Disusun oleh :
Bab 1
1.1 Pendahuluan
Disamping kurangnya pakan yang diakibatkan oleh panas, suhu yang berlebih
melebihi suhu rektal ternak akan menyebabkan stress, stres inilah yang pada
akhirnya akan ber implikasi pada hilangnya berat badan secara signifikan, tentunya
sebagai peternak sapi potong (cattle) akan sangat dirugikan bila sapi yang di ternakan
mengalami stress, pangkal dari buah masalah ini akan berakibat pada keuntungan
finansial yang turut berkurang akibat produksi yang menurun. Penurunan ini tentu
berkaitan erat dengan proses penyeimbangan tubuh akibat cekaman, sistem suhu atau
thermoregulasi ternak akan membutuhkan energi yang digunakan sebagai produksi
menjadi energi penyeimbang suhu (Bianca, 1976)
Bab 2
Bab 3
3.1 Pembahasan
Kulit merupakan tubuh terluar yang diselimuti oleh bulu sepanjang tubuh
kecuali bagian bagian kecil tertentu, sebagai yang terluar tentunya kulit adalah
bagian yang pertama terkena pengaruh suhu dari lingkungan. Pada mulanya suhu
kulit akan berbanding lurus dengan kenaikan yang ada di lingkungan, namun hingga
sampai di satu kondisi suhu kulit tidak lagi berbanding lurus dengan lingkungan. Hal
tersebut terjadi lantaran suhu yang ada dikulit berpindah secara konduksi kedalam
aliran darah seiring dengan melebarnya pembuluh darah dampak dari cepatnya aliran
darah, suhu yang bawa oleh darah akan menyebabkan perubahan suhu dalam tubuh.
Sampai dengan proses evaporasi yang menindaklanjuti meningkatnya aliran darah,
selain itu proses pembuangan urine turut digunakan tubuh sebagai respon
penyeimbangan suhu (Purwanto, 2004)
Penyerapan suhu oleh kulit juga turut dipegarhi oleh adanya warna bulu,
kelembutan atau kondisi rambut, ketebalan rambut, dan panjang rambut. Warna putih
pada sapi akan meyerap 20% panas yang diterimanya dan penyerapan panas sebesar
100% pada warna rambut sapi berwarna hitam, ternak dengan rambut halus atau
pendek yang berkilau akan lebih toleran terhadap panas dibanding rambut yang kasar
kasar dan tak beraturan (williamson dan Payne, 1993)
Suhu tubuh merupakan hasil dari aktivitas tubuh ternak baik aktifitas otot,
makan, estrus dan akhir masa bunting, suhu tubuh pada ternak akan meningkat
maksimum pada waktu sinag hari dan minimum pada waktu pagi hari (Djoni, 2010)
suhu merupakan hasil dari proses pengeluaran dan masuknya panas, dimana suhu
dalam tubuh akan lebih panas dibandingkan dengan suhu yang ada di lingkungan
(Johnson, 2005). Pengukuran suhu dapat dilakukan pada rektal, dimana suhu yag
ditunjukan oleh rektal efektif untuk mengukur panas yang telah seimbang antara
pengeluaran dan masuknya panas (Frandson, 1996)
Sehingga proses dalam tubuh ternak yang diupayakan untuk mengatur suhu
tubuh tetap konstan dalam kata lain upaya tubuh ternak yang berusaha
mengembalikan suhu yang semula terlalu tinggi maupun rendah kembali normal.
Proses tersebut biasa disebut dengan proses thermoregulasi, yang mana terjadi dalam
2 cara yakni dengan melalui kontrol panas di kulit dan syaraf pusat (hypotalamus)
(Ingram, Mclean dan Whittow, 1960 dalam Yeates et al 1975)
Cekaman panas yang dialami ternak akan menurunkan hasl reproduksi, hal
tersebut dijelaskan dalam (Ferro et al, 2010 dan Santiago et al 2006) bahwa
temperatur tubuh yang tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu di uterus, bersamaan
dengan itu darah yang harusnya menuju uterus harus disalurkan menuju kulit untuk
melakukan pendinginan dan menurunkan suhu, sehingga eek dari hal tersebut adalah
turunnya tekanan darah yang ada dalam uterus. Efek dari hal tersebut akan
mengakibatkan rata rata laju gestasi akan menurun, keguguran, hilangnya darah yang
menuju uterus akan membuat nutrien yang disalurkan pada janin menghilang baik
hormone maupun nutrisi lain. Selain itu dalam kondisi seperti ini sperma akan
mengalami kesulitan (unsuitable) untuk melakukan pembuahan pada ovum. Dalam
hubungannya dengan sistem hormonal jantan dan betina
a) Betina
Sistem hormon ternak betina dikontrol oleh 3 kinerja kelenjar syaraf pusat,
HPA (Hypotalamus-pituitary-adrenal). Hipotalamus akan menyekresikan CRH
(Crorticotrophin) yang kemudian akan menstmimulasi pituitary untuk meghasilkan
ACTH (Adrenocorticoid) hingga berganti ACTH yang akan menstimulasi Adrenal
gland untuk menstimulasikan Glucocorticoid(Ferro 2010, dan Vianna 2002).
