Anda di halaman 1dari 29

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN

NOMOR: 853/Kpts/KH.020/L/5/2011

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS TINDAKAN KARANTINA HEWAN


TERHADAP LALU LINTAS SAPI (IMPOR DAN ANTAR AREA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN,

Menimbang : 1. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan daging bagi


masyarakat Indonesia dilakukan kegiatan pemasukan sapi dari
luar negeri ke wilayah negara Republik Indonesia;

2. bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas dalam negeri


dilakukan kegiatan lalu lintas antar area sapi;

3. bahwa sapi termasuk media pembawa yang memiliki risiko


tinggi menyebarkan hama penyakit hewan karantina (HPHK)
sehingga perlu dilakukan tindakan karantina terhadap
pemasukan sapi ke dalam wilayah Indonesia untuk mencegah
masuk dan tersebarnya HPHK yang ditularkan oleh sapi;

4. bahwa sapi yang dilalulintaskan harus dijamin kesehatannya;

5. bahwa berkenaan dengan tindakan karantina sebagaimana


tersebut di atas, maka dipandang perlu Penetapan Petunjuk
Teknis Tindakan Karantina terhadap Lalu Lintas Sapi (Impor
dan Antar Area).

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina


Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan


dan Kesehatan Hewan;
3. Peraturan Pemerintah Nomot 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3253);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina


Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3482);

5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang


Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,


Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara, serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.

7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34/Permentan/OT.140/7/


2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan Instalasi
Karantina Hewan;

8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/1/


2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan
Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong;

9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 46/Permentan/HK.340/8/


2010 tentang Tempat-Tempat Pemasukan dan Pengeluaran
Media Pembawa Hama dan Penyakit Hewan Karantina dan
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina;

10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/


9/2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama Penyakit
Hewan Karantina, Penggolongan Dan Klasifikasi Media
Pembawa;

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :

KESATU : KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN


TENTANG PETUNJUK TEKNIS TINDAKAN KARANTINA HEWAN
TERHADAP LALU LINTAS SAPI (IMPOR DAN ANTAR AREA).
KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU;
tercantum pada lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Keputusan;

KETIGA : Pedoman ini merupakan pedoman bagi petugas karantina hewan


dalam melakukan tindakan karantina terhadap sapi;

KEEMPAT : Dengan ditetapkannya Keputusan ini, Keputusan Kepala Badan


Karantina Pertanian Nomor: 184.b/Kpts/PD.670.320/L/12/04
tentang Petunjuk Teknis Operasional Tindakan Karantina
terhadap Hewan Ruminansia Besar dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

KELIMA : Keputusan ini agar dilaksanakan sebaik-baiknya dengan penuh


tanggung jawab.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 4 Mei 2011

KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN

Ir. Banun Harpini, M.Sc


NIP. 19601019 198503 2 001

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.:

1. Menteri Pertanian;
2. Para Pejabat Eselon I Kementerian Pertanian;
3. Para Pejabat Eselon II Badan Karantina Pertanian;
4. Para Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Pertanian di Seluruh Indonesia.
LAMPIRAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN
NOMOR : 853/Kpts/KH.202/L/5/2011
TANGGAL : 4 Mei 2011

PETUNJUK TEKNIS TINDAKAN KARANTINA HEWAN

TERHADAP LALU LINTAS SAPI (IMPOR DAN ANTAR AREA)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Protein hewani sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan, kesehatan, dan


kecerdasan manusia. Ternak sebagai sumber pangan (daging, telur, dan susu)
bagi manusia memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan
kebutuhan protein hewani. Kebutuhan akan protein hewani ini terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan
pendapatan, peningkatan pendidikan dan peningkatan pemahaman
masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi daging, telur dan susu.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat Indonesia yang


terus meningkat, diperkirakan belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam
negeri. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut, maka dilakukan
melalui kegiatan pemasukan dan pengeluaran sapi dari dan ke luar wilayah
negara Republik Indonesia, di samping upaya peningkatan produktivitas
dalam negeri.

Untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut, Kementerian Pertanian


mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014)
untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber
daya domestik khususnya ternak potong. Untuk menunjang Program
Swasembada Daging tersebut, maka Badan Karantina Pertanian melalui Unit
Pelaksana Teknisnya di seluruh Indonesia berperan aktif dalam program
tersebut dengan melaksanakan tindakan karantina sesuai prosedur dan
peraturan yang ada, untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama penyakit
hewan karantina (HPHK) dan mempertahankan wilayah Republik Indonesia
dari status bebas HPHK.

Dalam rangka pelaksanaan tindakan karantina untuk pemasukan dan


pengeluaran sapi dari dan ke luar wilayah negara Republik Indonesia, harus
dilakukan pengamanan dan pemeriksaan yang ketat terhadap sapi tersebut.
Hal ini untuk menjamin tersedianya sapi yang memenuhi syarat kesehatan,
syarat keamanan hayati dan menjamin terselenggaranya usaha budidaya
peternakan.

Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan pedoman dalam penanganan dan


pemeriksaan sapi dalam rangka pelaksanaan tindakan karantina sebagai
acuan bagi petugas di lapangan maupun pengguna jasa karantina/instansi
terkait dalam rangka pelaksanaan tindakan karantina yang profesional
berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan sapi di dalam negeri, maka dilakukan


kegiatan pemasukan dan pengeluaran sapi dari dan ke luar wilayah negara
Republik Indonesia. Pemasukan sapi dapat dilakukan oleh perorangan, badan
hukum atau instansi pemerintah.

