Anda di halaman 1dari 12

Tanggal Pelaksanaan

FKH 1504 Reproduksi dan Kebidanan (11 September-7 Oktober


2023)

LAPORAN AKHIR
KEGIATAN INTRAMURAL
DIVISI REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

Oleh:

Kelompok E
PPDH Periode 1 Tahun Ajaran 2023/2024

Rizqi Zufar Rizaldo, S. K. H. B9404231002

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
Tanggal Pelaksanaan
FKH 1504 Reproduksi dan Kebidanan (11 September-7 Oktober
2023)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan : Laporan Akhir Reproduksi dan Kebidanan


Nama (NIM) : Rizqi Zufar Rizaldo, S. K. H. B9404231002

Disetujui oleh

Pembimbing
Prof. Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc
NIP 19591006 198403 1 003

Diketahui oleh

Koordinator Mata Kuliah


Reproduksi dan Kebidanan
Dr. drh. Dedi Rahmat Setiadi, M.Si
NIP . 19690717 199903 1 002

Wakil Dekan FKH IPB


Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Prof. Drh. Ni Wayan K Karja, MP, Ph.D
NIP 19690207 199601 2 001

Tanggal Pengesahan: 05 Januari 2024


RESUME KULIAH

Review Fisiologi Reproduksi Hewan Jantan


Sistem reproduksi jantan secara anatomi terbagi menjadi gonad, saluran
reproduksi, kelenjar aksesorius, danorgan kopulatoris. Testis merupakan organ
gonad jantan, memiliki fungsi utama menghasilkan hormon testosteron dan
produksi spermatozoa. Secara anatomi, organ ini dibungkus oleh skrotum dan
disuspensi oleh musculus cremaster yang berfungsi pada proses thermoregulasi
testis. Produksi spermatozoa dipengaruhi oleh hormon FSH (Follicle Stimulating
Hormone), LH (Luteinizing Hormone), dan testosteron. FSH berfungsi
menstimulasi sel Sertoli untuk terjadinya spermatogenesis, sedangkan LH
berfungsi menstimulasi sel Leydig untuk memproduksi testosteron untu proses
maturasi spermatozoa. FSH dan LH disekresikan oleh hipofisis anterior dan
distimulasi oleh GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) yang disekresikan
oleh hipotalamus, sehingga ketiganya disebut sebagai poros hipotalamus-
hipofisis-testis. Saluran reproduksi berfungsi menyalurkan sperma, terdiri dari
epididymis, vas deferens dan urethra. Cauda epididymis berfungsi sebagai tempat
penyimpanan spermatozoa sebelum dikeluarkan, vas deferens berfungsi
menyalurkan sperma ke urethra dan tempat bermuaranya sekresi kelenjar
aksesorius, sedangkan urethra sebagai saluran keluarnya semen (campuran
spermatozoa dan cairan aksesorius). Kelenjar aksesorius terdiri dari kelenjar
vesikularis, prostat, dan bulbourethralis. Kelenjar vesikularis memberi nutrisi pada
sperma dan mempertahankan pH semen. Kelenjar prostat merangsang motilitas
pada sperma. Kelenjar bulbouretralis menetralkan uretra dari sisa urin saat
ejakulasi serta menghasilkan lendir untuk membantu melumasi vagina. Organ
kopulatoris jantan adalah penis, yang pada hewan terdiri dari tipe cavernosum can
fibroelastik. Penis cavernosum akan terisi darah saat terangsang untuk
menciptakan ereksi, sedangkan penis fibroelastik memiliki flexura sigmoidea dan
