Anda di halaman 1dari 41

Reproduksi dan Kebidanan Tanggal Pelaksanaan

FKH
514
Kelompok J (08/03/2021-03/04/2021)

LAPORAN AKHIR PPDH


TAHAP INTRAMURAL
DIVISI REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

Disusun oleh:

Natasya C Tambunan, SKH B9404202096


Kelompok J PPDH Periode II Tahun Ajaran 2020/2021

Koordinator MK:

Prof Drh Ni Wayan K Karja, MP, PhD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

PROGRAM PENDIDIKAN KEDOKTERAN HEWAN


LAPORAN AKHIR MATA KULIAH
REPRODUKSI DAN KEBIDANAN (FKH 514)

Oleh:

Natasya C Tambunan, SKH B9404202096

Disetujui oleh

Koordinator Mata Kuliah Dosen Pembimbing Mata Kuliah


Reproduksi dan Kebidanan Reproduksi dan Kebidanan

Prof. Drh. Ni Wayan K Karja, MP, PhD Drh. Amrozi, PhD


NIP. 19690207 199601 2 001 NIP. 197 00721 199512 1001

Diketahui oleh

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan


Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Prof. Drh. Ni Wayan K Karja, MP, PhD


NIP. 19690207 199601 2 001

Tanggal Pengesahan:
REVIEW FISIOLOGI REPRODUKSI
HEWAN JANTAN

Organ Reproduksi Jantan

ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT KELAMIN JANTAN


Susunan anatomi alat kelamin hewan jantan pada umumnya terdiri dari:
1. Alat reproduksi utama yaitu gonad atau testis
2. Saluran alat reproduksi yang terdiri dari epididymis, vas deferens, ampulla
dan urethra; kelenjar ascesoris yaitu kelenjar vesikula seminalis atau
vesikularis, kelenjar prostata dan kelenjar bulbo urethralis atau Cowpers.
3. Alat reproduksi luar yaitu penis dan preputium serta skrotum.

Testis : Merupakan organ primer pada hewan jantan yang


menjalankan peran sebagai organ eksokrin (produksi
spermatozoa) dan endokrin (penghasil hormon
testosteron).
Epididimis : Epididimis merupakan salah satu saluran reproduksi
jantan
yang berfungsi untuk menyalurkan sperma yang
dihasilkan testis ke vas deferens, epididymis terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu caput, corpus, dan cauda
epididimis. Selain sebagai saluran transport, epididimis
juga menjadi tempat pematangan spermatozoa dengan
bantuan hormone testosteron.
Vas deferens : Vas deferens termasuk saluran yang bertugas untuk
menyalurkan sperma dari epididimis ke urethra. Pada
ujung vas deferens ditemukan pembesaran yang
dinamakan ampula ductus deferens.
Kel. Vesikularis : Berfungsi memberikan nutrisi (fruktosa, dsb) pada
sperma.
Kel. Prostat : Kelenjar ini memiliki peran dalam memberikan sintesis
protein prostat specific antigen (PSA).
Kel. Bulbourethalis : Kelenjar bulbourethralis atau cowper merupakan kelenjar
yang mensekresikan mucus yang berguna untuk lubrikasi
Urethra : Adalah saluran terakhir yang berperan sebagai jalan
sperma
(semen) untuk selanjutkan diejakulasikan dalam vagina.
Penis : Penis merupakan organ kopulatoris yang dapat dibagi
menjadi dua macam sesuai karakteristiknya, yaitu penis
fibroelastik dan cavernosus. Penis fibroelastik dicirikan
dengan banyaknya jaringan ikat, pada penis jenis ini dapat
ditemukan adanya flexura sigmoidea yang berfungsi untuk
menyimpan penis dalam tubuh, fungsi tersebut dilengkapi
oleh adanya musculus retractor penis yang berguna untuk
menarik kembali penis yang telah ejakulasi. Hewan
dengan tipe penis fibroelastik adalah kerbau, sapi, dan
domba. Ada pun penis tipe cavernosus dicirikan dengan
banyaknya pembuluh darah kapiler yang menyebabkan
organ ini membesar pada saat ereksi. Primata merupakan
salah satu contoh hewan dengan tipe penis cavernosus.

Sistem Endokrin Hewan Jantan

Hormon memiliki peran besar dalam sistem reproduksi hewan jantan,


ketika hewan jantan terstimuli oleh betina estrus maka otak akan mengirimkan
sinyal ke hipotalamus untuk memproduksi Gonadotropin Realising Hormone atau
GnRH. GnRH akan berikatan dengan reseptor adenohipofise untuk menstimuli
pelepasan FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luetenizing Hormone).
Kedua hormone ini akan tersirkulasi ke dalam darah dan pada akhirnya sampai
pada organ reproduksi primer jantan (testis). FSH akan menstimulasi sel sertoli
testis untuk memproduksi spermatozoa, FSH juga akan menstimulasi testis dalam
memproduksi esterogen yang berguna untuk pertumbuhan tulang dan proliferasi
sel. Sementara itu, LH akan merangsang produksi hormon testosteron oleh sel
leydig yang berguna dalam proses spermatogenesis (pematangan sperma).
Reseptor LH ada di sel Leydig yang akan mengubah kolesterol menjadi
testosterone. FSH memiliki reseptor di sel Sertoli yang akan mengubah
testosterone menjadi estrogen. Fungsi estrogen di jantan diantaranya sebagai
vasomotorik dan metabolism testosterone. Testosteron pada spermatogenesis
berperan penting dalam maturitas spermatozoa pada proses spermiogenesis.
Setelah sperma mengalami pematangan, maka kelenjar aksesoris yang ada akan
menambahkan sekreta cairan plasma dan nutrisinya. Kemudian hewan janta
melakukan kopulasi dan terjadilah ereksi. Dalam kondisi seperti ini, penis akan
menerima rangsangan dari tekanan dan suhu hangat dalam saluran reproduksi
betina. Rangsangan ini kemudian diterima dan direspon dengan adanya aktivitas
hormon oxytocin yang berakibat pada kontraksi otot polos di sekitar epididimis.
Adanya kontraksi ini menyebabkan terjadinya ejakulasi sperma (semen) dalam
organ reproduksi betina.
Ejakulasi pada jantan tidak secara langsung diinisiasi oleh hormone.
Ereksi pada hewan jantan terjadi karena visual, penciuman dan libido jantan.
Setelah itu, hormone oxytocin yang memiliki reseptor pada otot polos epididymis,
akan bekerja dan mengakibatkan kontraksi otot cauda epididymis sehingga
spermatozoa terdorong ke atas dan melalui saluran reproduksi lainnya. Ejakulasi
lebih dipengaruhi oleh tekanan vagina dan suhu lingkungan yang sesuai. Masa
kawin pada hewan dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan temperature. Hewan
yang berada pada musim dingin memiliki intensitas cahaya yang beragam di tiap
musimnya. Short day breeder pada domba dan Long day breeder pada kuda.
__________________________________________________________________

REVIEW FISIOLOGI REPRODUKSI


HEWAN BETINA

Siklus Reproduksi Hewan Betina

Siklus reproduksi merupakan serangkaian kegiatan biologis kelamin yang


berlangsung secara periodik hingga terlahirnya generasi baru (anak), dan generasi
baru bereproduksi lagi (generasi). Pada hewan betina siklus reproduksi mencakup
siklus estrus, kebuntingan, partus, laktasi, dan penyapihan anak. Siklus ini penting
untuk diketahui dalam mewujudkan one calf per cow per year. One calf per cow
per year merupakan usaha untuk mengoptimalkan reproduksi sapi betina (dalam
periode calving interval) untuk menghasilkan satu pedet dalam satu tahun.
Calving interval dapat diartikan sebagai jarak satu kelahiran dengan
kelahiran berikutnya. Pada sapi betina dengan kondisi reproduksi yang bagus
calving interval berselang 365 hari, dengan beberapa kejadian yaitu involusi uteri,
periode estrus, dan terjadinya kebuntingan. Involusi uteri merupakan kembalinya
organ reproduksi betina ke keadaan dan ukuran semula, kejadian ini berlangsung
selama kurang lebih 45 hari (rata-rata sapi membutuhkan 43 hari). Adapun proses
pengeluaran lochia berlangsung kurang lebih dua minggu (kondisi ini dapat
diamati oleh peternak, lochia terwujud berupa cairan bening seperti serum atau
plasma).Dalam satu siklus reproduksi terdapat 45 hari involusi uteri yaitu
kembalinya uterus dalam keadaan normal. Selain itu terdapat juga 40 hari masa
estrus, dan 280 hari periode kebuntingan dalam satu tahun atau 365 hari. Masa
postpartum haruslah jadi perhatian dan perlu diamati dengan baik. Jika ada hewan
yang tidak meminta kawin kembali karena pyometra hal ini akan memperpanjang
calving interval. Selain itu, sangat penting untuk mengamati masa setelah
kelahiran di mana adanya periode days open yaitu 45 hari (masa involusi uteri) +
40 hari (siklus estrus) = 85 hari yang merupakan masa/periode hari kosong dari
partus hingga periode Inseminasi Buatan (IB) yang berhasil. Bila dimanfaatkan
dengan baik maka tujuan untuk one calf per cow per year akan tercapai.
Setelah organ reproduksi kembali ke keadaan semula maka siklus estrus mulai
berlangsung kembali, kondisi ini berlangsung sekitar 40 hari (dalam durasi ini
terjadi beberapa kali periode estrus). Kejadian diatas merupakan hal yang harus
diperhatikan oleh seorang dokter hewan agar tidak ada kelainan (seperti pyometra
dsb) yang terjadi yang dapat menyebabkan perpanjangan siklus estrus.
Selanjutnya kebuntingan, pada sapi betina adalah selama 280 hari, dari
keseluruhan kejadian ini ada sekitar 85 hari masa days open atau jarak waktu
(hari) antara kondisi betina setelah beranak hingga bunting kembali. Dalam fase
ini banyak peternak yang mengalami kerugian karena tidak dapat memaksimalkan
efisiensi reproduksi sapi mereka.
Siklus Estrus

Siklus estrus (birahi) secara singkat merupakan serangkaian aktivitas


reproduksi ovarium, kejadian ovulasi, pembentukan dan regresinya corpus
luteum. Siklus estrus terdiri dari empat periode dalam dua fase. Fase folikular
yang didominasi oleh hormone estrogen terdiri dari periode proestrus dan estrus.
Sedangkan, fase luteal yang didominasi oleh hormon progesterone terdiri dari
periode metestrus dan diestrus. Masing-masing periode memiliki ciri khas dan
kegunaan sendiri untuk dokter hewan.

Metestrus : lepasnya ovum dari ovarium atau terjadinya ovulasi, kemudian


folikel berkembang menjadi folikel de Graaf dan kemudian
menjadi corpus rubrum (reruntuhan darah) yang mana sampai
akhirnya menjadi corpus luteum (CL). Pada fase metestrus ini perlu
diketahui bahwa reseptor prostaglandin belum terbentuk.
Diestrus : merupakan fase fungsional dari corpus luteum, sekaligu waktu
yang
tepat untuk injeksi prostaglandin dalam upaya sinkronisasi estrus.
Prostaglandin ini diketahui menyebabkan regresi pada corpus
luteum.
Proestrus : Kondisi dimana corpus luteum sudah matang.
Estrus : terjadi regresi CL (tidak hilang tapi menurun fungsinya, regresi ini
dipicu oleh karena prostaglandin yang muncul pada hari ke 15),
prostaglandin diketahui dapat menyebabkan kontraksi yang
berakibat pada penyempitan pembuluh darah, sehingga suplai
oksigen dan nutrisi berkurang, akhirnya corpus luteum pun
mengalami regresi (menurun fungsinya).

Perkembangan folikel pada ovarium selama masih ada corpus luteum yang
aktif maka folikel tidak akan terovulasi. Corpus luteum (CL) harus regresi atau
dilisiskan agar siklus kembali berjalan. Hormon prostaglandin yang dihasilkan
oleh uterus saat kondisi uterus sehat dan bersih berfungsi untuk kontraksi
myometrium dan meregresi corpus luteum dengan cara vasokonstriksi atau
menyempitkan pembuluh darah sehingga oksigen dan nutrisi tidak tersalurkan ke
CL dan secara berangsur fungsi CL akan menurun dan regresi. Dalam satu siklus
estrus terdapat 2-3 gelombang folikel. Gelombang 1 dan 2 terjadi saat periode
metestrus dan diestrus. Folikel akan di-recruited dan diseleksi hingga ada folikel
yang dominan, namun karena pada periode metestrus dan diestrus terdapat corpus
luteum, maka sel telur tidak akan ovulasi. Gelombang 3 terjadi setelah luteolisis
yang akan menyebabkan folikel dominan dapat ovulasi. Jika tidak ada yang
menghambat atau tidak ada gangguan reproduksi seperti pyometra pada uterus,
corpus luteum akan mengalami lisis dengan sendirinya.
Terdapat periode Bifase dalam satu siklus estrus yaitu pada periode
metestrus dan diestrus, dimana terdapat corpus luteum namun juga ada folikel
yang berkembang. Perlu diketahui bahwa hanya folikel yang direkrut selama atau
setelah luteolisis yang akan keluar ovulasi. Selain fase folikular dan luteal, dikenal
juga istilah Biphase. Biphase merupkan keadaan pada saat ada CL serta folikel
fungsional, hal ini berakibat pada kondisi hewan betina yang menunjukkan estrus
yg lemah. Apabila inseminator tidak teliti. Jadi kalau tdk hati” petugas akan meng
ib, padahal birahi yg sesungguhnya adalah pd saat folikel dominan dan CL regresi
(estrus yg sesungguhnya). Hal ini akan menjadi suatu jebakan untuk inseminator
karena gejala estrus yang lemah akan ditunjukkan pada fase ini namun saat
dilakukan IB tidak akan terjadi kebuntingan.
Inseminasi buatan (IB) harus dilakukan di saat yang tepat. Waktu
dilaksanakannya inseminasi buatan yang paling baik adalah saat 9 jam setelah
estrus atau pada pertengahan estrus sampai dengan 6 jam estrus berakhir atau 15
jam setelah gejala estrus pertama. Dengan bantuan palpasi rektal dapat diketahui
periode dari siklus estrus ternak. Saat palpasi rektal, proestrus akan ditunjukkan
dengan permukaan ovarium yang meluas dan berisi cairan cenderung lembek, hal
ini karena adanya folikel yang dominan dan sudah tidak adanya CL atau adanya
CL yang regresi. Pada periode estrus terdapat ketegangan uterus, folikel dominan
dan pada kelamin luar terdapat ciri 3B (bereum, bareuh, dan baseuh) karena kerja
hormone estrogen yang dominan. Periode metestrus saat di palpasi CL akan terasa
masih lembek, tidak beraturan karena bekas ovulasi dan pada periode diestrus CL
akan membentuk angka 8 atau bunga kol yang khas. Luteolisis merupakan proses
saat CL tidak mampu lagi mensintesis dan mensekresikan progesterone. Agen
luteolitik merupakan segala factor yang dapat menurunkan sintesis dan sekresi
progesterone luteal dan atau mencegah aktivitas hormone luteotropik. Pada ternak,
hormone prostaglandin merupakan agen luteolitik yang dihasilkan oleh uterus.
Kebuntingan atau gestasi merupakan periode yang dimulai dengan fertilisasi dan
berakhir dengan parturisi (proses kelahiran).