Untuk mencegah kemungkinan timbul dan menyebarknya HPHK dan/atau


penyakit hewan eksotik yang dapat ditularkan melalui sapi tersebut serta
untuk perlindungan sumber daya genetik ternak, dan menjaga kelangsungan
pengembangan populasi sapi dalam negeri, maka dalam pemasukan dan
pengeluaran sapi harus memenuhi persyaratan pemasukan dan pengeluaran
yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Untuk persyaratan pemasukan dan pengeluaran sapi mengacu pada


peraturan perundangan yang ada, tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan
dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak, dan Ternak Potong.

1.2. Maksud dan Tujuan

1.2.1. Maksud

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan dalam:

a. Pelaksanaan tindakan karantina terhadap sapi dalam rangka untuk


mencegah masuk dan tersebarnya HPHK yang ditularkan oleh sapi.
b. Persamaan persepsi dalam melaksanakan tindakan karantina
terhadap sapi.

1.2.2. Tujuan

Tujuan penyusunan pedoman ini adalah:

a. Mengefektifkan pelaksanaan tindakan karantina terhadap sapi


dalam mencegah masuk dan tersebarnya HPHK melalui sapi.
b. Mengefektifkan pengawasan dan pemeriksaan sapi yang
dilalulintaskan.
c. Melindungi konsumen dari benih, bibit ternak, dan ternak potong
yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang diatur dalam pedoman ini meliputi:

a. Penanganan dan pemeriksaan sapi;


b. Pemeriksaan dan pengujian laboratorium;
c. HPHK yang dapat disebarkan melalui sapi;
d. Jenis sapi dan restrain/handling sapi;
e. Persyaratan pemasukan dan pengeluaran sapi.

1.4. Batasan (Pengertian)

Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:

1. Area adalah daerah dalam suatu pulau, pulau, atau kelompok pulau di
dalam negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan
penyebaran hama penyakit hewan karantina.

2. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Karantina Pertanian adalah UPT di


lingkungan Badan Karantina Pertanian yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Badan Karantina Pertanian.

3. Pengambilan sampel atau spesimen adalah tindakan perlakuan pada


media pembawa dengan cara mengambil sejumlah sampel dan atau
spesimen untuk kepentingan pengujian, identifikasi, dan peneguhan
diagnosis hama dan penyakit hewan karantina sesuai ketentuan dan tata
cara pengambilan sampel dan atau spesimen yang benar.
4. Petugas teknis karantina hewan adalah petugas Medik Veteriner dan
Paramedik Veteriner yang diberi tugas melakukan tindakan karantina.

5. Spesimen adalah contoh bahan pemeriksaan penyakit yang berasal dari


hewan, bahan asal hewan, dan hasil bahan asal hewan yang dicurigai.

6. Laboratorium veteriner adalah laboratorium kesehatan hewan,


laboratorium kesehatan veteriner, laboratorium karantina hewan, dan
laboratorium lainnya yang ditunjuk untuk melakukan tugas pengujian,
penyidikan dan upaya penanggulangan terhadap media pembawa hama
dan penyakit hewan karantina dengan menggunakan metode uji yang
standar.

7. Pemasukan sapi adalah serangkaian kegiatan untuk memasukkan sapi


dari luar negeri ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia baik untuk
pemenuhan kebutuhan benih, bibit ternak, dan ternak potong dalam
negeri.

8. Pengeluaran sapi adalah serangkaian kegiatan untuk mengeluarkan sapi


dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar negeri.

9. Sapi adalah semua hasil pemuliaan sapi yang memenuhi persyaratan


tertentu untuk dikembangbiakkan.

10. Negara asal pemasukan yang selanjutnya disebut negara asal adalah
suatu negara yang mengeluarkan benih, bibit ternak, dan ternak potong
ke suatu tempat pemasukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

11. Negara tujuan adalah suatu negara yang menerima benih, bibit ternak,
dan ternak potong dari wilayah negara Republik Indonesia.

12. Tindakan Karantina Hewan yang selanjutnya disebut Tindakan Karantina


adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan
karantina masuk ke, tersebar di, dan atau keluar dari wilayah negara
Republik Indonesia.

13. Surat Persetujuan Pemasukan yang selanjutnya disebut SPP adalah


keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang
ditunjuknya kepada perorangan atau badan hukum atau instansi
pemerintah untuk dapat melakukan pemasukan benih, bibit ternak, atau
ternak potong dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
14. Surat Persetujuan Pengeluaran yang selanjutnya disingkat SPP-I adalah
keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang
ditunjuknya kepada perorangan atau badan hukum atau instansi
pemerintah untuk dapat melakukan pengeluaran benih, bibit ternak, atau
ternak potong dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia.

15. Persyaratan Kesehatan Hewan (Health Requirements) adalah persyaratan


di bidang kesehatan hewan yang ditetapkan negara tujuan yang memuat
status kesehatan hewan di negara asal, status kesehatan hewan di
peternakan asal, dan perlakuan kesehatan hewan, serta tindakan
karantina yang harus dipenuhi oleh negara asal.