tidak memiliki corpus cavernosum, sehingga pada proses ereksi hanya akan
memanjang.
Perilaku kawin pada hewan jantan umumnya diinduksi oleh adanya betina
estrus. Produksi testosteron yang terjadi secara berkelanjutan menyebabkan hewan
jantan tidak memiliki musim kawin dan dapat selalu melakukan service. Beberapa
perilaku jantan yang dapat dilihat pada jantan yang mendeteksi betina estrus
antara lain adanya flehmen, vokalisasi, mengendus, dan keinginan untuk menaiki
betina. Perilaku kawin pada hewan jantan juga merupakan salah satu parameter
pada penentuan pejantan unggul.
Review Fisiologi Reproduksi Betina
Sistem reproduksi betina terdiri dari gonad (ovarium) dan saluran
reproduksi yang terdiri dari tuba fallopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva.
Sebagian besar aktivitas reproduksi betina dipengaruhi oleh ovarium. Ovarium
menghasilkan folikel yang kemudian akan terovulasi menghasilkan ovum.
Sedangkan saluran reproduksi berfungsi sebagai tempat terjadinya kopulasi,
deposisi semen, fertilisasi, implantasi, kebuntingan, hingga parturisi. Selain itu
saluran reproduksi juga berfungsi sebagai organ seleksi spermatozoa dan
pelindung sistem reproduksi dari infeksi.
Aktivitas ovarium dipengaruhi oleh rangkaian hormon dari poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium, yaitu GnRH, FSH, LH, estradiol (E2), progesteron
(P4), dan prostaglandin (PGF2α). Peran hormon-hormon tersebut mempengaruhi
siklus estrus, yang berkorelasi dengan adanya folikel, terjadinya ovulasi,
terbentuknya corpus luteum (CL), dan luteolysis ketika tidak terjadi fertilisasi.
Siklus ovarium atau biasa disebut siklus estrus terdiri dari empat periode dalam
dua fase: proestrus dan estrus (fase folikuler), metestrus dan diestrus (bifase
folikuler dan luteal). Proestrus diawali dengan terjadinya luteolysis akibat induksi
oleh PGF2α dari endometrium. Proses luteolysis menyebabkan turunnya kadar P4
sehingga feedback negatif P4 terhadap GnRH menurun dan folikel dapat menjadi
dominan. Berkembangnya folikel distimulasi FSH, dan folikel yang berkembang
mensekresikan E2. Periode estrus terjadi pada puncak produksi E2 akibat folikel
dominan yang memperoduksi E2 dengan jumlah tinggi dan ditandai dengan
keluarnya lendir bening dan hewan diam saat dinaiki. Periode estrus diakhiri
dengan ovulasi akibat terjadinya lonjakan LH setelah kadar E2 melewati ambang
batas dan menjadi feedback positif terhadap sekresi LH. Periode metestrus terjadi
setelah ovulasi, dan ditandai dengan mulai terbentuknya corpus rubrum dari sisa
folike yang mulai mengalami luteinisasi oleh LH. Corpus rubrum kemudian
berubah menjadi corpus luteum ketika seluruh sel granulosa dan sel theca
terluteinisasi dan mensekresikan P4 dalam jumlah tinggi. Proses ini mengawali
periode diestrus. Kadar P4 yang tinggi memberikan feedback negatif terhadap
GnRH sehingga gelombang folikel selama masa diestrus akan mengalami atresia.
Fase diestrus diakhiri oleh adanya PGF2α yang melisis CL dan siklus bermulai
kembali.
Breeding Soundness Examination

