukuran fetus pada saluran reproduksi induk. Kejadian distokia secara umum terjadi pada
hewan yang pertama kali melahirkan (primipara) dibandingkan dengan hewan yang
sudah beberapa kali melahirkan (pluripara). Penanganan distokia yang dapat dilakukan
yaitu dengan mengembalikan posisi anak pada posisi normal dengan cara didorong,
diputar dan ditarik, tindakan pemotongan fetus (fetotomi) dan juga operasi caesar.

Abortus merupakan gangguan reproduksi yaitu pengeluaran fetus sebelum akhir


masa kebuntingan. Penyebab abortus dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu abortus
yang disebabkan oleh agen-agen infeksius seperti bakteri, virus, protozoa, jamur, dan
abortus yang disebabkan oleh bukan agen-agen infeksius atau abortus yang bersifat
noninfeksius seperti faktor fisik, hormonal, genetik, defisiensi pakan, bahan kimia,
trauma, dan fetus kembar. Mumifikasi merupakan Kematian fetus setelah 35 atau 50 hari
kemungkinan dapat mengakibatkan mumifikasi fetus. Mumifikasi terjadi setelah
kematian janin dengan persistensi corpus luteum sehingga servik tetap tertutup dan tidak
ada kontraksi uterus. Terdapat dua jenis mumifikasi yaitu papyraceous dan haematic.
Mumifikasi papyraceous adalah jenis mumifikasi yang semua cairan janin diserap
kembali secara perlahan, meninggalkan massa yang rapuh dan kering yang dikelilingi
oleh membran seperti perkamen.
Mumifikasi haematic terjadi antara 3 dan 8 bulan kehamilan, dengan perdarahan
dari plasenta setelah kematian janin membentuk bahan coklat kental. Insiden tingginya
mumifikasi banyak pada breed sapi Jersey dan Guernsey dapat diakibatkan pengaruh
turunan. Mumifikasi dapat terjadi akibat penyebab yang infeksius dan non feksius.
Penyebab non infeksius diantaranya adalah torsio uteri, gangguan hormon, kelainan
kromosom, lilitan pada plasenta, dan plasentasi yang mengalami kerusakan.
Maserasi merupakan kematian fetus dan terjadi kegagalan pengeluaran fetus dan
inersia uteri. Maserasi fetus terjadi karena adanya udara masuk ke dalam uterus berisi
fetus yang telah mati. Udara pada uterus ini dapat masuk melalui vulva, vagina, serviks,
ataupun berasal dari mikroorganisme yang menginfeksi fetus. Keberadaan
mikroorganisme pada fetus ini dapat terjadi bersamaan dengan adanya endometriosis.
Kematian fetus dapat terjadi pada stase manapun selama periode kebuntingan, namun
kasus maserasi fetus lebih sering terjadi setelah memasuki umur tiga bulan kebuntingan.
Pada umur kebuntingan tersebut, tulang-tulang fetus sudah cukup berkembang sehingga
dapat dengan jelas dirasakan ketika melakukan palpasi perektal. Dilatasi serviks yang
tidak sempurna (parsial) dapat menjadi salah satu penyebab fetus yang mati tidak dapat
dikeluarkan. Selain itu, kondisi abnormal fetus yang kering juga menyebabkan fetus sulit
dikeluarkan dan menjadi terjebak di dalam uterus.
DOKUMENTASI KEGIATAN

Anda mungkin juga menyukai