16. Dokumen Persyaratan Karantina Hewan adalah sertifikat kesehatan dari


negara/area asal (health certificate), surat keterangan asal (certificate of
origin), passport hewan, dan surat keterangan mutasi/transit, surat
persetujuan pemasukan/surat rekomendasi pemasukan.

17. Dokumen Kesehatan Hewan adalah surat keterangan yang menyatakan


pemenuhan persyaratan kesehatan hewan sebagaimana ditentukan dalam
Health Requirements yang ditetapkan oleh negara tujuan dan dikeluarkan
secara sah oleh pejabat kesehatan hewan yang berwenang di negara asal
atau surat keterangan asal yang menyatakan pemenuhan persyaratan
kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwenang di
Kabupaten/Kota setempat.

18. Surat Rekomendasi Pemasukan adalah surat rekomendasi pemasukan


dari Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas yang
membidangi Peternakan atau Kesehatan Hewan/Kesehatan Masyarakat
Veteriner di daerah tujuan.

19. Silsilah (pedigree) adalah catatan mengenai asal-usul keturunan ternak


yang meliputi nama, nomor, dan performa dari ternak dan tetua
penurunnya.

20. Bibit dasar atau foundation stock (FS) adalah bibit hasil dari suatu proses
pemuliaan dengan spesifikasi bibit yang memiliki silsilah dan telah
melalui uji performans dan atau uji zuriat.

21. Bibit induk atau breeding stock (BS) adalah bibit dengan spesifikasi
tertentu yang mempunyai silsilah untuk menghasilkan bibit sebar.
22. Bibit sebar atau commercial stock (CS) adalah bibit dengan spesifikasi
tertentu untuk digunakan dalam proses produksi.

23. Penyakit Hewan Eksotik adalah penyakit yang belum pernah terjadi atau
muncul di suatu negara atau wilayah, baik secara klinis, epidemiologis,
maupun laboratoris (catatan: termasuk HPHK).

24. Dinas adalah instansi pemerintah daerah yang menangani fungsi


Peternakan dan/atau Kesehatan Hewan.
BAB II
DOKUMEN PERSYARATAN KARANTINA TERHADAP LALU LINTAS SAPI

2.1 Impor

Dokumen persyaratan untuk lalu lintas sapi impor adalah sebagai berikut:

a. Sertifikat Kesehatan Hewan (Certificate of Animal Health) yang diterbitkan


oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit;
b. Surat Persetujuan Pemasukan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian;
c. Surat Keterangan Transit apabila alat angkut melakukan transit;
d. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin);
e. Untuk sapi bibit, dilengkapi dengan Sertifikat Asal-Usul/Silsilah (pedigree)
yang dikeluarkan oleh Asosiasi Breeder sejenis atau badan-badan
pemerintah/semi pemerintah/swasta yang berwenang.

2.2 Antar Area

Dokumen persyaratan untuk lalu lintas sapi antar area adalah sebagai
berikut:

a. Sertifikat Kesehatan Hewan (Certificate of Animal Health) yang diterbitkan


oleh pejabat berwenang (karantina pertanian);
b. Sertifikat Keterangan Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat
berwenang dari daerah asal;
c. Surat Rekomendasi dari pejabat yang berwenang dari daerah tujuan.

2.3 Ekspor

Dokumen persyaratan untuk lalu lintas sapi ekspor adalah sebagai berikut:

a. Surat Persetujuan Pengeluaran dari Direktorat Jenderal Peternakan dan


Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian;
b. Surat Keterangan Kesehatan Hewan dari pejabat berwenang dari daerah
asal;
c. Surat Rekomendasi dari pejabat yang berwenang dari daerah asal;
d. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin);
BAB III
TINDAKAN KARANTINA HEWAN

3.1. Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalu Lintas Sapi Impor

Tindakan karantina bertujuan untuk mencegah masuk, keluar, dan


tersebarnya HPHK, untuk menjamin terhindarnya pencemaran lingkungan
oleh limbah dan menghindari kemungkinan penyebaran hama penyakit
hewan karantina. Tindakan yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:

3.1.1. Pemeriksaan

(i) Pemeriksaan Dokumen Persyaratan Karantina

Diperlukan untuk mengetahui kelengkapan, kebenaran isi, dan


keabsahan dokumen.

(ii) Pemeriksaan Mutu/Kualitas Sapi Bibit

Untuk memperoleh sapi yang sehat, memenuhi standar keamanan


hayati, kesehatan hewan, maka dilakukan pemeriksaan fisik dan
pembuktian (control inspection and approval – CIA) oleh petugas
karantina hewan.

(iii) Pemeriksaan klinis hewan, meliputi pemeriksaan:

 Mukosa/selaput lendir;
 Parasit kulit;
 Permukaan kulit;
 Luka;
 Feses;
 Nafsu makan/minum;
 Pergerakan rumen;
 Alat pergerakan;
 Alat pernafasan;
 Alat kardiovaskuler

(iv) Waktu

 Pemeriksaan dilakukan pada siang hari, kecuali atas


pertimbangan dokter hewan karantina.
 Pemeriksaan dilakukan sejak hewan diserahkan sampai dengan
tindakan karantina dinyatakan selesai/berakhir.

