Anda di halaman 1dari 8

Tanggal Praktikum : 23 Maret 2016

Jam Praktikum : 11.30 – 13.30


Dosen Pembimbing : Dr. Drh. Andriyanto, M.Si
Kelompok : 2 (Dua)

LAPORAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH FARMAKOLOGI II (AFF 332)

Anasthesi Perinhalasi
Anggota Kelompok
Suci Nurani B04120034
Febrina Suci Dwi Kadri B04130006
Aisyah Fidela Siregar B04130031
Putri Pratiwi Arsyad B04130163
Indra Saputra B04130169
Fitri Aryani B04130172
Joanita Maria B04130178

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTERMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari
bahasa Yunani anaisthēsia (dari an‘tanpa’ dan aisthēsis ‘sensasi’) yang berarti
tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: (1) anesthesia
lokal, yakni hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran; (2)
anesthesia umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).

Sejak jaman dahulu, anestesia dilakukan untuk mempermudah tindakan


operasi atau bedah, serta mempermudah proses handling (restraint). Obat-obat
anestesi termasuk dalam obat penekan SSP yang menimbulkan deperesi
(penurunan aktivitas fungsional). Anastetik yang pertamakali digunakan adalah
nitrous oksida(gas gelak), dipakai untuk pembedahan pada awal 1800an. Gas ini
masih merupakan anestetik yang efektif hingga sekarang. Selain itu, eter juga
banyak digunakan pada hewan sebagai anestetik. Eter merupakan cairan yang
mudah menguap dan sangat mudah terbakar, mempunyai bau yang tajam, dan
dapat menimbulkan rasa mual serta muntah (Kee & Hayes 1993).

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan bedah pada hewan, metode


anestesi juga turut berkembang. Salah satu rute anestesi yang sekarang mulai
digunakan dalam dunia kedokteran hewan adalah anestesi perinhalasi. Anestesi
inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.

Keuntungan dari anestesi perinhalasi adalah onset pembiusan lebih cepat,


dosis dapat dikontrol dengan mudah, lebih aman bagi tubuh, hewan lebih cepat
sadar setelahpembiusan. Selain itu, premedikasi juga dilakukan sebslum dilakukan
anestesi dengan tujuan untuk mengurangi efek-efek dari obat anestesi yang tidak
diinginkan. Premedikasi yang umum digunakan adalah atropin, yang berfungsi
mencegah diare, muntah, dan bradykardi.
Tujuan

Mengetahui aplikasi obat khususnya anestesi perinhalasi, mengetahui


pengaruh pemberian atropinsebagai premedikasipada anestesi perinhalasi, dan
melihat efek anestesi perinhalasi pada setiap stadium anestesi.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa
nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa
kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum
yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan
secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara
inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya
adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum
yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa
alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.
(Munaf, 2008).

Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA


(American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status
fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori
sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan
operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan
lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit
sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien
apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan
iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan
hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan
perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan,
sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari: 1. Hipnotik
diberikan semalam sebelumnya 2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau
benzodiazepin (misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk
mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan 3. Barbiturat
dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal) 4. Gas inhalan,
seperti nitrous oksida dan oksigen 5. Pelemas otot jika diperlukan

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau


eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan
hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus,
dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi
involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3
bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai
dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut
relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai
dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal
(Munaf, 2008).

Tahap Nama Keterangan 1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan


diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman dan
rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai tahap induksi 2 Eksitasi atau delirium
Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Waktu induksi singkat. 3 Surgical
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini 4 Paralisis medular
Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi.

Ideal Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan
pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan
lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang
secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan
parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan
bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP
(Munaf, 2008).

METODOLOGI
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain syringe 1 ml,
kapas, gelas piala, dan kotak kandang kaca. Bahan yang digunakan antara lain eter
dan atropin.

Metodologi
Menimbang badan masing-masing kucing dan memasukkan dalam
kandang kaca secara terpisah. Menyuntik atropin ke salah satu kucing dengan
dosis 0,03-0,05 mg/kg BB. Memasukkan kapas dalam cawan petri yang sudah
dibasahi eter tepat di depan hidung masing-masing kucing ke dalam kedua
kandang kaca tersebut. Mengamati gejala yang timbul pada masing-masing
kucing, serta mengamati perubahan pada setiap stadium anestesinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan kedua dilakukan pemberian anastesi inhalasi dengan


menggunakan premedikasi terlebih dahulu. Premedikasi yang kita berikan adalah
atropine, sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik yang berguna
mengurangi sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang
berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi.
Atropine juga dapat berguna untuk memberikan rasa nyaman bagi pasien,
amnesia, analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah
obat – obat anestesika serta menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan.

Kucing yang akan digunakan dalam praktikum diperiksa dahulu keadaan


fisiologisnya, setelah dinyatakan sehat dan layak, kucing siap untuk dianastesi.
Bobot kucing yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu 4.5 kg. Berdasarkan
bobotnya tersebut kita memberikan premedikasi sebanyak 0,3 ml/kgBB via im/sc.
Setelah diberikan kita tunggu selama 10 menit agar obat bekerja sempurna.

