Anda di halaman 1dari 22

PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK

SERTA PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

LAPORAN PRAKTIKUM
FISIOLOGI LINGKUNGAN PETERNAKAN

Oleh :

Kelompok 8C

Altingia Cahyanindita Excelsa 23010118130125


Fauzia Alma Herwinda 23010118130126
Farrel Haidar Rafli 23010118140127
Adi Gunawan Wicaksono 23010118140128
Daffa Wahyu Pratama 23010118140129

PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK SERTA
PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

TUJUAN

Tujuan dari praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan yaitu mengetahui

respon fisiologis ternak terhadap lingkungan, mengetahui kondisi kenyamanan

lingkungan ternak dan cara pengolahan limbah dengan benar,

MANFAAT

Manfaat dari Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan adalah agar dapat

mengetahui kondisi kenyamanan ternak sehingga dapat mencegah terjadinya

cekaman dingin pada ternak sehingga dapat meningkatkan produktivitas pada

ternak. Mampu mengetahui pengolahan limbah ternak dengan benar agar tidak

membawa dampak buruk bagi kesehatan, kenyamanan ternak, menambah nilai

ekonomis dan dapat menentukan lokasi yang nyaman untuk ternak.


HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Fisiologi Lingkungan dan THI (Temperature Humidity Index)

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembapan Kandang Kambing


Suhu Kelembapan
Pukul
Dalam Luar Dalam Luar
o
------------- C-------------- ---------------%--------------
05.00 23,95 23,4 64,75 71,75
12.00 33,25 37,68 26,5 24,5
18.00 26,15 27,15 53,75 61,25
Rata-rata 27,78 29,41 48,33 52,50
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa rata-rata temperatur udara

kandang kambing bagian dalam 27,78 ⁰C dan luar 29,41 ⁰C. Suhu tersebut

terbilang normal dikarenakan kambing dapat beraktivitas tanpa harus mengalami

stress. Hal ini sesuai dengan pendapat Qisthon dan Widodo (2015) yang

menyatakan bahwa suhu yang membuat kambing tersebut tidak stres berkisar

antara 20,37 ⁰C – 30,46 ⁰C. Kelembapan rata – rata yang dihasilkan yaitu 48,33

untuk kelembapan dalam dan 52,50 untuk kelembapan luar. Suhu dapat

mempengaruhi tingkat kenyamanan pada kambing. Hal ini sesuai dengan

pendapat Santos dkk (2019) berpendapat bahwa suhu normal pada kandang

kambing yaitu berkisar antara 20,27 ⁰C – 34,83 ⁰C, serta memiliki kelembapan

normal yaitu 47,77 – 74,43 % dimana suhu diatas tersebut akan mengakibatkan

kambing tidak stres.


Tabel 2. Hasil Perhitungan THI (Temperature Humidiy Index)
Parameter Hasila Standar
THI 40,30 50-72
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.
a. Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.
b. Vastola, 2015.

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa THI kambing rata-rata 40,30.

Hasil tersebut tidak sesuai dengan standar, karena THI berkisar antara 50-72. Hal

ini sesuai dengan pendapat Vastola (2015) yang menyatakan bahwa THI berkisar

antara 50 - 72. Hasil THI yang didapat menandakan udara pada ternak dalam

keadaan nyaman . Faktor yang mempengaruhi nilai THI yaitu faktor lingkungan

termasuk suhu, kelembapan, radiasi yang dimana memberi dampak pada

kenyamanan kambing. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Adeludon dkk (2012)

yang menyatakan bahwa nilai THI pada kenyamanan kambing dipengaruhi oleh

suhu, kelembapan, lingkungan dan radiasi matahari.