Lalau axis HPA akan menstimulasi axis dari HPG untuk meng inhibisi
kelenjar hipotalamus yang menghasilkan Gonadotrophin hormone (GnRH),
akaibatnya terjadi supresi FSH dan LH yang bertugas sebagai hormon keseimbangan
ovum dan organ reproduksi ternak betina. Terjadi imbalance hormone dalam
mengatur reproduksi ternak betina. Akibat lebih lanjut sekresi estradiol akan
tereduksi akibat dari folikel yang dominan, mengakibatkan difungsi organ reproduksi
(Ovarium), menurunkan jangka waktu dan durasi estrus, terjadi silent estrus,
terbentuk formasi corpus luteum. Perbandingan kemungkinan masalah kehamilan
ternak betina yang terkena sinar matahari dengan yang tidak, sangat berbanding jauh,
yang mana kemungkinan berhasilnya kehamilan ternak yang terkena heat stress
51,85% dibandingkan dengan 70,37% ternak yang tidak mengalami heat stress.
Dimana faktor panas menjadi hal utama dalam mortalitas embrio, interupsi gestasi
dan penurunan level gestasi (Rensis dan Scramuzzi 2003: Couto, 2013)
b) Jantan
Dari hasil penelitian yang selaras dengan sapi betina, dapat dikeahui bahwa
kualitas semen dari sapi jantan menurun seiring dengan cekaman panas di
lingkungan. Cekaman panas membuat berkurangnya konsentrasi ejakulasi,
kemampuan vigor, berkurangnya jumlah spermatozoa yang dapat hidup. Terjadi
proses perubahan spermatogenesis dan fungsi steroidogenesis, yang mana akan
mengarahkan pada penurunan fungsi dari testis, dan terjadinya fibrosis, yang
kemudian akan bermuara pada sterilnya sperma, mutasi sperma, menurunya
kemampuan germinal epithelium dan infertilitas (Alves et al, 2015). Pada saat
terjadinya cekaman panas ternak jantan akan menurunkan konsentrasi libido dalam
tubuh dan berimplikasi pada menurunya kemampuan reproduksi. Dalam pengamatan
luaran tubuh ternak terjadi perubahan pada organ fisiologis ternak seperti berubahnya
diameter testis, tekstur testis, dan massa dari testis (Ferro et al 2010)
Kesimpulan
Maka perlu adanya integrasi dari tenak dengan lingkungan, sehingga tercipta
kualitas pangan yang tinggi gizi, efisiensi produksi, hingga akhirnya dapat
meningkatkan sektor ekonomi negara
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Lorenz MD, Larry MC. 1987. Small
Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Animal Medical Diagnosis.
Gadjah Mada University Press. Philadelphia: JB Lippincott
Company.
Gabaldi SH (2000) Alterações
espermáticas e dos níveis Malafaia P, Barbosa JD, Tokarnia CH,
plasmáticos de testosterona e Oliveira CMC (2011) Distúrbios
cortisol em touros da raça Nelore, comportamentais em ruminantes
submetidos à insolação escrotal. não associados a doenças: origem,
Universidade Estadual Paulista. significado e importância.
Pesquisa Veterinária Brasileira
Gabaldi SH, Wolf AA (2002) 31:781-790.
Importância da Termorregulação
Testicular na Qualidade do Sêmen Mayulu, H., & Sutrisno, I. (2016).
em Touros. Ciências Agrárias Kebijakan pengembangan
Saúde 2:66-70. peternakan sapi potong di
Indonesia. Jurnal Penelitian dan
Handayani, S., Fariyanti, A., & Pengembangan Pertanian, 29(1).
Nurmalina, R. (2016).
Swasembada daging sapi analisis Martello LS, Savastano Júnior H,
simulasi ramalan swasembada Silva SL, Titto EAL (2004)
daging sapi di Respostas fisiológicas e
Indonesia. Sosiohumaniora, 18(1), produtivas de vacas holandesas
57-64.Jimenez Filho DL (2013) em lactaçãosubmetidas a
Estresse calórico em vacas diferentes ambientes. Revista
leiteiras: implicações e manejo Brasileira de Zootecnia 33:181-
nutricional. Pubvet 7:1640. 191.
Mitlöhner FM, Morrow JL, Dailey University of Cambridge. UK.
JW, Wilson SC, Galyean ML, London.
Miller MF, Mcglone JJ (2001)
Shade and water misting effects Purwanto, Bagus P. 2004.
on behavior, physiology, Biometeorologi
performance, and carcass traits of Ternak1.Http//www.gfmipb.net/k
heat-stressed feedlot cattle. uliah/biomet/Biometeorologi_Ter
Journal of Animal Science 79:9. nak.htm - 130k -.