Anda di halaman 1dari 4

Mekanisme pengawetan menggunakan parafin yaitu mula mula telur dilakukan

penimbangan, telur sebelum diawetkan dengan parafin cair terlebih dahulu ditimbang untuk
diseleksi guna memperoleh berat telur yang relatif homogen yaitu koefisien keragamannya
didasarkan atas standar penelitian di laboratorium. Setelah diperoleh telur yang relatif
seragam beratnya, maka diperiksa keutuhan fisiknya untuk mendapatkan telur berkualitas
baik. Prosedur pengawetan dengan parafin dilakukan dengan cara memanaskan parafin
sampai bersuhu 50-600C lalu telur dicelupkan kedalamnya selama 10 menit, kemudian
diangkat, ditiriskan dan disimpan. Sedangkan untuk pemakaian ulang, Parafin dipanaskan
sampai suhu 1160C agar dapat mematikan bakteri-bakteri pembusuk telur. Pencelupan telur
setelah pemanasan pada pemakaian ulang adalah pada suhu 600C. Prinsip dari pengawetan
telur dalam bentuk utuh adalah dengan menutup pori-porinya untuk mencegah penguapan air
atau gas-gas dari dalam telur dan untuk mencegah masuknya mikroba ke dalam telur
(Zulfatinnisa dkk., 2015).
Komponen penyusun putih telur yaitu putih telur merupakan salah satu bagian dari
sebuah telur utuh yang mempunyai persentase sekitar 58-60 % dari berat telur itu. Putih telur
tersusun atas empat lapisan yang berbeda yaitu lapisan encer luar (hampir dekat dengan
membran luar kerabang) sebesar 23%, lapisan kental luar sebesar 57%, lapisan encer dalam
sebesar 19% dan lapisan kental sebesar 11% dengan chalaziferus. Perbedaan kekentalan ini
disebabkan oleh perbedaan kandungan air pada masing-masing lapisan tersebut. Bagian putih
telur yang mengikat putih telur dengan kuning telur adalah khalaza yaitu serabut-serabut
protein telur yang membentuk spiral. Komponen penyusun yang terdapat dalam putih telur
yaitu kadar air 8.0%, protein 80%, lemak kasar 0.2%, karbohidrat 0.1%, abu 3.0%, dan ph
6.5-7.5 (King’ori, 2012).
Kuning telur mempunyai kandungan bahan padat segar sebesar 50% tetapi persentase
ini akan turun selama penyimpanan karena migrasi air dari bagian putih telur. Bahan padat
tersebut terdiri dari atas lemak dan protein. Kuning telur terdiri atas dua tipe emulsi
lipoprotein yaitu kuning agak tua dan kuning cerah. Kuning telur berwarna mulai dari kuning
pucat sekali sampai orange tua kemerahan. Hal ini disebabkan oleh pigmen dalam pakan
ternak ayam, seperti betakaroten. Kuning telur mengandung 52% bahan padat yang terdiri
dari 31% protein, 64% lipid (41,9% trigliserida; 18,8% fosfolipid dan 3,3% kolesterol), 2%
karbohidrat dan 3% abu. Kuning telur sendiri dibungkus oleh membran vitelin. Putih telur
yang tebal dapat mempertahankan kuning telur tetap di tengah (Park et al., 2003). Perbedaan
dari kuning telur dan putih telur yaitu apabila kuning telur ayam mengandung vitamin, B6,
B12, A, D, E, K dan Asam Folat. Beberapa vitamin, seperti vitamin D, E, K, tidak terdapat
pada putih telur ayam, hanya terdapat pada kuning telur ayam saja. Serta, kandungan mineral
pada kuning telur ayam lebih banyak daripada pada putih telur ayam. seperti kandungan
kalsium sebesar 90%, dan kandungan zat besi sebesar 93% (Lestari dkk., 2018).
Tipus
Telur merupakan salah satu produk hewani yang berasal dari ternak unggas dan telah
dikenal sebagai bahan pangan sumber protein yang bermutu tinggi. Telur sebagai bahan
pangan mempunyai banyak kelebihan misalnya, kandungan gizi telur yang tinggi, harganya
relatif murah bila dibandingkan dengan bahan sumber protein lainnya. Telur mudah
mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh kerusakan secara fisik, serta penguapan
air , karbondioksida, ammonia, nitrogen, dan hidrogen sulfida dari dalam telur. Lama
penyimpanan menentukan kualitas telur, semakin lama telur disimpan, kualitas dan kesegaran
telur semakin menurun. Jika dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) telur hanya tahan
10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan
seperti terjadinya penguapan kadar air melalui pori kulit telur yang berakibat kurangnya berat
telur, perubahan komposisi kimia dan terjadinya pengenceran isi telur (Djaelani., 2016)
Telur merupakan produk peternakan yang cukup populer dan banyak dikonsumsi
dibanding produk peternakan lainnya. Komoditas telur ayam ras merupakan komoditas yang
relatif terjangkau dan memiliki gizi yang tinggi sehingga diminati oleh masyarakat. Namun
demikian, telur yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria layak konsumsi yang
diantaranya mencakup kualitas fisik, mikrobiologi, dan organoleptik. Telur yang sampai ke
konsumen akhir biasanya terdistribusi melalui beberapa rantai tataniaga mulai dari produsen,
distributor, pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer. Oleh karenanya telur yang sampai
ke konsumen sudah tidak baru lagi. Telur mengalami penurunan berat selama penyimpanan,
berat telur menurun dari kira-kira 61 gram menjadi 57 gram setelah 10 minggu penyimpanan.
Tinggi putih telur juga menurun dari 7,05 mm menjadi 4,85 mm. Demikian halnya dengan
cemaran mikroba telur mengalami peningkatan (Jones et al., 2004).
Berbagai cara dilakukan agar kualitas telur dapat dipertahankan dalam waktu yang
lebih lama. Pencelupan dengan air kapur dan pencelupan dengan air mendidih sebelum telur
disimpan merupakan cara agar telur lebih tahan lama. Perendaman dalam larutan kapur suatu
cara pengawetan telur yang bertujuan mencegah penguapan air. Pencelupan telur pada air
mendidih dapat menyebabkan permukaan dalam kulit telur menggumpal dan menutupi pori
kulit telur dari dalam. Hal ini akan memperlambat hilangnya CO2 dan air dari dalam telur
serta penyebaran air dari putih ke kuning telur (Geveke et al., 2016).
Perubahan luar pada telur yang mengalami kerusakan, yaitu adanya penurunan berat,
pembesaran kantung udara, dan timbulnya bercak pada permukaan kerabang telur. Perubahan
luar, yaitu perubahan yang dapat diamati tanpa melakukan pemecahan pada telur. Daya
simpan telur sebagai bahan pangan perlu dipertahankan agar tetap mempunyai kualitas yang
tinggi dengan melakukan pengawetan yang benar karena dengan pengawetan maka proses
kerusakan atau perubahan di dalam telur dapat diperlambat (Gaman dan Sherrington, 1994).
Faktor-faktor yang menyebabkan telur cepat mengalami kerusakan diantaranya adalah
terjadinya proses penguapan, hilangnya CO2 melalui pori kerabang telur, dan masuknya
mikroorganisme ke dalam telur yang akan menguraikan protein yang terdapat di dalam telur.
Salah satu cara mempertahankan mutu telur supaya dapat tahan lama adalah dengan cara
melakukan perendaman atau pelapisan dengan cairan, yaitu dilakukan dengan cara merendam
telur segar dalam berbagai larutan seperti air kapur, larutan air garam dan filtrat atau
penyamak nabati yang mengandung tanin. Mengonsumsi telur rebus memiliki manfaat yang
baik bagi kesehatan tubuh. Dibanding telur dadar atau telur mata sapi, telur rebus dinilai lebih
sehat karena tidak ada tambahan lemak selama memasak (Yuwanta, 2010).
dapus
Zulfatunnisa., Agus, Susilo., dan Imam, Thohari. 2015. Pengaruh Penggunaan Telur Yang
Diawetkan Dengan Parafin Dan Penggunaan Sodium Bikarbonat Terhadap Sifat-Sifat
Fisikawi, Kimiawi Dan Organoleptik Kerupuk Telur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak, Vol. 10(1): 54-72.
King’ori, AM. 2012. Uses Of Poultry Egg: Egg Albumen And Egg Yolk. Journal of Poultry
Science, Vol. 5(2): 9-13
Lestari, Lia., Siti, Muflichatun Mardiati., dan Muhammad, Anwar Djaelani. 2018. Kadar
Protein, Indeks Putih Telur, dan Nilai Haugh Unit Telur Itik Setelah Perendaman Ekstrak
Daun Salam (Syzygium polyanthum) dengan Waktu Penyimpanan yang Berbeda pada Suhu
4ºC. Jurnal Buletin Anatomi dan Fisiologi, Vol. 3(1): 39-45.
Park, Y.S., I.J. Yoo., K.H. Jeon., H.K. Kim., E.J. Chang., and H.I. Oh. 2003. Effects Of
Various Eggshell Treatments On The Egg Quality During Storage. Journal Animal Science
Korea, Vol. 5(2): 14-27.
Geveke D.J., Gurtler J.B., Jones D.R. and Bigley A.B. 2016. Inactivationof Salmonella in
Shell Eggs by Hot Water Immersion and Its Effect on Quality. Journal Food Science, Vol.
81(3): 709-14.
Djaelani., Muhammad Anwar. 2016. Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus L.) Setelah
Penyimpanan yang dilakukan Pencelupan pada Air Mendidih dan Air Kapur Sebelum
Penyimpanan. Jurnal Buletin Anatomi dan Fisiologi, Vol. 24(1): 122-127
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Gaman, P.M dan K.B. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi Edisi ke 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Jones, D.R., M. T. Musgrove, J. K. Northcutt. 2004. Variations In External And Internal
Microbial Populations In Shell Eggs During Extended Storage. Journal Food Prot. Vol.
67(12): 2657–2660.

Anda mungkin juga menyukai