Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telur Ayam

Telur ayam merupakan salah satu sumber pangan yang banyak diminati

masyarakat, karena kandungan protein hewani yang cukup tinggi (USDA, 2007).

Disamping merupakan bahan makanan yang sempurna, telur juga merupakan

produk yang mudah rusak, kerena mudah pecah dan kualitasnya dapat berubah

akibat proses transportasi dan selama penyimpanan (Umar dkk., 2000). Daya

simpan telur ayam sangat singkat hanya sampai dua minggu pada suhu ruang

(Rahmawati dkk., 2014).

Gambar 1. Telur Ayam


(Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2019)

Telur ayam memiliki umur daya simpan yang relatif singkat dan mudah

mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut diantaranya berupa kerusakan fisik,

kimia, dan biologi. Kerusakan fisik diantaranya adalah perubahan berat telur,

warna, ukuran dan permukaan kulit menjadi berbintik-bintik. Kerusakan kimia

meliputi perubahan pH isi telur dan perubahan berat, telur, sedangkan kerusakan

5
6

biologi antara lain pembusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Oleh

karena itu, diperlukan suatu penanganan yang tepat untuk memperpanjang umur

simpan telur. Salah satu bentuk penanganan yang dilakukan untuk mengawetkan

telur tersebut dengan cara pengolahan menjadi produk awetan kering berupa

tepung telur (Suprapti, 2002). Kandungan gizi telur ayam dan tepung telur dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi Telur Ayam dalam 100 g bahan

Zat Gizi Komposisi


Energi (kkal) 162
Protein (g) 12,8
Total Lemak (g) 11,5
Karbohidrat (g) 0,7
Kalsium (ca) (mg) 54
Besi (fe) (mg) 2,7
Fosfor (p) 180
Vitamin A (IU) 900
Vitamin BI (mg) 0,10
(Sumber : Komala, 2008)

B. Tepung Telur

Tepung telur merupakan produk lanjutan yang menarik karena

kemudahannya dengan penyimpanan yang lama tanpa didinginkan atau

dibekukan. Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air

dalam bahan sampai pada batas mikroorganisme tidak dapat tumbuh (Williams,

2001). Pembuatan tepung telur dapat meningkatkan daya simpan (shelf life) tanpa

mengurangi nilai gizi, volume bahan menjadi lebih kecil, sehingga lebih hemat

ruang dan biaya penyimpanan, tepung telur juga memungkinkan jangkauan

pemasaran yang lebih luas dan penggunaannya lebih beragam dibandingkan telur

segar (Winarno dan Koswara, 2002).


7

Parameter mutu tepung telur yang diutamakan antara lain kadar air, kadar

lemak, kadar protein, warna, aroma, dan tidak adanya Salmonella (IPB,2010).

Syarat mutu tepung telur ayam dapt dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar Mutu Tepung Telur Ayam

Kriteria Uji Satuan Persyaratan Mutu


Kadar Air % Maksimal 5,0
Kadar lemak % 40,0
Kadar protein % Minimum 45,0
Kadar abu % 3,7
Gula pereduksi % Maksimal 0,1
Total mikroba Koloni/ g Maksimal 25.000
Bakteri Coliform Koloni/g Maksimal 10
Bakteri Salmonella - Negatif atau nol
Warna - Specified on purchase
Bau - Lembut
(Sumber : DitTjen IKAH, Depperindag dan FTP-IPB, 2003)

C. Pengeringan Tepung Telur

Metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan tepung telur terdiri

dari empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), foaming drying,

pengeringan secara lapis (pan drying) dan pengeringan beku (freeze drying).

Metode pengeringan secara lapis (pan drying) merupakan metode pengeringan

yang mudah dilakukan dan membutuhkan biaya yang murah. Pengeringan ini

dilakukan dengan menggunakan oven. Menurut Nurul (2018) suhu yang

digunakan dalam pengeringan pan drying adalah pada suhu sekitar 60oC selama

16 jam akan diperoleh produk kering dengan kadar air 4,2-4,5% dengan pH 7,76-

7,86.

Pengeringan makanan memiliki dua tujuan utama yaitu sebagai sarana

memperpanjang umur simpan dengan cara mengurangi kadar air makanan untuk
8

mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan meminimalkan biaa

distribusi bahan makanan karena berat dan ukuran makanan menjadi lebih rendah

(Natipulu, dkk. 2012; Wicaksono, 2012). Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi proses pengeringan adalah sebagai berikut : suhu, tekanan,

kelembaban, udara lingkungan kecepatan aliran udara pengering, kandungan air

yang diinginkan, energi pengering, luas permukaan bahan, dan kapasitas

pengering.

D. Reaksi Maillard

Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi

karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari asam

amino atau protein. Reaksi Maillard dalam makanan dapat berfungsi untuk

menghasilkan flavor dun aroma, dapat menyebabkan kehilangan ketersediaan

asam amino, kehilangan nilai gizi, pembentukan antinutrisi, pembentukan

komponen toksik dun komponen mutagenik.

