MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Perkembangan Hewan
Yang diampu oleh Bapak Prof. Dr.Abdul Gofur, M.Si
Disusun Oleh:
Maria Angelina Genere Koban (200342857002)
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan makalah Fertilisasi dan Determinasi sex. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Abdul Gofur,M.Si selaku pengampuh matakuliah
perkembangan hewan yang telah membimbing selama proses penulisan makalah ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami proses fertilisasi dan
penentuan jenis kelamin pada suatu organisme. Harapan penulis semoga makalah ini dapat
menambah wawasan pengetahuan terkait dengan Fertilisasi dan Determinasi sex pada hewan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam isi makalah ini,
oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari bapak Prof. Abdul Gofur, M.Si sebagai
penyempurnaan atas makalah yang telah disusun dan bermanfaat bagi penulis di masa yang akan
datang.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Reproduksi atau berkermbang biak merupakan kemampuan suatu organisme untuk
menghasilkan keturunan dan menjaga kelestariannya. Dalam proses reproduksi tersebut,
melibatkan organisme jantan dan betina yang selanjutnya akan mengalami proses fertilisasi
untuk menghasilkan zigot kemudian berkembang menjadi individu baru yang utuh. Fertilisasi
merupakan proses penyatuan inti sperma dan inti sel telur untuk membentuk zigot. Proses
fertilisasi terjadi di tuba fallopi atau oviduct . Fertilisasi dapat terjadi secara eksternal yaitu di luar
tubuh induk, sementara fertilisasi interna terjadi di dalam tubuh induk. Fertilisasi interna pada
umumnya terjadi di dalam oviduct. Setelah mengalami fusi, kemudian akan membentuk zigot. Di
dalam proses fusi kedua inti sel gamet, terjadi pula fusi sifat herediter dari induk jantan dan
induk betina. Masing-masing induk membawa sejumlah set kromosom (22+X atau Y) yang
kemudian akan melebur menjadi satu kesatuan pewarisan dari masing-masing indukan (44+XX
atau XY). Setiap organisme yang melakukan perkembangbiakan secara seksual memiliki jenis
kelamin yang berbeda sebagai alat reproduksinya. Penentuan jenis kelamin pada manusia
ditentukan oleh kromosom seks yang diturunkan dari kedua induknya.
Proses fertilisasi dan determinasi sex sangat penting untuk dipelajari, oleh karena itu pada
makalah ini penulis akan membahas beberapa hal terkait dengan fungsi dari fertilisasi, tahapan
dari proses fertilisasi, proses penentuan jenis kelamin dan diferensiasi seks serta kelainan-
kelainan yang terjadi saat determinasi dan diferensiasi seks.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses fertilisasi pada hewan?
2. Bagaimanakah proses penentuan jenis kelamin dan diferensiasi seks pada hewan?
3. Kelainan-kelainan apa sajakah yang terdapat pada determinasi dan diferensiasi seks
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses fertilisasi pada hewan
2. Untuk mengetahui proses penentuan jenis kelamin dan diferensiasi seks pada hewan
3. Untuk mengetahui kelainan-kelainan pada determinasi dan diferensiasi seks pada hewan
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Fertilisasi
Fertilisasi merupakan proses penyatuan inti sperma dan inti sel telur untuk membentuk
zigot. Proses fertilisasi terjadi di tuba fallopi atau oviduct . Zigot yang terbentuk kemudian
membelah menjadi dua anakan sel, empat, delapan, enam belas dan seterusnya. Fertilisasi
mempunyai nilai penting yaitu untuk mengaktivasi sel telur untuk melanjutkan proses
pembelahan sel. Sel telur pada saat diovulasikan, proses pembelahan sel berhenti pada tahap
metaphase II meiosis II (pada manusia). Setelah mengalami fusi, kemudian akan membentuk
zigot. Di dalam proses fusi kedua inti sel gamet, terjadi pula fusi sifat herediter dari induk jantan
dan induk betina. Masing-masing induk membawa sejumlah set kromosom (22+X atau Y) yang
kemudian akan melebur menjadi satu kesatuan pewarisan dari masing-masing indukan (44+XX
atau XY). Fertilisasi umumnya bersifat monospermi, yaitu hanya satu inti sperma yang
membuahi supaya individu yang terbentuk diploid dan selalu tidak terjadi polispermi atau dari
satu inti sperma yang membuahi. Fertilisasi monospermi tersebut disebabkan saat fertilisasi
berlangsung terjadi aktivasi granula cortex di dalam sel telur sehingga permeabilitas membran
telur berubah. Perbedaan permeabilitas membran akan menyebabkan spermatozoa lain tidak
dapat menembus sel telur (Rogers, 2011).
