Anda di halaman 1dari 32

PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK

SERTA PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

LAPORAN PRAKTIKUM
FISIOLOGI LINGKUNGAN PETERNAKAN

Disusun Oleh :

Kelompok 2B

Millenio Dicky Yanuar 23010118120046


Nur Fadilla Grestyarti 23010118120049

Fuja Marsa 23010118120050


Bayu Prasetyo 23010118120051
Nabila Nasa Maharani 23010118120052
Fera Noviana 23010118120057

PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN


TERNAK DAN PENGELOLAAN LIMBAH
PETERNAKAN

Program Studi : S-1 Peternakan

Departemen : Peternakan

Fakultas : Peternakan dan Pertanian

Tanggal Pengesahan : Oktober 2019

Menyetujui,

Koordinator Kelas B Asisten Pembimbing


Fisiologi Lingkungan Peternakan Fisiologi Lingkungan Peternakan

Alien Septiani Ha Dicky


23010117120036 23010117120057

Mengetahui,
Koordinator Umum Asisten
Fisiologi Lingkungan Peternakan

Aditya Farhan Zulfikri


23010117120072
PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK DAN
PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

TUJUAN

Tujuan dari praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan adalah untuk

mengetahui cara menghitung nilai THI dan HTC pada beberapa komonitas ternak,

untuk mengetehui kondisi lingkungan kandang yang nyaman bagi ternak dan

untuk mengetahui respon fisiologis ternak berupa suhu rektal, frekuensi napas dan

frekuensi nadi terhadap lingkungan sekitar serta untuk mengetahui jenis limbah

yang dihasilkan dan sistem pengolahannya.

MANFAAT

Manfaat dari praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan adalah dapat

mengetahui cara menghitung nilai THI dan HTC pada beberapa komonitas ternak,

dapat mengetahui kondisi lingkungan kandang yang nyaman dan mendukung

produktivitas ternak, dapat mengetahui respon fisiologis ternak berupa suhu

rektal, frekuensi napas dan frekuensi nadi terhadap lingkungan sekitar, serta dapat

menerapkan pengolahan limbah yang baik dan benar.


HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Fisiologi Lingkungan dan THI (Temperature Humidity Index)

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Sapi Potong


Suhu Kelembaban
Pukul
Dalam Luar Dalam Luar
--------------- C--------------
o
---------------%--------------
05.00 25,45 25,20 84 87,75
12.00 36,23 38,30 35 30,25
18.00 29,13 28,53 71,5 72
Rata-rata 30,27 30,01 63,5 63,33
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa suhu

dalam dan luar kandang memiliki suhu rata-rata 30,27°C dan 30,01°C. Hal ini

menunjukkan bahwa suhu lingkungan kandang menunjukkan lingkungan yang

nyaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman et al. (2017) yang menyatakan

bahwa menyatakan bahwa rata-rata suhu yang nyaman untuk sapi potong antara

17-29°C. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan ternak mengalami cakaman stress

yang akan mempengaruhi fungsi fisiologis sehingga dapat menurunkan produksi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti et al. (2015) yang menyatakan bahwa suhu

lingkungan yang tidak sesuai dapat menyababkan cekaman stress bagi sapi,

sehingga akan mempengaruhi fisiologis dan menurunkan produksi. Faktor yang

menyebabkan suhu lingkungan yang berbeda adalah iklim, cuaca dan ketinggian

tempat.

Berdasarkan data praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa

kelembaban rata-rata pada lingkungan dalam kandang dan lingkungan luar

kandang sapi potong adalah 63,5% dan 63,33%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kelembaban pada lingkungan kandang ternak relatif rendah. Hal ini sesuai dengan

pendapat dari Amiano et al. (2018) yang menyatakan bahwa rata- rata

kelembaban pada kandang sapi potong adalah berkisar antar 75-79%. Pengamatan

menunjukkan hasil yang lebih rendah dari literatur, hal tersebut disebabkan karena

perbedaan intensitas curah hujan dan intensitas cahaya matahari. Kelembaban

yang rendah pada lingkungan kandang dapat menyebabkan penurunan

produktivitas pada ternak khususnya pada komoditas sapi dan jika

berkepanjangan dapat berpengaruh buruk pada kesehatan ternak. Hal ini sesuai

dengan pendapat dengan Suretno et al. (2017) yang menyatakan bahwa

kelembaban yang rendah pada lingkungan ternak menyebabbkan terjadinya stress

panas pada ternak dan dapat mempengaruhi produktivitas ternak tersebut.