3.1.2. Pengasingan dan Pengamatan

a. Dilakukan pengasingan di Instalasi Karantina Hewan yang telah


ditetapkan selama minimal 14 hari.
b. Pengamatan kondisi hewan dilakukan setiap hari selama masa
karantina dengan mengamati perkembangan gejala klinis yang
timbul selama masa pengasingan.

3.1.3. Pelakuan

a. Memisahkan atau mengisolasi hewan yang sakit dan dilakukan


pengobatan.
b. Dilakukan pengobatan terhadap hewan yang sakit selama masa
karantina sepanjang dinilai tidak mengganggu proses pengamatan
dan pemeriksaan selanjutnya.

3.1.4. Jenis Sampel dan Pemeriksaan Laboratorium

a. Spesimen/sampel untuk pemeriksaan/pengujian laboratorium


pada sapi betina adalah sebagai berikut:
1) Darah, untuk pengujian:
 Anthrax (dari pembuluh darah perifer), pengujian dilakukan
dengan metode ulas darah.
 Theileriosis, pengujian dilakukan dengan metode ulas darah.
 Babesiosis, pengujian dilakukan dengan metode ulas darah.
 Anaplasmosis, pengujian dilakukan dengan metode ulas
darah.
 Hemorrhagic Septicemia (dari pembuluh darah perifer),
pengujian dilakukan dengan metode ulas darah.

2) Serum, untuk pengujian:


 Brucellosis, pengujian dilakukan dengan metode Rose Bengal
Test (RBT). Jika hasil positif dilanjutkan dengan metode
Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).
 Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), pengujian dengan
metode ELISA, Serum Neutralization Test (SNT). Jika hasil
positif dilanjutkan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Enzootic Bovine Leucosis (EBL), pengujian dengan metode
ELISA, Agar Gel Immunodiffusion (AGID). Jika hasil positif
dilanjutkan dengan PCR.
 Bovine Viral Diarrhea (BVD), pengujian dengan metode ELISA,
Viral Neutralization Test (VNT).
 Paratuberculosis, pengujian dengan metode ELISA atau CFT.
Jika hasil positif dilanjutkan dengan PCR dan kultur dari
feses.
 Q-Fever, pengujian dengan metode indirect immuno-
fluorescence (IFA), ELISA, dan CFT.
 Trichomonosis, pengujian dengan metode ELISA, PCR.

3) Feses, untuk pengujian:


 Paratuberculosis, pengujian metode pengujian kultur.
Dilakukan jika hasil ELISA dan PCR positif.

4) Fetus/abortusan, untuk pengujian:


 Brucellosis (cairan uterus, plasenta, isi lambung fetus, paru-
paru fetus, kotiledon, atau limfoglandula), pengujian dengan
metode kultur.

5) Swab, untuk pengujian:


 Trichomonosis (swab cervix), dengan metode mucous agglu-
tination test.

6) Susu
 Brucellosis, dengan metode pengujian Milk Ring Test.

7) Kulit
 Paratuberculosis, dengan metode pengujian tuberkulinasi
(intradermal test) / delayed type hypersensitivity (DTH).
 Trichomonosis, dengan metode intradermal tricin test.

8) Cairan udem
 Hemorrhagic septicemia, dengan metode pengujian preparat
ulas.
b. Spesimen/sampel untuk pemeriksaan/pengujian laboratorium
pada sapi jantan adalah sebagai berikut:

1) Serum, untuk pengujian:


 Brucellosis, pengujian dilakukan dengan metode Rose Bengal
Test (RBT). Jika hasil positif dilanjutkan dengan metode
Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).
 Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), pengujian dengan
metode ELISA, Serum Neutralization Test (SNT). Jika hasil
positif dilanjutkan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Enzootic Bovine Leucosis (EBL), pengujian dengan metode
ELISA, Agar Gel Immunodiffusion (AGID). Jika hasil positif
dilanjutkan dengan PCR.
 Bovine Viral Diarrhea (BVD), pengujian dengan metode ELISA,
Viral Neutralization Test (VNT).
 Paratuberculosis, pengujian dengan metode ELISA atau CFT.
Jika hasil positif dilanjutkan dengan PCR dan kultur dari
feses.
 Trichomonosis, pengujian dengan metode ELISA, PCR.

2) Feses, untuk pengujian:


 Paratuberculosis, pengujian metode pengujian kultur.
Dilakukan jika hasil ELISA dan PCR positif.

3) Kulit
 Paratuberculosis, dengan metode pengujian tuberkulinasi
(intradermal test) / delayed type hypersensitivity (DTH).
 Trichomonosis, dengan metode intradermal tricin test.

c. Prosedur Pemeriksaan Brucellosis


1) Pengambilan sampel dan pengujian brucellosis dilakukan baik
terhadap sapi bibit maupun sapi potong.
2) Pengambilan sampel dan pengujian terhadap sapi bibit adalah
100%.
3) Pengambilan sampel dan pengujian dilakukan sebagai berikut:
(i) Uji brucellosis dilakukan dengan metode RBT sebanyak 2
(dua) kali;
(ii) Sapi hanya dapat dikeluarkan dari negara asal/sumber
ternak minimal 30 (tiga puluh) hari setelah uji RBT pertama
dengan hasil negatif;
(iii) Uji yang dilaksanakan di negara asal dianggap pengujian
pertama, uji kedua dilakukan di karantina tempat
pemasukan;
(iv) Selang waktu antara uji pertama dan uji kedua sekurang-
kurangnya 30 (tiga puluh) hari dan paling lambat 60 (enam
puluh) hari;
(v) Apabila daerah pelepasan adalah daerah bebas brucellosis,
pengujian kedua dilakukan di IKH dalam selang waktu 30
hari setelah pengujian pertama.
 Jika hasil negatif, maka sapi dinyatakan bebas dari
brucellosis.
 Jika hasil positif, maka dilakukan pemotongan
bersyarat (pemusnahan).
(vi) Apabila daerah pelepasan adalah daerah endemis, maka
pengujian kedua dilakukan berkoordinasi dengan Dinas
yang membidangi Peternakan dan Kesehatan Hewan
setempat, setelah pelepasan dari karantina dalam selang
waktu 30 hari dari pengujian di IKH.