Fertilisasi berfungsi untuk penurunan materi genetik dari tetua jantan dan betina kepada
anaknya, mengembalikan jumlah kromosom dari haploid menjadi diploid, penentuan jenis
kelamin anak, dan aktivasi sel telur untuk memulai proses perkembangan. Secara garis besar,
suati spermatozoa harus melewati beberapa tahapan agar bisa melakukan proses fertilisasi yakni
mengalami pematangan di epididymis, kapasitasi di saluran reproduksi betina dan reaksi
akrozome. Sel ovum yang akan dibuahi pun memiliki beberapa tahapan persiapan yakni telah
mengalami proses oogenesis dan follikulgenesis, pematangan sel ovum yakni pematangan inti
dan pematangan sitoplasma.
Sperma manusia yang baru diejakulasi tidak mampu untuk melakukan pembuahan.
Diperlukan suatu proses kapasitasi untuk mempersiapkan sperma tersebut. Kapasitasi adalah
perubahan fisiologis spermatozoa dan dilanjutkan dengan reaksi akrosom untuk membuahi sel
telur. Calmodulin, protein dalam cairan semen , mungkin berperan dalam kapasitasi sperma.
Protein ini (atau sekresi epididimidal lainnya) dapat memberi kemampuan sperma dikapasitaskan
nanti saat mereka berada di dalam rahim. Secara umum, kapasitasi melibatkan pengangkatan
atau modifikasi molekul (protein dan kolesterol) yang menstabilkan sperma membran plasma
yang mengelilingi kepala sperma. Molekul ini menekan kemampuan sperma untuk membuahi.
Perubahan atau pengangkatan molekul penghambat ini membuat membran sel tidak stabil,
sehingga memungkinkan sperma menanggapi sinyal yang memicu reaksi akrosom (Jones, 2014).
Bahkan di sekitar masa ovulasi, ketika sperma dapat menembus saluran serviks, dari 165
juta sperma yang biasanya disimpan saat satu kali ejakulasi, hanya beberapa ribu yang berhasil
mencapai saluran telur. Hanya sebagian kecil dari sperma yang disimpan yang dapat membuahi
sel telur. Oleh karena itu, pria yang subur harus memiliki konsentrasi cairan semen yang sangat
tinggi (20 juta/ml air mani). Alasan lainnya adalah bahwa enzim akrosom dari banyak sperma
diperlukan untuk menghancurkan penghalang yang mengelilingi sel telur ( Sherwood, 2012).
Kapasitasi juga meningkatkan kekuatan atau gerakan ekor sperma (hiperaktivasi), dan lebih
efektif bergerak ke arah ovum. Jika komponen cairan folikel berkontribusi pada kapasitasi
sperma pada manusia, zat ini mungkin memiliki efek ketika sperma menembus kumulus
oophorus, yang mengelilingi sel telur dan terdapat banyak cairan folikel. Penemuan terbaru
adalah cairan folikel, atau sel telur sendiri, menghasilkan bahan kimia yang menarik sperma
manusia. Studi lain menunjukkan bahwa sperma mamalia bergerak menuju sel telur sepanjang
gradien termal. Tempat pembuahan sedikit lebih hangat daripada lebih bagian proksimal
oviduck, dan sperma matang memiliki preferensi untuk beralih ke cairan yang lebih hangat
(termotaksis) (Jones, 2014).
C. Proses fertilisasi
Pada proses fertilisasi, sel sperma akan menembus corona radiata dan zona pelusida.
Penetrasi sperma dibantu oleh enzim yang terikat pada permukaan membrane yang
mengelilingi kepala. Proses fertilisasi terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
1. Reaksi akrosoma
Sperma bisa menembus zona peluzida apabila berikatan dengan spesifik reseptor ZP3
pada permukaan lapisan. Hanya sperma yang berasal dari spesies yang sama yang
mampu berikatan dan melewati zona peluzida. Pengikatan sperma akan memicu reaksi
akrosome, sehingga akrosome akan mengeluarkan enzim hidrolitik yang dapat
menembus zona pelusida, dan akan memulai proses fertilisasi ( Sherwood, 2012)
2. Penetrasi zona pelusida
Masuknya kalsium dan peningkatan kadar pH dan cAMP di dalam kepala sperma
menyebabkan eksositosis akrosom. Eksositosis terjadi apabila membrane plasma
sperma menyatu dengan membran akrosom luar, membentuk banyak bukaan kecil ke
akrosom. Enzim hidrolitik akrosom menghancurkan zona pelusida. Degradasi selaput
plasma sperma selama reaksi akrosom menyebabkan hilangnya reseptor ZP3. Membran
akrosom bagian dalam terbuka, mengakibatkan reseptor ZP2 berikatan dengan zona
pelusida, pengikatan ZP2 ini mempertahankan kontak antara sel telur dan sperma. Ekor
sperma bergerak dengan kuat, membantu sperma menembus zona pelusida dan
melakukan kontak dengan plasma selaput telur. Setelah sperma menembus zona
pelusida, dan menuju ruang perivitelline (area antara zona pellucida dan membran
vitelline. Penetrasi zona pelusida manusia dilakukan oleh sperma kurang dari 10 menit.