Tabel 2. Hasil Perhitungan THI (Temperature Humidiy Index)


Parameter Hasil Standar
THI 80,00a 69–74b
Sumber : a. Data Primer Praktikum Lingkungan Peternakan, 2019.
b. BQA (2014)

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nilai THI

(Temperature Humidiy Index) pada sapi potong adalah sebesar 80. Nilai tersebut

berada diatas standar normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Aditia et al. (2017)

yang menyatakan bahwa standar normal nilai THI pada sapi potong adalah kurang

dari sama dengan 74. Nilai THI 80 menandakan ternak tersebut mengalami stres

sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat BQA (2014) yang menyatakan bahwa sapi

potong yang memiliki nilai THI 79-83 menandakan sapi mengalami stres sedang.
Faktor yang mempengaruhi tingkat kenyamanan pada sapi potong adalah

suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembabaan dapat mempengaruhi tingkat

kenyamanan pada ternak karena jika suhu dan kelembaban melebihi standar akan

mempengaruhi fungsi fisiologis ternak antara lain turunnya nafsu makan dan

siklus birahi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapariyanto et al. (2016) yang

menyatakan bahwa tingkat kenyamanan (THI) pada ternak dipengaruhi suhu dan

kelembaban tempat tinggal ternak. Efek yang ditimbulkan apabila tingkat

kenyamanan tidak sesuai standar adalah ternak akan mengalami cekaman baik

cekaman panas maupun cekaman dingin, terjadinya penurunan nafsu makan dan

perubahan pada siklus reproduksi. Zona suhu dalam THI terbagi atas 4 yaitu zona

dengan warna putih memiliki rentang suhu 69 – 74 menandakan bahwa sapi

dalam keadaan normal, zona dengan warna kuning cerah (alert zone) 75 – 78

menandakan bahwa sapi mengalami stres ringan, zona kuning gelap (danger zone)

79 – 83 menandakan bahwa sapi mengalami stres sedang, zona merah (emergency

zone) 84 – 97 menandakan bahwa sapi mengalami stres berat. Hal ini sesuai

dengan pernyataan BQA (2014) yang menyatakan bahwa pembagian zona THI

yaitu zona putih (69 – 74) ternak dalam kondisi normal, zona kuning cerah (75 –

78) ternak dalam kondisi stres ringan, zona kuning gelap (79 – 83) ternak dalam

kondisi stres sedang, dan zona merah (84 – 97) ternak dalam kondisi stres berat.
B. Fisiologi Ternak dan HTC (Heat Tolerance Coefficient)

Tabel 3. Rataan Suhu Rektal, Frekuensi Nadi, Frekuensi Napas dan HTC (Heat
Tolerance Coefficient) Sapi Potong
Parameter Hasil Standar
Suhu Rektal ( C)
o
37,38 a
38 – 39,2b
Frekuensi Denyut Nadi
62,21a 40 – 70b
(kali/menit)
Frekuensi Napas
29,63a 15 – 35c
(kali/menit)
Index Rhoad 90a 90 – 95e
Index Benezra 2,16a 2d
Sumber : a. Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.
b. Aditia et al. (2017).
c. Jackson and Cockroft, (2002).
d. Arifin (2012).
e. Putra et al. (2016).

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa suhu rektal dari sapi

potong yaitu sebesar 37,38°C, hasil tersebut berada dibawah standar normal. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Aditia et al. (2017) yang menyatakan bahwa ternak

sapi potong memiliki standar suhu rektal yaitu antara 38 – 39,2°C. Faktor yang

mempengaruhi tinggi rendahnya suhu rektal ternak sapi potong adalah kondisi

lingkungan seperti suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ghiardien et al. (2016)

yang menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi nilai suhu rektal adalah

suhu yang ada di lingkungan tempat tinggal ternak. Suhu rektal yang tidak sesuai

dengan standar menunjukkan ternak mengalami cekaman stress. Menurut

Qisthon dan Hartono (2019) yang menyatakan bahwa kondisi cekaman stress akan

mempengaruhi fisiologis ternak sehingga tubuh ternak akan mengaktifkan sistem

termolegulasi untuk mempertahanka kondisi tubuh.


Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nilai dari frekuensi

denyut nadi dari sapi potong yaitu 62,21 kali/menit, hasil tersebut sesuai dengan

standar normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aditia et al. (2017) yang

menyatakan bahwa ternak sapi potong memiliki standar normal frekuensi denyut

nadi yaitu antara 40-70 kali/menit. Banyak sedikitnya jumlah denyut nadi

dipengaruhi oleh faktor suhu di dalam kandang dan ketinggian kandang. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Suherman et al. (2017) yang menyatakan faktor yang

mempengaruhi frekuensi denyut nadi ternak adalah suhu yang ada di dalam

kandang dan tinggi rendahnya atap dalam kandang. Efek yang ditimbulkan

apabila frekuensi denyut nadi tidak sesuai dengan standar normal adalah ternak

akan mengalami cekaman sehingga juga akan mempengaruhi respirasi pada

ternak.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nilai dari frekuensi

pernapasan dari sapi potong yaitu 29,63 kali/menit, hasil tersebut sesuai dengna

standar normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Jackson and Cockroft, (2002)

yang menyatakan bahwa respirasi normal pada sapi dewasa adalah 15-35 kali per

menit dan 20-40 kali per menit pada pedet. Faktor lingkungan yang berpengaruh

langsung pada ternak adalah suhu dan kelembaban kandang. Suhu kandang harian

Indonesia umumnya tinggi yang berkisar antara 24-35oC akan sangat

mempengaruhi tingkat produktivitas sapi. Apabila suhu udara meningkat di atas

suhu kritis, sapi akan mulai menderita cekaman panas, sehingga mekanisme

termoregulasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan respirasi, detak

jantung Dan penguapan air melalui kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Agustin (2010) yang menyatakan bahwa lingkungan akan berpengaruh langsung

terhadap produktivitas ternak. Frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu

lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi

kesehatan hewan, dan posisi hewan.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nilai HTC (Index

Rhoad) sapi potong sebesar 90 artinya sapi tersebut mengalami stress ringan,

karena jika nilai Index Rhoad semakin mendekati 100 ternak semakin nyaman.

Hal ini sesuai dengan pendapat Warsono dan Mu’in (2009) menyatakan bahwa

Index Rhoad dapat dihitung berdasarkan temperatur rektal dari sapi tersebut

standar nilai Index Rhoad adalah 100. Hal ini diperkuat oleh Putra et al. (2016)

yang menyatakan bahwa nilai standar Index Rhoad sapi potong yaitu 90-95 dan

daya tahan panas yang baik mendekati angka 100. Faktor yang menyebabkan

tinggi rendahnya nilai Index Rhoad adalah suhu rektal ternak dan suhu lingkungan

Nilai HTC (indeks benezra) dari sapi potong yaitu sebesar 2,16 hasil

tersebut berada diatas standar normal dan ternak dalam keadaan kurang nyaman.

Hal ini sesuai dengan pendapat Arifin (2012) menyatakan bahwa nilai Indeks

Benezra yang baik adalah 2, jika nilai Indeks Benezra lebih dari 2 atau kurang dari

2 maka ternak tersebut berada pada kondisi yang tidak nyaman, yang akan

mengakibatkan penurunan produktivitas ternak. Nilai HTC yang tidak sesuai

dengan standar akan mempengaruhi produktivitas ternak diantaranya akan

menurunkan nafsu makan sehingga akan menyebabkan pertumbuhan bobot badan

sapi turun. Hal ini sesuai dengan pendapat Susilawan et al. (2013) yang
menyatakan bahwa ketahanan ternak terhadap panas akan menentukan

kenyamanan ternak dan akhirnya juga akan mempengaruhi produktivitas ternak.

C. Perkandangan

Tabel 4. Hasil Peungukuran Kandang Sapi Potong


Parameter Ukuran
Model Kandang tail to tail
Panjang Kandang 15,6 m
Lebar Kandang 11,5 m
Model Atap Gable
Bahan Atap Asbes
Bahan Lantai Cor/Beton
Kemiringan Lantai 10°
Dinding Pembatas Besi
Lebar Selokan 0,34 m
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.

Berdasarkan hasil pengamatan kandang sapi potong di Fakultas Peternakan

dan Pertanian Universitas Diponegoro telah mendekati standar yang ada. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Paggasa (2017) yang menyatakan bahwa perkandangan

yang sesuai santdar perlu diperhatikan antara lain dalam segi teknis, ekonomi,

kesehatan kandang dan efisien pengelolahan dan kesehatan lingkungan sekitar.

Model kandang yang digunakan adalah tail to tail. Penempatan sapi-sapi pada tipe

ganda ini dengan cara dibuat dua jajaran atau baris dengan saling bertolak

belakang. Hal ini sesuai dengan perryataan Suryani et al. (2012) yang menyatakan

bahwa kandang tipe ganda dibedakan menjadi dua yaitu saling berhadapan head

to head dan saling bertolak belakang tail to tail yang berguna untuk

mempermudah dalam pemberian pakan untuk ternak.