Reaksi Maillard dipengaruhi oleh jenis gula. Pada glukosa, semakin lama

sampel dipanaskan maka akan semakin tinggi absorbansinya dun semakin pekat

warna coklatnya, sedangkan pada sukrosa tidak terjadi perubahan absorbansi yang

signifikan. Hal ini dikarenakan glukosa merupakan gula pereduksi. Semakin

tinggi pH, maka reaksi Maillard akan semakin intensif; karena reaksi Maillard

yang terjadi optimum pada kondisi basa. Penambahan natrium metabisulfit dapat

menekan laju reaksi Maillard yang ditunjukkan dari rendahnya absorbansi dan

warna yang lebih terang. (Catrien, 2008).


9

E. Desugarisasi tepung telur

Untuk meminimalisir reaksi Maillard dilakukan proses desugarisasi.

Proses desugarisasi akan membantu dalam mencegah terjadinya

reaksi Maillard pada tepung telur akibat pengeringan. Desugarisasi merupakan

suatu proses dalam pembuatan tepung telur dengan menambahkan ragi roti

(Saccharomyces cereviceae) (Ratna, 2006). Desugarisasi dilakukan sebelum

proses pengeringan untuk menghilangkan glukosa yang terkandung dalam putih

telur. Glukosa yang terkandung dalam putih telur akan menyebabkan terjadinya

reaksi Maillard selama proses pengeringan, sehingga akan menimbulkan

penyimpangan-penyimpangan seperti bau, cita rasa, warna, ketidaklarutan dan

pengurangan daya buih pada produk tepung putih telur. Desugarisasi dapat terjadi

karena adanya aktivitas mikroorganisme yang sesuai pada substrat organik.

Terjadinya proses desugarisasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan

pangan akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut.

Menurut Puspitasari (2006) perlakuan lama desugarisasi 4 jam, tepung telur

memiliki nilai pH paling tinggi yaitu mencapai 8,85, hal ini terjadi akibat proses

desugarisasi, menghasilkan karbondioksida semakin tinggi sehingga pada saat

pemanasan penguapan karbondioksida yang terjadi semakin banyak dan

mempengaruhi nilai pH yang dihasilkan. Peningkatan nilai pH tepung telur terjadi

karena semakin lama desugarisasi, perombakan glukosa yang terjadi semakin

tinggi sehingga penguapan karbondioksida (CO2) yang terjadi selama proses

pengeringan semakin tinggi.


10

F. Fermentasi dengan Ragi Roti (Saccharomyces cereviceae)

Fermentasi adalah suatu proses penghilangan glukosa yang terdapat pada

telur dengan cara menambahkan Saccharomyces sp. yang dilakukan sebelum

proses pengeringan. Penggunaan ragi (Saccharomyces cereviceae) banyak

digunakan dalam fermentasi karena aplikasinya yang mudah, namun pada proses

pembuatan tepung telur belum banyak dipublikasikan. Proses fermentasi dapat

menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik dan fungsional akibat adanya

pemecahan glukosa yang terdapat di dalam telur khususnya putih telur sehingga

dapat mencegah terjadinya reaksi Maillard yang dapat mempengaruhi sifat fisik

tepung telur. Lama fermentasi diperkirakan mempengaruhi sifat fisik dan

fungsional tepung telur yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian

terhadap lama fermentasi yang berbeda untuk memaksimalkan sifat fisik dan

fungsional tepung telur ( Nurul, 2018).

Penggunaan ragi (jenis Saccharomyces cereviceae) banyak digunakan

dalam fermentasi karena aplikasinya yang mudah, namun pada proses pembuatan

tepung telur belum banyak dipublikasikan. Berdasarkan hal tersebut maka

diperlukan suatu pengkajian yang mendalam tentang pengaruh Saccharomyces

cereviceae dalam proses pembuatan tepung telur untuk mempertahankan sifat fisik

tepung telur. Pada penelitian Ermina Syainah (2012) pembuatan tepung telur

menggunakan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) karena ragi roti mudah

didapat dan harganya relatif murah.


11

G. Variabel Pengamatan

1. Sifat Fisik

a. Rendemen

Rendemen adalah suatu peubah yang menentukan efektif dan

efisien tidaknya suatu proses pengolahan seperti pengeringan. Nilai

rendemen yang semakin besar menunjukkan makin efektif dan efisiennya

proses yang dilakukan terhadap bahan baku.

Menurut Eliza (2010) nilai rendemen dipengaruhi oleh protein

yang dapat mengikat air. Air yang semakin banyak ditahan oleh protein,

maka air yang keluar akan semakin sedikit sehingga nilai rendemen yang

dihasilkan semakin bertambah.

Menurut Nurul (2018) protein mengalami denaturasi dan agregasi

atau penggumpalan protein sehingga kemampuan protein mengikat air

rendah yang berakibat semakin banyak air yangakan keluar selama

proses pengeringan sehingga nilai rendemen semakin rendah.

2. Sifat Kimia

a. Reduksi Gula

Reduksi gula merupakan salah satu indikator penting untuk

mengetahui seberapa besar glukosa yang tereduksi pada saat proses

fermentasi berlangsung melalui penambahan ragi. Kandungan gula

reduksi pada produk tepung telur berdasarkan standar mutu tepung telur

menurut Food and Drug Adminstration (FDA) Amerika Serikat yaitu

maksimum 0,1% (Winarno dan Koswara, 2002).