Breeding Soundness Examination (BSE) merupakan pengujian kesuburan


hewan yang biasanya digunakan dalam penentuan indukan unggul. BSE
dikembangkan oleh Society for Theriogenologist untuk meningkatkan angka
konsepsi. BSE dilakukan baik pada hewan jantan maupun betina, namun lebih
diutamakan pada jantan (untuk sapi) karena semen dari 1 ekor jantan akan
digunakan untuk IB pada banyak betina, sehingga status kesehatan reproduksi dari
pejantan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan betina.
Penilaian BSE jantan dilakukan pada 6 aspek: Anamnesis dan PE,
pemeriksaan sistem reproduksi internal dan eksternal, pengukuran diameter
skrotum, evaluasi serving capacity, evaluasi semen, dan evaluasi parasitik dan
mikrobiologis. Pejantan yang baik memiliki rekam medik yang baik tanpa sejarah
kecacatan maupun penyakit. Pejantan juga dinilai secara fisik dari kemampuan
lokomosi dan BCS yang akan berkaitan dengan kemampuan untuk mounting.
Sistem reproduksi juga diperiksa adanya kecacatan maupun penyakit, baik pada
penis, gonad, maupun saluran dan kelenjar. Pemeriksaan kelenjar dan saluran
reproduksi dilakukan melalui palpasi perrektal, sedangkan pada penis dan testis
dilakukan dengan observasi dan palpasi. Pengukuran lingkar skrotum dilakukan
untuk menentukan kemampuan produksi semen dan testosteron. Ukuran testis
dibandingkan dengan standar ukuran pada setiap breed pada umur tertentu.
Evaluasi serving capacity dilakukan dengan menempatkan pejantan dengan
beberapa betina untuk melihat libido pejantan. Evaluasi semen dilakukan untuk
menentukan kemampuan semen dalam fertilisasi, baik kemudian akan digunakan
pada kawin alam maupun IB.
Penilaian BSE betina dilakukan pada 4 aspek yang sama dengan jantan
tanpa evaluasi serving capacity, pengukuran lingkar skrotum, dan evaluasi semen.
Betina yang baik memiliki rekam medik dan sejarah kesehatan yang baik. Secara
fisik, hewan betina diperiksa sistem reproduksi dan organ pendukung kebuntingan
dan memelihara anak. Hewan betina dengan siklus estrus yang normal dan teratur
tanpa adanya gangguan maupun penyakit, memiliki ruang pelvis yang cukup
untuk kelahiran, BCS yang baik, dan kondisi organ reproduksi yang sehat akan
memiliki skor yang baik. Kesehatan kelenjar susu juga diperiksa untuk
memastikan kemampuan menyusui dan penyapihan. BCS pada betina merupakan
faktor penting penentuan BSE karena kesehatan reproduksi betina dan
kemungkinan adanya gangguan reproduksi banyak dipengaruhi oleh BCS sebelum,
selama, dan setelah kebuntingan. Hasil akhir pemeriksaan BSE dapat disimpulkan
sebagai satisfactory, unsatisfactory, atau dubius.
Deteksi Birahi dan Waktu Kawin

Birahi pada betina dapat diperlakukan layaknya diagnosa. Hal ini


memudahkan deteksi birahi dan penanganan selanjutnya dapat diperlakukan sebagai
“pengobatan” terhadap diagnosa birahi. Estrus terjadi akibat kadar E2 yang tinggi, yang
kemudian akan menimbulkan gejala-gejala birahi. Pemeriksaan birahi diawali dengan
pemeriksaan rekam siklus, dan dilanjutkan dengan observasi. Observasi yang dilakukan
meliputi keluarnya lendir estrus, betina yang diam ketika dinaiki, maupun adanya
vokalisasi yang dapat dilakukan setidaknya dua kali sehari. Observasi menggunakan alat
bantu juga dapat dilakukan seperti penggunaan pewarna seperti krayon yang ditempelkan
pada pejantan maupun menggunakan alat monitoring. Pemeriksaan dapat dilanjutkan
dengan palpasi per-rektal untuk memeriksa aktivitas ovarium dan ketegangan uterus.
Adanya folikel de Graaf yang teraba sebagai penonjolan berukuran besar dengan tekstur
lembek serta uterus tegang dapat mengonfirmasi hewan sudah memasuki masa estrus.
Penggunaan USG juga dapat dilakukan untuk konfirmasi. Selain itu pemeriksaan juga
dapat dilakukan dengan sitologi epitel vagina. Uji terakhir yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan hormonal. Diagnosa birahi kemudian dapat diteguhkan berdasarkan hasil
pengamatan.
Penanganan dari diagnosa estrus adalah perkawinan, baik alami maupun IB.
Metode yang umum dilakukan di masyarakat adalah metode pagi-sore, yaitu jika birahi
terdeteksi pada pagi hari maka IB dapat dilakukan sore hari, begitupun sebaliknya.
Sedangkan jika menggunakan perhitungan, IB dengan kemungkinan konsepsi yang tinggi
dapat dilakukan setidaknya 6 jam setelah birahi. Waktu terbaik untuk melakukan IB atau
mengawinkan adalah 9-24 jam setelah birahi. Metode ini dapat dilakukan di masyarakat
karena hasil perhitungan dengan metode pagi-sore memiliki hasil yang tidak terlalu jauh,
namun hasil perhitungan memberikan akurasi yang lebih tinggi.
Palpasi Per-rektal