Dinding pembatas terbuat dari besi yang berfungsi sebagai pembatas

antara sapi satu dengan sapi lainnya untuk menghindari terjadinya perkelahian

antar sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gusti et al. (2016) yang menyatakan

bahwa dinding pembatas yang terbuat dari besi guna untuk pemberi penyekat

atau memisahkan sapi satu dan sapi lainnya. Bahan yang digunakan untuk atap

yaitu asbes. Bentuk dan model atap kandang hendaknya menghasilkan sirkulasi

udara yang baik di dalam kandang, sehingga kondisi lingkungan dalam kandang

memberikan kenyamanan ternak. Model kandang gable biasanya digunakan pada

kandang daerah untuk ketinggian 1500-3000 mdpl (meter diatas permukaan laut).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahmawati et al. (2019) yang menyatakan

bahwa atap dengan model gable biasanya dingunakan pada daerah daratan tinggi.

Atap yang terbuat dari asbes memiliki keuntungan dan kekurangan yaitu hagarnya

yang murah, tahan lama tetapi menyerap panas. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Arsanti (2018) yang menyatakan bahwa atap kandang sapi potong bisa

menggunakan bahan asbes karena sapi potong lebih tahan terhadap panas.

Lantai kandang terbuat dari cor beton dengan kemiringan 10° yang

mengarah ke selokan agar air bisa mengalir. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Gusti et al. (2016) yang menyatakan bahwa lantai kandang yang terbuat dari cor

beton tidak benyebabkan becek dan lantai kandang yang miring supaya mudah

untuk memberihkan kandang. Panjang kadang 15,6 m, lebar kandang 11,5 m dan

lebar selokan 0,34 m. Lebar selokan merupaka faktor terpenting dalam kandang.

Pengankutan feses diangkut secara manual dan di salurkan ke tempat

penampungan limbah. Hal ini sesuai dengan pernyatan Arifin (2015) yang
menyatakan bahwa lebar selokan kandang yang ideal sekitar 0,30 - 0,40 m dengan

kedalaman 0,5 - 0,10 m dan selokan langsung terbuhung dengan saluran

pengelolahan limbah.

D. Pengelolaan Limbah

Tabel 5. Sumber Limbah di Kandang Sapi Potong


Jenis Limbah Pengelolaan yang sudah dilakukan
Limbah cair (urine dan air sisa
Digunakan untuk pembuatan biogas
pembersihan kandang)
Digunakan untuk pembuatan biogas,
Limbah padat ( Feses) kemudian ampasnya digunakan untuk
pupuk kandang
Limbah sisa pakan Belum diolah hanya ditampung
Limbah wadah vaksin, suntikan dan
Belum diolah hanya ditampung
sisa alat kesehatan
Sumber : Data Primer Praktikum Fisiologi Lingkungan Peternakan, 2019.

Limbah merupakan sisa dari suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan dan

biasanya berdampak pada pencemaran. Hal ini sesuai pendapat dari

Pitoyo et al. (2016) yang menyatakan bahwa limbah adalah sisa suatu usaha dan

kegiatan yang erat kaitanya dengan pencemaran, limbah digolongkan menjadi tiga

yaitu limbah cair, padat dan gas. Limbah yang dihasilkan oleh industri peternakan

berupa feses, urin dan sisa pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Linggotu et al. (2016) yang menyatakan bahwa limbah peternakan yang

dihasilkan dari berbagai macam aktivitas peternakan yaitu berupa feses, urin, sisa

pakan, serta air dari pembersihan ternak dan kandang yang dapat menimbulkan

pencemaran. Feses sapi merupakan limbah padat dari proses metabolisme tubuh

sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayati et al. (2010) yang menyatakan

bahwa feses sapi adalah limbah padat yang berasal dari proses metabolisme
ternak sapi, yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga perlu

dilakukan pengolahan terhadap feses tersebut agar tidak menganggu lingkungan

sekitarnya.

Pengolahan limbah yang dilakukan adalah dengan menampung limbah

padat berupa feses dan limbah cair berupa urin lalu diolah menjadi biogas agar

tidak mencemari lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Fathurrohman et al. (2015) yang menyatakan bahwa feses dan urin dapat

dikembangkan menjadi biogas sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar

ramah lingkungan yang dilakukan denga cara feses dan urin ditampung dalam

tangki kedap udara lalu gas yang ditimbulkan ditampung dalam tangki, saat sudah

menumpuk gas-gas tersebut akan disalurkan ke rumah-rumah melalui pipa-pipa

yang tersambung. Limbah sisa pakan serta wadah vaksin, suntikan dan sisa alat

kesehatan dalam kandang sapi potong belum diolah secara optimal dan hanya

ditampung sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan juga dapat

menimbulkan penyakit bagi ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat

Noviansyah et al. (2015) yang menyatakan bahwa limbah pakan yang tidak diolah

dan tidak dimanfaatkan dengan benar akan menimbulkan pencemaran lingkungan

seperti pencemaran terhadap air, udara dan tanah.