(Jones, 2014)
3. Fusi inti
Sel sperma pertama yang mencapai sel telur akan menyatu dengan membrane plasma
sel telur (Oosit sekunder), dan kepala sperma (membawa DNA) memasuki sel telur
4. Reaksi Kortikal
Pada tahap ini ekor sperma akan terlepas, tetapi kepalanya membawa informasi genetik
yang penting. Pemicu fusi sperma-telur eksositosis butiran kortikal berisi enzim yang
terletak di bagian paling luar. Untuk mencegah polispermia, maka sel telur akan
memasang pertahanan dengan membentuk membra vesikula berisi butiran kortikal.
Peningkatan kalsium menyebabkan membran granul kortikal menyatu dengan membran
sel yang berdekatan. Dengan demikian, butiran kortikal terbuka ke luar dan melepaskan
isinya ke ruang perivitelline. Granul kortikal mengandung enzim yang bekerja pada
penyusun zona pelusida. Enzim ini mengubah ZP2 dan ZP3, menghancurkan situs
reseptor mereka untuk kepala sperma. Selanjutnya, tidak ada sperma tambahan yang
dapat menempel ke zona pelusida untuk mendapatkan akses ke sel telur, sebuah
fenomena dikenal sebagai blok ke polispermia
5. Pembelahan meiosis 2/Aktivasi sel telur
Sebelum bergabung dengan DNA sperma, sel telur harus menyelesaikan pembelahan
meiosis kedua dan membuang setengah kromosomnya. Saat pembuahan, peningkatan
kalsium bebas mengaktifkan inti telur untuk menyelesaikan meiosis, dan badan kutub
kedua diproduksi, menghilangkan set ekstra kromosom dari sel telur.
6. Pembentukan Pro-Nuklei
Setelah spermatozoa memfertilisasi sel telur dan masuk ke dalam sitoplasmanya,
intinya harus berdekondensasi sehingga kromosomnya bisa berpasangan dengan
kromosom dari pronukleus betina. Dekondensasi adalah perbesaran volume (expansion
in volume) dari inti sperma yang benang kromatinnya mulai memisah. Dekondensasi
DNA sperma sebagai akibat adri paparan faktor-faktor dalam sitoplasma sel telur.
Pronuklei sperma dan telur mulai bermigrasi dan melakukan replikasi DNA.
7. Kondensasi kromosom
Membran pronukleous rusak, kromosom mengalami kondensasi dan memulai
pembelahan mitosis. Sentrosom berasal dari sel sperma berfungsi untuk mengatur
bidang pembelahan sel. Kromosom selanjutnya akan berada pada bidang ekuator
(metafase). Zigot selanjutnya akan membelah secara mitosis dan menghasikan dua sel
anak yang identik (Blastomer) dan perkembangan embrio awal akan dimulai. (Jones,
2014)
Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menghimbau
kepada pembaca untuk menggali lagi informasi terkait proses fertilisasi dan determinasi seks
untuk menambah wawasan terkait dengan proses fertilisasi, determinasi seks dan diferensiasi
seks serta kelainan-kelaianan pada determinasi seks.
DAFTAR RUJUKAN
.
Burris TP, Guo W, Le T, Mc Cabe ERB. 1995. Identification Of A Putative Steroidogenic
Factor-1 Response Element In The DAX-1 Promoter. Biochem Biophys Res
Commun. 214(2): 576 –581.
Jones, E. Richard dan Lopez, Kristin H. 2014. Human Reproductive Biology. Ed.4. USA:
Academic Press Elsevier inc
Jost A, Magre S.1988. Control Mechanisms Of Testicular Differentiation. Philos Lond Biol
Sci. 322: 55–61
Rogers, Kara. 2011. The Reproduvtive System (the Human Body). New York: Britannica
Educational Publishing
Sherwood, Lauralee.2012. Fundamentals of Human Physiology Ed.4. USA: Department of
Physiology and Pharmacology
Siiteri PK, Wilson JD. 1974. Testosterone Formation And Metabolism During Male Sexual
Differentiation In The Human Embryo. J Clin Endocrinol Metab. 38(1): 113 –125