Palpasi per-rektal merupakan metode yang umum digunakan pada


pemeriksaan organ reproduksi, membantu proses IB, dan pemeriksaan
kebuntingan (PKB) pada hewan besar. Palpasi dilakukan pada hewan yang sudah
diikat atau dalam kandang jepit untuk memastikan keamanan hewan dan
pemeriksa. Area anus dibersihkan, kemudian sarung tangan palpasi diberikan
pelumas yang kemudian juga diusapkan pada anus. Tangan masuk ke dalam
rektum dalam keadaan menguncup, kemudian rektum dibersihkan dari feses.
Rektum yang sudah bersih dapat digunakan untuk memulai palpasi. Pemeriksaan
diawali dengan mencari serviks yang kemudian diemban. Palpasi dilanjutkan
dengan menelusuri organ reproduksi dari serviks ke arah cranial hingga
menemukan corpus uteri, cornua uteri yang kemudian bercabang dan mengarah ke
ventral, kemudian ke arah caudal hingga ditemukan ovarium. Pemeriksaan daapt
dilakukan terhadap bentuk, ukuran, kekenyalan, dan tekstur dari organ.
Pemeriksaan ovarium dapat menentukan adanya aktivitas dari struktur yang teraba.
Jumlah, ukuran, dan tekstur struktur pada ovarium dapat menentukan periode
dalam siklus estrus.
Penggunaan palpasi per-rektal pada PKB memerlukan informasi rekam
siklus, rekam medis, dan riwayat IB. Pemeriksaan diawali dengan konfirmasi sapi
mengalami kebuntingan atau tidak dengan meraba kornua uteri kiri dan kanan.
Hasil dubius dapat diperiksa kembali beberapa minggu kemudian untuk
menghindari kesalahan diagnosa. PKB dapat dilakukan sejak usia kebuntingan 35
hari, namun untuk pemeriksa yang belum berpengalaman lebih aman dilakukan
pada pemeriksaan kebuntingan 60 hari. Kebuntingan muda dapat diperiksa dari
adanya fetal slip atau fetal membrane slip. Kebuntingan 60-90 hari dapat ditandai
dengan asimetri kornua uteri dan posisi uterus. PKB sejak kebuntingan 120 hari
paling mudah dibedakan melalui fremitus dan denyut nadi a. uterina media pada
bagian craniolateral os ischii. Fremitus diperkirakan dengan menekan a. uterina
media untuk merasakan desiran aliran darah. Selain itu fremitus juga dapat
digunakan untuk mendiagnosa fetus masih hidup atau tidak. Ukuran plasentom
tidak dapat digunakan sebagai ukuran umur kebuntingan pasti karena ukurannya
berbeda tergantung lokasinya. Sapi pada kebuntingan 270 hari sudah memasuki
jalur kelahiran.
Inseminasi Buatan pada Sapi dan Pemeriksaan Kualitas Semen
Inseminasi buatan (IB) merupakan bantuan perkawinan dengan
mendeposisi semen ke dalam organ reproduksi betina mengganakan alat sehingga
perkawinan alami tidak terjadi. Keberhasilan IB ditentukan oleh beberapa faktor:
deteksi estrus yang tepat, kondisi reproduksi betina yang baik, kualitas semen, dan
pelaksanaan yang baik dan lege artis. Deteksi estrus yang tepat adalah faktor
terpenting pada IB, karena pelaksanaan IB yang tepat pada periode yang tidak
tepat tidak akan menghasilkan konsepsi. Deteksi estrus yang tepat juga diiringi
dengan pemeriksaan kesehatan induk.
Semen yang digunakan dapat berupa semen cair maupun semen beku.
Semen cair dapat bersifat segar hasil koleksi maupun yang sudah diencerkan.
Koleksi semen yang umum dilakukan menggunakan vagina buatan, namun dapat
juga dilakukan dengan pemijatan, elektroejakulator, post-coitum recovery, atau
epididymal recovery. Pengencer yang umum digunakan adalah tris, sitrat, dan
sitrat fruktosa yang biasanya juga dicampur dengan kuning telur dan ditambahkan
antibiotik. Pembuatan semen beku sedikit berbeda dengan semen cair, yaitu
dengan penambahan cryoprotectant untuk mencegah kematian spermatozoa pada
proses pembekuan. Kualitas semen diperiksa secara makroskopis dan