Limbah sisa pakan seharusnya dapat diolah lebih lanjut seperti contohnya

dibuat menjadi pupuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiyatwan et al. (2015)

yang menyatakan bahwa limbah sisa pakan dan feses dapat diolah menjadi pupuk

organik yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah serta

sanitasi kandang menjadi lebih baik sehingga kesehatan ternak meningkat.


Limbah wadah vaksin dan alat suntikan semestinya dikumpulkan menjadi satu

dalam wadah lalu diangkut agar tidak mencemari lingkungan. Hal ini sesuai

dengan pendapat Setiawan (2014) yang menyatakan bahwa jenis limbah lain

seperti plastik, botol, wadah vaksin dan limbah kesehatan ternak harus

dimasukkan ke dalam wadah sendiri lalu diangkut sehingga tidak mencemari

lingkungan perkandangan.
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Sapi perah di kandang sapi potong Fakultas Diponegoro Semarang berada

pada kondisi stress ringan, hal tersebut dapat diketahui dari nilai THI dan HTC

yang diluar dari nilai standar. Sapi potong mempertahankan suhu tubuhnya

dengan cara meningkatkan frekuensi napas dan frekuensi denyut nadi sehingga

pembuangan panas dari dalam ke luar tubuh dapat dilakukan dengan baik.

B. Saran

Manajemen pemeliharaan sudah cukup baik, namun sebaiknya sanitasi

kandang lebih ditingkatkan lagi, karena kebersihan kandang akan menjauhkan

ternak dari penyakit dan stres. Sistem kandang harusnya diperbaiki lagi dimana

atap dibuat dari genting sehingga kandang bisa lebih menahan panas dari

lingkungan sekitar, dan suhu dalam kandang tidak terlalu tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Aditia, E. L., A. Yani dan A. F. Fatonah. 2017. Respons fisiologis sapi bali pada
sistem integrasi kelapa sawit berdasarkan kondisi lingkungan
mikroklimat. J. Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 5 (1):
23-28.

Agustin F. 2010. Manfaat Kromium Organik dari Fungi Ganoderm Alucidum


dalam Meningkatkan Efisiensi Metabolisme dan Performa Produksi
Ternak Ruminansia. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. .
(Disertasi).

Amiano, K., Satata, B., Imanuel, R dan Raya, P. 2018. Status fisiologis ternak
sapi bali (bos sondaicus) betina yang dipelihara pada lahan
gambut. J.AGRI PET. 19 (2): 94-101.

Arifin, M. 2015. Kiat Jitu Menggemukan Sapi Secara Maksimal. Agromedia


Pustaka, Jakarta.

Arifin. S. 2012. Nilai HTC (Heat Tolerance Coefficient) pada Sapi Peranakan
Ongole (PO) Betina Dara Sebelum dan Sesudah Diberi Konsentrat Di
Daerah Dataran Rendah. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya,
Malang. (Skripsi).

Arsanti, V. 2018. Persepsi masyarakat terhadap lingkungan kandang sapi di


Kelurahan Bener Kecamatan Tegalrejo Yogyakarta. J. Media
Komunikasi Geografi. 19 (1): 63-75.

Astuti, A., Erwanto dan P. E. Santosa, 2015. Pengaruh cara pemberian konsentrat-
hijauan terhadap respon fisiologis dan performa sapi peranakan
simmental. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 3 (4): 201-206.

BQA, N. 2014. Handling Cattle through High Heat Humidity Indexes. Nebraska
University, Lincoln.
Fathurrohman, A., M. A. Hari,. A. Zukhriyah dan M. A. Adam. 2015. Persepsi
peternak sapi dalam pemanfaatan kotoran sapi menjadi bio-gas di Desa
Sekarmojo Purwosari Pasuruan. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 25 (2): 36-42.

Ghiardien, A., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2016. Respon fisiologi sapi FH


laktasi dengan substitusi pakan pelepah sawit dengan jumlah yang
berbeda. J. Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 4 (3): 350-
355.