B. Fisiologi Ternak dan HTC (Heat Tolerance Coefficient)

Tabel 3. Rataan Suhu Rektal, Frekuensi Nadi, Frekuensi Nafas dan HTC (Heat
Tolerance Coefficient) Kambing
Parameter Hasila Standar
o
Suhu Rektal ( C) 38,98 39b
Frekuensi Denyut Nadi
95,92 97b
(kali/menit)
Frekuensi Nafas
33,46 35b
(kali/menit)
Index Rhoad 79,50 92,44c
Index Benezra 1,95 2,2c
Sumber :
a. Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.
b. Ramadhan dkk (2017)
c. Putra dkk (2016)
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa

suhu rektal pada kambing yaitu 38,98 ℃. Hal ini sesuai dengan pendapat

Ramadhan dkk (2017) bahwa suhu rektal normal pada kambing yaitu 39 ℃.

Faktor yang mempengaruhi suhu rektal yaitu meliputi kelembapan. Hal ini sesuai

dengan pendapat Suherman dkk (2013) menyatakan bahwa hewan ternak

mengalami cekaman dan suhu tubuh menjadi naik disebabkan radiasi matahari,

perubahan suhu udara, kelembapan dan pergerakan udara.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa rata-

rata frekuensi denyut nadi pada kambing yaitu 96 kali/menit. Hal ini sesuai

dengan pendapat Ramadhan dkk (2017) menyatakan bahwa frekuensi denyut nadi

normal pada kambing yaitu 97 kali/menit. Faktor yang dapat mempengaruhi

frekuensi denyut nadi pada kambing yaitu kenaikan metabolisme. Hal ini sesuai

dengan pendapat Pambudi (2017) yang menyatakan bahwa meningkatnya

metabolisme yang disebabkan kenaikan konsumsi pakan merupakan faktor yang

dapat memengaruhi frekuensi denyut nadi.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa

rata-rata freukensi nafas pada kambing yaitu 33 kali/menit. Hasil dari pengamatan

tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramadhan dkk (2017) yang

menyatakan bahwa kisaran frekuensi nafas pada kambing normalnya yaitu 35

kali/menit. Faktor yang Peningkatan metabolisme dapat berpengaruh terhadap

frekuensi nafas pada hewan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Scharf (2010)

yang menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi nafas pada hewan ternak

menandakan bahwa hewan ternak sedang dalam keadaan tercekam.


Berdasarkan pengamaan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa

index rhoad pada kambing sebesar 79,5. Hal ini sesuai dengan pendapat

Putra dkk (2016) yang menyatakan bahwa index rhoad dan index benezra yang

normal masing-masing sebesar 92,44 dan 2,15. Penentuan Heat Tolerance

Coeficient (HTC) ditentukan oleh index rhoad dan index benezra. Nilai HTC

mempengaruhi frekuensi nafas pada ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat

Nurmi (2016) yang menyatakan bahwa laju respirasi pada kambing dipengaruhi

oleh suhu lingkungan yang tidak nyaman. Tinggi rendahnya index benezra

dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra dkk (2016)

yang menyatakan bahwa nilai index benezra dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

C. Perkandangan

Tabel 4. Hasil Peungukuran Kandang Kambing


Parameter Ukuran
Model Kandang Koloni
Panjang Kandang 6m
Lebar Kandang 4,5 m
Model Atap Segitiga
Bahan Atap Seng
Bahan Lantai Cor semen tanah
Kemiringan Lantai Datar
Dinding Pembatas Kawat besi
Lebar Selokan
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.

Sistem perkandangan yang digunakan yaitu kandang kambing koloni yaitu

kandang kambing tanpa sekat yang alasnya tidak berupa panggung dan mampu

menampung kambing dalam jumlah banyak. Kandang tersebut memiliki panjang

6 m, tinggi 3,5 m, lebar 4,5 m, lantai berbentuk datar menyerong dan memiliki
sudut atap 30⁰C yang dapat diisi 11 ekor kambing. Kandang tersebut lebih luas di

bandingkan dengan kandang panggung. Hal ini sesuai dengan pendapat

Suherman (2017) yang menyatakan bahwa dalam pembentukan kandang kambing

terdiri dari 2 tipe yaitu kandang panggung dan tidak panggung, tipe kandang tidak

panggung dapat memuat lebih banyak kambing. Kekurangan dari model kandang

tidak panggung yaitu apabila kambing mengeluarkan fases dan urin akan

berserakan dan lebih mudah kotor. Hal ini sesuai dengan pendapat

Setiawan (2004) yang menyatakan bahwa bentuk kandang panggung lebih baik

daripada yang tidak berbentuk panggung dikarenakan apabila kambing

mengeluarkan feses dan urin kandang tersebut menjadi kotor akibat

menumpuknya feses dilantai.