mikroskopis. Volume, warna, bau, pH, dan konsentrasi diperiksa secara
makroskopis untuk proses screening. Semen yang lolos screening kemudian
diperiksa secara mikroskopis yaitu gerakan massa, motilitas, viabilitas,
konsentrasi, dan morfologi. Dosis inseminasi semen cair sapi sebanyak 5-15 juta
dalam 0.5-1 ml, dan dosis semen beku sebanyak 25 juta sel/0.25 ml. Dosis
antibiotik penicilin 500-1000 IU/mL dan dosis streptomycin 0.5-1 mg/ml semen
cair.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pada semen yang lolos screening dan
dilakukan pada proses sebelum IB maupun pada produksi semen beku.
Pemeriksaan semen cair lakukan pada motilitas untuk mengukur persentase
spermatozoa yang bergerak ke depan sehingga perlu dilakukan dengan pengencer
yang tidak toksik untuk sel. Uji viabilitas menghitung jumlah sel spermatozoa
yang hidup dan dilakukan dengan pewarnaan eosin-negrosin 2%. Perhitungan
konsentrasi dilakukan pada Neubauer counting chamber melalui 5 lapang pandang
dan diencerkan dengan formolsalin 1:200 agar spermatozoa mati dan tidak
bergerak. Morfologi semen diamati untuk menentukan persentase spermatozoa
normal. Pemeriksaan pada semen beku dialkukan pada motilitas dan konsentrasi
untuk memastikan post-thawing motility (PTM) >40% dan jumlah spermatozoa 25
juta sel/0.25 ml sesuai dengan SNI.
Pelaksanaan IB diawali dengan palpasi per-rektal untuk menentukan lokasi
serviks. Deposisi semen pada sapi dilakukan pada cincin serviks keempat atau
korpus uteri. Asisten dapat membantu dengan melakukan thawing pada semen
beku selama 30 detik pada air 37o C selagi mensterilkan IB gun. Sumbat lab pada
straw dipotong, kemudian IB gun dirakit. IB gun dimasukkan melalui vulva yang
sudah dibuka dengan mengarah ke craniodorsal untuk menghindari ureter,
kemudian diluruskan ke arah cranial dan diletakkan pada mulut serviks. IB gun
dimasukkan perlahan dan serviks dimanipulasi untuk memfasilitasi gun melewati
cincin serviks. Jika IB gun sudah mencapai lokasi deposisi, semen dideposisikan
dan IB gun dikeluarkan perlahan dengan tangan tetap mengemban serviks. Setelah
dilakukan pencatatan, keberhasilan IB diperiksa dengan PKB, diikuti dengan
statistik efisiensi reproduksi.
Proses Kelahiran: Eutocia dan Dystocia
Kelahiran merupakan proses yang diinduksi fetal stress. Kortisol fetus
kemudian akan menginduksi serangkaian proses hormonal dalam tubuh induk
untuk memulai kelahiran. Fetal kortisol mengubah P4 plasenta menjadi E2 yang
menginduksi kontraksi myometrium. Peningkatan tekanan uterus dan stimulasi
serviks menginduksi oxytocin untuk membuka serviks untuk proses kelahiran.
Fetal kortisol juga menginduksi PGF2α untuk proses luteolysis dan induksi relaxin
untuk relaksai ligamen pelvis. Kelahiran terdiri dari tiga fase: persiapan,
pengeluaran fetus, dan pengeluaran plasenta. Fase persiapan umumnya diamati
dari mulai relaksasinya ligamen dan kebengkakan ambing. Selain itu perubahan
perilaku menjauhi koloni untuk melahirkan juga terlihat. Fase pengeluaran fetus
dapat diamati dari adanya kifosis dan mulai keluarnya kantung amnion.
Pemeriksaan palpasi pervaginal juga teraba dilatasi serviks maksimal dan adanya
kontraksi uterus dengan interval yang memendek dengan intensitas yang
meningkat. Fetus kemudian akan keluar beserta dengan sebagian plasenta yang
kemudian akan dimakan oleh induk. Fase pengeluaran plasenta normalnya 3-8
jam. Jika plasenta tertahan >8 jam dapat dikategorikan sebagai retensio
secundinae. Retensio secundinae dapat diobati dengan pemotongan plasenta yang
sudah keluar dan diberikan bolus antibiotik.
Situs, posisi, dan postur kelahiran mempengaruhi proses kelahiran. Situs