Gusti, P. A., Sufianto, H., & Putranto, A. D. 2016. Konsep bangunan sehat pada
kandang sapi studi Kasus UPTPT dan HMT Kota Batu. Jurnal
Mahasiswa Jurusan Arsitektur. 4 (4): 57-68.
Hidayati, Y. A., E. T. Marlina, T. B. A. Kurnani dan E. Harlia. 2010. Pengaruh
campuran feses sapi potong dan feses kuda pada proses pengomposan
terhadap kualitas kompos. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 13 (6): 299-
303.

Jackson PG, Cockroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals.


University of Cambridge, UK.

Linggotu, L.O., U. Paputungan dan B. Polii. 2016. Pengelolaan limbah kotoran


ternak dalam upaya pencegahan pencemaran lingkungan di Kota
Kotamobagu. J. Zootek. 36 (1): 226-237.

Noviansyah, N. F., T. B. A. Kurnani dan Sudiarto. 2015. Pengaruh perbandingan


limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis (Brassica oleracea)
pada vermicomposting terhadap biomassa cacing tanah (Lumbricus
rubellus) dan biomassa kascing. J. Penelitian Universitas Padjajaran. 4
(3): 1-8.

Paggasa, Y. 2017. Model usaha ternak integrasi sawit-ternak sapi potong di p4s
cahaya purnama Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur. Jurnal
Pertanian Terpadu.3 (5): 117-128.

Pitoyo. P., I. W Arthana, I.M. Sudarma. 2016. Kinerja pengelolaan limbah hotel
peserta profer dan non profer di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. J
Ecotropic. 11 (1) : 31-40.

Putra. R. R., S. Bandiati., A. A. Yulianti. 2016. Identifikasi Data Tahan Panas


Sapi Pasundan dibppt Cijeungjing Kecamatan Cijeungjing Kabupaten
Ciamis. Prosiding Seminar Nasional. Fakultas Peternakan. Universitas
Padjajaran, Bandung 5 juli 2016. Hal. 89-97.

Qisthon, A. dan M. Hartono. 2019. Respon fisiologis dan ketahanan panas


kambing boerawa dan peranakan etawa pada modifikasi iklim mikro
kandang melalui pengkabutan. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 7(1): 206-
211.

Rahmawati, F., Hamdani, M. D. I., Husni, A., & Sulastri, S. (2019). Estimasi niali
ripitabilitas dan nilai MPPA (Most Probable Produccing Ability) bobot
sapi peranakan ongole (PO) di desa wawasan kecamatan tanjungsari
kabupaten lanpung selatan. Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan, 3 (2):
1-6

Sapariyanto, S. B. Yuwono dan M. Riniarti. 2016. Kajian iklim mikro di bawah


tegakan ruang terbuka hijau universitas lampung. J. Sylva Lestari. 4 (3):
114-123.
Setiawan, T. 2014. Manajemen Biosekuritas, Vaksinasi dan Penanganan Penyakit
Ayam Broiler di PT. Surya Unggas Mandiri Desa Tambiluk Kecamatan
Petir Kabupaten Serang, Banten. Fakultas Peternakan dan Pertanian.
Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi).

Setiyatwan, H., Supratman, H dan Rusmana, D. 2015. Pembuatan berger feed


untuk pakan sapi pedaging, pemanfaatan kotoran untuk bio gas dan
pupuk organik di Desa Sukamulya dan Desa Kudangwangi, Kecamatan
Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang. J. Aplikasi Ipteks untuk
Masyarakat. 4 (2): 93-97.

Suherman, D., S. Muryanto dan E. Sulistyowati. 2017. Evaluasi mikroklimat


dalam kandang menggunakan tinggi atap kandang berbeda yang
berkaitan dengan respon fisiologis sapi bali dewasa di kecamatan XIV
koto kabupaten mukomuko. J. Sain Peternakan Indonesia. 12 (4): 397-
410.

Suretno, N. D., Purwanto, B. P., Priyanto, R dan Supriyatna, I. 2017. Evaluasi


kesesuaian lingkungan berdasarkan penampilan produksi empat bangsa
sapi pada ketinggian berbeda di provinsi lampung. J. Veteriner.18 (3):
478-486.

Suryani, A. J., Adiwinarti, R., & Purbowati, E. 2012. Potongan komersial karkas
dan edible portion pada sapi Peranakan Ongole (PO) yang diberi pakan
jerami urinasi dan konsentrat dengan level yang berbeda. Animal
Agriculture Journal. 1 (1): 123-132.

