Disusun oleh:
Veicitas Yosli Putri, SKH B94184247
Dibimbing oleh:
Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM
Pemeriksaan Fisik
Anamnesa
Signalment Hewan
Status present
Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus/tingkah laku : Tulang punggung lurus/jinak
Gizi : Cukup
Pertumbuhan badan : Baik
Sikap berdiri : Tegak pada keempat kaki
Suhu tubuh : 38.5°C
Frekuensi nadi : 116 kali/menit
Frekuensi nafas : 48 kali/menit
Adaptasi lingkungan : Baik
Telinga
- Posisi : Tegak ke atas keduanya
- Bau : Bau khas seruman
- Permukaan daun telingan : Bersih, tidak ada keropeng
- Krepitasi : Tidak ada
- Refleks panggilan : Ada
Leher
- Perototan : Tegas dan simetris
- Trakea : Cincin teraba, tidak ada refleks batuk
- Esofagus : Kosong
- Ln. Retropharyngealis/Ln. : Membengkak kiri dan kanan, lobulasi tidak
Mandibularis jelas, suhu lebih panas
Lymphonodus popliteus
- Ukuran : Tidak ada pembesaran
- Konsistensi : Kenyal
- Lobulasi : Jelas
- Perlekatan/pertautan : Tidak ada perlekatan
Kestabilan pelvis
- Konformasi : Tegas
- Kesimterisan : Simetris
- Tuber ischii : Teraba
- Tuber coxae : Teraba, tidak ada krepitasi, tidak ada rasa sakit
- Identifikasi kondisi : Kondisi kulit baik dan tidak ada lesio
dermatologi ekstrimitas
bawah
PEMERIKSAAN LANJUTAN : -
DIAGNOSA : Gingivitis dan conjunctivitis awal
DIFERENSIAL DIAGNOSA : -
PROGNOSA : Fausta
TERAPI : Salep Erlamycetin, vitamin C dan
imboost
TANGGAL : 19 MARET 2019
HASIL PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Pasien kucing bernama Justin diperiksa dengan anamnesa kurangnya nafsu
makan dan kedua mata mengeluarkan discharge terus menerus. Kondisi ini sudah
berjalan selama 1 minggu. Secara umum pemeriksaan fisik pasien menunjukkan
hasil yang baik dan normal. Pasien beraktifitas secara aktif dan tanda vital (heart
rate, respiration rate, suhu tubuh) dalam range normal. Pasien memiliki heart rate
120 x/menit , repiration rate 48 x/menit dan suhu tubuh 38.50C. Heart rate normal
pada kucing usia < 12 bulan adalah sebesar 120-220 x/menit dan respiration rate
sebesar 30-60 kali/menit (Peterson dan Kutzler 2011). Menurut Widodo et al.
(2011) panas tubuh kucing berkisar antara 38.5-39.50C. Selain itu melalui
auskultasi paru-paru tidak ditemukan adanya suara ikutan antara inspirasi dan
ekspirasi. Pada asukultasi jantung juga tidak ditemukan adanya suara ikutan atau
suara ekstrasistolik yang menunjukkan adanya kelainan pada kerja jantung.
Frekuensi jantung dan pernapasan serta berbagai parameter lain yang normal
menunjukkan bahwa sistem sirkulasi dan pernapasan kucing dalam keadaan baik.
Salah satu parameter yang penting untuk mengetahui kondisi fisiologis
pasien adalah melalui monitoring suhu ragawi. Pasien dalam kasus ini memiliki
nilai suhu ragawi yang normal, yaitu 38.50C. Kondisi suhu ragawi yang melebihi
batas ambang dapat mengindikasikan adanya infeksi bakteri atau agen infeksius
lainnya di dalam tubuh (febris infecio). Selain itu perombakan sel-sel ragawi
secara besar-besaran, misalnya pada ekstravasasi darah (febris aseptica) dapat
meningkatkan suhu ragawi melebihi batas ambang(Widodo et al. 2011).
Conjunctivitis
Pada pemeriksaan regio mata dan orbita ditemukan beberapa parameter
yang tidak normal, antara lain ditemukan adanya discharge di sekitar mata,
palpabrae sedikit membengkak, conjunctiva berwarna merah. Pada kondisi normal
conjunctiva berwarna merah muda hingga rose. Kondisi conjunctiva yang
memerah dapat terjadi karena adanya peradangan. Peradangan pada conjunctiva
disebut conjunctivitis. Conjunctivitis dapat terjadi karena beberapa causal, antara
lain trauma mekanik atau kimiawi, alergi (reaksi hipersensitivas), dan infeksi
virus atau bakteri. Berdasarkan anamnesa dan inspeksi conjunctiva, trauma
mekanik maupun kimiawi dan reaksi alergi bukan merupakan causal
conjunctivitis pada pasien ini.
Conjunctivitis dapat terjadi karena adanya infeksi dari agen infeksius,
yang umumnya menyerang mata adalah feline herpes virus-1 (FHV-1), bakteri
chlamydophila felis dan staphylococcus aureus serta mycoplasma. FHV-1
merupakan virus yang juga menyerang sistem pernapasan dan bersifat akut.
Kejadian conjunctivitis pada infeksi FHV-1 selalu disertai dengan gejala klinis
gangguan sistem pernapasan, misalnya bersin, gangguan ritme pernapasan, dan
adanya discharge di sekitar nasal (Trbolova 2011). Pada pasien ini, gejala klinis
yang mengarah kepada conjunctivitis dengan causal FHV-1 tidak ditemukan.
Kebersihan area nasal baik, tidak ada bersin, frekuensi dan ritme pernapasan
normal. Menurut Hartley et al. (2001), kausal infeksi bakteri pada kejadian
conjunctivitis memiliki masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan infeksi virus.
Conjunctivitis karena infeksi bakteri dapat terjadi unilateral kemudian apabila
tidak dilakukan penanganan 2-7 hari setelahnya, infeksi dapat terjadi pada mata
yang lain. Conjunctivitis yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat
semakin membahayakan karena merusak bagian mata yang lain dan berujung
pada prolaps bulbi.
Gambar 2 Kondisi regio orbita dan mata pasien kucing (Justin)
Gingivitis
Gingivitis merupakan kondisi peradangan pada gusi. Gingivitis dapat
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain trauma, infeksi bakteri, infeksi virus
dan kerusakan gigi. Berdasarkan anamnesa dan hasil inspeksi menunjukkan
bahwa gingivitis pada pasien ini bukan disebabkan oleh trauma. Pada gingivitis
dengan causal virus diikuti dengan gejala klinis yang lain dengan onset yang
cepat. Gingivitis causal virus biasanya disebabkan oleh FCV dan FIV. Kucing
yang terinfeksi kedua jenis virus ini mengalami immunosipresi yang memudahkan
agen infeksius lainnya menyerang tubuh, salah satunya menginfeksi gusi dan
lapisan mukosa. Pada kejadian infeksi virus gejala klinis yang timbul antara lain,
kelemahan (lethargy), suhu tubuh menurun, pyrexia, edema pada daerah kepala
dan kaki (Zicola 2009). Gejala klinis ini tidak ditemukan pada pasien Justin,
ditandai dengan perilaku yang aktif, nafsu makan meningkat setelah pemberian
pakan basah dan suhu tubuh normal.
Gingivitis dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi bakteri dan defisiensi
vitamin C. Bakteri yang umum menimbulkan gingivitis adalah spesies bakteri dari
genus Pasteurella dan Prevotella (Dolieslager et al. 2011). Vitamin C berperan
dalam menjaga integritas jaringan mukosa dan membantu dalam efek
antiinflamasi. Pada beberapa penelitian ditemukan adanya korelasi yang kuat
antara diet vitamin C dengan keparahan gingivitis dan masalah periodental
lainnya (Gaby 2017).
Treatment
Terapi conjunctivitis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik topikal
Erlamycetin. Erlamycetin salep mengandung antibiotik kloramfenikol.
Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat mengatasi
konjungtivitis akut pada mata, yang disebabkan oleh mikroorganisme
(Siswandono dan Soekardjo 2000). Terapi gingivitis dengan causal bakteri dan
defisiensi vitamin C dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik Clindamycin
dan Vitamin C. Menurut Gorrel (2013), clindamycin merupakan drug of choice
dari masalah gingivitis pada kucing. Selain itu untuk meningkatkan sistem
imunitas dari pasien dapat diberikan sediaan immunomodulator. Penanganan lain
yang dilakukan adalah dengan memberikan pakan basah atau pakan kering yang
dilembekkan agar lebih mudah dikunyah.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dolieslager SMJ, Riggio MP, Lennon A, Lappin DF, Johnson NW, Taylor D,
Bennet D. 2011. Identification of bacteria associated with feline chronic
gingivostomatitis using culture dependent and culture independent
methods. Veterinary Microbiology. 148 (1):93-98.
Gaby A. 2017. Nutritional Medicine 2nd Edition. Portlan (USA): Fritz Pelberg.
Gorrel C. 2013. Veterinary Dentistry for the General Practitioner. Pilley (UK):
Elsevier Saunders.
Hartley J.C, Stevenson S, Robinson A.J, Littlewood J.D, Carder C, Cartledge J, Clark
C, Ridgway G.L. 2001. Conjunctivitis due to Chlamydophila felis (Chlamydia
psittaci feline pneumonitis agent) acquired from a cat: case report with
molecular characterization of isolates from the patient and cat. J. Infect. 43
(1), 7-11.
Peterson ME, Kutzler MA .2011. Small Animal Pediatrics The First 12 Months of
Life. Oregon (USA): Elsevier Saunders.
Siswandono, Soekardjo B. 2000. Kimia Medisinal Edisi Kedua. Surabaya (ID):
Universitas Airlangga Press.
Trbolova A. 2011. The most common eye disease in cats. Journal of Veterinary
Othalmology. 2: 1-7.
Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RP. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.
Zicola A. 2009. Feline herpes virus 1 and feline calici virus infections in a
heterogeneous cat population of rescue shelter. Journal of Feline Medicine
& Surgery. 11(1): 23-27.