merupakan kedudukan sumbu memanjang fetus terhadap sumbu memanjang
induk, posisi adalah kedudukan punggung fetus terhadap gerbang kelahiran, dan
postur merupakan kondisi bagian tubuh fetus yang dapat dibengkokkan. Dystocia
umum terjadi pada fetus yang malpresentasi sehingga perlu dibantu prosesnya
baik melalui reposisi maupun cesarean section. Adapun penyebab dystocia yang
lain adalah torsio uteri. Kejadian ini baru dapat terjadi pada kebuntingan
pertengahan hingga akhir ketika ukuran fetus sudah mulai membesar. Keparahan
torsio ditentukan dari derajat putaran uterus. Penanggulangan torsio uteri
didasarkan pada penyelamatan induk dan anak, sehingga metodennya ditentukan
berdasarkan umur kebuntingan. Torsio uteri yang menyebabkan dystocia
ditangani dengan cesarean section, sedangkan torsio uteri yang belum mendekati
waktu kelahiran ditangani dengan menggelundungkan induk. Proses ini dilakukan
tergantung pada umur kebuntingan. Betina bunting <5 bulan masih memiliki
kemungkinan untuk memutar kembali, sehingga dapat diputar berlawanan dengan
arah putaran torsio untuk memberi energi yang cukup untuk memutar kembali
uterus ke posisi normal. Sedangkan betina dengan umur kebuntingan >5 bulan
bobot fetusnya terlalu berat sehingga penanganan dilakukan dengan memutar
induk searah putaran torsio dengan uterus ditahan menggunakan papan kayu agar
tidak ikut memutar.
Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi estrus adalah metode yang biasa digunaan pada peternakan
untuk peningkatan produksi. Ternak yang estrusnya disamakan pada waktu yang
relatif sama dapat berproduksi pada waktu yang berdekatan, sehingga produksi
baik susu maupun pedet akan meningkat. Selain itu kelebihan metode ini adalah
deteksi estrus yang lebih mudah karena waktunya yang berdekatan. Sinkronisasi
estrus dilakukan dengan manipulasi hormonal.
Terdapat dua metode manipulasi estrus, yaitu memperpanjang atau
memperpendek fase luteal. Metode perpanjangan fase luteal dilakukan utamanya
menggunakan P4 yang dilepaskan ke dalam tubuh secara perlahan. Prinsip kerja
perpanjangan fase luteal adalah dengan memberikan P4 pada sapi selama 7-12
hari untuk memastikan semua sapi akan berakhir pada fase luteal, tanpa
memperdulikan fase ovarium pada saat pemberian P4. Protokol perpanjangan fase
luteal adalah dengan pemberian P4 melalui implan CIDR selama 7-12 hari,
kemudian diberikan PGF2α pada saat pencabutan untuk menginduksi luteolysis
dan folliculogenesis. Sapi kemudian dapat dilakukan IB 48-72 jam setelah injeksi
PGF2α. Metode ini cukup aman pada sapi yang bunting dan belum terdeteksi
karena tidak langsung menyebabkan abortus akibat PGF2α. Protokol perpendekan
fase luteal dilakukan dengan dua kali injeksi PGF2α pada rentang waktu 11-14
hari. Injeksi pertama memastikan terjadinya luteolysis pada sapi yang sudah
memasuki fase luteal, sehingga sapi akan memasuki fase folikuler. Sedangkan
sapi yang belum memasuki fase luteal akan memasuki fase luteal pada waktu
injeksi PGF2α kedua, sehingga setelah injeksi kedua seluruh sapi akan mengalami
luteolysis karena sudah memasuki fase luteal dan dapat dilakukan IB 48-72 jam
setelah injeksi kedua.
Pengenalan Teknologi Reproduksi Hewan : Transfer Embrio
Transfer embrio merupakan teknik pemindahan embryo dari betina donor
ke betina surrogate mother. TE dimanfaatkan untuk produksi ras murni dari bibit
unggul. Beberapa kekurangan dari metode TE adalah biaya yang digunakan
mahal, prosedur rumit, membutuhkan waktu lama dan kebutuhan sumber daya
manusia yang profesional. Sapi donor berasal dari sapi yang memiliki genetik