3.1.5. Penahanan

Penahanan dilakukan bila:

a. Dokumen persyaratan tidak dapat dilengkapi.


b. Hasil pengujian laboratorium didapatkan hasil positif terhadap
penyakit brucellosis, paratuberculosis, anthrax, didapatkan hasil
positif untuk dilakukan pemotongan bersyarat (pemusnahan).

3.1.6. Penolakan

Penahanan dilakukan bila:

a. Setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama


penyakit hewan karantina;
b. Persyaratan karantina tidak seluruhnya dipenuhi;
c. Setelah dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang
harus dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat
dipenuhi; atau
d. Setelah diberikan perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat
disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan
karantina.

3.1.7. Pemusnahan

Pemusnahan dilakukan bila:

a. Setelah sapi tersebut diturunkan dari alat angkut dan dilakukan


pemeriksaan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu
yang ditetapkan oleh Menteri;
b. Sapi yang ditolak tidak segera dibawa keluar dari wilayah negara
Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam
batas waktu yang ditetapkan;
c. Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular hama
penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri;
atau
d. Setelah sapi tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi
perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari
hama penyakit hewan karantina.

3.1.8. Pembebasan

Pembebasan dilakukan bila:

a. Setelah dilakukan pemeriksaan, tidak tertular hama penyakit


hewan karantina;
b. Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tidak tertular
hama penyakit hewan karantina;
c. Setelah dilakukan perlakuan, dapat disembuhkan dari hama
penyakit hewan karantina; atau
d. Setelah dilakukan penahanan, seluruh persyaratan yang diwajibkan
dapat dipenuhi.
3.2. Tindakan Karantina terhadap Lalu Lintas Sapi Antar Area

Pada prinsipnya tindakan karantina terhadap lalu lintas sapi antar area sama
dengan tindakan karantina sapi impor.

3.2.1. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Dokumen Persyaratan Karantina

Diperlukan untuk mengetahui kelengkapan, kebenaran isi, dan


keabsahan dokumen.

b. Pemeriksaan Mutu/Kualitas Sapi Bibit

Untuk memperoleh sapi yang sehat, memenuhi standar keamanan


hayati, kesehatan hewan, maka dilakukan pemeriksaan fisik dan
pembuktian (control inspection and approval – CIA) oleh petugas
karantina hewan.

c. Pemeriksaan klinis hewan, meliputi pemeriksaan:


 Mukosa/selaput lendir;
 Parasit kulit;
 Permukaan kulit;
 Luka;
 Feses;
 Nafsu makan/minum;
 Pergerakan rumen;
 Alat pergerakan;
 Alat pernafasan;
 Alat kardiovaskuler

d. Waktu
 Pemeriksaan dilakukan pada siang hari, kecuali atas
pertimbangan dokter hewan karantina.
 Pemeriksaan dilakukan sejak hewan diserahkan sampai dengan
tindakan karantina dinyatakan selesai/berakhir.

3.2.2. Pengasingan dan Pengamatan

a. Dilakukan pengasingan di Instalasi Karantina Hewan yang telah


ditetapkan.
b. Pengamatan kondisi hewan dilakukan setiap hari selama masa
karantina dengan mengamati perkembangan gejala klinis yang
timbul selama masa pengasingan.

3.2.3. Pelakuan

a. Memisahkan atau mengisolasi hewan yang sakit dan dilakukan


pengobatan.
b. Dilakukan pengobatan terhadap hewan yang sakit selama masa
karantina sepanjang dinilai tidak mengganggu proses pengamatan
dan pemeriksaan selanjutnya.

3.2.4. Jenis Sampel dan Pemeriksaan Laboratorium

a. Spesimen/sampel untuk pemeriksaan/pengujian laboratorium


pada sapi betina adalah sebagai berikut:
1) Darah, untuk pengujian:
 Anthrax (dari pembuluh darah perifer), pengujian dilakukan
dengan metode ulas darah.
 Theileriosis, pengujian dilakukan dengan metode ulas darah.
 Babesiosis, pengujian dilakukan dengan metode ulas darah.
 Anaplasmosis, pengujian dilakukan dengan metode ulas
darah.
 Hemorrhagic Septicemia (dari pembuluh darah perifer),
pengujian dilakukan dengan metode ulas darah.