12

Menurut Said (2016) meyakatakan bahwa rataan kandungan gula

reduksi semakin menurun dengan bertambahnya dosis ragi, hal ini

menunjukkan bahwa Saccharomyces cereviceae mengurangi kadar

glukosa telur melalui reaksi pelepasan ion hidrogen dari glukosa telur

dengan bantuan enzim zymase menghasilkan alkohol dan

karbondioksida, pada kondisi aerob glukosa dioksidasi dan atom

karbonnya berikatan dengan oksigen.

b. PH

PH menunjukkan tingkat keasaman yang terkandung pada produk

pangan. PH cairan telur setelah penambahan asam sitrat 5% dimaksudkan

untuk membuat pH cairan telur berada pada nilai 6,8 – 7,0 karena pada

pH tersebut cairan telur akan stabil saat pasteurisasi (Septiyandi, 2006).

Menurut Nurul (2018) pH setelah fermentasi mengalami

penurunan seiring dengan semakin tingginya perlakuan fermentasi.

Penurunan nilai pH tersebut disebabkan oleh adanya penambahan

Saccharomyces cereviciae yang akan memfermentasikan gula reduksi

menjadi asam glukonat, sehingga cairan telur yang dihasilkan menjadi

asam (Kusnadhi, 2003). Hajrawat dan Aswar (2011) menyatakan bahwa

pH telur akan naik karena kehilangan CO2.

c. Kadar air

Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung persatuan

bahan dan merupakan kriteria mutu yang penting untuk produk pangan
13

kering seperti tepung telur. Standar nilai kadar air tepung telur menurut

SNI 01-4323-1996 maksimal adalah sebesar 8%.

Menurut Nurul (2018) terjadi penurunan kadar air karena

pengaruh perlakuan fermentasi karena proses fermentasi mengubah

glukosa menghasilkan air yang mudah menguap selama pengeringan.

Pada kondisi cukup udara, sel Saccharomyces cereviceae mampu

melakukan respirasi secara aerobik dengan reaksi kimia:

C6H12O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2O. Proses tersebut dapat memecah

senyawa glukosa lebih sempurna menghasilkan karbondioksida dan air.

Fermentasi juga memudahkan pemisahan air yang menguap dari zat lain

selama pemanasan (Jing dkk., 2009).

Kenaikan kadar air tepung telur utuh ayam ras akibat perlakuan

fermentasi disebabkan oleh bahwa ovamucin dapat berubah menjadi

bersifat gelatinouspada albumin dan akan berubah menjadi berair bila

fermentasi dilakukan lebihlama. Perubahan albumin telur ayam ras

menjadi bersifat gelatinous dan semakinlama berubah menjadi berair

akan mempengaruhi proses pengeringan (Pujimulyani, 2010).

d. Kelarutan

Kelarutan tepung menunjukan kemampuan tepung untuk larut

dalam air. Kemampuan tepung telur untuk larut apabila direkonstitusi

kembali dan menentukan daya terima tepung telur yang dihasilkan. Nilai

kelarutan dapat disebabkan oleh metode pengeringan.


14

Menurut Winarno dan Sutrisno (2002) kelarutan dapat mengalami

penurunan, koagulasi disebabkan karena protein mengalami agregasi dan

terbentuknya ikatan antar molekul. Ikatan yang terbentuk yaitu ikatan

hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida. Koagulasi yang terjadi

karena panas disebabkan karena adanya reaksi antara protein dan air yang

diikuti dengan penggumpalan protein yang dapat menurunkan daya larut

tepung (Winarno dan Sutrisno, 2002).

3. Sifat Fungsional

a. Daya Buih

Daya buih merupakan ukuran kemampuan telur untuk

membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persen

terhadap bobot telur. Hasil-hasil penelitian yang dikutip Alleoni dan

Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur

yang memiliki kemampuan mempermudah terbentuknya buih adalah

globulin, sementara kompleks ovomucin-lysozyme, ovalbumin dan

conalbumin mempunyai kemampuan dalam menstabilkan buih saat

dipanaskan. Nilai pH menyebabkan protein pembentuk telur semakin

mudah untuk menangkap udara sehingga daya buih yang dihasilkan

semakin tinggi. Menurut Georgia Egg Commission (2005) telur segar

mampu mencapai buih 6 hingga 8 kali dari volume awal telur segar.

b. Warna tepung telur

Berdasarkan penelitian dari Ermina (2012), menyatakan bahwa

semakin tinggi persentasi ragi roti semangkin putih hasil tepung telur
15

yang dihasilkan, dengan demikian tidak terjadi reaksi maillard. Proses

pengeringan pada pembuatan tepung telur dapat menyebabkan terjadinya

reaksi Maillard karena adanya kandungan glukosa yang terdapat dalam

telur, sehingga terjadi reaksi pencoklatan yang dapat mempengaruhi

warna tepung telur dan dapat mempengaruhi mutu tepung telur itu sendiri

(Arfan,2005).

Anda mungkin juga menyukai