Palpasi ;
Proestrus = cl terasa seperti angka 8,
Estrus = serviks dan vaginanya menegang, tidak ada cl fungsional, estrogen tinggi
= vulva merah (karena sirkulasi darah tinggi)

Luteolysis = proses dimana cl tidak mampu mensintesis dan sekresi progesterone


Agen luteolitik = hormone prostaglandin, apabila uterus kotor maka prostaglandin
tertahan keluar

IB terbaik 6 jam setelah akhir estrus, saat baru estrus ga boleh langsung di IB.
Waktu IB terbaik = pada saat pertengahan sampai 6 jam seteah periode estrus
berakhir (9 jam -15 jam)

Kebuntingan / gestasi = dimulai dengan fertilisasi dan berakhir dengan parturisi


(proses kelahiran)
Superfekundasi = bbrpa ovum terbuahi oleh sperma yg beda (kucing, anjing)
Superfetasi = sudah punya janin, dan hamil lagi (beda umur), hewan yang sudha
bunting tp masih menunjukkan gejala estrus sehingga di IB lagi dan terjadinya
hamil 2 janin beda umur (sapi)

Menentukan umur kebuntingan awal = ada bulatan (vesikel yang berisi cairan
dengan titik yang bergerak)
- Letak uterus; 2 bln di pelvis, 4 bulan di lereng abdomen, 5 bulan di ruang
abdomen
- Fremitus; arteri uterinya media (mulai ada pada umur 4 bulan
- Lokasi fetus; kalo udah di abdomen berrti usia kebuntingan lama

Fetus lahir karena fetal stress = stimulai acth > stimulsi pelepasan fetal kortisol =
merubah plasenta proges jadi esterogen (pd saat mau lahir konsen estrogen
eningkat) | juga menyebabkan pengeluaran prostaglandin yng mnybabkan
hormone relaxin merelaksasikan / mengendurkan daerah pelvis dan luteolisis CL

Estro dan prostag berkerja sama mensekresikan lubrikasi


Estro menyebabkan kontraksi miomet dengan bantuan prostag, fetus memberikan
tekanan (pijakan) yg mnybabkan stimulasi serviks, hal trsbut dibantu oleh
oxytocin yang membuat tekanan maksimal sehingga kehamilan terjadi

Oxytocin dapat dikasih kalo udah ada pembukaan, kalau belum kasih ada
prostaglandin.
Rata-rata lama periode gestasi pada hewan adalah:
- Babi: 113-114 hari
- Domba/Kambing: 147-148 hari
- Sapi: 278-283 hari
- Kuda: 336-340 hari

Pada kebuntingan hewan, terdapat istilah kejadian superfetasi dan


superfekundasi. Superfetasi adalah kondisi atau kejadian di mana induk
mengandung dua fetus dengan umur yang berbeda dan dihasilkan dari periode
perkawinan yang berbeda juga. Sementara itu superfekundasi adalah kejadian di
mana dalam satu periode perkawinan sel telur dibuahi oleh beberapa pejantan
yang berbeda, contoh pada anjing dan kucing. Pemeriksaan umur kebuntingan
pada ternak dapat dilakukan dengan palpasi maupun USG. Pada gambaran USG
dapat diamati terbentuknya kantung kebuntingan pada uterus. Sedangkan pada
palpasi jika dibawah umur kebuntingan 6 minggu terdapat fetal slip maupun fetal
membrane slip saat dilakukan palpasi rektal. Dalam palpasi rektal untuk
memeriksa kebuntingan penting untuk melihat posisi dari uterus apakah uterus
terdapat di ruang pelvis, lereng antara pelvis dan abdomen ataupun pada dasar
abdomen karena hal ini dapat menentukan usia dari fetus. Selain itu fremitur dari
a. uterine media juga dapat ditemukan pada usia kebuntingan 4 bulan. Proses
kelahiran hewan dapat dipicu oleh adanya fetal stress yang akan menstimulasi
fetal ACTH yang kemudian akan bekerja dan menstimulasi pelepasan fetal
cortisol. Fetal cortisol merubah plasental progesterone menjadi estrogen dan
estrogen akan meningkat pesat. Fetal cortisol juga menyebabkan stimulasi
prostaglandin yang akan mengakibatkan lisisnya CL. Prostaglandin kemudian
menstimulasi sekresi relaxin yang akan bekerja melemaskan/mengendurkan
ligament pelvic sehingga akan stretching. Hormon estrogen yang meningkat akan
meningkatkan sekresi organ reproduksi betina untuk lubrikasi jalan keluarnya
fetus. Estrogen dan prostaglandin kemudian akan meningkatkan kontraksi
myometrium sehingga tekanan uterus akan meningkat dan fetus akan mulai
menekan serviks untuk kemudian menjadi pemicu meningkatnya hormone
oxytocin. Ketika hormone oxytocin meningkat tekanan akan menjadi maksimal
dan fetus akan lahir. Kesulitan dalam proses partus dapat dibantu dengan injeksi
estrogen apabila belum terjadi pembukaan serviks atau diberikan injeksi ocytocin
jika sudah ada pembukaan serviks.
__________________________________________________________________

REVIEW KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN

Gangguan Reproduksi pada Hewan Betina

Pemahaman dalam reproduksi penting untuk dilakukan karena kerugian


akibat penyakit reproduksi sangat tinggi dan dapat mencapai 21 juta/tahunnya.
Dalam fisiologi reproduksi, ovarium merupakan pabrik reproduksi pada betina.
Bidang reproduksi merupakan aspek yang penting dalam suatu peternakan dan
erat kaitannya dengan peran seorang dokter hewan sebagai pengatur manajemen
kesehatan ternak. Adanya gangguan reproduksi pada ternak seringkali disepelekan
oleh para peternak oleh karena hal tersebut tidak semuanya dapat menimbulkan
kematian, namun adanya gangguan reproduksi pada ternak ini menimbulkan
kerugian ekonomi akibat perpanjangan siklus reproduksi. Gangguan reproduksi
pada ternak ruminansia juga bukan hal yang mudah untuk ditangani oleh seorang
dokter hewan oleh karena miripnya gejala klinis yang ditunjukkan pada beberapa
kausa penyakit.
Pada kondisi normal, sistem reproduksi hewan betina (siklus estrus)
adalah sebagai berikut : hipotalamus memproduksi hormon Gonadotropine
Releasing Hormone atau GnRH, GnRH kemudian memberikan stimulus pada
adenohipofise untuk melepaskan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
(luteunizing hormone). FSH akan memicu perkembangan folikel pada ovarium,
folikel ovarium ini kemudian memproduksi hormon esterogen. Sementara itu, LH
berperan dalam merangsang terjadinya ovulasi dengan cara menstimuli
pertumbuhan corpus luteum (CL). Setelah CL dihasilkan maka akan terjadi
negative feedback ke hipotalamus dan GnRH akan mensupress pengeluaran LH.
CL ini dapat menghasilkan hormon progesteron yang berperan dalam menjaga
kehamilan. Sekitar hari ke-15 uterus akan menproduksi prostaglandin melalui
vena uteri ke ovarium melalui mekanisme (counter current). Adanya hormon ini
menyebabkan aliran darah ke CL berkurang, karena hal tersebut CL akan
mengalami regresi secara bertahan.
Abnormalitas yang terjadi pada sistem reproduksi hewan betina ini
menyebabkan banyak gangguan reproduksi, diantaranya adalah :

1. Anestrus : merupakan kegagalan hewan betina dalam gejala estrus, anestrus


juga merupakan gejala berbagai kondisi yang mempengaruhi siklus estrus.
Kausa dari anestrus dapat bersifat patologis (corpus luteum persisten, anestrus
tipe 1, 2) dan fisiologis (lactational anestrus, prepubertal anestrus (hewan
masih muda), serta postpartum anestrus). Anestrus dapat pula dikategorikan
berdasarkan pertumbuhan folikelnya :
 Anestrus tipe 1 : true anestrus; tipe anestrus yang ditandai dengan gagal
ovulasi, sementara folikel tumbuh hanya sampai tahap emergence (4 mm),
biasa terjadi karena kekurangan nutrisi (kondisi Body Condition Score atau
BCS yang buruk) sehingga produksi FSH tidak memadai, ketika dilakukan
palpasi perektal dapat diraba ovarium terasa pipih dan licin. Treatment
yang bisa dilakukan adalah dengan perbaikan status energi dan pemberian
hormon FSH sembari dilakukan perbaikan pakan (GnRH kurang efektif –
reseptor LH tidak memadai).
 Anestrus tipe 2: yaitu gagalnya ovulasi, sementara folikel dapat
berkembang melewati tahap tumbuh (emergence) dengan deviasi 9 mm.
Faktor penyebabnya adalah efek penghambatan esterogen terhadap pulsus
GnRH atau pun LH yang tidak memungkinkan produksi estrogen. Hal
tersebut diakibatkan oleh karena asupan nutrisi yang kurang.

2. Endometritis dan Metritis: Endometritis merupakan peradangan pada


dinding uterus sedangkan metritis adalah peradangan pada uterus. Keduanya
dapat terjadi oleh karena adanya Infeksi. Endometritis dapat dibagi menjadi
dua yaitu endometritis klinis (infeksi terjadi 21 hari atau lebih setelah partus,
tanpa tanda-tanda sistemik) dan endometritis subklinis (inflamasi ini
ditunjukkan oleh adanya lender purulent dari vagina). Pada kasus metritis
discharge uterus yang keluar adalah cairan merah mudah, biasanya sapi yang
menderita gangguan ini mengalami demam dan pada kasus berat nafsu makan
dan produksi susu akan turun.
Predisposisi keduan gangguan reproduksi tersebut adalah karena
komplikasi uterus (bayi kembar menyebabkan distokia, lambatnya involusi
uteri), kondisi metabolik (milk fever,dsb), ketidakseimbangan antara
patogenisitas dan imunitas (tingkat hygiene lingkungan yang buruk, dan
disrupsi fungsi neutrophil). Diagnosis gangguan ini dapat diketahui melalui
pemeriksaan klinis (metricheck, vaginoskopi, palpasi rektal, usg), sistem
skoring (karakter dan bau discharge), serta uji lab (sitology, kultur bakteri).
Sementara treatment untuk kedua gangguan ini adalah dengan cara eliminasi
bakteri, dan memperbaiki kontraktilitas uterus supaya leleran lendir di dalam
dapat dikeluarkan.
3. Kista Ovari : kondisi dimana folikel gagal mengalami ovulasi, memiliki
diameter > 25 mm dan bertahan selama 10 hari atau lebih. Pada kista ovari
tidak ada corpus luteum dan dicirikan dengan perilaku sterility hump atau
pangkal ekor yg naik dan juga gejala estrus yang abnormal (anestrus dan
nimfomania). Jenis-jenis kista ovari sebagai berikut :
- Kista folikuler = terdapat timbunan cairan di folikel = mayoritas anestrus,
beberapa menunjukkan nimfomania.
- Kista luteal = dinding sel luteal mngalami penebalan = sudah pasti
anestrus
4. Retensio Plasenta : merupakan kegagalan induk betina dalam melpaskan
plasenta dalam kurun waktu 12-24 jam setelah partus. Mekanisme pertahanan
plasenta adalah kadar vitamin E yang rendah rendah dan juga nutrisi
imbalance. Terapi kasus ini adalah dengan pemberian injeksi prostaglandin
dan oxytocin dengan tujuan agar ada kontraksi dan mendorong plasenta untuk
keluar, diperlukan juga pemberian antibiotik. Adapun pelapasan plasenta
secara manual tidak disarankan karena dapat mnibulkan trauma pada uterus.
Terapi lainnya adalah dengan cara pemotongan plasenta dipangkalnya,
kemudian diberikan antibiotik bolus. Kontrol oleh dokter hewan 35 hari
setelahnya untuk pengecekan kondisi uterus.
5. Repeat Breeder : merupakan gangguan reproduksi yg sulit diselesaiakan
karena memiliki kausa yang bermacam-macam. Gangguan ini menyebabkan
gagal bunting secara berulang pada betina yang diinseminasi. Sapi induk yang
bersiklus estrus, tanpa indikasi kelainan klinis, dan gagal bnting sekurang-
kurangnya dua kali inseminasi buatan dapat dikatakan mengalami repeat
breeder. Repeat breeder terbagi menjadi dua yaitu :
 Early repeat : sapi betina berulang kawin pada 17-24 hari setelah
dilakukannya inseminasi buatan.
 Late repeat : sapi betina berulang kawin setelah 24 hari setelah
inseminasi buatan
6. Abortus : adalah kematian dan pengeluaran (ekspuisi) fetus antara hari ke-45
sampai hari ke 265 kebuntingan. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari
factor genetik, lingkungan (suhu), nutrisi (myctoxin atau phytotoxin), dan
kausa infeksius (kondisi demam tinggi, dan adanya infeksi parasitic). Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penerapan hygiene yg
memadai, kontrol evaluasi pakan terkait kemungkinan adanya phtotoxyn,
program vaksinasi berkala terhadap penyakit strategis, serta manajemen
kesehatan hewan yang baik.

Pemeriksaan Kebuntingan

Fungsi reproduksi merupakan sebagian kecil dari fungsi siklus tubuh,


karenanya fungsi ini saling bergantung dengan fungsi organ tubuh lainnya. Fungsi
reproduksi dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi genetik, nutrisi,
kesehatan, dsb. Perkawinan tidak selalu menghasilkan kebuntingan, tidak selalu
kebuntingan dapat menghasilkan kelahiran, dan tidak selalu kelahiran yang dapat
menghasilkan anak yang sehat. Banyak kemungkinan yang dapat
menyebabkannya kegagalan, dalam hal ini bidang kebidanan dan kemajiran
diperlukan.
Bidang kebidanan dan kemajiran ini erat kaitannya dengan kebuntingan pada
hewan betina, karenya pemeriksaan kebuntingan penting diketahui. Ada beberapa
metode yang diketahui dapat digunakan untuk diagnosa kebuntingan, yaitu :

1. Metode Non-Return (tidak kembali birahi)


- Pengamatan dilakukan secara langsung, sangat praktis dan mudah
- Hewan yang sudah dikawinkan atau diinseminasi buatan tetapi tidak
kembali estrus pada 1-2 siklus berikutnya maka dianggap positif
- Kelemahan metode ini adalah : beberapa hewan tidak atau lemah
menunjukkan perilaku estrus meskipun dia estrus (birahi tenang)

2. Metode Palpasi Abdominal


- Biasa dilakukan pada hewan anjing, kucing, domba, dan kambing
- Pemeriksa berada dalam posisi menjepit ke arah belakang hewan, dan
dilakukan palpasi menggunakan jari kedua ke arah belakang sambil
merasakan adanya fetus yang sedikit menonjol.

3. Perubahan Perut-Ambing-Puting-Pangkal Ekor


- Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengamati perubahan perbesaran
perut-ambing-putting-pangkal ekor yang mulai terdeteksi pada usia
kebuntingan 6 minggu – 9 minggu pasca kawin
- Perut hewan betina diketahui akan semakin membesar mengikuti
perkembangan fetus
- Ambing dapat diamati semakin besar dan terdapat tekstur benjolan padat
yang mengisi ambing.
- Lemak dan jaringan di pangkal ekor ditemukan semakin berkurang seiring
dengan bertambahnya usia kebuntingan, karena pangkal ekor diketahui
sebagai tempat penyimpanan cadangan energi (biasa mulai dipakai pada
saat umur kebuntingan sudah besar).

4. Diagnosa Menggunakan USG


- Gelombang suara yang digunakan berkisar sebesar 7.5 Hz untuk
pemeriksaan kebuntingan pada umur 13-2 hari secara trans-rektal
- Sementara untuk usia kebuntingan 30-100 hari dapat digunakan
gelombang suara sebesar 5 Hz dengan pemeriksaan transabdominal.
5. Diagnosa Profil Hormon dan Protein
- Dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA dan RIA
- Keunggulam metode ini adalah tingkat sensitifitasnya yang tinggi dan
akurat
- Sementara kelemahan metode ini adalah tidak bisa menduga umur, jenis
kelamin, dan jumlah fetus
- Hormon dan protein yang bisa digunakan adalah progesteron, estrone
sulphate, protein PSBB (Pregnancy Spesific Protein B,dsb)

6. Metode Palpasi Per Rektal


- Merupakan metode yang paling sering digunakan di berbagai peternakan
karena ekonomis dan efektik
- Kelemahan metode ini adalah tidak bisa dilakukan pada usia kebuntingan
di bawah 2 bulan.