D. Pengelolaan Limbah

Tabel 5. Sumber Limbah di Kandang Kambing


Jenis Limbah Pengelolaan yang sudah dilakukan
Limbah cair (urine) Tidak dikelola
Limbah padat ( Feses) Pupuk
Limbah sisa pakan Tidak dikelola
Limbah wadah vaksin, suntikan dan
Tidak dikelola
sisa alat kesehatan
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak kandang kambing, limbah

yang dihasilkan oleh kandang kambing FPP yaitu berupa limbah cair, limbah

padat dan limbah wadah vaksin, suntikan dan sisa alat kesehatan. Limbah adalah

hasil sisa atau buangan kegiatan peternakan yang sudah tidak terpakai. Hal ini

sesuai dengan pendapat Pancapalaga (2011) yang menyatakan bahwa limbah


peternakan merupakan sisa organik kegiatan peternakan yang sudah tidak terpakai

baik berupa limbah padat seperti feses maupun limbah cair seperti urin. Limbah

kandang kambing yang diolah hanya limbah feses.limbah feses diolah menjadi

pupuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Sitompul dkk (2017) yang menyatakan

bahwa feses ternak berpengaruh terhadap penyediaan zat hara. Hasil yang

diperoleh dari kegiatan wawancara pada peternak kambing menyatakan bahwa

limbah padat berupa feses terkadang dioalah menjadi pupuk tanpa fermentasi dan

hiasan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Purbowati dkk (2015) yang

menyatakan bahwa limbah sisa hasil kegiatan peternakan dapat diolah untuk

dijadikan pupuk organik. Feses kambing merupakan limbah yang baik untuk

dijadikan pupuk karena feses kambing mengandung materi organik yang tinggi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Cholis dkk (2016) yang menyatakan bahwa feses

kambing mengandung materi organik yang tinggi sebsear 75,35%.

Akibat dari limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan

penyakit bagi ternak maupun peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat

Yogaffany (2015) yang menyatakan bahwa limbah yang belum diolah dengan

baik membawa dampak pada pencemaran lingkungan yaitu bau dan mengganggu

kesehatan. Kenyamanan ternak juga terganggu ketika terdapat banyak limbah. Hal

ini sesuai dengan pendapat Siregar (2017) yang menyatakan bahwa ternak tidak

nyaman ketika disekitar kandang terdapat banyak limbah. Akibat dari tidak

nyamannya ternak terhadap banyaknya limbah yaitu menurunnya produktivitas

ternak dan meningkatnya agresivitas ternak.


SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan yang telah

dilaksanakan dapat diketahui bahwa ternak kambing dalam keadaan normal. Hal

ini berdasarkan nilai THI yang sesuai dengan standar kenyamanan pada kambing.

Sistem perkandangan yang digunakan adalah kandang kambing koloni, kondisi

kandang kambing baik dan sesuai dengan standar kenyamanan ternak. Pengolahan

limbah kambing kurang maksimal karena hanya limbah feses yang diolah kembali

menjadi pupuk. Sistem perkandangan yang digunakan yaitu sistem perkandangan

kambing koloni.