yang bagus, memiliki kemampuan reproduksi, memiliki fenotipe yang bagus.
Pelaksanaan TE diawali dengan melakukan superovulasi terlebih dahulu.
Kemudian dilakukan IB agar terjadi fertilisasi pada induk yang diinginkan
genetiknya. Dilakukannya superovulasi sebelum IB diharapkan akan membuat
konseptus berjumlah banyak sehingga embryo yang dapat ditransfer ke surrogate
mother menjadi lebih banyak. Selanjutnya embryo dimasukkan ke dalam saluran
reproduksi surrogate mother yang sebelumnya sudah dipastikan siklus estrusnya.
Embryo dimasukkan menggunakan gun seperti pada proses IB. Genetik surrogate
mother tidak memiliki pengaruh pada genetik embryo, namun sangat
mempengaruhi kualitas pertumbuhan embryo.
Pengenalan Teknologi Reproduksi Hewan : Fertilisasi In Vitro
In Vitro Fertilization (IVF) ialah teknik produksi embrio diluar tubuh
induk. Teknik ini digunakan untuk perbanyakan embrio dari induk pejantan dan
betina unggul. Keunggulan dari metode ini adalah kemungkinan genetik anak
yang sangat baik karena kedua induk memiliki genetik unggul tanpa
memperdulikan genetik betina. Metode ini prinsipnya adalah dengan melakukan
fertilisasi di luar tubuh, kemudian embryo akan “dititipkan” pada surrogate
mother untuk menghasilkan kebuntingan. Proses ini dapat dilakukan pada indukan
yang sudah mati jika oosit atau spermatozoanya masih dapat dipanen pada awal
kematian. Embryo juga dapat disimpan dalam nitrogen cair untuk penggunaan di
masa yang akan datang. Hasil dari IVF yang sudah berbentuk embryo kemudian
dapat dimasukkan ke dalam surrogate mother sesuai prosedur TE.
Manajemen Reproduksi: Hewan Ternak
Manajemen reproduksi hewan ternak memiliki manfaat dalam efisiensi
reproduksi. Hal ini akan memberi pengaruh pada fertilitas sapi dan minimalisir
gangguan reproduksi demi terwujudnya program one calf one year. Manajemen
reproduksi membagi beberapa periode pada masa prepartus hingga dilakukannya
IB kembali. Periode kering kandang merupakan periode sapi bunting tidak
dilakukan pemerahan. Periode ini bertujuan menurunkan kondisi NEB dan
menjaga BCS karena nafsu makan induk sudah mulai menurun. Periode transisi
prepartus adalah 21 hari yang difokuskan pada pemberian vitamin ADE dan
antihelmintik. Periode partus difokuskan pada manajemen pedet dan induk dengan
prioritas keselamatan keduanya. Pedet diusahakan menyusu agar mendapat
kolostrum secara ad libitum pada 6 jam pertama. Selain itu kondisi induk juga
dipantau mengingat dapat terjadi parturient paresis maupun retentio secundinae.
Kemudian periode puerpureum dilakukan dengan fokus involusi uteri, revolusi
ovarium, pengeluaran mikroba dari uterus, dan regenerasi endometrium. Setelah
sapi betina selesai puerpureum tanpa adanya penyakit dan gangguan, diharapkan
betina sudah bersiklus kembali secara normal dan dapat dilakukan IB pada
periode days open yaitu sekitar 90 hari postpartum.
Manajemen pedet berbeda dengan induk. Pedet pada masa postpartum
diberikan waktu untuk menyusu pada induk untuk mendapatkan kolostrum secara
ad libitum untuk meningkatkan imunitas pedet. Pedet berumur 3 minggu
kemudian diberikan pakan pengenalan untuk transisi monogastrik menjadi
ruminansia dengan metode creep feeding hingga berumur 3 bulan. Pedet berumur
3 bulan (weaner) kemudian mulai dipisah dan diberi pakan weaner untuk
mengejar target bobot badan saat yearling ketika sapi mulai di-IB.
Manajemen Reproduksi : Pasca Melahirkan pada Sapi
Manajemen postpartum dilakukan dimulai sejak prepartus, untuk
memastikan sapi memiliki kondisi baik pada postpartum. Tiga minggu sebelum