Parturisi

Parturisi atau yang biasa disebut dengan partus merupakan tahap akhir dari
kebuntingan. Partus adalah proses fisilogis yang berhubungan dengan pengeluaran
fetus dan plasenta melalui saluran reproduksi. Situasi sapi sebelum melahirkan
adalah: nafsu makan turun, kebutuhan tetap, klostrogenesis, laktogenesis, calf
positioning, serta mobilisasi kalsium. Kalsium dapat diberikan sebelum partus
(kalsium yang digunakan berkerja secara slow release, pemberian kalsium secara
intravena tidak disarankan karena akan lebih cepat termobilisasi dan tidak terdapat
cadangan atau back-up pada tubuh), bentuk kalsium yang diberikan. Awalnya
kalsium karbonat dapat diberikan, namun pada 7 hari sebelum kelahiran dirubah
menjadi kalsium klorida atau garam amonia. Kegemukan ternak pada saat partus
dapat membuat distokia dan memicu terjadinya fatty liver sehingga tubuh gagal
dalam mobilisasi energi.
Selain kebutuhan mineral yang telah dijelaskan diatas, kedudukan fetus
menjelang partus juga merupakan salah satu penentu jalan kelahiran, kedudukan
tersebut mencakup presentasi (situs), posisi, dan postur (sikap) fetus. Presentasi
merupakan posisi sumbu memanjang fetus terhadap sumbu memanjang induk,
sedangkan posisi adalah kedudukan punggung fetus terhadap pelvis induk, dan
postur merupakan keadaan bagian ekstremitas fetus.
Tahapan dan tanda klinis hewan saat partus adalah :
 Tahap 1 (Perejanan) ditandai dengan adanya dilatasi cervix dan kontraksi
uterus.
 Tahap 2 (Pengeluaran anak atau foetal expulsion) dimulai dari
pengeluaran kantung amnion atau ketuban sampai mulai keluarnya fetus,
pada tahap ini sering terjadi distokia karena kedudukan fetus.(memeriksa
posisi, presentasi fetus bisa intravagina, dan kalau susah diperiksa melalui
palpasi perektal, kalau posisi dan presentasi masih bisa dibetulkan maka
direposisi terlebih dahulu.
 Tahap 3 (placental expulsion) atau pengeluaran selaput anak, pada tahap
ini plasenta sudah menggantung di vulva dan anak sudah keluar dan mulai
belajar menyusu.
__________________________________________________________________

PERAN ILMU DAN TEKNOLOGI DALAM KONSERVASI SATWALIAR


EX & IN-SITU LINK

Satwaliar merupakan binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau
di udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia (UU No.5 Tahun 1999 tentang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya). Konservasi satwa liar adalah kegiatan pengelolaan
(termasuk perencanaan) yang mencakup unsur perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan.. Dalam pelestarian hewan yang terancam punah keaslian genetik
penting dijaga, sehingga perlu dilakukan silsilah. Hewan di hutan dapat dianggap
sebagai F0, ketika hewan tersebut dibawa ke kebun binatang atau taman safari dan
kawin kemudian mempunyai anak, maka anak tersebut menjadi F1 (menjadi
keturunan pertama). Apabila nantinya ada F3 yang dikawinkan dengan F0 maka
anak yang dihasilkan adalah F4 namun memiliki kualitas genetik yang lebih baik.
Peran ilmu dan teknologi reproduksi dalam konservasi berada dalam pilar
pelestarian populasi hewan dengan perkembangbiakan yang memerlukan
pengetahuan reproduksi. Teknik perkembangbiakan satwa liar memerlukan
pencatatan silsilah yang mengatur perkawinan satwa liar untuk menjaga
kemurnian breed dan genetika dari satwa liar serta teknologi reproduksi
berbantuan (inseminasi buatan, transfer embrio) untuk kelangsungannya. Satwa
liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara
yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara
oleh manusia. Konservasi satwa liar merupakan kegiatan pengelolaan satwa liar
yang mencakup unsur perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan (3 pilar
konservasi). Strategi pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati mengacu
pada 3 pilar konservasi dimana konservasi secara in-situ dilakukan dihabitatnya
sedangkan ex-situ pelestarian diluar habitat asli hewan. Pengelolaan konservasi
in-situ memerlukan Dalam konservasi in-situ difokuskan pada monitoring
(habitat, adanya hewan, dan daya dukung), penyelamatan (translokasi),
pelepasliaran (reintroduction) dan mitigasi konflik (penyelesaian konflik).
Sementara konservasi ex-situ dapat berupa lembaga konservasi Konservasi ex-situ
terdiri atas Lembaga Konservasi yang diberi izin memelihara satwa liar yang
terdiri dari LK khusus (PLG, PPS, PRS) dan LK umum (Taman Safari, taman
satwa, kebun binatang, museum zoologi).. Penangkaran merupakan lembaga yang
melestarikan hewan dengan prosedur perkembangbiakan (dilakukan atas izin
tertentu), hewan yang dikembangbiakan dalam penangkaran dapat
diperjualbelikan dan diatur oleh lembaga CITES. Contoh penangkaran yang ada
di Indonesia adalah pengkaran buaya. Gajah merupakan hewan liar yang memiliki
karakteristik berbeda dengan hewan lainnya, gajah jantan memiliki testis di dalam
tubuh sehingga fisiologi reproduksinya mirip dengan ayam. Pada gajah betina
ovulasi terjadi pada peak LH kedua (peak LH pertama dan kedua berjarak 3
minggu). Penangkaran difokuskan dengan pemberian izin pada individu yang
kompeten terhadap perkembangbiakkan satu jenis hewan dan memiliki
keterkaitan dengan pemanfaatan yang diatur oleh CITES karena adanya
bioprospecting untuk pemanfaatan hewan penangkaran.
Siklus reproduksi berkaitan dengan generasi. Dalam planning reproduksi
satwa liar perlu ada pengetahuan status reproduksi betina, sex ratio kawin alam,
upaya peningkatan populasi dan produksi, pengaturan perkawinan dan budidaya,
tersedianya pejantan unggul, teknologi berbantuan dan kesehatan tubuh hewan.
Contohnya pada reproduksi Gajah Asia (Elephas maximus), gajah akan dapat
bereproduksi aktif di umur 20 tahun dengan lama kebuntingan 22-24 bulan dan
testis pada jantan berada di dalam tubuh. Dalam siklus estrus Gajah Asia, terjadi
dua peak LH di mana ovulasi terjadi pada LH surge ke-2. Pengetahuan ini penting
untuk membuat strategi konservasi Gajah Asia.
Tujuan konservasi satwa liar adalah mempertahankan keragaman genetik
yang sudah ada dan populasi yang masih bisa kawin, memproduksi keturunan dan
bertahan. Pengelolaan populasi yang baik tergantung pada data mengenai populasi
viable dan memerlukan koordinasi dan kerjasama antar institusi. Syarat viabilitas
adalah memiliki demografik yang stabil, mampu bereproduksi, dan satwa berada
di lebih dari satu institut. Demografik merupakan studi yang mempelajari populasi
dengan perubahan yang terjadi di dalamnya di satu waktu. Jumlah populasi hewan
dengan usia reproduktif menentukan keberlangsungan hidup spesies. Link antara
ex-situ dan in-situ ada pada kerjasama penulisan silsilah yang akurat, lengkap dan
tersimpan secara permanen (berupa Studbook).
Studbook ini menjadi database dan dasar silsilah yang dapat menentukan
proses perkawinan hewan untuk tetap mempertahankan keragaman genetik dan
menghindari terjadinya inbreeding yang dapat menyebabkan gen resesif hewan
muncul. Tiga elemen manajemen populasi adalah demografik, genetik, dan
husbandry, di mana ketiganya saling bersinergi dan berkaitan. Program
manajemen spesies global dapat dilakukan melalui kerja sama untuk tukar
menukar hewan sebagai cara peningkatan viabilitas populasi dan manajemen
metapopulasi menjadi contoh yang lainnya. Contoh teknologi berbantuan yang
digunakan adalah inseminasi buatan pada macan dahan.
Catatan harus tertulis, lengkap, dan disimpan secara permanen. Pencatatan
silsilah dilakukan di studbook untuk mengelola dinamika populasi satwa liar. Ada
tiga elemen manajemen populasi, yaitu demografi (kelahiran, kematian, tingkat
pertumbuhan, dsb), genetik, dan husbandry (kandang, nutrisi, dsb). Pada
penangkaran atau pun konservasi, inbreeding dapat dinyatakan buruk karena akan
memperbesar kemunculan gen resesif, namun disisi lain apabila manajemen hanya
fokus kepada permasalahan inbreeding maka tingkat populasi akan menurun.
Untuk pemuliaan satwaliar, inbreeding lebih dipilih daripada cross-breeding,
cross-breeding dapat menghilangkan variasi genetik asli satwa liar. Dalam upaya
pemuliaan satwaliar, teknik reproduksi berbantuan dapat dilakukan. Teknik
reproduksi berbantuan ini dilakukan efisiensi reproduksi. Pada satwa liar koleksi
semen menggunakan elektroejaculator, dan inseminasi buatan dilakukan dengan
laparotomi (surgery) melalui intra-infundibulum. Selain IB, bisa juga dilakukan
invitro fertilisasi.
__________________________________________________________________

MANAJEMEN REPRODUKSI: HEWAN TERNAK

Dasar Manajemen Reproduksi


Inseminasi : deposisi semen dalam saluran reproduksi betina
Inseminasi Alamiah : pejantan deposisi semen ke dalam vagina betina
(kopulasi)
Inseminasi Buatan : inseminasi dilakukan oleh teknisi dengan metode
khusu
untuk mendeposisi semen ke saluran reproduksi
betina.
Hal ini dilakukan karena :
- Pedigree dan genetis pejantannya diketahui
- Dapat menggunakan pejantan unggul tanpa
mendatangkan sapinya
- Mengontrol waktu kelahiran lebih mudah, biasa
digunakan pada negara empat musim agar anak yang
lahir nantinya bertepatan dengan tersedianya pasokan
makanan.
Breeding : kombinasi antara reproduksi dan genetis,
menghasilkan
anak yang dikehendaki
Reproductive Efficiency : periode waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
produksi (kelahiran anak) agar tercapai 1 anak dalam
1 tahun
Siklus Estrus : adalah periode waktu terjadinya birahi pada betina.
Anestrus : tidak adanya siklus, beberapa hewan adalah seasonal
breeders yang mana kaitannya dengan lama intensitas
matahari. Contoh hewan yang termasuk seasonal
breeders adalah : domba (dimasukkan ke kandang
gelap), kuda (dimasukkan ke kandang dengan lampu),
kucing, dan kambing.
Siklus Estrus 1 : juga dikenal sebagai birahi atau heat. Gejala yang
ditunjukkan dapat berupa kegelisahan (gerak kaki ;
pedometer (alat untuk mengukur jumlah langkah yang
dihasilkan), adanya discharge pada vulva, dsb). Sapi
betina yang ingin dideteksi birahinya dapat diberi
pewarna (lilin) pada pangkal ekor, hal ini biasa
dilakukan pada peternakan skala besar. Tahap ini
terjadi ovulasi atau peristiwa dimana ovum matang
keluar dari ovarium
Siklus Estrus 2 : atau metestrus : pada beberapa hewan, ovulasi terjadi
pada metestrus (terjadi pada domba dan kambing),
pada beberapa hewan fase menstruasi terjadi pada
tahap ini
Siklus Estrus 3 : dapat disebut diestrus ; adalah periode dalam siklus
yang biasa digunakan untuk mengindikasi
keberhasilan kebuntingan
Siklus Estrus 4 : merupakan tahap proestrus, dalam tahap ini dimulai
dengan adanya regresinya korpus luteum, awal birahi
muncul
Perkembangan Reproduksi

Perkembangan organ reproduksi diawali dengan proses yang dinamakan


pubertas. Pubertas sendiri merupakan waktu dimana hewan mencapai level
perkembangan seksual, faktor berat badan ini diketahui menjadi faktor koreksi di
Indonesia. Pubertas pada betina ditandai dengan estrus pertama (ovulasi),
sedangkan pada jantan terjadi ejakulasi pertama dengan sperma fertile. Pada fase
ini betina masih terlalu dini untuk mengandung fetus, sedangkan pada jantan
semen yang dihasilkan masih belum cukup fertile untuk membuahi. Sapi boleh
dikawinkan setelah memasuki usia dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Apabila
perkawinan antara jantan dan betina terjadi maka akan terjadi fertilisasi, yaitu
pembuahan sel telur oleh sperma, hasil dari fertilisasi adalah zigot (penyatuan sel
telur dan sperma).
Setelah fertilisasi, maka zigot akan memasuki periode gestasi. Gestasi
didefinisikan sebagai rentang waktu yang dimulai sejak proses pembuahan sel
telur hingga proses kelahiran. Pedet kemudian akan lahir setelah 9 bulan 10 hari,
fase ini dinamakan partus atau parturisi. Proses partus sapi dapat ditandai dengan
menetesnya air susu atau kolostrum sapi. Beberapa gejala lainnya adalah ;
menyendiri, nesting, dan gelisah. Anak sapi yang sudah lahir kemudian
mendapatkan asupan nutrisi melalui laktasi susu dari induk (perlu diketahui
bahwa hormon berperan penting sebagai trigger untuk produksi susu).
Pada hewan unggas perkembangan calon anak berada di luar tubuh induk
(telur), dapat dikenal juga dengan periode inkubasi. Perkembangan anak pada
periode ini membutuhkan perlakuan (harus diputar 2-5 kali sehari) dan suhu
tertentu (99-103˚F), karenanya dapat dijumpai induk betina yang mengerami
telurnya.
Lactasi : produksi susu,

Efisiensi Reproduksi

Reproduksi ternak merupakan proses di mana anak dihasilkan. Dasar


reproduksi ternak ada di teknik deposisi semen. Inseminasi merupakan
penempatan/deposisi semen dalam saluran reproduksi. Teknik deposisi ini terdiri
dari natural insemination yang dilakukan secara langsung dan alami melalui
proses kopulasi dan artificial insemination (AI/IB) yang menggunakan alat buatan
manusia dan dilakukan oleh teknisi/inseminator. Teknik Inseminasi Buatan (IB)
dilakukan karena memiliki keuntungan seperti:
 Menghasilkan anakan yang lebih baik;
 Menggunakan pejantan unggul tanpa didatangkan langsung;
 Dapat mengontrol waktu calving lebih baik. Breeding berkaitan dengan
reproduksi dan genetic. Breeding merupakan proses untuk mendukung
reproduksi hewan untuk menghasilkan anak yang dikehendaki.
Efisiensi reproduksi merupakan aspek yang perlu diperjuangkan karena
kesuksesan dari breeding tergantung pada keefesienan reproduksi. Siklus estrus
merupakan periode waktu dari estrus pertama ke estrus selanjutnya. Hewan akan
terus menerus mengalami estrus kecuali pada saat-saat tertentu seperti ketika
hewan itu bunting. Terdapat empat periode dalam satu siklus estrus. Anestrus
merupakan masa dimana hewan tidak bersiklus. Beberapa hewan merupakan
hewan yang kawin bermusim, tergantung dari intensitas cahaya setiap harinya.
Contohnya pada short day breeder sheep dan long day breeder horse.
Fase estrus atau yang lebih dikenal sebagai heat merupakan masa ketika betina
menerima pejantan dan akan diam ketika dinaiki. Panjang fase estrus ini
tergantung pada spesies dan estrus sendiri dipicu oleh hormone estrogen. Ciri dari
fase ini adalah hewan tidak tenang/gelisah, keluarnya lender dari vagina, vulva
bengkak, dan diam jika dinaiki jantan atau betina lain. Ovulasi merupakan masa
ketika sel telur yang matang akan dikeluarkan oleh folikel ovarium. Terjadi pada
fase estrus untuk kebanyakan spesies. Jumlah sel telur yang dikeluarkan berbeda
tergantung spesies. Untuk kucing, betina akan mengalami ovulasi setelah
kopulasi.Metestrus merupakan fase di mana ovulasi terjadi pada sapi dan
kambing. Pada sapi 50% populasi mengalami perdarahan metestrus di mana hal
ini terjadi karena lonjakan estrogen di fase estrus menyebabkan pembuluh darah
perifer pecah. Dan pada fase ini lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi akan
mengubah sel folikel untuk berkembang menjadi sel luteal dan corpus luteum
terbentuk.
Diestrus merupakan fase dimana kebuntingan terjadi. Korpus luteum yang
matang dan fungsional secara utuh akan menghasilkan progesterone yang akan
menjaga keberlangsungan kebuntingan pada hewan. Sedangkan fase proestrus
diawali dengan regresi dari korpus luteum dan penurunan kadar progesterone.
Pada akhir proestrus biasanya perubahan perilaku dapat terjadi. Pubertas
merupakan waktu atau masa Ketika hewan dapat bereproduksi untuk pertama kali.
Pada betina yaitu Ketika terjadi estrus yang disertai dengan ovulasi pertama dan
pada jantan yaitu Ketika terjadinya ejakulasi dengan sperma yang fertile.
Keduanya belum dewasa seksual saat pubertas karena betina terlalu muda untuk
bunting dan jantan belum dapat menghasilkan sperma fertile secara regular.
Fertilisasi merupakan fusi antara sperma dan sel telur menghasilkan zigot.
Gestasi merupakan periode kebuntingan yang diawali oleh konsepsi dan terjadi
sampai parturisi atau kelahiran. Parturisi merupakan proses melahirkan yang
diatur oleh level hormone untuk memulai proses serta ditunjukkan dengan
perubahan perilaku betina untuk indikasi kelahiran. Indikasi parturisi yang dapat
diamati diantaranya hewan merasa gelisah, nafsu makan menurun, menjauh dari
ternak lain, ambing membesar, air susu menetes, dan pada beberapa spesies induk
akan membuat sarang. Proses parturisi diawali dengan dilatasi serviks yang
berlangsung dalam 1-2 jam, stage dua di mana kontraksi-kontraksi kuat akan
mengakibatkan anak untuk dilahirkan, dan stage terakhir yaitu pengeluaran
plasenta dari uterus. Laktasi merupakan periode hewan memproduksi susu.
Hormone yang menginisiasi laktasi juga mengatur proses terjadinya parturisi atau
proses kelahiran. Pada hewan yang bertelur terdapat periode inkubasi. Dimana
perkembangan anak ada di dalam telur yang fertile, seperti pada ungags, ikan dan
spesies lain yang bertelur. Proses inkubasi ini bergantung pada temperature,
kelembapan, pertukaran udara yang baik, dan telur juga perlu untuk dirotasi 2-5
kali perhari di 18 hari pertama periode inkubasi.
Siklus reproduksi merupakan siklus dari melahirkan sampai terjadinya
kelahiran kembali. Terdiri dari voluntary waiting period (VWP) atau periode post
partum/masa purpureum, breeding pertama setelah VWP, later breeding IB ke-2
atau 3 ketika yang pertama tidak berhasil, konsepsi dan gestasi.
Voluntary waiting period (VWP) adalah periode dimana involusi uteri terjadi
sehingga hewan perlu diberikan perlakuan terbaik. Terjadi empat proses fisiologis
tubuh dalam periode ini yaitu, involusi uteri, ovary reborn, eliminasi bakteri
(keluarnya lochia), dan kembalinya dinding uterus. Biasanya terjadi selama 40-70
hari. Periode ini tidak dapat ditolak atau dimanipulasi dan hanya dapat dilakukan
pemeriksaan dengan palpasi untuk memeriksa keadaan uterus saat involusi uteri.
Pada sapi dengan produksi tinggi, kejadian silent heat lebih tinggi dan periode
VWP untuk sapi dara juga lebih panjang. Days to first service, merupakan jumlah
hari antara kelahiran dan ketika hewan di IB pertama kali. Dihitung dalam
populasi tidak untuk hewan individu. Periode Days Open, merupakan periode dari
kelahiran sampai konsepsi atau IB mana yang menyebabkan kebuntingan.
Normalnya periode days open akan berlangsung selama 80-90 hari. Gestation
Period merupakan periode kebuntingan dan Calving Interval merupakan periode
satu kelahiran ke kelahiran yang lain. Perhitungan dari Calving Interval adalah
periode Days Open ditambah periode Gestasi. Ukuran efisiensi reproduksi dapat
ditentukan dari panjangnya Days to first service, days open, dan calving interval.
Serta ditentukan dari nilai services perconception, conception rate, heat detection
rate, dan pregnancy rate. Services per conception merupakan jumlah IB yang
dilakukan untuk menghasilkan kebuntingan yang dihitung dalam kelompok.
Conception Rate adalah jumlah sapi pada kelompok IB pertama yang
menghasilkan kebuntingan. Heat detection rate juga diketahui sebagai service
rate yaitu persentase sapi yang layak untuk dikawinkan. Sedangkan Pregnancy
Rate merupakan jumlah sapi bunting dalam satu kesempatan terjadinya
kebuntingan. Nilai PR juga dapat didapatkan dari perhitungan Conception Rate
dikalikan Service Rate. Akar masalah dalam manajemen reproduksi ternak sapi
potong dan perah ada pada efisiensi reproduksi di mana salah satu yang dilihat
adalah tingkat fertilitas hewan. Fertilitas atau tingkat kesuburan merupakan salah
satu factor yang berpengaruh besar terhadap perekonomian peternakan baik pada
sapi perah dan sapi potong. Keuntungan produksi susu dan daging dari sapi dan
kerbau bergantung pada efisiensi reproduksi. Fertilitas dipengaruhi oleh
manajemen selain dari sisi fisiologi hewan. Memaksimalkan efisiensi reproduksi
memerlukan peranan genetik dan lingkungan serta praktik peternakan yang tepat.
Gangguan reproduksi merupakan penyebab rendahnya efisiensi reproduksi di
mana 75% dari kasus gangguan reproduksi disebabkan oleh manajemen penangan
kelahiran yang tidak baik. Penanganan kelahiran merupakan bagian yang vital.
Tujuan utama dari manajemen reproduksi adalah dapat mencapai one calfone
year. Titik kritis selama siklus reproduksi terjadi saat pre-partus dan postpartus.
Dalam periode pre-partus, pada usia 7 bulan kebuntingan ternak masuk ke dalam
periode kering-kandang di mana susu induk yang sedang bunting tidak
diperbolehkan untuk diperah. Selain itu terdapat masa transisi yaitu 3 minggu
sebelum partus (close-up period) dan 3 minggu sesudah partus (fresh cow). Pada
standar operation period close-up, 5 minggu sebelum kelahiran ternak harus
diinjeksi vit ADE yang berulang dan diberi obat cacing. Setelah partus, 10 hari
setelah kelahiran temperature tubuh induk diperiksa dan dapat dilakukan
pemeriksaan lochia awal. 21 hari setelah partus, dilakukan pengecekkan lochia
akhir, pengecekkan uterus dan ovarium untuk pemeriksaan masa purpureum
(involusi uteri dan ovary reborn). Estrus yang terjadi pada hari ke30 post partus
biasanya tidak diikuti ovulasi dan setelah hari ke-40 post partum siklus birahi
dapat dicek kembali dan dapat dilakukan IB pertama serta dilakukan injeksi vit
ADE kembali. Periode akhir purpureum adalah 60 hari postpartum. Periode kritis
terdiri dari empat titik yaitu 3 minggu sebelum partus, 3 minggu etelah partus,
proses menuju kebuntingan dan periode kering kendang. Periode kritis dibagi juga
ke dalam dua jenis yaitu strategi yang dapat menghasilkan performance threat dan
emergency yang dapat menghasilkan life threat.
Performance threat dimulai dari calving process yang terdiri dari:
 Masa rearing (anak menyusu) dan wearing (transisi);
 Dara siap bunting, dilihat bobot badan dan average daily gain selama
program reproduksi;
 Dekat kelahiran, ada sop close-up period, fresh cow, dan premating
kembali. Management threat dari saat kelahiran (distokia, kematian dini
fetus, bb weaning rendah), sapi dara (stunting/ADG tidak baik dan gagal
bunting), Bunting atau dekat kelahiran (nutrisi tidak baik mengakibatkan
ketosis, ambruk, distokia) dan periode sapi dewasa (distokia, gangguan
reproduksi, metabolic).

Dalam cattle critical period management harus dapat memastikan kelahiran


fetus yang normal, mencegah terjadinya diare, weaning tepat waktu, dan transisi
monogastrik menjadi ruminansia. Periode kering kendang merupakan periode
yang penting dan menjadi titik kritis dalam manajemen reproduksi ternak. Pada
periode ini hewan akan mengalami negative energy balance dan energi shortage
yaitu adanya gap antara energy intake dan energi yang dibutuhkan. Dalam
manajemen kering kandang tahapan yang harus dilakukan adalah menghentikan
pengumpulan air susu induk dan memberikan treatment untuk merangsang
kelahiran normal. Selain itu, body condition score (BCS) ternak selama postpartus
harus diperhatikan. Ternak dengan BCS yang baik akan dapat berahi kembali
lebih cepat dan induk dengan nilai BCS yang baik akan menghasilkan kolostrum
yang bagus. Dalam manajemen ternak bunting, kurangi pemberian kalsium
karbonat oral pada masa kebuntingan akhir. Tambahkan garam anion misalkan
kalsium klorida atau kalium klorida dan berikan injeksi vitamin ADE. Efisiensi
reproduksi dapat dinilai dengan menggunakan service perconception (S/C).
Conseption Rate (CR), Days Open (DO), Average Breeding Interval (ABI),
Pregnancy Rate (PR), Calving Rate (CR), Calving Interval (CI), dan Calf Crop.
Nilai CR dan Service per conception akan berbanding terbalik.

MANAJEMEN REPRODUKSI: KUDA

Kuda merupakan hewan yang sering digunakan untuk membantu manusia


dalam bidang transportasi, pertanian, wisata, produksi daging, dsb. Manajemen
kuda meliputi aspek nutrisi, kandang, kesehatan, dsb. Kuda dalam kehidupan
masyarakat memiliki banyak fungsi penting diantaranya transportasi, pertanian
(membajak sawah), legion kavaleri, games, sports, wisata, gengsi (hobby/pusaka),
dan produksi daging di beberapa wilayah Indonesia. Hal yang penting dalam
manajemen kuda adalah manajemen sarana, utamanya kendang. Untuk kuda yang
ditujukan untuk keperluan breeding kendang tidak boleh sempit untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan antara induk dan anak (anak
terinjak/induk stress). Pembuatan kandang kuda harus memperhatikan intensitas
cahaya, posisi (terjangkaunya) tempat makan dan minum, serta alas kandang.
Ukuran minimal kandang untuk breeding kuda adalah 4x5 meter. Berdasarkan
jenisnya, kuda dapat dibedakan menjadi hot blood dan warm blood. Kuda hot
blood memiliki kisaran suhu tubuh sebesar 38˚C yang memiliki sifat agresif,
sedangkan kuda warm blood berkisar antara 36-37˚ C yang memiliki sifat lebih
tenang dan ritmik. Pada event perlombaan biasanya kuda yang digunakan adalah
kuda-kuda cross breeding agar cukup agresif dan ritmik.
Ukuran dan sifat kuda berbeda-beda tergantung dari breednya. Kuda ada
dua jenis yaitu hot blood horse yang memiliki suhu tubuh 38°C dengan
tempramen yang agresif serta warm blood horse yang memiliki suhu tubuh 36°-
37°C dengan tempramen yang cenderung tenang, elegant dan cerdas. Tipe ini
dapat menjadi guide pemilihan tipe kuda mana yang cocok untuk mengikuti event.
Identifikasi kuda merupakan salah satu cara untuk mengenali kuda berdasarkan
cara fisik, pengecapan, tanda khusus, tato atau berupa implant. Identifikasi kuda
berfungsi sebagai tanda kepemilikan, silsilah kuda, asal-usul kuda dan branded
sebuah stable kuda. Metode pengecapan bisa dilakukan secara pengecapan
panas/dingin. Namun saat ini umumnya pengecapan dingin yang dilakukan. Kuda
akan dicap di bahu kiri/kanan, paha kiri/kana, leher ataupun wajah.
Kuda harus memiliki identitas, hal ini berfungsi untuk mengenali kuda
berdasarkan ciri fisik, pengecapan tanda khusus, tato atau pun implant. Identitas
ini juga berfungsi sebagai tanda kepemilikan, silsilah kuda, dan bahkan branded
sebuah stable. Ada beberapa metode identifikasi kuda yang digunakan, yaitu :
1. Pengecapan panas atau dingin : metode panas sudah tidak digunakan
karena dianggap melanggar kesejahteraan hewan. Sementara untuk cap
dingin menggunakan nitrogen cair yang sebelumnya terlebih dahulu
rambut bagian bahu atau pinggul dicukur dan diberi glyserin (agar tidak
terlalu melekat).
2. Liptatoo : penandaan dilakukan di bagian gusi atas

Sistem pencatatan identitas kuda diantaranya adalah :


1. Federasi equestrian internasional-horse passport : yang meliputi ciri-
ciri kuda, history pertandingan, pemindahan kepemilikan, dsb.
2. Pordasi pusat: sertifikat registrasi kuda pacu : dikembangkan oleh pordasi
dalam rangka mengembangbiakkan kuda local dengan penjantan THB
dengan tujuan menghasilkan kuda persilangan kuda pacu Indonesia (kuda
lokal ketika berlari ekornya berdiri) yang didukung menteri pertanian, dan
pemilik kuda.

Cap berupa lambing stable atau peternakan dan biasanya berisi informasi
urutan kelahiran dan tahun kelahiran. Metode lip tattoo dilakukan di bibir atas
kuda, umumnya tidak dilakukan di Indonesia. Metode implant akan diinjeksikan
microchip yang kemudian dapat dideteksi oleh alat khusus. Sistem pencatatan
identitas kuda dilakukan oleh federasi equestrian international untuk membuat
horse passport yang biasanya meliputi identifikasi kuda, prestasi serta silsilah.
Sistem pencatatan lain yaitu sertifikat registrasi kuda pacu oleh Pordasi Pusat. Hal
ini dilakukan dalam rangka mengembangbiakkan kuda local dengan pejantan
THB dengan tujuan menghasilkan kuda persilangan G1, G2, G3, G4 yang akan
diakui sebagai Kuda Pacu Indonesia (KPI). Dalam sertifikasi ini meliputi
pendataan ciri-ciri kuda (marking/cap), nama kuda, pemilik, silsilah dan lainnya.
Ciri-ciri kuda local Indonesia adalah berbadan kecil dengan tinggi 150-160
cmyang jika diperhatikan saat lari ciri khas yang terlihat adalah pangkal ekor yang
naik dan dengan surai yang berdiri (tidak halus menjuntai seperti Kuda Arab).
Kriteria unggul pada kuda dilihat dari sisi genetik, karakter (bisa
diwariskan), dan bentuk fisik atau anatomi yang ideal. Saat ini bentuk tubuh kuda
yang paling diminati adalah kuda dengan badan yang lebih panjang dan dada yang
lebar. Semakin lebar ruang dada maka oksigen semakin banyak dihirup sehingga
siklus krebs dalam tubuh meningkat dan kuda akan memiliki performa lebih
cepat. Dari segi reproduksi, kuda mengalami dewasa kelamin di umur 1,5 tahun
dengan dewasa tubuh siap kawin usia 3 tahun. Panjang siklus estrus pada kuda
adalah 21-22 hari dengan besar diameter folikel 4-6cm dan panjangnya fase estrus
adalah 5 hari. Gelombang folikel kuda terdiri dari 2-3 gelombang dalam satu
siklus estrus dan masa kebuntingan pada kuda sepanjang 11-12 bulan dengan
jumlah anak satu (kembar umumnya abortus). Lamanya periode menyusui adalah
4-5 bulan. Estrus pertama setelah melahirkan adalah saat 7-9 hari post partus.
Pelaksanaan IB pada kuda dilakukan dengan palpasi intravaginal dan saat
melakukan pemeriksaan siklus estrus, tidak dapat dengan palpasi rektal karena
korpus luteum kuda bertumbuh ke dalam tidak mencuat seperti pada sapi maupun
domba. Pemeriksaan estrus pada kuda dapat dilakukan dengan USG dengan skor
0- 3 di mana uterus yang estrus akan terlihat seperti jari-jari roda. Perilaku estrus
yang ditunjukkan biasanya urinasi, pangkal ekor naik, dan keluarnya
leleran/discharge dari vagina. Lama estrus pada kuda adalah 5 hari sehingga
direkomendasikan kuda dikawinkan pada hari ke-3 estrus, karena ovulasi biasanya
terjadi pada hari ke-4.
__________________________________________________________________

MANAJEMEN REPRODUKSI: KUCING

Istilah-istilah dalam kucing bermacam-macam seperti Tom merujuk pada


pejantan, Queen untuk betina, Kitten (anakan kucing), Clutch (sekelompok
kucing) dan Queening (beranak). Anatomi kucing sedikit berbeda dibandingkan
hewan lain. Pada betina vagina kucing relative pendek dan vaginal-disease jarang.
Selain itu tractus urinary dan genital terhubung sehingga setiap penyakit urinary
akan mengganggu fertilitas pada kucing. Pada jantan, terdapat penile spines/duri
penis yang saat bergesekkan dengan dinding vagina akan dapat menstimulasi
syaraf vagina untuk sekresi GnRH oleh hypothalamus dan menginisiasi sekresi
FSH dan LH dari pituitary yang kemudian lonjakan LH dapat menyebabkan
terjadinya ovulasi.
Ovulasi pada kucing terjadi secara aspontan (perlu induksi, sama halnya
dengan kelinci), perlu diketahui ovulasi ini terjadi karena lonjakan Luteinizing
Hormone (LH). Umur produktif pada kucing berada pada rentang 1.5 sampai 8
tahun. Kucing dapat menerima beberapa jantan pada saat estrus (poligami)
sehingga dapat terjadi superfekundasi (beberapa sel telur yang ovulasi dapat
dibuahi oleh sperma dari satu atau lebih pejantan). Kucing juga merupakan hewan
politocus seperti kelinci dan babi (dapat beranak banyak).
Anatomi organ reproduksi kucing betina sangat khas, dan dicirikan dengan
ukuran organ vagina yang pendek sehingga jarang ditemui penyakit reproduksi
pada vagina kucing. Sedangkan pada jantan dicirikan dengan adanya penis spine
yang dapat menginduksi terjadinya ovulasi. dikatakan bahwa kucing betina dapat
ovulasi apabila terjadi minimal 4 kali kopulasi oleh pejantan agar terjadi lonjakan
LH. Interval antara perkawinan satu dengan lainnya disarankan dalam kurun
waktu 20-30 jam agar lonjakan LH dapat terjadi (karena kenaikan LH oleh karena
induksi penis spine terjadi bertahap). Semen kucing yang dihasilkan kucing jantan
sebesar 0.04 mL dengan konsentrasi sperma 15-130 x 106.
Kucing jantan dapat kawin 10x/jam dan penile spine pada penis jantan
dapat menstimulasi vagina untuk lonjakan LH dan inisiasi ovulasi sel telur betina.
Karakteristik semen jantan kucing diantaranya memiliki volume 0,04 ml dengan
total sperma 15-130x106 dan motilitas 60-95%. Tingkat fertilitas kucing sangatlah
tinggi dengan umur produktif dari 1,5-8 tahun dengan rata-rata 2-3 periode
beranak 2-3 pertahun yang akan menghasilkan rata-rata 3-4 ekor anak
perkelahiran. Sehingga stu kucing akan menghasilkan keturunan 50-150 kucing
dalam 10 tahun.
Kucing juga merupakan hewan polygamous yang tidak setia pada satu
pasangan dan akan menerima beberapa pejantan yang dapat menginisiasi
superfekundasi pada kucing. Dimana dalam satu periode kawin beberapa sel telur
dibuahi beberapa jantan yang berbeda. Periode pubertas pada kucing ditunjukkan
dengan estrus pertama di usia 5- 9 bulan. Dengan onset bobot badan sudah
mencapai 75% bobot dewaasa (2-2,5 kg untuk betina normal) dan juga
dipengaruhi oleh factor lain seperti breed, lingkungan, Kesehatan, kondisi fisik
dan nutrisi hewan. Kucing betina membutuhkan kopulasi agar sel telur dapat
berovulasi. Panjang rata-rata siklus estrus kucing betina adalah 14-21 hari dengan
fase estrus berlangsung selama 7 hari yang diikuti dengan periode non-receptivity
untuk 10 hari apabila tidak ada perkawinan. Terdapat tiga tipe/kemungkinan
dalam siklus estrus betina yaitu:
1. Proestrus -> estrus -> no-mating (no ovulation) -> interestrus interval (3-16
hari) -> proestrus -> estrus
2. Proestrus -> estrus -> mating (ovulation yes, but no fertilization) ->
pseudopregnancy (30-50 hari) -> proestrus (3-16 hari)-> Estrus
3. A). Proestrus -> estrus -> mating (ovulation yes, fertilization yes) -> abortion
-> Estrus (3-16 hari kemudian)
B). Proestrus -> Estrus -> mating (ovulation yes, fertilization yes) -> pregnancy
(65 hari) -> No lactation -> Estrus (3-16 hari kemudian)
C). Proestrus -> Estrus -> mating (ovulation yes, fertilization yes) -> pregnancy
(65 hari) -> Lactation (45-50 hari) -> Estrus (3-16 hari kemudian) D).
Proestrus -> Estrus -> mating (ovulation yes, fertilization yes) -> pregnancy
(65 hari) -> Lactation (45-50 hari) -> Prolonged inestrus (sampai 35 hari) ->
Estrus
E). Proestrus -> Estrus -> mating (ovulation yes, fertilization yes) -> pregnancy
(65 hari) -> Lactation (45-50 hari) -> Anestrus (45-50 hari) -> Estrus

Interestrus adalah periode diestrus sampai estrus kembali bila tidak ada
ovulasi atau perkawinan. Pseudopregnancy merupakan periode kebuntingan
palsu/bukan kebuntingan sebenarnya yang dapat terjadi Ketika ada perkawinan
steril dengan jantan yang infertile atau subfertil maupun betina dengan malformasi
organ reproduksi. Prolonged inestrus dan anestrus adalah periode yang
berdasarkan musim dan intensitas cahaya yang diterima hewan perharinya. Pada
negara empat musim kucing akan mengalami anestrus di musim dingin.
Proestrus merupakan fase dari siklus estrus yang berlangsung selama 1,2
hari pada kucing. Diperlihatkan dengan ciri bersuara, mengusakkan wajah pada
objek, meningkatnya perilaku manja, dengan karakteristik seperti berguling,
namun masih tidak mau menerima jantan.
Estrus merupakan fase Ketika betina menerima jantan. Durasi selama 4-7
hari. Estrus terjadi dengan lonjakan estrogen atau aktivitas folikel. Vulva akan
sedikit terlihat edema dan hiperemi dan menunjukkan sedikit discharge.
Menunjukkan perilaku lordosis, dan penerimaan jantan dengan tanda deviasi
ekor ke sisi dan mengiinkan jantan untuk menggigit leher lalu mounting dan
kopulat.
Interestrous interval merupakan periode dimana fungsi reproduksi inaktif.
Durasi rata-rata 10 hari dengan kadar estorgen dan progesterone tetap rendah
(hormone inaktif), dan kembali pada siklus proestrus dalam 1-3 minggu.
Diestrus atau pseudopregnancy, merupakan periode hormone progesterone
dominan, bisa bunting ataupun pseudopregnant. Korpus luteum berkembang 1-2
hari pasca ovulasi dan tetap berfungsi untuk 30-50 hari. CL pada kasus
pseudopregnancy akan dipertahankan selama 35-45 hari.
Anestrus merupakan fase reproduktif mengalami dorman (Oktober-Januari),
kadar estrogen dan progesterone rendah dan tidak ada perilaku seksual. Hari
pendek menstimulasi onset anestrus dan dalam sisi hormone mirip dengan fase
interestrus
Secara garis besar siklus estrus dimulai dari fase proestrus pada kucing
betina yang ditandai dengan vokalisasi, perubahan perilaku, head rubbing dsb.
Periode ini berlangsung sampai 2 hari. Selanjutnya estrus terjadi karena lonjakan
esterogen dan aktivitas folikel. Setelah itu interestrus (apabila tidak ada fertilisasi)
atau pun diestrus atau pseudopregnancy yang ditandai dengan tingginya
progesteron. Anestrus terjadi spesifik pada negara dengan 4 musim dimana kadar
esterogen dan progesterone rendah.
Pada saat breeding hal yang perlu diperhatikan adalah pejantan memiliki
daerah teritori, sehingga apabila akan mengawinkan dengan pejantan baru maka
harus diadaptasikan terlebih dahulu agar tidak menimbulkan stress yang
menghambat perkawinan. Selanjutnya setelah terjadi perkawinan maka sperma
yang fertile dapat melakukan fertilisasi sehingga terjadi kebuntingan. Deteksi
kebuntingan pada kucing dapat menggunakan palpasi abdominal pada umur
kebuntingan 17-25 hari, USG (mulai dari usia kebuntingan sekitar 11 hari), dan
radiografi (dapat digunakan apabila usia kebuntingan lebih dari 45 hari). Breeding
behavior pada kucing dimulai dari kucing jantang yang mendekati betina dan
menggigit bagian tengkuknya, kemudian akan terjadi coitus oleh pejantan waktu
yang singkat (0.3-8 menit untuk positioning, dan 1-20 detik untuk intromisi).
Setelah itu akan terjadi dismounting (0-1 detik), betina kemudian akan menolak
pejantan, rolling, dan menjilat area genitalnya. Fase akhir adalah refractory
period dimana kucing menolak untuk kembali dikawini dalam kurun waktu 0-5
jam.
Ovulasi pada kucing harus diinduksi dengan kopulasi untuk mendapatkan
lonjakan LH. Namun satu kali kopulasi belum dapat menyebabkan terjadinya ovulasi,
minimal membutuhkan empat kali kopulasi dalam selang waktu 24-30 jam agar
betina dapat ovulasi. Periode kebuntingan pada kucing berlansung selama 63-66 hari
pasca-ovulasi. Jika kucing kawin selama 3 hari hitung 65 hari sejak hari kedua.
Perubahan perilaku yang dapat diamati adalah mencari perhatian lebih pada owner
walau perubahan perilaku ini tidak terlalu dapat dijadikan pegangan (not reliable
enough). Perubahan fisik yang dapat diamati adalah peningkatan bobot badan yang
paling jelas terlihat saat kebuntingan berumur lebih dari 1 bulan.
Diagnosis kebuntingan yang dapat dilakukan adalah: 1) palpasi abdominal
pada hari ke 17-25, sebelum hari tersebut sulit untuk diperiksa; 2) USG, paling
dapat dipercaya, pada usia kebuntingan 11-14 hari dapat melihat jumlah anak dan
viabilitas fetus; 3) Xray, konsisten setelah 43-45 hari, untuk mengecek jumlah
fetus dan posisi kelahiran. Pemeriksaan Xray harus dilakukan setelah formasi
pertulangan fetus sudah selesai dan tidak dipakai untuk diagnose kebuntingan,
biasanya untuk melihat distokia.
Proses kelahiran atau Queening, dari sisi reproduksi betina mencapai dewasa
reproduksi pada umur 6-9 bulan. Beberapa hari sebelum betina akan melahirkan
biasanya kucing betina akan menunjukkan perilaku gelisah, dan mencari sarang atau
tempat melahirkan. Saat proses melahirkan serviks betina akan dilatasi dan dari
vagina akan keluar discharge tak berbau dan fetus keluar bersamaan plasenta. Pada
saat lahir bayi kucing tidak dapat melihat dan mendengar.

INSEMINASI BUATAN PADA KUCING

Indikasi inseminasi buatan diterapkan pada kucing adalah apabila pejantan


tidak ingin kawin alami (low libido) dengan betina, mencegah penularan penyakit
seksual, pejantan terlalu tua, serta untuk menjaga breed kucing. Upaya dalam
menginduksi peningkatan luteinizing hormone (LH) dengan cara memberikan
hormon LH, bisa juga diberikan human/equine chorionic gonadotropin (HCG
/ECG) karena hormon LH cukup mahal. Pemberian HCG dan ECG dapat
diberikan karena kedua hormon ini sinergis dengan LH. Selain pemberian hormon
di atas, induksi PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) juga dapat diberikan,
mengingat hormon ini bersinergis dengan follicle stimulating hormone (FSH).
Masalah yang sering ditemui pada saat inseminasi buatan pada kucing
adalah dalam hal menginduksi terjadinya ovulasi. Pada beberapa kucing stimulus
dengan menggunakan injeksi hormon kurang reaktif, sehingga harus dilakukan
lima atau lebih stimulasi dengan interval waktu kurang lebih 30 menit. Untuk
melakukan inseminasi buatan terlebih dahulu dilakukan koleksi semen, koleksi
semen ini dapat dilakukan dengan 3 cara :

- Artificial Vagina : dapat dibuat dari microtube yang dilapisi plastik karet
- Electroejakulator : dilakukan pada hewan liar dengan daya sebesar 5 volt,
dan
biasa dilakukan di bawah anastesi untuk alasan
keamanan.
- Catheter : mengambil sperma yang ada di vas deferens, teknik
koleksi
ini juga dapat dipakai untuk koleksi dan evaluasi semen.
Adapun inseminasi buatan dapat dilakukan dengan menggunaka semen
segar atau fresh semen (tingkat keberhasilan fresh semen mencapai 50-54%
dengan konsentrasi sperma yang digunakan berkisar antara 50-100 jt), semen
yang dipreservasi di suhu 4˚C, serta semen beku. Sperma kucing diketahui banyak
yang mengalami teratospermia (morfologi sperma banyak yang abnormal). Hal
tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya variasi genetik karena inbreeding, atau
pun nutrisi imbalance. Keberhasilan IB pada kucing ditentukan oleh konsentrasi,
deposisi dan jenis semen yang digunakan. Teknik IB yang dilakukan pada kucing
terdiri dari:

1. Intra-vaginal insemination dengan menggunakan fresh-semen atau semen


segar yang kemudian akan dideposisi pada vagina kucing. Tingkat
keberhasilan 54%-78% tergantung konsentrasi yang digunakan;
2. Intra-uterine yang dibagi menjadi dua jenis yaitu surgical dan
transervicalis. Surgical dilakukan dengan laparotomy ataupun laparoscopy.
Sedangkan transervicalis menggunakan alat kateter khusus;
3. Intra-oviductal insemination oleh Tsusui et al. 2001.
Simpulan yang dapat diperoleh untuk IB pada kucing adalah, IB pada
kucing dapat dilakukan namun tingkat keberhasilan masih sangat rendah.

BSE / BREEDING SOUNDNESS EXAMINATION

BSE pada Ternak Jantan

Breeding sound examination (BSE) adalah suatu pemeriksaan yang


lengkap dan kronologis untuk mengetahui potensi breeding ternak jantan. BSE
merupakan evaluasi secara tidak langsung, yang mana konfirmasinya akan
diketahui pada saat induk betina berhasil melahirkan keturunan. Dalam upaya
memperoleh keturunan, peternak dapat menggunakan beberapa metode mating
ada untuk mengawinkan ternaknya. Metode ini terbagi menjadi tiga, yaitu: hand
mating (jantan dan betina estrus dalam satu kandang, setelah kawin maka
dimasukkan betina lainnya), pasture mating (jantan disatukan dengan betina
dalam padang pengembalaan, dan pada bulan tertentu dilakukan pemeriksaan
untuk mengetahui tingkat conception rate, dilaksanakan sesuai rasio antara jantan
dan betina agar perkawinan terjadi secara efektif), artificial insemination
(inseminasi buatan menggunakan semen).
Natural breeding program terdiri dari dua metoda yaitu hand mating
dengan jantan ditempatkan dalam suatu block yang kemudian akan didatangkan
betina estrus untuk kopulasi dan pasture mating di mana jantan dan betina
disatukan di padang gembala dengan rasio jantan dan betina sebanyak 1:25. Selain
natural breeding program terdapat Teknik breeding lain yaitu Artificial
Insemination di mana jantan tidak perlu mengawini betina secara langsung dan
hanya membutuhkan sperma dari jantan
Penilaian BSE dilakukan dengan beberapa protocol dasar pemeriksaan,
yaitu:
1. Pemeriksaan Fisik dan Medical History
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk memastikan tidak ada
kondisi fisik dan riwayat kesehatan yang mengganggu pejantan dalam
melakukan proses mating. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan identitas,
umur, status vaksinasi, ekstremitas, tidak menderita penyakit, nutrisi-body
condition score, dsb. Ektremitas pejantan penting untuk dipastikan
kondisinya, karena apabila terjadi luka (pododermatitis, arthritis, kelainan
ekstremitas, dsb) maka hewan jantan tidak mampu untuk menaiki betina
dan melakukan mating. Pejantan yang memiliki kelainan ekstremitas
seperti leter X atau pun leter O akan kesusahan saat melakukan mounting.
2. Pemeriksaan Organ Reproduksi Dalam
Pemeriksaan organ reproduksi dilakukan melalui palpasi per-rektal
untuk mengetahui kelengkapan organ reproduksi bagian dalam yang
meliputi ampula vas deferens, kelenjar vesikularis, dan kelenjar prostat
(kelenjar cowper tidak teraba). Apabila pada saat dilakukan palpasi sapi
merejan maka ada indikasi terjadi peradangan pada organ reproduksi
bagian dalamnya.
3. Pemeriksaan Organ Reproduksi Bagian Luar
Testis merupakan organ pertama yang diperiksa, testis hewan
jantan harus dipastikan lengkap (tidak monorchid atau pun cryptorchid),
setelah itu dilakukan pengukuran lingkar skrotum. Skrotum yang bagus
adalah skrotum yang menggantung dan tidak terjepit oleh kedua kaki.
Semakin besar lingkar skrotum maka volume dan konsentrasi semen juga
akan semakin banyak (lingkar skrotum banyak maka besar kemungkinan
sel sertoli dan sel leydig juga banyak). Rataan lingkar skrotum sapi ongole
diketahui ssebesar 24 cm pada kisaran umur 6 bulan, sedangkan untuk
lingkar skrotum sapi (Bos Taurus) diatas 24 bulan minimal 34 cm.
sementara itu rataan lingkar skrotum sapi ongole di Indonesia hanya
berkisar 23 cm.
Preputium pejantan juga tidak luput diperiksa, preputium yang
bagus adalah preputium yang tidak terlalu menjuntai (preputium yang
terlalu menjuntai seringkali mengalami perlukaan), tidak mengalami
prolapses (kasus prolapses biasa terjadi pada sapi Bos indicus dan Bos
taurus yang tidak bertanduk). Preputium yang mengalami fenile persisten
juga kurang layak untuk dijadikan pejantan pilihan. Pada kondisi ini
jaringan preputium melekat di glands penis sehingga mengganggu
jalannya intromisi. Setelah pemeriksaan preputium selanjutnya
pemeriksaan penis dilakukan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan elektroejakulator yang dimasukkan per-rektal pada sapi
jantan dalam kandang jepit (non-bedah), pemberian tranquilizer (rompun,
combelen), dan epidural anastetik (dengan menggunakan sediaan
lidocaine).
4. Pemeriksaan Libido Scoring System
Pemeriksaan ini didasarkan atas hasrat ingin menaiki betina dan
jumlah betina yang dinaiki, rata-rata sapi membutuhkan waktu 20 menit
untuk menaiki betina estrus. Faktor yang mempengaruhi libido sapi jantan
adalah genetik, adapun kualitas dan masculinity pejantan tidak berkorelasi.
5. Evaluasi Semen
Penilaian dilakukan setelah koleksi semen diperoleh, kemudian
dilakukan pengamatan secara mikroskopis untuk mengetahui motilitas
spermatozoa, gerakan massa sperma, dan morfologi dari spermatozoa.
Semen yang nantinya digunakan adalah semen dengan nilai presentase
abnormalitas morfologi tidak boleh lebih dari 30%.
6. Pemeriksaan Agen Penyakit
Agen penyakit dapat diketahui melalui pemeriksaan sampel semen,
preputim, dan darah. Sampel semen (minimal 2 mL semen segar) dapat
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya Mycoplasma, Mycobacterium
tuberculosis dsb. Pemeriksaan sampel preputium digunakan dengan
menggunakan bantuan media Hank’s. Sampel darah dapat diambil dari V.
jugularis, V. auricularis magna, dan V. coccygea.
Dari protokol dasar BSE di atas maka sapi jantan dapat diklasifikas ke dalam
beberapa kelas, yakni:

Satisfactory potential breeder : memenuhi semua persyaratan parameter


BSE
Unsatisfactory potential breeder : pejantan tidak memenuhi persyaratan
dengan prognosa infausta
Classiffication deferred : pejantan dengan prognosis bagus dan masih
dapat dipakai setelah dilakukan terapi

BSE pada Ternak Betina

Reproduksi merupakan proses yang rumit, yang dipengaruhi oleh faktor


internal (genetik), dan eksternal hewan (manajemen, nutrisi, lingkungan, dsb).
Buruknya performa reproduksi berakibat pada menyusutnya produksi susu dan
daging, bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan, serta
lamanya perolehan keturunan. Oleh karena itu penilaian performa reproduksi
diperlukan untuk menilai penampilan reproduksi ternak tak terkecuali pada hewan
betina. Breeding Soundness Examination (BSE) ini dapat dilakukan untuk menilai
performa reprduksi ternak, sebenarnya dapat dilakukan pada semua hewan namun
spesifik nya masih harus diteliti terlebih dahulu. Pada betina aspek penting yang
dinilai adalah scoring traktus reproduksi dan pengukuran area pelvis
(keterkaitannya dengan kejadian distokia). Penilaian BSE ini dilakukan dengan
dasar pemeriksaan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Fisik dan Medical History


Pemeriksaan fisik meliputi sistem lokomosi (ada tidaknya bengkak
persendian, infeksi atau luka pada kuku, dll), defect konformasi, Body
Condition Score, kesehatan mata, kondisi mulut-pergigian-rahang, kulit,
dan leher dipastikan sehat dan tidak menderita penyakit menular. Riwayat
kesehatan yang utama perlu diketahui pemeriksa adalah identitas hewan,
riwayat sakit, transportasi, vaksinasi dan pengobatan sebelumnya. Adapun
nutrisi (termasuk jenis dan rasio yang diberikan) juga dapat ditanyakan.
Informasi tambahan dapat mencakup perilaku pada saat kawin.
2. Body Conditioning Score
Penilaian dilakukan dengan melihat area pelvis (dari samping),
pemeriksa memperhatikan titik imajiner (garis hooks-thurl-pins yang
berbentuk huruf V) dan menentukan scoring berdasarkan legokan atau
cekungan yang terbentuk.

3. Penilaian Anatomi Daerah Pelvis


Pemeriksaan dilakukan melalui palpasi perektal (disarankan),
anatomi daerah pelvis dilihat struktur pertulangan pelvis: sacrum,
vertebrae coccygea (tulang ekor ke 1-3) dan os coxae (termasuk tuber
coxae).
4. Pemeriksaan Organ Reproduksi
Pemeriksaan organ reproduksi biasa dilakukan melalui palpasi
perektal, dimulai dari kondisi saluran reproduksi (vagina, serviks), sampai
pada uterus, cornua uteri, dan ovarium. Pemeriksaan untuk organ
reproduksi yang berpasangan (seperti ovarium atau pun cornua uteri) ini
harus dilakukan terhadap keduanya.
5. Scoring Saluran Reproduksi (Utama)
Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui maturity & cyclicity pada
sapi yang memasuki usia pubertas. Evaluasi ini dilakukan melalui palpasi
perektal ataupun ultrasonografi. Scoring diberikan dalam skala 1-5 yang
berdasarkan pada ukuran uterus, uterus tone, ukuran ovarium, dan struktur
ovarium.
6. Pengukuran Ruang Pelvis (Utama)
Pemeriksaan ruang pelvis ini berguna untuk mengkalkulasikan
presentase kejadian distokia yang mungkin terjadi, scoring ada untuk
memperkirakan berat maksimal fetus yang dapat melewati ruang pelvis.
Parameter yang diukur adalah lebar dan tinggi, dan alat yang digunakan
adalah pelvimeter (pelvimeter manusia berbeda dengan hewan). Proses
memasukkan pelvimeter dilakukan secara perlahan agar tidak
menimbulkan stress pada ternak. Umur dan berat badan ternak akan
menjadi faktor konversinya.
7. Anatomi, Posisi, Jumlah, dan Morfologi Ambing-Puting
Penilaian mencakup posisi ambing turut menentukan, arah puting
(tidak bengkok), ada tidaknya puting tambahan di salah satu kuartir,
kesimetrisan kelenjar mamae, serta konsistensi ambing masing-masing
kuarter (apakah ada yang keras atau tidak).

MANAJEMEN REPRODUKSI: ANJING

Siklus Reproduksi

Anjing merupakan hewan yang cukup banyak dijadikan sebagai hewan


peliharaan (companion animal). Pubertas merupakan usia saat hewan mulai
menunjukkan siklus. Untuk menjaga kualitas dan variasi genetik, para breeder
anjing biasanya menggunakan inseminasi buatan dengan menggunakan semen
anjing jantan pilihan. Anjing tersebut akan dikawinkan atau diinseminasi setelah
mereka mencapai pubertas pada umur 10-12 bulan, namun hal ini dapat lebih
cepat atau bahkan lebih lambat tergantung jenis breed anjing (breed anjing dengan
ukuran kecil lebih cepat mengalami pubertas). Anjing jantan diketahui memiliki
karakteristik organ reproduksi yaitu adanya bulbus glandis pada penis. Bulbus
glandis ini nantinya akan membesar setelah intromisi ke dalam saluran reproduksi
betina. Sperma yang dihasilkan anjing jantan diketahui dapat bertahan hingga 7
hari, selanjutnya fertilisasi terjadi beberapa hari setelah deposisi. Siklus estrus
anjing terdiri dari fase proestrus (9 hari), estrus (9 hari), diestrus (60 hari) dan
anestrus (100-150 hari). Anjing merupakan hewan monoestrus, yaitu hewan yang
mengalami 1x estrus dalam satu tahun (musim kawin) dengan range siklus 4-13
bulan (rata-rata 7 bulan).
Anjing betina mengalami satu kali estrus dalam satu tahun (monoestrus),
dengan kisaran durasi masing-masing fase estrus sebagai berikut :
1. Proestrus : Berlangsung sekitar 9 hari, pada fase ini level progesteron
rendah karena sel folikel belum mengalami luteinisasi.
Proestrus dapat ditandai dengan adanya bloody discharge,
mulai menunjukkan ketertarikan pada pejantan, dan tail
tucking.
2. Estrus : Juga berlangsung selama 9 hari, dapat dicirikan dengan
pembengkakan pada vulva, discharge lebih merah muda
dan terang, tail flagging. Pada fase ini ovulasi terjadi
setelah Luteinizing Hormone (LH) melonjak, oosit primer
dilepaskan dan terjadi pematangan 2-3 hari di uterus.
Fertilisasi oleh sperma pejantan terjadi setelah hari ke-3
lonjakan LH.
3. Diestrus : Atau metestrus, dicirikan dengan berangsur hilangnya
kebengkakan pada vulva, kadar hormon progesteron tinggi
karena folikel mengalami luteinisasi. Fase ini berlangsung
sekitar 60 hari.
4. Anestrus : Merupakan fase terlama dalam siklus estrus anjing (150
hari). Fase anestrus ditandai dengan rendahnya hormon
progesteron dan esterogen oleh karena tidak ada aktivitas
ovarium.
Anatomi pada anjing jantan sedikit berbeda dengan hewan lain, anjing
jantan memiliki os penis dan bulbus glandis pada bagian penisnya. Hal ini
mempengaruhi cara mating antara anjing betina dan jantan. Mating terjadi pada
rentang fase estrus dalam siklus estrus. Durasi courtship bervariasi antar jantan.
Proses mating ini dimulai dengan penjilatan vulva betina oleh jantan di mana
betina akan berdiri dengan ekor yang deviasi ke samping (flagging tail).
Pada proses mounting jantan akan menaiki betina dan penetrasi dengan
penis yang belum ereksi. Ketika sudah berada di dalam vagina, bulbus glandis
anjing akan ereksi dan membesar 6x4 cm. Fase first stage coitus berlangsung
selama 1-2menit. Setelahnya terjadi the turn di mana jantan akan memutar badan
dan keduanya akan saling membelakangi. Secondary stage coitus berlangsung
selama 5-45 menit Otot sfringter vagina akan kontraksi dan mengikat penis jantan
membentuk “copulatory tie”.

Pemeriksaan Estrus

Pemeriksaan estrus pada anjng betina dilakukan untuk mengetahui waktu


optimum untuk menginseminasi atau pun mengawinkan. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan menggunakan metode :
1. Vaginal Cytology
Vaginal cytology dilakukan dengan cara pengamatan mikroskopis hasil
swab vagina dengan perlakuan pewarnaan. Pengamatan mikroskopis
menunjukkan hasil adanya proliferasi eritrosit, sel intermediet ukuran
besar berinti, beberapa juga ditemukan neutrophil (early proestrus).
Sementara untuk fase estrus ditemukan sel intermediet (superficial cell)
yang mengalami keratinisasi, berukuran besar, dan tak berinti. Pada tahap
diestrus sel intermediet yang keratinisasi mengalami penurunan,
sedangkan sel intermediet berukuran kecil banyak, selain itu juga ada
proliferasi neutrofil. Setelah diestrus, fase selanjutnya adalah anestrus
yang dicirikan dengan banyaknya sel intermediet berukuran kecil dan juga
dijumpai sel parabasal.
2. Vaginal Endoskopi
Vaginal endoskopi dilakukan dengan menggunakan vaginoskop.
Parameter pengamatan yang dinilai adalah perubahan pada mukosa vagina.
Tahap proestrus dapat ditunjukkan dengan mukosa vagina yang bengkak,
dan lumen yang susah dilihat. Sedangkan pada saat estrus dapat diketahui
bahwa kebengkakan mukosa vagina berkurang dan terjadi crenulasi
(crenulasi mengindikasikan terjadinya LH peak).

INSEMINASI BUATAN PADA ANJING

Inseminasi buatan (IB) merupakan deposisi semen di saluran reproduksi


betina secara buatan (non-alamiah). Alasan dilakukannya IB pada anjing adalah
untuk mengatasi kendala kawin alam, mengurangi inbreeding, control penyakit
menular, koleksi semen, pemisahan ejakulasi untuk membiakkan lebih banyak
betina, deteksi infertilitas dini pejantan. Inseminasi pada anjing ini memiliki
keuntungan diantaranya adalah biaya yang lebih murah (daripada harus membeli
atau pun mendatangkan pejantan), mengkontrol penyakit menular seksual,
membantu mendeposisikan semen apabila pejantan tidak mampu untuk mounting,
serta mempertahankan kualitas breed. Beberapa hal dapat terjadi apabila
inseminasi buatan dilakukan, salah satunya adalah terjadinya trauma fisik apabila
inseminator tidak berpengalaman. Sehingga praktisi inseminator diharuskan
mempunyai kemampuan dan wawasan khusus terkait pemahaman anatomi dan
fisiologis reproduksi anjing, jenis semen yang digunakan, metode atau teknik IB
serta telah mengikuti pelatihan, dsb.
Etika dan aturan IB pada program pemuliaan anjing bervariasi dan tetap
memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Contohnya terdapat aturan yang
dikeluarkan oleh Federation Cynologique International (FCI) breeding rules.
Anjing yang akan dijadikan indukan harus pernah memiliki setidaknya satu anak
sehingga fertilitas terjamin (bagus) dan proses IB harus dilakukan oleh dokter
hewan atau teknisi yang terampil, serta praktisi yang melakukan terampil. Poin
kunci yang harus diperhatikan adalah siklus estrus dari betina, metode deposisi dan
jenis semen yang digunakan, serta waktu ovulasi dan inseminasi. Sebelum
dilaksanakannya program breeding, harus dilakukan pemeriksaan pada jantan.
Concern pre-breeding, dilakukan untuk memastikan kondisi anjing melalui
sinyalement dan physical examination (memastikan hewan dalam keadaan sehat,
mengetahui kejelasan breed dari pemilik untuk recording dan mencegah terjadinya
inbreeding). Pastikan jantan benar-benar sehat dan tidak berpenyakit, evaluasi
dengan breeding soundness examination. Tanyakan pada owner riwayat
Kesehatan jantan, untuk melihat adakah genetic defect yang dimiliki jantan.
Lakukan pemeriksaan fisik sebelum program breeding dan lakukan evaluasi
semen, dengan minimal nilai motilitas yang baik untuk fresh semen atau semen
segar. Pengecekan status estrus hewan betina dapat diketahui selain dari
sinyalement dan history dari owner, juga dapat diketahui dari sytology vagina dan
pengecekan vaginoskopi.Adapun edukasi client penting dilakukan untuk
memberikan informasi bahwa IB tidak selalu berhasil.
Walaupun indukan sehat, terdapat kemungkinan kegagalan dalam proses
IB berdasarkan pengalaman, tingkat kesulitan Teknik, koordinasi ovulasi betina,
kualitas semen dan waktu inseminasi yang tidak sesuai. Keberhasilan sangat
ditentukan oleh kualitas semen, jumlah sperma yang hidup atau motil perdosis IB
dan jenis semen yang digunakan. Semen yang digunakan ikut mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan IB. penggunaan fresh semen memiliki tingkat
keberhasilan mencapai 90% apabila dilakukan di waktu yang tepat (jika deposisi
dilakukan di intrauteri maka konsentrasi semen dapat dikurangi setengahnya).
Adapun presentase keberhasilan IB menggunakan frozen semen dapat mencapai
75%. Sementara penggunaan semen cair ada dua macam yakni dengan pengencer
dan tanpa pengencer. Semen cair apabila tidak diberikan pengencer maka
motilitas semennya akan turun, sedangkan dengan adanya tambahan pengencer
maka motilitas sperma dapat bertahan hingga 80%. Selain faktor semen faktor
deposisi semen juga mempengaruhi, pada IB anjing dapat dilakukan secara intra-
vagina dan intra-uterine (transervical dan surgical).
Cara koleksi semen tanpa adanya betina dapat dilakukan pada anjing yang
memang sudah terbiasa dikoleksi dan memiliki tempramen yang baik. Lakukan
masase pada knot diantara bulbus glandis dan testis. Restrain dan cara handle
yang baik harus diperhatikan dan dijaga. Semen anjing terdiri dari 3 fraksi dimana
fraksi kedua yang berwarna seperti susu (milky) yang perlu dikoleksi. Fraksi
ketiga yaitu post-ejakulat, berisi cairan prostat yang nantinya akan diganti oleh
ekstender. Dengan rasio semen dan ekstender sebanyak 1:2.
IB pada anjing dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan yang
diperlukan untuk IB. Pipet yang digunakan untuk pelaksanaan IB disesuaikan
dengan kebutuhan. Jaga kesterilan dalam pelaksanaan IB. Rubber gloves dipakai
untuk melapisi tangan, dan sebelum dilakukan IB, lakukan palpasi intravaginal
untuk mengecek jalan IB. Saluran reproduksi betina akan mengarah ke atas
sebelum akhirnya lurus dan akan turun sampai akhirnya sampai serviks. Lakukan
penetrasi atau masukkan pipet sesuai arah tersebut dan setelah 3.5 inch masuk,
injeksikan semen untuk deposisi. Beri beberapa ml udara untuk memastikan
semua semen dikeluarkan dari pipet. Setelahnya angkat pinggul anjing betina dan
usahakan agar betina tidak urinasi agar sperma masih terdeposisi di dalam vagina.
Hitung 63 hari setelah IB untuk persiapan kelahiran.