B. Saran

Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini praktikan dapat melaksanakan

perhitungan dengan akurat, agar praktikum dan perhitungan yang telah dilakukan

sesuai yang diharapkan. Praktikum yang dilaksanakan lebih diperjelaskan tentang

materi yang sedang dilaksanakan agar semua praktikan mengerti tentang tujuan

dan manfaat yang sebenarnya. Pada pemeliharaan ternak kambing sudah cukup

baik, namun alangkah baiknya kebersihan kandang dapat ditingkatkan kembali

agar ternak tidak cepat stress dan tidak cepat terserang penyakit
DAFTAR PUSTAKA

Adelodun,O ., Fadere., O. Sunday., Petters., Y abdulmojeed., O. Adekayode.,


Sonibarr and A. Matthew.2012. Physiological and hematological indices
suggest supperior heat toleranceof white-Coloured with Affrican Dwarf
sheep in the hot humid tropics.J. Trop Anim Health Prod. 10: 1 – 9.
Cholis, N., E. Setyowati dan I. W. Nursita. 2016. Pengaruh penambahan kultur
azotobacter pada feses kambing terhadap kualitas media dan produktivitas
cacing tanah (Lumbricus rubellus). J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 26(2): 30 –
41.
Nurmi A. 2016. Respons fisiologis domba local dengan perbedaan waktu
pemberian pakan dan panjang pemotongan bulu. J. Eksakta. 1(1): 58 – 68.
Pambudi, R. A. 2017. Perbandingan Denyut Nadi, Frekuensi Nafas dan Suhu
Rektal Anak Kambing Local Pra-Sapih Pada Tipe Kelahiran Tunggal dan
Kembar. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro.
Semarang. (Skripsi)
Pancapalaga, W. 2011. Pengaruh rasio penggunaan limbah ternak dan hijauan
terhadap kualitas pupuk cair. J. Gamma. 7(1): 61 – 68.

Purbowati, E., I. Rahmawati dan E. Rianto. 2015. Jenis hijauan pakan dan
kecukupan nutrien kambing Jawarandu di Kabupaten Brebes Jawa Tengah.
Pastura. 5(1): 10 – 14.

Putra, R. R., S. Bandiati dan A.A Yulianti. 2014. Identifikasi daya tahan panas
sapi Pasundan BPPT Cijeungjing Kecamatan Cijeungjing Kabupaten
Ciamis. J. Sains Peternakan Indonesia. 9(2): 117 – 129.
Qisthon, A dan Y. Widodo. 2015. Pengaruh peningkatan rasio konsentrat dalam
ransum kambing peranakan ettawah di lingkungan panas alami terhdapa
konsumsi ransum, respon fisiologis dan pertembuhan. J. Zootek. 35(2):
351 – 360.
Ramadhan, A. F., S. Dartosukarno dan A. Purnomoadi. 2017. Pengaruh
pemberian vitamin B komplek terhadap pemulihan fisiologi, konsumsi
pakan, dan bobot badan kambing Kacang Muda Dan dewasa pasca
transportasi. J. Mediagro. 13(1): 23 – 33.
Santos, A. C. Gonzaga., M. Yaamin. R. Priyanto dan H. Maheswari. 2019.
Respon fisiologi domba pada sistem pemeliharaan dan pemberian jenis
konsentrat berbeda. J. Ilmu Reproduksi dan Teknologi Hasil Peternakan.
7(1): 1 – 9.
Scharf, B., J. A Carrol., D. G. Riley., C. C. Chase., S. W. Coleman., D. H.
Keisler., R. L. Weaber dan D.E. Spiers. 2010. Evaluation Of Physiological
And Blood Serum Differences In Heat Tolerant (Romosinuano) And Heat
Suspectible (Angus) Bos Taurus Cattle During Controlled Heat Challenge.
J. Anim. Sci. 88: 2321 – 2336.
Setiawan, A. I. 2004. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, G. 2017. Analisis kelayakan dan strategi pengembangan usaha ternak sapi
potong. J. Agrium. 17(3): 192 – 201.
Sitompul, E., I. W. Wardhana dan E. Sutrisno. 2017. Studi identifikasi rasio C/N
pengolahan sampah organik sayuran sawi, daun singkong, dan kotoran
kambing dengan variasi komposisi menggunakan metode
vermikomposting. J. Teknik Lingkungan. 6(2): 1 – 12.
Suherman dan E. Kurniawan. 2017. Manajemen pengelolaan ternak kambing di
Desa Batu Mila sebagai pendapatan tambahan petani lahan kering. J.
Dedikasi Masyarakat. 1(1): 7 – 13.
Suherman, D., B. P. Purwanto., W. Manalu dan I. G. Permana. 2013. Simulasi
Artificial Neural Network untuk menentukan suhu kritis pada sapi Fries
Holland berdasarkan respon fisiologi. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 18(1):
70 – 80.
Suhesy, S dan Adriani. 2014. Pengaruh probiotik dan trichorderma terhadap hara
pupuk kandang yang berasal dari feses sapi dan kambing. J. Ilmu-Ilmu
Peternakan. 17(2): 45 – 53.
Vastola, A. 2015. The Sustainability of Agro-Food and Natural Resource Systems
in the Mediterranean Basin. Springer Open, Italy.
Widyarti, M dan Y. Oktavia. 2011. Analisis iklim mikro kendang domba garut
system tertutup milik fakultas peternakan IPB. J. Keteknikan Pertanian.
25(1): 37 – 42.