2) Serum, untuk pengujian:


 Brucellosis, pengujian dilakukan dengan metode Rose Bengal
Test (RBT). Jika hasil positif dilanjutkan dengan metode
Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).
 Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), pengujian dengan
metode ELISA, Serum Neutralization Test (SNT). Jika hasil
positif dilanjutkan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Enzootic Bovine Leucosis (EBL), pengujian dengan metode
ELISA, Agar Gel Immunodiffusion (AGID). Jika hasil positif
dilanjutkan dengan PCR.
 Bovine Viral Diarrhea (BVD), pengujian dengan metode ELISA,
Viral Neutralization Test (VNT).
 Paratuberculosis, pengujian dengan metode ELISA atau CFT.
Jika hasil positif dilanjutkan dengan PCR dan kultur dari
feses.
 Q-Fever, pengujian dengan metode indirect immuno-
fluorescence (IFA), ELISA, dan CFT.
 Trichomonosis, pengujian dengan metode ELISA, PCR.

3) Feses, untuk pengujian:


 Paratuberculosis, pengujian metode pengujian kultur.
Dilakukan jika hasil ELISA dan PCR positif.

4) Fetus/abortusan, untuk pengujian:


 Brucellosis (cairan uterus, plasenta, isi lambung fetus, paru-
paru fetus, kotiledon, atau limfoglandula), pengujian dengan
metode kultur.

5) Swab, untuk pengujian:


 Trichomonosis (swab cervix), dengan metode mucous agglu-
tination test.

6) Susu
 Brucellosis, dengan metode pengujian Milk Ring Test.

7) Kulit
 Paratuberculosis, dengan metode pengujian tuberkulinasi
(intradermal test) / delayed type hypersensitivity (DTH).
 Trichomonosis, dengan metode intradermal tricin test.

8) Cairan udem
 Hemorrhagic septicemia, dengan metode pengujian preparat
ulas.

b. Spesimen/sampel untuk pemeriksaan/pengujian laboratorium


pada sapi jantan adalah sebagai berikut:

1) Serum, untuk pengujian:


 Brucellosis, pengujian dilakukan dengan metode Rose Bengal
Test (RBT). Jika hasil positif dilanjutkan dengan metode
Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).
 Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), pengujian dengan
metode ELISA, Serum Neutralization Test (SNT). Jika hasil
positif dilanjutkan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Enzootic Bovine Leucosis (EBL), pengujian dengan metode
ELISA, Agar Gel Immunodiffusion (AGID). Jika hasil positif
dilanjutkan dengan PCR.
 Bovine Viral Diarrhea (BVD), pengujian dengan metode ELISA,
Viral Neutralization Test (VNT).
 Paratuberculosis, pengujian dengan metode ELISA atau CFT.
Jika hasil positif dilanjutkan dengan PCR dan kultur dari
feses.
 Trichomonosis, pengujian dengan metode ELISA, PCR.

2) Feses, untuk pengujian:


 Paratuberculosis, pengujian metode pengujian kultur.
Dilakukan jika hasil ELISA dan PCR positif.

3) Kulit
 Paratuberculosis, dengan metode pengujian tuberkulinasi
(intradermal test) / delayed type hypersensitivity (DTH).
 Trichomonosis, dengan metode intradermal tricin test.

c. Prosedur Pemeriksaan Brucellosis


1) Pengambilan sampel dan pengujian brucellosis dilakukan baik
terhadap sapi bibit maupun sapi potong.
2) Untuk sapi jantan yang sudah dikastrasi dan akan langsung
disembelih tidak dilakukan pengambilan sampel dan pengujian
terhadap brucellosis.
3) Pengambilan sampel dan pengujian terhadap sapi bibit adalah
100%.
4) Pengambilan sampel dan pengujian dilakukan sebagai berikut:
(i) Uji brucellosis dilakukan dengan metode RBT sebanyak 2
(dua) kali;
(ii) Selang waktu antara uji pertama dan uji kedua sekurang-
kurangnya 30 (tiga puluh) hari dan paling lambat 60 (enam
puluh) hari;
(iii) Sapi hanya dapat dikeluarkan dari daerah asal/sumber
ternak minimal 30 (tiga puluh) hari setelah uji pertama
dengan hasil negatif (dibuktikan dengan menyertakan hasil
pengujian laboratorium). Uji pertama dilaksanakan di
lapangan oleh Dinas Peternakan setempat (daerah asal);
(iv) Di daerah pengeluaran:
 Apabila di daerah asal baru dilakukan 1 (satu) kali uji
serologis, maka uji kedua dilakukan di karantina daerah
asal.
 Apabila dari hasil uji RBT kedua ditemukan hasil yang
positif, maka dilakukan konfirmasi dengan uji CFT.
 Apabila hasil uji CFT positif, terhadap sapi tersebut
ditolak pengeluarannya dan apabila hasil uji CFT
negatif, sapi dinyatakan bebas dari brucellosis dan dapat
diberangkatkan.
(v) Di daerah pemasukan:
 Jika di daerah pengeluaran sudah dilakukan tes
serologis sebanyak 2 kali dan hasilnya negatif brucellosis
(dengan menyertakan hasil pengujian laboratorium),
maka di daerah pemasukan tidak perlu dilakukan
pengujian terhadap brucellosis.
 Jika pada daerah pengeluaran baru dilakukan tes
serologis pertama, maka saat tindakan karantina
dilakukan pengujian kedua dengan ketentuan sebagai
berikut:
- Apabila daerah pelepasan adalah daerah bebas
brucellosis, pengujian kedua dilakukan di IKH dalam
selang waktu 30 hari setelah pengujian pertama.
1) Jika hasil negatif, maka sapi dinyatakan bebas
dari brucellosis.
2) Jika hasil positif, maka dilakukan pemotongan
bersyarat (pemusnahan).
- Apabila daerah pelepasan adalah daerah endemis,
maka pengujian kedua dilakukan berkoordinasi
dengan Dinas yang membidangi Peternakan dan
Kesehatan Hewan setempat, setelah pelepasan dari
karantina dalam selang waktu 30 hari dari pengujian
di IKH