RESTRAIN PADA SAPI: KATETER INTRAUTERINE, ANASTESI


EPIDURAL, DAN INFUS INTRAUTERINE

Restrain merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk membatasi


mobilisasi dari hewan, dalam merestrain hewan, petugas, dokter hewan, atau pun
paramedis diharapkan terlebih dahulu mengenai dasar-dasar restrain, yaitu sebagai
berikut:
- Mengetahui risiko potensial yang ada dalam pelatihan menggunakan
hewan besar dalam bidang kedokteran hewan
- Mengetahui kapan melepas ikatan dengan cepat (agar hewan dapat
menghindar atau melepaskan diri apabila akan terjatuh maupun tertabrak)
- Mengetahui instints natural pada setiap spesies hewan besar

Nilai objektif dalam handling dan restrain pada sapi diantaranya adalah
petugas atau praktisi harus memahami betul potensi resiko yang ada dengan ternak
besar. Petugas atau praktisi juga harus mengetahui cara melepaskan knot.
Pedet sangat mudah terkena diare dan memerlukan cara handling yang
baik untuk melakukan pemeriksaan maupun treatment untuk mengobati diare pada
pedet. Jika handling tidak dilakukan dengan baik, pedet akan mudah panik dan
heart rate dari pedet akan meningkat menjadi 120. Hal ini tentu saja dapat
mempengaruhi hasil diagnose dan membuat diagnose dari hewan tidak nyata/real.
Handling pada pedet yang benar adalah memegang kaki depan dan belakang pedet
yang menempel ke tubuh petugas, dan siku tangan kiri petugas menekan leher dari
pedet agar pedet tidak bergerak.Dalam meng-handle Calf atau pedet, peternak
dapat melakukannya dengan cara mendekap seperti pada saat membawa hewan
kecil (kucing, anjing, dsb). Pada sapi dewasa restrain dapat dilakukan dengan cara
mengangkat kaki bagian dalam (yang dekat dengan tubuh) sambil tangan yang
berada di dekat kepala memberikan tekanan agar sapi bisa roboh. Selain itu,
handling sapi dapat dilakukan dengan cara keluh sapi. Keluh sapi dilakukan
dengan cara melubangi nostril dan memasang tali lalu menghubungkan dan
dibuatkan simpul. Metode handling seperti ini sering dilakukan di Pulau Jawa
terutama peternakan kecil, namun hal ini kurang sesuai dengan kaidah
kesejahteraan hewan. Penggunaan keluh pada sapi menyebabkan sapi lebih mudah
untuk dituntun, sehingga hal ini menyebabkan sapi juga lebih mudah untuk dicuri.
Metode handling lainnya adalah dengan menggunakan cow halter. Cow
halter ini digunakan untuk membatasi pergerakan kepala yang tidak diperlukan.
Metode lain seperti nose ring juga dapat dipilih dalam membatasi pergerakan
kepala sapi, bahan untuk nose ring biasa terbuat dari aluminium (umumnya
digunakan pada sapi kontes). Cow Halter dan brongsong digunakan dalam
moncong sapi. Halter menggunakan tali yang dililitkan di sekitar wajah sapi.
Terkadang pada Bull Teknik ini dikombinasikan dengan nose ring. Pemakaian
halter harus diperhatikan jangan sampai menyebabkan infeksi. Ketika sapi tumbuh
membesar maka halter juga harus dilonggarkan dan disesuaikan dengan ukuran
sapi. Brongsong dari bamboo merupakan alat tradisional yang digunakan untuk
menjaga sapi yang selesai membajak sawah agar tidak memakan padi/rumput
tetangga pemiliknya.
Nose ring, merupakan salah satu contoh alat restrain yang digunakan untuk
bull yang ikut kontes. Terdapat dua jenis nose ring berdasarkan bahan
pembuatnya. Ada nose ring yang terbuat dari besi yang dilengkapi dengan sekrup
untuk pemasangannya dan ada pula nose ring yang terbuat dari plastic yang sudah
dilengkapi dengan aplikatornya sehingga lebih praktis. Namun keduanya memiliki
kekurangan seperti, pada nose ring plastic sangat mudah untuk nose ring terputus
sedangkan pada nose ring besi sering kali terjadi kebengkokan.
Tail restraint, dilakukan dalam pelaksanaan IB dan pemeriksaan kebuntingan.
Ekor dapat dibengkokan ke atas punggungnya ataupun ditalikan pada kaki atau leher
sapi. Jangan sampai ekor diikatkan pada tiang kendang atau bagian luar tubuh sapi
karena dapat terjadi kemungkinan ekor lepas saat sapi mendadak lepas kendali. Tail
jack atau membengkokkan ekor ke punggung sapi dilakukan untuk pengambilan
darah dengan menusukkan spoit tegak lurus pada coccygea sapi.
Selain handling kepala, handling ekor juga bisa dilakukan, handling
metode ini sering digunakan apabila dokter hewan ingin mengambil sampel darah
dari vena coccigea. Dalam meng-handling ekor tidak boleh menali atau pun
menautkan di bagian selain tubuhnya, hal tersebut berguna agar pada saat sapi
shock dan berlari maka ekor tidak patah dan terluka. Ekor ternak dapat ditautkan
pada lengan kaki depan atau pun area leher. Metode selanjutnya adalah front leg
hopple, merupakan metode restrain dengan cara mengangkat salah satu bagian
kaki depan, bertujuan untuk melakukan examination dan treatment, pada saat
pemeriksaan kaki maupun trimming kuku. Tali dapat dililitkan pada kendang jepit
agar bisa ditarik dan kaki terangkat Metode yang lain adalah Beam and hock yang
berfungsi untuk mencegah mobilisasi kaki depan dengan cara mengangkat salah
satu kaki belakang, menggunakan prinsip penekanan tendon pada hook sehingga
terjadi vasokonstriksi dan kakibelakang akan terangkat.
Head restrain technique, menggunakan Teknik halter. Halter memiliki dua
jenis Teknik ikat, tergantung kebutuhan dan tempat. Casting or throwing digunakan
untuk merobohkan sapi dengan ukuran besar. Dilakukan untuk handling saat kastrasi
atau rolling sebagai terapi saat terjadi torsio uteri. Menjatuhkan sapi dapat
menggunakan Reuff’s method dan alternate method. Metode Casting/ Reuff’s
method atau throwing adalah dapat mengarahkan kemana arah sapi dijatuhkan (dapat
diarahkan ke lateral). Posisi tali diperhatikan, saat merobohkan sapi dengan menarik
tali, simpul harus berada di atas tubuh sapi jangan sampai simpul berada di bawah
atau tertindih sapi. Jika sapi sudah roboh jangan longgarkan tali ataupun berikan
kesempatan sapi untuk mengangkat kepala karena sapi akan dapat berdiri. Apabila
simpul tertahan maka tali tidak bisa dilonggarkan. Untuk mengetahui perputaran
dengan menggunakan tali maka perlu diketahui derajat torsio uteri terlebih dahulu.
Teknik Reuff’s dilakukan di bawah batas tuber coxae, dan simpul dari ikatan
Reuff dihubungkan dengan ikatan halter digunakan untuk restrain kepala dan
simpul pertama ada di pangkal leher (simpul masuk dari dalam kemudian keluar).
Metode Casting atau throwing adalah metode yang dapat peternak lakukan
apabila tidak memiliki kandang jepit dan ingin merobohkan hewan untuk
trimming hooves, metode ini dapat digunakan pada saat akan melakukan
penanganan torsio uteri atau pun kastrasi. Pertama-tama tali dibuat simpul di leher
kemudian tali dibuat melingkar di depan cranial os scapula sampai bagian
belakang kaki depan lalu dibuat pertautan dan dibuat melingkar di depan kaki
belakang lalu dibuat simpul dan kemudian ditarik.
Kandang jepit merupakan perlengkapan yang paling sering digunakan
untuk me-restrain sapi, peggunaan kandang jepit ini perlu memperhatikan lebar
kandang tidak terlalu besar sehingga mobilitas hewan dapat dipertahankan.
Peternak harus memastikan panjang hewan tidak melebihi panjang kandang,
apabila panjang kandang lebih kecil maka dapat memungkinkan sapi untuk
melompat. Untuk membatasi gerakan hewan juga dapat dilakukan dengan cara
memasang kayu atau bambo pada bagian belakang sapi.
Pada kasus-kasus tertentu seperti kastrasi dan torsio uteri (pada usia
kebuntingan diatas 6 bulan, torsio diputar searah torsio agar induk dapat
mengikuti arah torsio) handling perlu dilakukan. Pada saat kastrasi dapat
dilakukan dengan cara menali kedua kaki depan kebelakang dan menautkannya
bersama kaki belakang bagian depan, sedangkan kaki belakang bagian dalam
ditarik ke belakang untuk memperluas area operasi kastrasi.

Penggunaan restrain juga dapat digunakan untuk terapi torsio uteri, teknik
yang digunakan adalah untuk menjatuhkan (merebahkan) sapi. Posisi rebahan
pada sisi lateral diperlukan, sapi harus diputar pada poros panjangnya (tulang
punggungnya). Perputaran searah umumnya dilakukan pada umur kebuntingan
dibawah 5 bulan, sedangkan pada umur kebuntingan diatas 5 bulan perputaran
dilakukan berlawanan arah karena kondisi fetus lebih besar. Derajat perputaran
dan umur kebuntingan menentukan tingkat keparahan torsio uteri (terkait hokum
momentum). Pengekangan untuk menjatuhkan sapi dapat menggunakan Reuff’s
method dan alternate method. Reuff’s method dapat mengarahkan kemana arah
sapi dijatuhkan (dapat diarahkan ke lateral), kekangan tali jangan sampai tertindih
oleh badan yang menyebabkan tertahan (kalau simpul di kanan berarti dijatuhkan
ke arah kiri). Apabila simpul tertahan maka tali tidak bisa dilonggarkan. Untuk
mengetahui perputaran dengan menggunakan tali maka perlu diketahui derajat
torsio uteri terlebih dahulu. Teknik Reuff’s dilakukan di bawah batas tuber coxae,
dan simpul dari ikatan Reuff dihubungkan dengan ikatan halter digunakan untuk
restrain kepala dan simpul pertama ada di pangkal leher (simpul masuk dari dalam
kemudian keluar).
Anastesi epidural dilakukan untuk penanganan kasus (Caesar lebih utama
dilakukan dengan anastesi paralumbal) distokia, prolapse uteri, torsio uteri, retensi
plasenta, dsb. Selain untuk menghilangkan rasa sakit, anastesi juga berguna untuk
sanitasi (mengeluarkan feses dan urin agar tidak mengkontaminasi pada saat
penanganan manual). Karena efek anastesi, uterus akan kendor atau lemah
sehingga dapat menghambat pada saat melakukan peeling. Tanda berhasilnya
dilakukan anastesi epidural adalah tersedotnya jarum, apabila tidak tersedot maka
tetap dilakukan anastesi epidural meskipun onset menjadi lebih panjang baru
terjadi proses anastesi (untuk memeriksa apabila obat sudah bekerja adalah
dengan mencubit daerah perineal, dan dilihat reflex). Jarum sebagai penanda
dapat dilepas (apabila ada asisten) dan dibiarkan (harus bisa memastikan agar sapi
tidak jatuh = dikasih penopang atau pun belt). Jumlah obat yang diberikan pada
tahap pertama dapat dikurangi apabila hewan sensitif terhadap sediaan. Alangkah
baiknya sediaan yang diberikan 3/4 dari 100% dosisnya.
Pengobatan intrauterine menggunakan sediaan antibiotika, antiseptic, dsb
yang tidak bersifat iritan, kaustik, atau pun nekrotik. Antibiotika yang digunakan
tidak boleh dari golongan long acting (pasti mengandung zat-zat yang bersifat
iritatif). Povidone iodine dengan konsentrasi tinggi (2-4%) yang digunakan untuk
antiseptik intrauterine maka dapat menyebabkan uterus papan (sel-sel
endometrium mati), standart eropa konsentrasi povidone iodine tidak lebih dari
0.6%. Antiseptik lebih aman apabila dilakukan melalui metode irigasi kemudian
dibilas dengan NaCl hangat untuk meningkatkan sirkulasi. Prostaglandin
diperlukan untuk kombinasi pada penanganan kasus uterus. Pengobatan intravena
biasa dilakukan terkait hypocalcemia pre dan post parturition, jika hypocalcemia
terjadi lewat dari 72 jam post partus maka hypocalcemia tidak terkait parturisi
melainkan karena kolostrogenesis. Obat dalam bentuk bolus pada saat masuk
uterus akan membentuk busa, jadi pada saat air keluar, busanya masih tertinggal
di dalam sehingga antibiotik masih remain.

PENGENALAN TEKNOLOGI REPRODUKSI HEWAN:


TRANSFER EMBRIO (TE)

Teknologi transfer embrio merupakan bioteknologi reproduksi generasi ke-2.