Susilawan, A. W., Busono. W.dan Nugroho. H. 2013. Pengaruh Ketinggian


Tempat terhadap Nilai HTC (Heat Tolerance Coefficient) pada Sapi
Peranakan Limousine (LIMPO) Betina Dara Sebelum dan Sesudah
Diberi Konsentrat.Universitas Brawijaya. Malang. (Skripsi).

Warsono, I. U., dan M. A. Mu’in. 2009. Daya tahan panas Sapi Bali di Kabupaten
Mnokwari. Jurnal Ilmu Peternakan. 3 (1): 20-23
LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Suhu Lingkungan dan Kelembaban Udara


(Mikro)

T. Udara (oC) Rataan T RH di Udara (%) Rataan


Hari ke Udara RH Udara
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore
(oC) (%)
1 25,4 37,5 29,3 30,73 89 27 64 60
2 25,5 36,2 29,1 30,30 82 29 66 59
3 25,8 34,8 28,8 29,80 87 45 76 69,33
4 25,1 36,6 28,8 30,20 78 39 80 65,67
Rataan 25,5 36,3 29 30,30 84 35 71,5 63,5
Keterangan : T = Temperatur
RH = Kelembaban
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Suhu Lingkungan dan Kelembaban Udara
(Makro)

T. Udara (oC) RH di Udara (%) Rataan


Rataan T
RH
Hari ke Udara
Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Udara
(oC)
(%)
1 25,4 38,5 29,5 31,13 92 22 65 59,67
2 25,2 37,8 29,1 30,7 90 25 69 61,33
3 25,1 37,2 28,1 30,13 89 35 75 66,33
4 25 36,9 28,1 30 80 39 79 66
Rataan 25,2 37,6 28,7 30,49 87,75 30,25 72 63,33
Keterangan : T = Temperatur
RH = Kelembaban
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Nilai THI (Temperature Humidity Index)

Hari ke Rataan T. Rataan T. Rataan RH THI


Udara (oC) Udara (oF) Udara (%)
1 28,55 83,39 59,985 77,80
2 30,69 87,23 59,665 80,75
3 29,97 85,94 67 80,87
4 30,09  86,15 64  80,58
Rataan 29,82  85,68 62,66  80,00
Keterangan : T = Temperatur
RH = Kelembaban

*) T. Udara dalam oF diperoleh dengan rumus


Hari 1
o
F = oC × 1,8 + 32
o
F = 28,55 × 1,8 + 32
= 83,39 oF
Hari 2
o
F = oC × 1,8 + 32
o
F = 30,69 × 1,8 + 32
= 87,23 oF
Hari 3
o
F = oC × 1,8 + 32
o
F = 29,97 × 1,8 + 32
= 85,94 oF
Hari 4
o
F = oC × 1,8 + 32
o
F = 30,09 × 1,8 + 32
= 86,15 oF
Lampiran 3. (Lanjutan)

*) THI diperoleh dengan rumus


Hari 1
THI = T – 0,55 × (1 – Rh/100) × (T – 58), T dalam oF
= 83,39 – 0,55 × (1 – 59,99/100) × (83,39 – 58)
= 77,80
Hari 2
THI = T – 0,55 × (1 – Rh/100) × (T – 58), T dalam oF
= 87,23 – 0,55 × (1 – 59,67/100) × (87,23 – 58)
= 80,75
Hari 3
THI = T – 0,55 × (1 – Rh/100) × (T – 58), T dalam oF
= 85,94 – 0,55 × (1 – 67,00/100) × (85,94 – 58)
= 80,87
Hari 4
THI = T – 0,55 × (1 – Rh/100) × (T – 58), T dalam oF
= 86,15 – 0,55 × (1 – 64,00/100) × (86,15 – 58)
= 80,58
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Sapi Potong

T. Rektal (oC)
Hari ke Rataan T. Rektal (oC)
Pagi Siang Sore
1 35,55 37,20 34,20 35,65
2 36,85 37,70 37,90 37,48
3 37,85 38,65 38,45 38,32
4 37,65 38,35 38,20 38,07
Rataan 36,98 37,98 37,19 37,38
Keterangan : T = Termeratur
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Frekuenasi Napas Sapi Potong

F. Napas (Kali/menit) Rataan F. Napas


Hari ke
Pagi Siang Sore (Kali/menit)
1 24 34 32 29,83
2 25 31 33 29,33
3 28 27 27 26,83
4 33 38 27 32,50
Rataan 27,25 32,13 29,50 29,63
Keterangan : F = Frekuensi
Lampiran 6. Hasil Pengukuran Frekuenasi Nadi Sapi Potong

F. Nadi (kali/menit) Rataan F. Nadi


Hari ke
Pagi Siang Sore (kali/menit)
1 58,50 39,50 64,50 54,17
2 64,50 56,50 51,00 57,33
3 55,00 69,50 63,50 62,67
4 62,50 79,00 82,50 74,67
Rataan 60,13 61,13 65,38 62,21
Keterangan : F = Frekuensi
Lampiran 7. Hasil Perhitungan HTC (Heat Tolerance Coefficient)

T. Rektal Rataan T. Rataan


T. Rektal Index Index
Hari ke Siang Rektal F. Napas
pagi (oC) Rhoad Benezra
(oC) (oC) (x/m)
1 37,20 35,55 83,5 35,65 29,83 2,35
2 37,70 36,85 91,5 37,48 29,33 2,22
3 38,65 37,85 92 38,32 26,83 1,94
4 38,35 37,65 93 38,07 32,50 2,13
Rataan 37,98 36,98 90,00 37,38 29,63 2,16
Keterangan : T = Temperatur
F = Frekuensi
Lampiran 7. (Lanjutan)

Keterangan :
*) Index Rhoad diperoleh dengan rumus
Hari 1
HTC = 100 – 10 (Tf – Ti)
= 100 – 10 (37,20 – 35,55)
= 100 – 10 (1,65)
= 83,50
Hari 2
HTC = 100 – 10 (Tf – Ti)
= 100 – 10 (37,70 – 36,85)
= 100 – 10 (0,85)
= 91,50
Hari 3
HTC = 100 – 10 (Tf – Ti)
= 100 – 10 (38,65 – 37,85)
= 100 – 10 (0,80)
= 92,00
Hari 4
HTC = 100 – 10 (Tf – Ti)
= 100 – 10 (38,35 – 37,65)
= 100 – 10 (0,70)
= 93,00
Lampiran 7. (Lanjutan)

*) Index Benezra diperoleh dengan rumus


Hari 1
Tf Rf
HTC = +
Ti Ri
35,55 33,50
= +
37,20 24,00
= 0,96 + 1,4
= 2,35
Hari 2
Tf Rf
HTC = +
Ti Ri
36,85 30,50
= +
37,70 24,50
= 0,98 + 1,24
= 2,22
Hari 3
Tf Rf
HTC = +
Ti Ri
37,85 26,50
= +
38,65 27,50
= 0,98 + 0,96
= 1,94
Hari 4
Tf Rf
HTC = +
Ti Ri
37,65 38,00
= +
38,35 33,00
= 0,98 + 1,15
= 2,13
Lampiran 8. Kuisioner Pengolahan Limbah

KUISIONER PRAKTIKUM
MANAJEMEN LINGKUNGAN PETERNAKAN

Kelas : Peternakan B
Kelompok :2
Komoditas : Sapi Potong
Hari/tanggal/bulan :Kamis,18 Oktober 2019

Jenis Limbah Pengelolaan yang sudah dilakukan


Limbah cair (urine dan air sisa
Digunakan untuk pembuatan biogas
pembersihan kandang)
Digunakan untuk pembuatan biogas,
Limbah padat ( Feses) kemudian ampasnya digunakan untuk
pupuk kandang
Limbah sisa pakan Belum diolah hanya ditampung
Limbah wadah vaksin, suntikan dan
Belum diolah hanya ditampung
sisa alat kesehatan

Identitas Bapak Kandang :

Nama : Hunardi
Umur : 57
Pekerjaan : Pengurus Kandang sapi potong
Alamat rumah : Banjarsari Selatan 2B

1. Apa jenis limbah yang dihasilkan?


Jawab : Feses, Urin, Sisa pakan, Wadah obat dan vaksin.
2. Bagaimana pengelolaan limbah cair (urin dan air sisa pembersihan)?
Jawab : Dibuat biogas, ditampung pada digester.
3. Bagaimana pengelolaan limbah padat (feses)?
Jawab : Dibuat biogas, kemudian ampas biogasnya dibuat pupuk.
4. Bagaimana pengelolaan limbah sisa pakan?
Jawab : Limbah pakan belum diolah, hanya ditampung dan dibuang.
5. Bagaimana pengelolaan limbah sisa alat kesehatan (wadah vaksin,
suntikan dan obat)?
Jawab : Limbah belum diolah, hanya ditampung dan dibuang pada TPA.
Lampiran 9. Dokumentasi

*) perkandangan

ampak Depan T

ampak Samping

ampak Belakang T

ampak Dalam

*) Wawancara

Proses Wawancara Foto dengan Bapak Kandang

Anda mungkin juga menyukai