3.2.5. Penahanan

Penahanan dilakukan bila:

a. Dokumen persyaratan tidak dapat dilengkapi.


b. Hasil pengujian laboratorium didapatkan hasil positif terhadap
penyakit brucellosis, paratuberculosis, anthrax, didapatkan hasil
positif untuk dilakukan pemotongan bersyarat (pemusnahan).

3.2.6. Penolakan

Penahanan dilakukan apabila ternyata:

a. Setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama


penyakit hewan karantina;
b. Persyaratan karantina tidak seluruhnya dipenuhi;
c. Setelah dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang
harus dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat
dipenuhi; atau
d. Setelah diberikan perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat
disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan
karantina.

3.2.7. Pemusnahan

Pemusnahan dilakukan bila:

a. Setelah sapi tersebut diturunkan dari alat angkut dan dilakukan


pemeriksaan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu
yang ditetapkan oleh Menteri;
b. Sapi yang ditolak tidak segera dibawa keluar dari wilayah negara
Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam
batas waktu yang ditetapkan;
c. Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular hama
penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri;
atau
d. Setelah sapi tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi
perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari
hama penyakit hewan karantina.

3.2.8. Pembebasan

Pembebasan dilakukan bila:

a. Setelah dilakukan pemeriksaan, tidak tertular hama penyakit


hewan karantina;
b. Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tidak tertular
hama penyakit hewan karantina;
c. Setelah dilakukan perlakuan, dapat disembuhkan dari hama
penyakit hewan karantina; atau
d. Setelah dilakukan penahanan, seluruh persyaratan yang diwajibkan
dapat dipenuhi.
BAB IV

PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SAMPEL

4.1. Pengambilan Sampel

4.1.1. Pengambilan Sampel Darah

a) Darah tepi
 Sampel darah tepi diambil dari pembuluh darah perifer daerah
telinga.
 Pada daerah telinga dioleskan alkohol 70% lalu dengan
menggunakan jarum, pembuluh darah ditusuk dan tetesan darah
diusapkan pada gelas objek, dibuat preparat ulas darah.

b) Whole blood
 Sampel diambil dari vena leher (vena jugularis) atau vena ekor
(vena coxae).
 Rambut di sekitar vena leher dicukur bila perlu.
 Pembuluh darah dibendung, setelah darah terbendung, daerah
tersebut diusap dengan kapas yang dibasahi alkohol untuk
desinfeksi.
 Jarum suntik steril ditusukkan, saat darah keluar ditampung
beberapa tetes dan diusapkan pada gelas objek untuk membuat
preparat ulas darah guna pemeriksaan parasit darah.
 Setelah pembuatan preparat ulas darah selesai, darah ditampung
ke dalam tabung reaksi (+ 5 ml) untuk membuat serum atau
tabung antikoagulan untuk mendapatkan sampel whole blood.

c) Serum
Darah dalam tabung reaksi (+ 5 ml) dibiarkan pada suhu kamar
sampai terjadi pemisahan antara serum dan bekuan sel darah. Cairan
serum yang sudah terpisahkan dari bekuan darah ini kemudian
dipindahkan ke dalam tabung gelas/plastik (tabung venoject/ampul)
yang steril.

4.1.2. Pengambilan Sampel Feses


 Sampel feses yang terbaik adalah yang diambil langsung dari rektum.
 Sampel feses diambil minimal 10 gram langsung dari rektum dan
dimasukkan ke botol tertutup/plastik steril. Swab rektum yang
penuh dengan tinja harus dimasukkan ke dalam transpor media yang
sesuai.

4.1.3. Pengambilan Sampel Fetus yang Keguguran dan Selaput Fetus


Jika fetus hewan berukuran besar dan tidak mungkin dibawa ke
laboratorium, maka diambil sampel secara aseptik dari berbagai organ
dalam botol steril. Preparat ulas dari membran fetus harus dibuat.

4.1.4. Pengambilan Sampel Air Susu


 Cuci ambing sampai bersih dan keringkan dengan kertas (tisu).
 Apabila ambing diduga masih mengandung kontaminasi, bersihkan
dengan alkohol 70%.
 Keluarkan air susu dengan memerah putting susu. Hasil perahan
pertama dibuang. Perahan berikutnya sebanyak 10-20 ml ditampung
dalam botol McCartney steril ukuran 30 ml atau botol plastik yang
steril.
 Pada waktu memerah susu, peganglah botol hampir mendatar
(horizontal) dan hindarkan agar putting susu tidak menempel pada
botol. Sampel harus dikirim ke laboratorium dalam keadaan dingin.

4.1.5. Pengambilan Sampel Lendir Vagina


Lendir vagina dapat dikumpulkan dari ventral vornix vagina dan os
externa cervix menggunakan pipet IB (inseminasi buatan) yang dituntun
oleh tangan per rektal, kemudian disedot secara perlahan-lahan ke
bagian ujungnya dan spesimen dikirim ke laboratorium dalam keadaan
dingin menggunakan dry ice.

4.1.6. Intradermal Test (Tuberkulinasi)


 Ukur ketebalan kulit daerah yang akan disuntik (kulit bagian leher
atau caudal fold) dengan kutimeter.
 Bersihkan dengan alkohol dan suntik secara intradermal pada bagian
tersebut dengan 0,1 ml PPD Johnin/PPD avium.
 Setelah 72 jam ukur kembali bagian kulit yang disuntik dan apabila
ada peningkatan ketebalan 2 mm atau lebih (oedema sesaat),
menunjukkan ada reaksi DTH.
4.2. Pengemasan/Pengepakan

Sampel/spesimen yang akan dikirimkan ke suatu laboratorium penguji


melalui transportasi (darat, laut, atau udara) menggunakan jasa transportasi
komersial harus dikemas dengan kualitas baik, cukup kuat terhadap
goncangan dan tidak mengakibatkan kehilangan isinya.

Pengepakan sampel/spesimen dimaksudkan agar spesimen dikemas


sedemikian rupa sehingga sampel/spesimen terlindung dari pengaruh luar
yang dapat merusak sampel/spesimen, tidak mengubah sampel/spesimen,
agen penyakit tidak mati, terlindung, dan tidak mengkontaminasi lingkungan.
Untuk itu, maka pengepakan sampel/spesimen dilakukan dengan hati-hati,
mengikuti petunjuk standar untuk keamanan dan mencegah kerusakan
sampel/spesimen dan menjaga agar agen penyakit tetap hidup selama
pengiriman.

Sampel/spesimen diletakkan pada tempat yang kokoh (tidak mudah lepas),


lalu disimpan dalam boks/kotak kedap dan dingin (berisi batu es atau es
kering/dry ice) dengan ukuran yang cukup dan diperkirakan jumlah batu es
atau es kering dapat membuat sampel/spesimen tetap dingin sampai di
tempat tujuan. Bila dikhawatirkan terjadi goncangan yang dapat membuat
pecahnya kemasan sampel/spesimen, maka dapat terlebih dahulu dibungkus
dengan kapas atau bahan lainnya (sebagai pelindung goncangan).

4.3. Pengiriman

Setelah dilakukan pengepakan, maka spesimen siap dikirim ke tempat


tujuan. Dalam pengiriman spesimen, perlu diperhatikan jalur pengiriman
serta perkiraan pengiriman. Jalur pengiriman spesimen lewat darat sangat
terkait dengan lama waktu pengiriman. Dengan demikian, perlu
dipertimbangkan kekuatan bahan pendingin yang digunakan. Bahan
pendingin untuk jarak dekat atau dalam waktu 24 jam dapat digunakan es
batu atau pak es (ice pack), untuk jarak jauh (lebih dari 24 jam) digunakan es
kering (dry ice).

Jika pengiriman dilakukan melalui jasa transportasi, maka pengepakan


spesimen dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh jasa
transportasi, termasuk jasa transportasi udara.

Spesimen yang dikirim harus bersifat komunikatif agar dapat dimengerti oleh
petugas penguji di laboratorium, maka spesimen perlu diberikan kelengkapan
atau informasi yang relevan. Kelengkapan yang diperlukan untuk menyertai
spesimen sampai ke laboratorium penguji adalah surat pengiriman atau
formulir penyerahan spesimen, yang berisi:

 Nama dan alamat pengirim, termasuk nomor telepon dari personal kontak.

 Original atau asal-usul spesimen.

 Riwayat hewan dan tanggal pengambilan.

 Bahan pengawet atau pembawa spesimen.

 Identifikasi hewan dan jenis spesimen.

 Uji laboratorium yang diminta

Pengujian laboratorium lanjutan untuk sapi juga mengacu pada pedoman lain
yang telah ditetapkan, yaitu:

1. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 68/Kpts/HK.060/


L/1/2010 tentang Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit Viral.

2. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 152/Kpts/HK.030/


L/3/2010 tentang Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit
Parasitik.

3. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 385/Kpts/KP.430/


L/5/2010 tentang Pedoman Pengujian Laboratorium untuk Penyakit
Bakterial.

4. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 2897.a/Kpts/HK.


060/L/10/2007 tentang Pedoman Pengambilan Sampel dalam Rangka
Monitoring Hama dan Penyakit Hewan Karantina pada Hewan dan Bahan
Asal Hewan, serta Hasil Bahan Asal Hewan di Daerah Pemasukan/
Pengeluaran dan Daerah Penyebaran Eks Pemasukan.
BAB V
PENUTUP

Petunjuk Teknis ini disusun agar dapat dipergunakan sebaik-baiknya sebagai


bahan pedoman atau acuan pelaksanaan kegiatan. Petunjuk teknis ini bersifat
dinamis dan akan disesuaikan kembali apabila terjadi perubahan dan
perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat.

KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN

Ir. Banun Harpini, M.Sc


NIP. 19601019 198503 2 001
Lampiran 1. Spesifikasi Teknis/Sifat-Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Sapi
Lampiran 2. HPHK Golongan I dan II yang dapat disebarkan melalui Sapi
Lampiran 3. Koleksi dan Transport Spesimen untuk Pengujian Mikrobiologis

Anda mungkin juga menyukai