Transfer embrio merupakan pemindahan/implantasi sel telur (morula/blastula)
fertile dari donor ke resipien yang layak. Sering dilakukan dalam industry
peternakan dan dapat dilakukan untuk penelitian teratologi serta uji obat. Transfer
embrio pertama dilakukan pada tahun 1890 oleh Walter Heape of Cambridge yang
mentransfer embrio dari kelinci Angora ke kelinci Belgian Hare dan pada tahun
1974 Oguri dan Tsutsumi dari Jepang melakukan non surgical TE di kuda.
Transfer embrio sudah menjadi industry komersil terutama pada sapi perah.
Secara terminology. Transfer embrio (TE) atau transplantasi oosit, merupakan
proses penempatan embrio (oosit yang terfertilisasi pada tahap morula) dari donor
ke dalam organ reproduksi resipien (penerima) yang layak secara fisiologis.
Prosedur TE meliputi proses seleksi donor, superovulasi, recovery, dan evaluasi
embrio sebelum ditransfer. Satu program TE (Australia) dapat menghasilkan rata-
rata 6-8 embrio yang bisa di transfer. Salah satu tujuan dilakukannya TE adalah
meningkatkan jumlah keturunan dari betina proven superior.
Transfer embrio memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah :
meningkatkan kualitas genetik, menghasilkan beberapa keturunan, dan untuk
progeny testing. Sementara kelemahannya adalah : biaya yang mahal, waktu
pengerjaan yang lama, membutuhkan tenaga ahli, serta banyaknya proses yang
harus dilakukan. Proses transfer embrio terdiri dari memiliki donor dan resipien
yang sesuai, superovulasi, inseminasi. Embryo recovery, dan embryo transfer.
Dalam pemilihan donor dan resipien terdapat kriteria yang perlu dipenuhi.
Kriteria donor diantaranya memiliki nilai mutu genetic yang superior, memiliki
kemampuan reproduksi yang baik, keturunannya memiliki nilai pasar, dan
fenotipe keturunan baik. Dalam seleksi donor nilai elite cow dihitung dengan
Cows index (CI) yang terdiri dari performance of the cows, TPI of her sire, dan CI
of her dam. Seleksi resipien melihat keseimbangan diantara kualitas baku,
kelayakan ekonomi, kemudahan untuk memperoleh resipien (availability),
kemudahan calving, kemampuan milking, dan mothering ability. Prosedur transfer
embrio dimulai dengan sinkronisasi resipien dan donor menggunakan injeksi
hormone prostaglandin.
1. Donor selection : umur sekitar 3-8 tahun (tidak terlalu tua dan terlalu
muda), bebas penyakit, genetik bagus (tidak ada penyakit genetik), tidak
gemuk dan kurus, dan tidak bunting. Sapi pendonor dengan karakteristik
superior dicirikan dengan tingginya tingkat pertumbuhan dan menyusui.
Sapi bagus memiliki Cow Index (CI) yang baik (CI dapat dilihat rataan
dari produksi susunya dan performa sapi) dan memiliki keserasian tipe.
2. Recipient selection : sama halnya dengan kriteria pendonor, namun
kualitas genetik tidak perlu terlalu bagus. Faktor yang harus diperhatikan
adalah keseimbangan diantara kualitas baku, kelayakan ekonomi, dan
kemudahan untuk memperoleh resipien (availability). Tahap pertama yang
dilakukan adalah dengan mensinkronisasi siklus estrus pendonor dan
recipient. Selanjutnya menjadikannya (pendonor) superovulasi.
3. Superovulation : superovulasi pendonor dengan menggunakan
sediaan gonadrotopin dan juga prostaglandin (untuk melisiskan corpus
luteum agar LH menurun) dan superovulasi dinyatakan berhasil apabila
terjadi ovulasi. Adapun hormon lain yang bisa digunakan untuk
superovulasi adalah :
- FSH (Follicle Stimulating Hormone) : half life (biopotensi turun
50% dari sebelumnya) terjadi 2-5 jam kemudian. Penyuntikannya
harus berulang
- PMSG atau eCG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin).
Penyuntikan cukup sekali karena half lifenya sampai 5 hari.
- hMG (human Menopause Gonadotropin)
- hAP (horse Anterior Pituitary)
4. Insemination : inseminasi dilakukan 60 jam setelah penyuntikan
prostaglandin (IB dilakukan sebelum ovulasi), karena sperma butuh waktu
untuk kapasitasi (7-8 jam).
5. Embryo recovery : Fertilisasi kemudian akan menghasilkan zigot
yang pada hari 6-7 akan berkembang menjadi morula hingga blastocyst.
Pada hari ke-7 cervix sudah menutup dan untuk flushing dapat dilakukan
dengan sebelumnya membuka cervix dengan cervix expander dan
menyiapkan pipet dengan cairan medium berfilter ukuran pori-pori
minimal 100 mikron. Karena sel telur sapi berukuran 160 mikron maka sel
telur akan terjaring. Saat melakukan flushing, sapi diberikan injeksi
anestesi epidural karena proses ini akan memakan banyak waktu. Setelah
embrio didapatkan, embrio diperiksa dan dihitung jumlahnya serta
dievaluasi kualitasnya. Pemanenan embrio (flushing embrio), biasanya
cervix sudah tertutup (dibuka dengan cervix expander atau catheter).
Pemanenan embrio dilakukan pada hari-7 setelah inseminasi, dengan
alasan karena saat yang paling mudah untuk flushing dan mengisolasi
embrio. Embrio yang digunakan pada saat ini adalah embrio pada tahap
morulla dan blastula (karena sangat cocok dan stabil untuk transfer
langsung maupun manipulasi).
6. Embryo transfer : embrio yang telah tersedia kemudian ditransfer ke
resipien yang tersinkronisasi (transfer dapat dilakukan secara surgical
ataupun non-surgical).

PENGENALAN TEKNOLOGI REPRODUKSI HEWAN FERTILISASI


IN-VITRO

Pada tahun 1978 dilahrikan bayi pertama yang dihasilkan dari teknologi ini
bernama Louise Brown. Teknologi berbantuan ini ditujukan untuk menolong
pasangan yang infertile. Skema produksi embrio in vitro adalah pengkoleksian oosit
(diikuti dengan pematangan oosit) yangkemudian akan ditambahkan sperma
sehingga terjadi fertilisasi kemudian embryo yang dewasa (25-40% yang
berkembang) akan dikultur dan dikembangkan.
In-vitro fertilization adalah pembuahan diluar tubuh induk, dengan cara
koleksi dan pematangan oosit kemudian ditambahkan sperma, sehingga embrio
dapat didapatkan (dari kultur). Teknik pengambilan sel telur dapat didapatkan dari
hewan hidup (ovum pick up) atau pun mati (aspirasi).

Kriteria pemilihan oosit (oosit sekunder) adalah kumulus sel yang kompak
dan sitoplasma yang homogen. Kriteria pematangan oosit yaitu :
1. Cumulus Maturation : dinilai berdasarkan pemekaran sel kumulus,
pematangan sel kumulus. Biasanya dilakukan pada
incubator CO2 2%
2. Nuclear Maturation : (pematangan inti) berdasarkan perubahan
meiosis dari germinal vesicle . tanda sel telur yang
matang secara inti dapat ditandai dengan adanya
polar body yang pertama.

Selain adanya kriteria dalam pemilihan sel telur, sel sperma yang akan
digunakan juga memiliki kriteria yaitu:
1. Pemilihan sperma motil melalui teknik swim up atau percoll gradient
2. Kapasitasi sperma : perubahan biokimiawi terhadap spermatozoa untuk
dapat melakukan fertilisasi, pada tahap kapasitasi terjadi peningkatan
motilitas dan reaksi akrosom
3. Pencucian dan sentrifugasi untuk menghilangkan pengencer dan lipoprotein

Oosit sebelum bisa dibuahi oleh sperma harus mengalami pematangan di


mana proses pematangan ini merubah oosit primer ke oosit sekunder. Pada sapi
diperlukan waktu 22-24 jam, jika sudah terjadi pematangan maka besoknya
dibuahi. Kriteria dalam pematangan oosit adalah maturase sel cumulus, maturase
nucleus, dan maturase sitoplasma. Pematangan ini dilakukan dalam incubator CO2
5% dengan suhu yang menyesuaikan suhu tubuh.
Apabila telah dilakukan pemilihan sel telur dan sperma, maka keduanya
akan disatukan agar terbentuk fertilisasi. Pada tahap ini tterjadi formasi
pronucleus, kemudian terjadi syngamy, lalu metafase terjadi dan mulailah
sitokinesis. Fertilisasi in vitro juga harus memperhatikan pengolahan sperma.
Pemilihan sperma motil melalui teknikswimup atau percoll gradient, proses
kapasitasi sperma, dan pencucian dengan media tertentu lalu sentrifugasi untuk
hilangkan pengencer dan lipoprotein. Selanjutnya setelah fertilisasi terjadi maka
akan dilakukan kultur secara in-vitro (di luar tubuh). Kultur invitro berlangsung
selama kurang lebih 7 hari, dalam fase ini zigot ditumbuhkan dalam suatu media
kultur tertentu. Tahap kultur in-vitro merupakan periode terlama, dalam tahap ini
media dibuat semirip mungkin dengan lingkungan oviduct (synthetic oviduct
fluid) atau co-culter dengan jaringan lain dengan harapa embrio dapat
berkembang sampai tahap morulla atau blastocyst.
Selain teknologi fertilisasi in-vitro, adapula turunan pengembangan metode
ini yaitu clonning. Kloning disebut juga reproduksi aseksual adalah ketika sel
telur induk intinya dibuang dan diisi oleh inti sel somatic yang sudah diploid
sehingga terbentuk clonal zigot yang akan menjadi clonal embrio dan berkembang
menjadi clonal baby. Ada juga yang menyebutnya sebagai copypaste yang
memungkinkan didapatkannya keturunan yang sama dengan pendonor sel
somatis. Metode ini dilakukan dengan cara pengeluaran inti sel telur, kemudian
diisi sel somatik (karena 2n) sehingga nantinya sel telur membawa materi genetik
yang sudah lengkap. Sel telur ini kemudian dikultur dalam media dan dimasukkan
ke dalam resipien.

PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI (USG) ORGAN REPRODUKSI


NON-RUMINANSIA

Penggunaan diagnosa penunjang : CT scan, MRI, USG, X-ray. Usg adalah


penunjang diagnosa yang sering digunakan untuk pemeriksaan pada manusia, dan
pemeriksaan appendix pada anak kecil. Usg merupakan teknik diagnostic
pencitraan menggunakan gelombang suara dengan frekuensi yang tinggi.
 Terdiri dari konsol (stationer, mobile, portable), transduser (linear, curve,
phase array)
 Mode : A, kontras, gerak (motion mode), color Doppler (untuk melihat
aliran)
 Transducer : linear, curve, phase array
 Echo yang ditangkap menghasilkan gambar : hyperechoic, anechoic,
hypoechoic
 Kualitatif : pengamatan pemeriksaan
 kuantitatif yaitu hasil yang terukur dalam angka
Ultrasonografi atau USG merupakan Teknik diagnostic pencitraan yang
menggunakan suara ultra yang digunakan untuk mencitrakan organ dan
membantu diagnostik hewan. Teknik ini lebih murah dibandingkan CT Scan dan
memiliki keuntungan berupa tidak adanya sinar radiasi yang dihasilkan. Kerugian
dari Teknik ini adalah kualitas gambar yang kurang baik dibandingkan CT Scan
dan efektivitas diagnose ditentukan oleh skill/kemampuan teknisi. Umumnya
dilakukan untuk pemeriksaan reproduksi dan usus buntu (pada manusia).
Teknik ultrasonografi pada unggas, khususnya ayam paling baik dilakukan
dengan posisi transduser berada pada pangkal paha kiri dengan arah dorsocranial.
Hal ini dikarenakan saluran reproduksi yang berkembang baik pada unggas adalah
saluran reproduksi kiri, sedangkan saluran reproduksi kanan unggas rudimenter.
Selain itu, hasil pencitraan dari pangkal paha kiri mengasilkan pencitraa yang
jelas. Pada pangkal paha kanan saat dilakukan pencitraan, hasil tidak terlalu jelas
karena kantong udara pada bagian kanan tubuh unggas membuat terbentuknya
noises yang membuat hasil ultrasonografi terganggu (Kanan = noise lebih banyak,
dan ovarium rudimenter di kanan shg intestine dan air sac mendominasi) Terdapat
dua jenis folikel pada ovarium unggas, yaitu pre-hierarchical follicle (PhF) yang
berisikan folikel dengan ukuran yang bermacam dan pre-ovulatory follicle (PoF)
dengan folikel yang memiliki ukuran 30-40 mm maka folikel akan siap untuk
ovulasi.
Teknik ultrasonografi pada kucing betina dilakukan bersamaan dengan sitologi
vagina. Untuk kucing yang nullipara atau belum pernah kawin sama sekali pada
pencitraan uterus hewan lumen uterus terlihat anechoic. Sedangkan pada hewan
multipara atau sudah melahirkan dan bunting sehingga ada white line yang terlihat
pada hasil pencitraan di tengah lumen uterus. Untuk membedakan uterus pada
usus, lihat gerakan peristaltic yang menjadi tanda khusus untuk organ usus.
Sedangkan uterus akan tetap diam. Albicans lbh ceras dari CL sehingga lebih
hiperechoic, Usg kucing : estrus ada sel tanduk. ORS (Ovarium Remnant
Syndrome) = kucing di OH tapi masih mnunjukkan gejala estrus biasanya karena
pemotongan oavrium kurang pangkal
Teknik ultrasonografi pada kuncing jantan dapat dilakukan dengan penggunaan
USG stationer ataupun portable. Karena organ reproduksi pada kucing berukuran
kecil, maka pendekatan harus dimodifikasi. Metoda yang dilakukan adalah
tempelkan transduser pada skrotum yang sudah dicukur (kucing pubertas masih
banyak rambut, yang lebih dewasa tidak perlu dicukur). Transduser kemudian
dibasahi oleh gel. Untuk mencitrakan preputium pada kucing dapat dilakukan
dengan menggunakan transduser berfrekuensi tinggi (10 Mhz) untuk menggeser
focal zone mendekati transduser. Namun bila menggunakan transduser
berfrekuensi rendah, tidak dapat menggeser focal zone untuk mendekati
transduser. Sehingga untuk mendapatkan fokus dari organ yang menjadi target
untuk pencitraan (misalnya preputium) dapat dilakukan dengan menggunakan
testis sebagai bantalan sehingga preputium berada tepat di focal zone sehingga
preputium dapat dicitrakan dengan jelas. Scrotum Tunica vaginalis, vascia
spermatic eks, in, tunic dartos = terlihat jelas di frek 10 mhz, kalo frek 6.5 mhz
kurang tampak jelas.
Ultrasonografi pada landak, dilakukan pada organ yang diawetkan dalam
cairan. Saat akan mencitrakan organ yang sudah diawetkan, pertama-tama organ
dimasukkan ke dalam baskom berisi air dan tempelkan transduser dalam posisi
memanjang maupun melintang. Dalam citra yang didapatkan, terlihat citra khas
organ yang sudah mati yaitu tampak lebih putih/hiperekoik (krn tdk ada
vaskularisasi). Terdapat bagian bursal ovarica, 3 bagian oviduct, koruna yang
multipara tampak dengan white line, serviks yang berbentuk seperti katup (khas di
landak), dan lumen vagina dengan citra anekoik (lumen)/hypoechoic (jaringan
dinding) karena di rendam di air. Struktur pada vulva tidak dapat dilihat jelas,
karena landak memiliki struktur mons pubis yang khas. Klitoris pada landak tidak
dapat terlihat jelas dalam hasil pencitraan ultrasonografi karena pada vulva landak
terdapat struktur mons pubis. Struktur mons pubis mempengaruhi penetrasi dari
gelombang suara yang dipancarkan transduser. Gelombang suara yang
dipancarkan tidak dapat terpenetrasi hingga mencapai bagian dalam seperti
klitoris. Klitoris dan lumen urethra tidak dapat terpenetrasi oleh gelombang suara
karena terhalang struktur mons pubis. Pencitraan ini mendapat hasil bahwa ukuran
asli dari organ dan hasil pencitraan USG tidak berbeda.
Ultrasonografi pada ular. Struktur organ reproduksi akan terlihat memanjang
dengan artefak yang mudah ditemukan yaitu artefak dari costae ular. Dalam siklus
atau pada ular bersiklus, akan terjadi perubahan ekogenitas yang tampak, jaringan
yg anechoic mnjadi hypo bahkan hyper = seiring dengan mendekati masa
berkawin (Hyper = selaput sudah matang). Citra pada 150 hari menjelang
oviposisi terjadi follikulogenesis. Pada periode ini tampak ukuran folikel semakin
membesar hingga terbentuk embrio berukuran 10 mm. organ memanjang kec
jantung itam” ada costae, folikel jg memanjang. Seiring dgn bertambah usia
reproduksi. Di bagian yg anechoic ada masa yg hypoechoic. Pada pencitraan dapat
dilihat adanya bagian yang lebih hyperechoic di bagian tengah folikel yang
anechoic, kemungkinan karena adanya pembentukan kuning telur (yolk). Embrio
pada telur sanca dapat diukur denyut jantungnya pada waktu 1 hari sebelum
oviposisi dengan menggunakan mode doppler. Jantung dpat diliat, struktur dr isi
telor. Sebelum dan setelah dideposisi, 1 bulan setelah bertelur terdapat bakal
folikel (kecil-kecil) krn ada aktvitas stroma. Pertambahan ukuran folikel (dari
cooling period perkawinan) siklus lebih pendek/lambat proses pertambahan
ukuran)  siklus lebih pendek/lambat. Proses pertumbuhan ukuran sekitar 5
bulan. Total 1 thn sekali masa berkawin/bertelur.
Ultrasonografi pada ikan dilakukan pada ikan yang mana transduser akan
ditempelkan dari samping. Citra yang terlihat adalah ovarium terdiri dari dua
lobus, berbentuk memanjang ada 2 lobus kanan-kiri pendekatan dari ventral ikan,
sedangkan testikel ada di kiri dan kanan tampak jelas. Kalua pada ikan lele USG
pendekatan bisa dari samping diarahkan dari latero-lateral atau ventro-dorsal juga
bisa. Ovarium juga jelas terlihat berbentuk gelembung-gelembung (folikel byk).
Ultrasonografi pada kerbau (Bufallo) dilakukan untuk memprediksi
potensi dari bakal kelenjar mamari, diamati jaringan parenkim dan bantalan lemak
pada ambing (ada 4 quarter/lobus) terdapat di kanan dan kiri.

Anda mungkin juga menyukai