partus disebut close up period. Tiga minggu setelah partus dinamakan fresh cow
period. Kedua periode ini disebut sebagai masa transisi. Pada masa ini perlu
diperhatikan NEB pada sapi, sehingga perlu diberikan sumber energi tambahan
seperti propylene glycol. Selain itu sapi juga diberikan kandang melahirkan yang
bersih dan luas agar dapat exercise. Masa fresh cow perlu memperhatikan kondisi
saluran reproduksi pada sapi agar dapat bersiklus kembali secara optimal. Perlu
diperhatikan adanya masalah endometrium seperti endometritis, metritis, atau
pyometra, juga kemungkinan adanya milk fever. Kemudian 20-30 hari postpartum
adalah waktu tercepat untuk estrus kembali. Ketika laktasi, prolactin yang tinggi
akan menghambat pelepasan prostaglandin sehingga tidak ada pembentukan
folikel. Apabila sapi menunjukkan tanda estrus di bawah waktu 40 hari, sebaiknya
tidak dilakukan IB karena kemungkinan terjadi estrus infertile (tidak terjadi
ovulasi).
Manajemen Reproduksi : Satwa Liar
Konservasi satwa liar adalah kegiatan pengelolaan satwa liar dimulai dari
perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Tujuan dari konservasi adalah
memelihara keragaman genetik serta mempertahankan populasi yang utuh dari
satwa liar. Pelaksanaan konservasi satwa liar dapat dilakukan secara in-situ (pada
habitat asli) atau ex-situ (diluar habitat asli). Contoh dari konservasi in-situ antara
lain suaka alam, sedangkan ek-situ biasanya dikelola pleh Lembaga Konservasi
(LK) khusus terdiri dari PLG, PPS, dan PKS. Pada pelaksanaannya, terdapat
kemungkinan yang tinggi usaha reproduksi pada satwa liar memerlukan
inbreeding karena populasinya yang terbatas. Pelaksanaan inbreeding masih dapat
dilakukan secara hati-hati untuk menurunkan kemungkinan munculnya gen buruk
pada individu hasil inbreeding tersebut. Selain itu dapat juga dilakukan pertukaran
genetik antar lembaga konservasi untuk menambah gene pool dalam populasi
masing-masing lembaga konservasi untuk melestarikan genetiknya.
Diagnosa Penyakit dan Kelainan Reproduksi Jantan dan Penanganannya
Penyakit reproduksi pada jantan berkaitan erat dengan BSE. Pejantan
dengan penyakit reproduksi dan herediter tidak akan memiliki nilai BSE yang
baik sehingga kemungkinan penurunan sifat tidak baik tidak terjadi. Namun ada
beberapa penyakit yang masih bisa disembuhkan pada pejantan dengan nilai BSE
dubius. Penyakit yang paling mudah diamati terdapat pada organ kopulatoris.
Beberapa penyakit pada penis dan preputium antara lain fibropapillomatosis,
frenulum, peradangan penis dan preputium, dan hair rings. Kelainan pada organ
kopulatoris membuat hewan mengalami impotentia coendi yaitu ketidakmampuan
pejantan untuk melakukan koitus. Impotentia coendi juga dapat disebabkan oleh
kondisi fisik dan lokomotoris. Pejantan yang terlalu gemuk atau memiliki masalah
pada kaki maupun kuku seperti sickle hock, foot rot, atau osteoarthritis tidak dapat
melakukan mounting dengan baik sehingga kesulitan melakukan koitus.
Pemeriksaan dilakukan dengan pemberian anestesi epidural atau melalui n.
pudendalis atau n. dorsalis penis dan penggunaan rangsangan listrik untuk
membuat ereksi.
Penyakit dan kelainan juga dapat terjadi pada kelenjar aksesoris maupun
testis. Pemeriksaan kelenjar aksesoris dilakukan dengan palpasi per-rektal.
Penyakit atau kelainan pada testis dapat menyebabkan penurunan kualitas sperma.
Pejantan yang tidak mampu memberikan kebuntingan antara lain disebabkan
jumlah sperma yang sedikit, motilitas sperma rendah (asthenozoospermia,
inheritable), atau abnormalitasnya yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai