Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

Penanganan Gawat Darurat pada Kucing

Penanganan kasus gawat darurat pada kucing membutuhkan pengetahuan dan


keahlian tersendiri. Kasus gawat darurat biasanya terjadi secara akut dan mengancam
keselamatan pasien. Beberapa faktor menjadi penentu keberhasilan pengobatan pada
kasus gawat darurat, diantaranya derajat keparahan penyakit atau perlukaan, jumlah
cairan tubuh atau darah yang hilang, umur hewan, kondisi kesehatan hewan
sebelumnya, keterlambatan penanganan, volume dan kecepatan pemberian terapi
cairan, dan jenis terapi cairan yang dipilih (Linklater 2019). Tanpa terkecuali kondisi
gawat darurat juga dapat terjadi pada kucing.
Gejala-gejala klinis yang tampak dapat menjadi penentu apakah seekor hewan
dikategorikan sebagai pasien gawat darurat. Menurut Drobatz et al. 2019, gejala-
gejala klinis yang dapat membuat pasien dikategorikan sebagai dawat darurat
diantaranya: hilangnya denyut jantung atau pernafasan, depresi pernafasan, hilang
kesadaran, status epilepticus, perubahan membran mukosa parah, bradikardia atau
takikardia, aritmia, hemoragi arterial, perforasi atau terbukanya rongga tubuh, distensi
abdomen, dan hipertermia atau hipotermia. Adapun anamnesa juga dapat menjadi
pertimbangan agar pasien diberikan penanganan gawat darurat, seperti stranguria
yang diikuti dengan pengerasan dan pembengkakan kantung kemih, distokia dengan
bagian fetus yang menusuk, keracunan akut, gigitan ular, terbakar, dan luka kimiawi.
Pemeriksaan fisik terhadap hewan yang datang perlu dilakukan sesegera
mungkin dan seefektif mungkin. Pemeriksaan harus mengarah kepada evaluasi
saluran pernafasan, sirkulasi, sistem saraf pusat, dan abdomen (Drobatz et al. 2019).
Pemeriksaan fisik tersebut bukan merupakan pemeriksaan lengkap, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan mengikuti penanganan kasus. Pemeriksaan terhadap
saluran pernapasan dapat meliputi frekuensi pernapasan, tipe pernapasan, suara
pernapasan, abnormalitas, dan auskultasi paru-paru. Pemeriksaan lainnya dilakukan
pada sistem sirkulasi, meliputi auskultasi jantung, evaluasi denyut jantung, membran
mukosa, dan capillary refill time. Suhu tubuh dan status kesadaran pasien juga
penting untuk dievaluasi. Penanganan utama pasien gawat darurat dapat disesuaikan
dengan melihat gejala klinis utama yang muncul (Tabel 1).
Tabel 1 Penanganan utama kasus gawat darurat berdasarkan gejala klinis (Drobatz et
al. 2019).
Gejala Klinis Penanganan Diagnostik Lanjutan
Henti Napas Intubasi, ventilasi mekanis ECG, ETCO3
dengan O2 100%, CPR
Dyspnea inspirasi, stenosis Keluarkan benda asing, intubasi,
saluran pernapasan atas trakeotomi
Dyspnea O2, istirahat, analgesik Lokalisasi gangguan untuk
stabilisasi pasien lebih spesifik
Pernapasan paradoksikal, suara Thoracocentesis
paru-paru menurun
Koma Intubasi O2 Glukosa, HCT, elektrolit, status
asam-basa, amonia
Status epilepticus Terapi antiepileptic Glukosa, kalsium, natrium,
ammonia, urinalisis
Shock O2, IV kateter, kristaloid +/- HCT, TP, laktat, ECG
bollus koloid, analgesic
Hemoragi arterial Pembalutan kuat, terapi shock, HCT, TP, laktat
analgesic
Cardiac arrest CPR, intubasi, ventilasi mekanik ECG, ETCO3
dengan O2 100%

Respiratory Distress
Kegagalan pernapasan merupakan kondisi tidak mampunya sistem pernapasan
dalam melakukan pertukaran gas, yaitu oksigenasi dan atau eliminasi karbon dioksida
(Roussos dan Koutsoukou 2003) Hilangnya fungsi pernapasan merupakan gejala
yang menunjukan kondisi gawat darurat. Hal penting yang dapat dilakukan dalam
menangani gagal pernapasan adalah lokalisasi lesio. Lesio pernapasan dapat dibagi
menjadi 4, yaitu saluran pernapasan atas, saluran pernapasan bawah, penyakit
parenkimal, dan penyakit ruang pleura (Drobatz et al. 2019). Penyebab utama
kegagalan jantung seringkali berasal dari abnormalitas anatomi, kolaps saluran
pernapasan, edema pulmonum, infeksi, dan trauma.

Penanganan dapat dilakukan segera setelah lokalisasi lesio diketahui.


Informasi terkait kondisi fisik pasien, anamnesa, signalemen akan mempermudah
lokalisasi lesio. Signalemen pada kucing perlu diperhatikan, mengingat terdapatnya
predileksi penyakit pernapasan pada pasien tertentu (kucing muda=polip nasofaring
dan infeksi saluran pernapasan atas, Himalaya=asthma) (Sumner dan Rozanski 2013).
Setelah evaluasi kondisi pasien dilakukan secara lengkap, langkah-langkah utama
yang dapat ditempuh untuk menangani gagal pernapasan meliputi:
1. Suplementasi oksigen
2. Sedasi/ pemberian anxiolitik
3. Kontrol hipertermia
4. Torakosentesis
5. Pemberian obat spesifik untuk penyakit pernapasan
6. Analisa status oksigenasi (pulse oxymetri atau blood gas analysis)
7. Trakeostomi
8. Intubasi dan positive pressure ventilation
9. Radiografi thoraks
10. Evaluasi laboratorium

Komplikasi Respirasi akibat anastesi (Egger 2016)


Sediaan anastesi akan memengaruhi pusat pernapasan yang terletak pada batang otak,
kemoreseptor saraf pusat dan tepi sehingga menyebabkan berkurangnya frekuensi
pernapasan. Efek yag ditimbulkan dari sediaan anastesi peripheral adalah
hipoventilasi disertai hipercapnia akibat teranastesinya otot interkostal dan diafragma.
Volume udara di paru-paru pada akhir ekspirasi atau functional residual capacity
(FRC) secara tidak langsung berkurang terutama bila hewan berada pada dorsal
recumbency. Bila FRC pada titik terendah akan berakibat pada tertutupnya saluran
pernapasan yang berujung pada keadaan atelektasis. Keadaan ini akan berkembang
bila gas terjebak di alveoli dan diserap kedaam sirkulasi. Keadaan paru-paru yang
terkompresi serta disfungsi surfakan juga dapat menyebabkan atelektasis. Atelektasis
berdampak pada hipoksemia akibat input oksigen yang rendah. Anastesi dan
pemosisian pasien yag kurang baik menyebabkan rasio ventilasi alveolar (Va)
terhadap perfusi pulmonar (Q) tidak seimbang dan menimbulkan berbagai komplikasi
pernapasan meliputi obstruksi saluran pernapasan, accidental endobronchial
intubation, broncospasm, atelektasis, pneumonia, acute respiratory distress syndrome
(ARDS) atau hipotensi arteri pulmonar. Komplikasi pernapasan ini akan mengancam
keselamatan pasien bila tidak ditangani dengan baik.

Emergency Anastesi (Egger 2016)


Reaksi alergi
Reaksi hipersensitifitas dibagi menjadi empat tipe, yaitu tipe I (immediate),
tipe II (sitotoksisk), tipe III (imun kompleks), dan tipe IV (delayed, cell-mediated).
Hipersensitifitas tipe I merupakan kejadian yang umum terjadi pada periode
perianstesi dan mengancam keselamatan pasien. Kejadian ini dapat diakibatkan
berbgai macam sediaan obat seperti admistrasi opioid, neuromuscular blocking agent,
NSAID, dextrans, thiopental, propofol, dan agen radiokontras.
Berbagai macam tindakan dapat dilakukan bila hipersensitifitas terjadi.
Pertama, hentikan pemberian obat dan semua sediaan anastesi. Kedua, pemberian
oksigen dan penggunaan intermittent positif pressure ventilation (IPPV) untuk
menjaga saturasi oksigen tetap dalam keadaan normal. Ketiga, pemberian terapi
cairan secara intravena untuk mencegah kejadian shock. Keempat, pemberian sediaan
adrenalin untuk mengatasi bronkokonstriksi dan vasodilatasi. Kelima, pemberian
antihistamin (dyphenhydramine, chlorpheniramine), kortikosteroid
(methylprednisolone, prednisone, dexamethasone), bronkodilatator (albuterol,
aminophyline), dan vasopresor (dopamine, ephedrine, vasopressin) bila diperlukan.
Keenam, pemberian atropin dapat mengatasi bradikardi yang persisten. Pemberian
sodium bikarbonat untuk mengatasi metabolik asidosis yang parah. Bagan ringkasan
pengobatan anaphylaksis pada pasien dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Urutan emergency care untuk anaphylaksis.
Gambar 2 Daftar sediaan obat untuk emrgency care.

Cardiopulmonary Arrest
Keadaan cardiopulmonary arrest yaitu berhentinya fungsi pernapasan dan
sirkulasi secara tiba-tiba. Keadaan ini akan menyebabkan proses transportasi oksigen
dan pengeluaran karbon dioksida dari jaringan. Kejadian kardiak arrest dan respiratori
arrest dapat terjadi secara bersamaan. Namun, respiratori arrest yang terjadi lebih
dahulu akan diikuti oleh kardiak arrest dengan cepat apabila tidak dilakukan
pengembalian fungsi respirasi.
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan tindakan yang dilakukan
untuk mengembalikan fungsi jantung dan paru-paru ke dalam ritme normal sehigga
sirkulasi tubuh kembali membaik. CPR meliputi tiga hal yaitu basic life support
(BLS), advanced life support (ALS), dan post-resuscitation monitoring and support.
Mekanisme tahapan CPR dapat dilihat pada Gambar 3. Prosedur BLS yaitu prosedur
yang bertujuan menjaga proses ventilasi, jantung, dan perfusi cerebral pada pasien
yang terdiri dari manajemen jalur oksigen, pernapasan, dan sirkulasi.
Teknik penekanan pada rongga dada dilakukan pada prosedur BLS (Gambar
4). Teknik ini harus cepa dilakukan bila pasien mengalami CPA dan tidak boleh
dihentikan kecuali saat penggantian operator. Tujuan dari dilakukkannya penekanan
rongga dada yaitu memaksimalkan perfusi organ vital dengan memaksimalkan
tekanan dan frekuensi penekanan yaitu sekitar 100-120 kali/menit dengan kedalaman
tekanan 25-33% dari lebar thoraks. Manajemen ventilasi dapat menggunakan
endotracheal intubation sehingga oksigen dapat langsung disalurkan ke organ
respirasi. ALS merupakan prosedur setelah BLS dilakukan. Prosedur ini meliputi
terapi obat (vasopresi, inotropik positif, dan antikolinergik), terapi cairan untuk
memperbaiki abnormalitas volume, elektrolit, dan metabolik asam.

Gambar 3 Teknik penekanan rongga dada pada CPR.


Gambar 4 Algoritma cardiopulmonary resuscitation (CPR).
DAFTAR PUSTAKA

Linklater A. 2019. Overview of Emergency Medicine [internet]. Diakses pada 2019-


Mei-25. [Dapat diakses pada https://www.msdvetmanual.com/emergency-
medicine-and-critical-care/emergency-medicine-introduction/overview-of-
emergency-medicine]
Roussos C, Koutsoukou A. 2003. Respiratory failure. Eur. Respir. J. 22 (47): 3–14.
Drobatz KJ, Hopper K, Rozanski EA, Silverstein DC. 2019. Textbook of Small
Animal Emergency Medicine. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.
Sumner C, Rozanski E. 2013. Management of Respiratory Emergencies in Small
Animals. Vet Clin Small Anim. 43: 799–815.
Egger CM. 2016. Chapter 31 Anaesthetic complications, accidents and emergencies.
Di dalam: Duke-Novakovski T, de Vries M, Seymour C, editor. BSAVA
Manual of Canine and Feline Anaesthesia and Analgesia. Ed ke-3. Gloucester
(UK): British Small Animal Veterinary Association. hlm 428-444.

Anda mungkin juga menyukai