Bahan yang digunakan dalam anastesi inhalasi adalah eter. Kucing


dimasukkan dalam kotak kaca kemudian ke dalam kotak kaca di masukan kapas
yang telah dibasahi eter pada menit ke-0. Pada menit ke-9, kucing mulai
memasuki stadium analgesik dimana kucing mulai terlihat gelisah. Tahap ini
berlangsung selama 4 menit dan setelah itu kucing memasuki tahap
delirium/eksitasi. Stadium ini ditandai dengan kucing masih sadar dengan
memperlihatkan gerakan-gerakan tidak teratur, denyut jantung meningkat, dilatasi
pupil, serta laju nafas meningkat namun masih dalam pernafasan costal. Hal ini
terjadi karena eter mempunyai efek simpatomimetik yaitu meningkatkan kerja
saraf simpatis. Tahap ini merupakan tahap paling riskan karena pada tahap ini
sering diikuti oleh hipersalivasi. Karena kucing terlebih dahulu diberikan
premedikasi, stimulasi saliva tidak menimbulkan efek yang kuat. Salivasi yang
dihasilkan hanya buih busa yang keluar dari mulut kucing. Pemberian
premedikasi dalam anstesi dapat menghambat dan mengurangi sekresi saliva.
Pada menit ke-15, kucing memasuki stadium III pelana I yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran, matanya setengah terpejam, tubuh yang terjatuh dan
terbaring, otot perut mulai mengencang, masih adanya refleks nyeri. Hal ini
menunjukkan berakhirnya tahap eksitasi. Tahap ini berlangsung selama 1 menit
dan setelah itu kucing memasuki stadium III pelana II .
Pada menit ke-16, mulai terlihat perubahan pola pernafasan, dari pernafasan
costal berubah menjadi pernafasan abdominal, mata terpejam, respon rasa sakit
mulai hilang dan anstesi sudah dikatakan dalam tahap maksimal. Dengan
tercapainya stadium ini maka kucing telah siap untuk dilakukan tindakan
selanjutnya (pembedahan). Saat kucing sudah memasuki tahap anestesi, kucing
segera dikeluarkan dari tabung kaca pada menit ke-19 agar tidak sampai pada
tahap paralisa. Pada percobaan anstesi ini kita tidak melakukan hingga stadium
IV, yaitu pemberian anstesi secara terus menerus tanpa memperhingkan dosis dan
keselamatan hewan selanjutnya. Setelah tahanpan tadi tercapai, kucing di
kembalikan masukkan ke kandang besi. Kucing akan melewati tahap-tahap
stadium anaesthesi kembali, namun dimulai dari stadium III (anaesthesia),
stadium II (eksitasi), stadium I (analgesia) hingga kondisi kucing menjadi
pulih/normal kembali. Kucing mengalami tidak sadar dikandang besi selama 8
menit dan sadar pada menit ke-54.

KESIMPULAN

Aplikasi obat anaesthesi yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
perinhalasi. Anaesthesi perinhalasi yang diberikan adalah eter, yaitu berupa cairan
yang mudah menguap. Stadium anaesthes perinhalasi dibagi menjadi empat
stadium, yaitu stadium analgesia, stadium delirium/eksitasi, stadium anaestesia
(plana I dan II), dan stadium paralisis. Pada stadium analgesia, hewan terlihat
gelisah. Pada stadium delirium/eksitasi, hewan menunjukkan gerakan-gerakan
tidak teratur, peningkatan denyut jantung, dilatasi pupil, dan peningkatan laju
pernafasan. Penggunaan premedikasi mempengaruhi efek pada stadium ini.
Penggunaan atropin sebagai premedikasi menyebabkan sekresi saliva berkurang.
Pada stadium anaesthesi plana I, hewan kehilangan kesadaran, tetapi masih
mempunyai reflek sakit. Stadium anaesthesi palana II, reflek nyeri sudah hilang.
Pada praktikum ini tidak sampai pada stadium paralisis, yaitu stadium yang dapat
menyebabkan hewan koma bahkan mati. Pengaruh pemberian atropin sebagai
premedikasi adalah mengurangi efek sekresi lendir, mengurangi efek bronkial dan
kardial, onset lebih cepat, dan durasi lebih lama.
SARAN

Pengukuran berat badan hewan sangat penting dilakukan dalam prosedur


anaesthesi perinhalasi. Pengukuran berat badan menentukan penggunaan dosis
yang tepat ketika pemberian premedikasi. Penggunaan dosis yang tidak tepat dan
durasi pemberian obat anaesthesi perinhalasi yang lama (terutama ketika
mencapai stadium anaesthesi) dapat menyebabkan hewan sampai ke stadium
anaesthesi yang keempat, yaitu stadium paralisis. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan penghitungan dosis yang tepat dan durasi pemberian obat anaesthesi
perinhalasi. Selain itu, penggunaan atropin sebagai premedikasi sangat dianjurkan
dalam anaesthesi karena atropin bersifat mendepres seksresi saliva dan sebagai
muscle relaxant.

DAFTAR PUSTAKA

Kee JL, Hayes ER.1993. Pharmacology: A Nursing Process Approach.


Philadelphoa: WB Saunders Company
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC
Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi
Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Tesis Akhir
Penelitian. Medan

Anda mungkin juga menyukai