Yogafanny, E. 2015. Pengaruh aktifitas warga di sempadan sungai terhadap


kualitas air sungai winongo. J. Sains dan Teknologi Lingkungan. 7(1): 41
– 50.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Suhu Lingkungan dan Kelembapan Udara


(Mikro)
T. Udara (oC) Rataan RH di Udara (%) Rataan
T Rh
Hari ke Sian
Pagi Siang Sore Udara Pagi Sore Udara
g
(oC) (%)
1 24,2 32,1 24,2 26,83 74 37 58 56,33
2 25,8 33,7 24,8 29,73 37 20 43 33,33
3 22,8 35,5 27,9 28,73 72 36 77 61,67
4 23,00 31,7 27,7 27,46 76 77 57 48,67
Jumlah 95,8 33,25 26,15 112,75 64,75 42,5 58,75 50
Keterangan : T = Temperature
Rh = Kelembapan
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Suhu Lingkungan dan Kelembapan Udara
(Makro)
T. Udara (oC) RH di Udara (%) Rataan
Rataan
Rh
Hari ke T. Udara
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Udara
(oC)
(%)
1 23,2 38,9 29,1 30,4 84 32 61 59
2 26,4 35,8 25,4 29,2 37 20 43 33,33
3 22,5 38,2 27,00 29,23 75 26 79 48,33
4 21,5 37,8 27,1 28,8 91 17 62 56,67
Jumlah 23,4 37,70 27,15 117,63 71,75 23,75 61,25 197,33
Keterangan : T = Temperature
Rh = Kelembapan
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Nilai THI (Temperature Humidity Index)
Rataan T. Rataan T. Rataan Rh
Hari ke o o THI
Udara ( C) Udara ( F) Udara (%)
1 26,83 80,29 56,33 74,90
2 29,73 85,51 33,33 75,37
3 28,73 83,71 61,67 78,34
4 27,46 81,43 48,67 74,86
Rataan 28,19 82,74 50 75,87
Keterangan :

*) T. Udara dalam oF diperoleh dengan rumus:


o
F = oC × 1,8 + 32

T1 = 26,83 × 1,8 + 32 = 80,29


T2 = 29,73 × 1,8 + 32 = 85,51
T3 = 28,73 × 1,8 + 32 = 83,71
T4 = 27,46 × 1,8 + 32 = 81,43

*) THI diperoleh dengan rumus:

THI = T – 0,55 × (1 – rH/100) × (T – 58), T dalam oF


THI1 = 80,29 – 0,55 × (1- 56,33/100) × ( 80,29 – 58)
= 74,9
THI2 = 85,51– 0,55 × (1-33,33/100) × ( 85,51 – 58)
= 75,37
THI3 = 83,71 – 0,55 × (1- 61,67 /100) × ( 83,71– 58)
= 78,34
THI4 = 81,43 – 0,55 × (1- 48,67/100) × ( 81,43 – 58)
= 74,86
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Kambing Jawa Randu
T. Rektal (oC)
Hari ke Rataan T. Rektal (oC)
Pagi Siang Sore
1 38,60 38,90 39,10 38,87
2 37,85 39,25 39,75 38,95
3 39,20 39,75 38,00 38,98
4 39,10 38,90 39,40 39,13
Rataan 31,25 39,2 39,06 39,89
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Frekuenasi Kambing Jawa Randu
F. Nafas (x/m)
Hari ke Rataan F. Nafas (x/m)
Pagi Siang Sore
1 14,00 23,00 27,00 21,30
2 24,50 32,50 31,50 29,50
3 25,50 21,50 38,00 28,67
4 61,00 41,00 62,00 54,67
Rataan 38,69 39,20 39,63 33,46
Lampiran 6. Hasil Pengukuran Frekuenasi Nadi Kambing Jawa Randu
F. Nafas (x/m)
Hari ke Rataan F. Nafas (x/m)
Pagi Siang Sore
1 14,00 23,00 27,00 21,30
2 24,50 32,50 31,50 29,50
3 25,50 21,50 38,00 28,67
4 61,00 41,00 62,00 54,67
Rataan 38,69 39,20 39,63 33,46
Lampiran 7. Hasil Perhitungan HTC (Heat Tolerance Coefficient)
T. T.
Rataan T. Rataan
Rektal Rektal Index Index Indeks
Hari ke Rektal F. Nafas
Siang pagi Rhoad Benezra Rhoad
(oC) (x/m)
(oC) (oC)
1 38,90 38,60 89,70 38,87 21,00 2,64 27
2 39,25 37,85 88,60 38,95 29,50 2,35 126
3 39,75 39,20 89,45 38,98 28,67 1,85 49,5
4 38,90 39,10 89,80 39,13 54,67 1,66 -18
Rataan 39,2 38,68 89,40 38,98 33.33 2,125 46,13
Keterangan :

Index Benezra diperoleh dengan rumus

HTC = +
i i

Keterangan :
Tf = Suhu Tubuh Siang (oC)
Ti = Suhu Tubuh Pagi (oC)
Rf = Frekuensi Napas Siang (Kali/menit)

Ri = Frekuensi Napas Pagi (Kali/menit)


HTC1 = +
i i
38,9 3
= +
38,
= 1,00 + 1,64
= 2,64
HTC2 = +
i i
39, ,
= +
3 , ,
= 1,03 + 1,32
= 2,35
HTC3 = +
i i
39, ,
= +
3 , ,
= 1,01 + 0,84
= 1,85
HTC4 = +
i i
38,9
=
39,
+
Lampiran 7. (lanjutan)
= 0,99+ 0,67

= 1,66

Indeks Rhoad diperoleh rumus :

HTC = 100 – 10 ( BTI – BTO )

Ket :

BTI = Suhu tubuh yang diukur pada siang hari

BTO = Suhu tubuh yang diukur pada pagi hari

HTC1 =100 – 10 ( BTI – BTO )


= 100 – 10 ( 38,9 – 38,6 )
= 90 (0,3)
= 27
HTC2 =100 – 10 ( BTI – BTO )
= 100 – 10 ( 39,25 – 37,85 )
= 90 (1,4)
= 126

HTC3 = 100 – 10 ( BTI – BTO )


= 100 – 10 ( 39,75 – 39,2 )
= 90 (0,55)
= 49,5
HTC4 = 100 – 10 ( BTI – BTO )
= 100 – 10 ( 38,9 – 39,1 )
= 90 (-0,2)
= -18
Lampiran 8. Kuisioner Pengolahan Limbah

KUISIONER PRAKTIKUM
MANAJEMEN LINGKUNGAN PETERNAKAN

Kelas : Peternakan C
Kelompok : 8C
Komoditas : Kambing
Hari/tanggal/bulan : Kamis, 12 September 2019

Jenis Limbah Pengelolaan yang sudah dilakukan


Limbah cair (urine dan air sisa
Tidak dikelola
pembersihan kandang)
Limbah padat ( Feses) Pupuk
Limbah sisa pakan Tidak dikelola
Limbah wadah vaksin, suntikan dan
Tidak dikelola
sisa alat kesehatan
Lampiran 9. Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai