Anda di halaman 1dari 18

Perubahan Fisiologis Ternak Sapi Potong yang Terkena Cekaman Panas Yang

Berakibat Pada Penurunan Produksi

Disusununtuk memenuhi tugas mata kuliah Fisiologi Lingkungan Peternakan Dosen


Pengampu
Dr. Dra. R. R. EndangWidiastutiRetnoKawuri, M.Si.

Disusun oleh :

Alza Satya Nugroho


2301011913220
Peternakan C

PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
Perubahan Fisiologis Ternak Sapi Potong yang Terkena Cekaman Panas Yang
Berakibat Pada Penurunan Produksi

Bab 1

1.1 Pendahuluan

Pada umumnya peternak daerah tropis seperti indonesia akan sering


menghadapi masalah masalah yang ditimbulkan akibat cekaman panas, terutama
terjadi pada musim kemarau. Selain itu, dampak dari musim kemarau akan
bertambah dengan berkurangnya hijauan untuk pakan ternak, dampak kelangkaan
hijauan pakan akan menambah parah akibat yang ditimbulkan cekaman panas
(Sampeang, 2015). Akibatnya produksi ternak dalam hal ini adalah daging akan
menurun akibat cekaman panas, hal tersebut terjadi akibat kurangnya ketahanan
ternak

Disamping kurangnya pakan yang diakibatkan oleh panas, suhu yang berlebih
melebihi suhu rektal ternak akan menyebabkan stress, stres inilah yang pada
akhirnya akan ber implikasi pada hilangnya berat badan secara signifikan, tentunya
sebagai peternak sapi potong (cattle) akan sangat dirugikan bila sapi yang di ternakan
mengalami stress, pangkal dari buah masalah ini akan berakibat pada keuntungan
finansial yang turut berkurang akibat produksi yang menurun. Penurunan ini tentu
berkaitan erat dengan proses penyeimbangan tubuh akibat cekaman, sistem suhu atau
thermoregulasi ternak akan membutuhkan energi yang digunakan sebagai produksi
menjadi energi penyeimbang suhu (Bianca, 1976)

Bab 2

2.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki dua musim peralihan,


antara musim kemarau dan penghujan. Dengan mmsuim tropis yang ada di indonesia
seringkali hambatan berupa faktor iklim turut mempengaruhi hasil produksi dari
suatu peternakan. Faktor iklim secara keseluruhan yang mempengaruhi ternak
diuraikan dalam pengaruh suhu, kelembaban, kecepatan angin dan radiasi (Sutedjo,
2016). pada dasarnya pentingnya mempelajari tentang iklim bertujuan untuk
memberikan edukasi kepada para peterrnak sehingga dapat mempengaruhi hasil
produksi yang seringkali berubah akibat pengaruh musim, cekaman panas yang
diterima oleh ternak akan membuat sistem suhu menyeimbangkan kondisi
lingkungan dengan suhu tubuhnya. Suhu yang lebih dari atau kurang dari suhu rektal
akan bereaksi dengan meningkatkan detak jantung, dan nafas yang semakin cepat
(webster, C C dan P. N. Wilson. 1980), maka dari hal tersebut peternak perlu
mengupayakan pengendalian dampak iklim pada ternak, dengan melakukan upaya
upaya pencegahan sehingga produktifitas tetap terjaga (Purwanto, 2004).

Pentingnya peningkatan produksi bertujuan untuk menjaga persediaan pangan


komoditas daging, namun pada kenyataanya negara Indonesia masih memerlukan
negara lain untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Persaingan harga antara daging
sapi lokal dengan impor memberikan efek positif dengan meningkatnya harga daging
sapi lokal di indonesia. Kebijakan impor ini sebenarnya bukan menjadi hal yang
dilakukan untuk menurunkan harga domestik, namun memang pada masyarakat
menginginkan daging dengan kualitas baik dan suply yang selalu tersedia.
(Handayani et al., 2016) progam swasembada daging yang digemakan pada tahun
2000-2005 terus mengalami kemunduran hingga tahun 2020 ini, hingga menurut
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2018) dalam Sohrah dan Baba, 2019) menjelaskan
swasembada daging yang ada di indonesia baru akan tercapai pada tahun 2026
mendatang, Indonesia masih membutuhkan 45 juta sapi potong lagi untuk mencapai
swasembada, namun saat ini populasi ternak sapi di Indonesia hanya berada di angka
16, 5 juta. Maka pentinya peningkatan kualitas produksi secara kualitas maupun
kuantitas. Sehingga pengaruh iklim tidak memberikan efek pada penurunan produksi
ternak sapi potong.

Iklim yang menjadikan indonesia potensial sebagai tempat penghasil


produksi peternakan sapi potong dunia. namun hal tersebut masih berupa wacana
yang terpresiksi oleh direktorat peternakan terjadi di tahun 2026 (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2018) dalam Sohrah dan Baba, 2019). Walaupun sebenarnya progam
swasembada daging sapi ini dicanangkan tahun 2000-2005 namun terus mundur
hingga sempat diprediksi terjadi ditahun 2014 silam, dan masih belum. Sehingga
swasembada pangan daging sapi potong yang diharapkan mampu memenuhi
konsumsi pangan daging 90-95% yang berasal dari produksi lokal, namun hingga
sekarang Indonesia masih membutuhkan impor sapi potong dari negara lain untuk
memenuhi kebutuhan pasar. Padahal konsumsi daging sapi potong oleh masyarakat
indonesia mencapai lebih dari 25% pangsa konsumsi daging, dimana artinya
kebutuhan daging 250 juta masyarakat indonesia seperempat darinya ditopang oleh
hasil peternakan daging sapi, (Maluyu, 2010)

Bab 3

3.1 Pembahasan

Iklim atau lingkungan merupakan kunci utama dalam mencapai prestasi


produksi ternak, selain itu produksi ternak ditentukan oleh genetik yang dibawa oleh
ternak. Iklim mikro maupun makro sangat berpengaruh pada ternak, iklim mikro
merupakan interaksi beberapa faktor dari iklim yang mendiami suatu daerah tertentu
disekitar ternak. Iklim merupakan kondisi rata rata cuaca yang ada pada suatu
tempat, yang terbagi menurut jenis wilayahnya. Sehingga iklim inilah yang nantinya
akan bersifat menganggu maupun membantu ternak mencapai prestasi produksinya.
(isnaeni, 2006). Peternak harus mengetahui cara menanggulangi dampak iklim serta
cara cara menjaga kualitas produksi walaupun diterpa cekaman suhu, kelembaban
yang kurang sesuai, sehingga prestasi produksi yang akan memberikan suply daging
dalam negri tetap terjaga. Pengaruh iklim yang memengaruhi produksi dapat
berimplikasi pada beberapa sektor

Di indonesia sendiri memiliki 2 macam jenis musim, musim kemarau dan


penghujan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi wilayah indonesia yang berada pada
garis equator matahari yang mengakibatkan indonesia beriklim tropis dengan 2
musim. Dalam kondisi fisiologis ternak, cekamanpanas yang diakibatkan oleh iklim
ini akan berdampak langsung pada produksi ternak. Iklim mikro maupun makro jelas
berdampak pada proses fisiologis ternak, seperti mengakibatkan terjadinya stres
panas. Stres panas akan membawa ternak kepada kondisi menurunya efisiensi
produktifitas, dan bermuara pada menurunya hasil ekonomi yang diperoleh peternak,
(Alves etal, 2017)

Perubahan kondisi tubuh akibat cekaman mengakibatkan tubuh ternak merasa


tertekan dan menimbulkan reaksi fisiologis untuk mencari cara mengatur suhu agar
kembali pada kondisi yang normal. Dari hal tersebut maka ternak dapat
dikategorikan mengalami stress (cekaman). Berasal dari definisi ini, strss bermula
dari keadaan tubuh yang terjadi akibat non-spesifik sindrom yang mana didalam
tubuh ternak terjadi perubahan biologis hasil reaksi dari perubahan lingkungan
(Muller, 1989)

Pada perubahan fisiologis ternak, tubuh akan mencari mekanisme membalas


cekaman dengan mengatur sistem homeostasis, dengan cara meningkatkan rata rata
pernafasan, menurunkan energi yang digunakan untuk menghasilkan produksi.
Pengalihan energi ini akan mengarahkan pada pereduksian panas metabolisme
produksi dan membuangnya ke lingkungan (exterm). Reaksi eksterm ini dapat
melalui beberapa cara melalui radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi (Yeates et
al 1975). Perubahan fisiologis ternak tercatat dalam beberapa jenis dari berbagai
perubahan mulai dari stres, meningkatnya suhu kulit, suhu tubuh berubah,
meningkatnya denyut jantung, meningkatnya, dan frekuensi nafas (Sampeang, 2015)

3.2 Menyebabkan perubahan fisiologis ternak

3.2.1 Suhu Kulit

Kulit merupakan tubuh terluar yang diselimuti oleh bulu sepanjang tubuh
kecuali bagian bagian kecil tertentu, sebagai yang terluar tentunya kulit adalah
bagian yang pertama terkena pengaruh suhu dari lingkungan. Pada mulanya suhu
kulit akan berbanding lurus dengan kenaikan yang ada di lingkungan, namun hingga
sampai di satu kondisi suhu kulit tidak lagi berbanding lurus dengan lingkungan. Hal
tersebut terjadi lantaran suhu yang ada dikulit berpindah secara konduksi kedalam
aliran darah seiring dengan melebarnya pembuluh darah dampak dari cepatnya aliran
darah, suhu yang bawa oleh darah akan menyebabkan perubahan suhu dalam tubuh.
Sampai dengan proses evaporasi yang menindaklanjuti meningkatnya aliran darah,
selain itu proses pembuangan urine turut digunakan tubuh sebagai respon
penyeimbangan suhu (Purwanto, 2004)

Penyerapan suhu oleh kulit juga turut dipegarhi oleh adanya warna bulu,
kelembutan atau kondisi rambut, ketebalan rambut, dan panjang rambut. Warna putih
pada sapi akan meyerap 20% panas yang diterimanya dan penyerapan panas sebesar
100% pada warna rambut sapi berwarna hitam, ternak dengan rambut halus atau
pendek yang berkilau akan lebih toleran terhadap panas dibanding rambut yang kasar
kasar dan tak beraturan (williamson dan Payne, 1993)

3.2.2 Suhu Tubuh

Suhu tubuh merupakan hasil dari aktivitas tubuh ternak baik aktifitas otot,
makan, estrus dan akhir masa bunting, suhu tubuh pada ternak akan meningkat
maksimum pada waktu sinag hari dan minimum pada waktu pagi hari (Djoni, 2010)
suhu merupakan hasil dari proses pengeluaran dan masuknya panas, dimana suhu
dalam tubuh akan lebih panas dibandingkan dengan suhu yang ada di lingkungan
(Johnson, 2005). Pengukuran suhu dapat dilakukan pada rektal, dimana suhu yag
ditunjukan oleh rektal efektif untuk mengukur panas yang telah seimbang antara
pengeluaran dan masuknya panas (Frandson, 1996)

Hipotermia merupakan keadaan suhu dibawah nilai kritis akibat pengeluaran


suhu yang berlebuh, hewan yang berukuran kecil dan sedang sakit lebih mudah untuk
mengalami penurunan suhu dibanding kemampuan tubuh memproduksi panas,
hipotalamus akan kesulitan mengatur suhu dimana kondisi tubuh bersuhu kurang dari
29 C, kardiak arrest akan terjadi ketika tubuh kehilangan suhu hingga dibwaha 20 C
(Cunningham 2002). Hipertermia merupakan kondisi suhu tubuh yang berada
diatas kisaran suhu kritis, hal ini terjadi disebabkan oleh absorpsi yang berlebih
maupun pengeluaran suhu yang kurang maksimal, rambut yang terlalu terbal dan
selalu dikandangkan akan membuat tubuh ternak mengalami hipertermia. Kondisi ini
juga disebabkan oleh rusaknya hipotalamus sebagai pengatur suhu tubuh hewan
ternak (Kelly 1984)

Indonesia merupakan tempat yang nyaman bagi mikroorganisme untuk


berkembang biak karena kelembaban udara, suhu dan pH yang sesuai untuk
pertumbuhan. Salah satu persoalan yang disebabkan oleh mikroorganisme adalah
terjadi adanya demam, demam terjadi akibat rangsangan bakteri (mikroorganisme)
sebagai agen infeksius dan faktor non-spesifik (aceptic factor) lain sepperti protein
yang diinjeksikan dan berakibat pada rusaknya jaringan nekrosis (Rosenberg 1979
dalam Sampeang 2015). Virus, parasit, ataupun protein yang masuk dalam tubuh
akan merangsang hipotalamus untuk mengaktifkan sel pertahanan seperti monosit,
makrofag, granulosit unutk melawan pirogen endogen (mikroorganisme) sehingga
pirogen endgen dapat dikeluarkan maupun didigesti oleh sel sel pertahanan tubuh
(Lorenz dan Larry 1987)

Ketika terjadi cekaman panas hypotalamus mengalami imbalance fungsi,


dimana hypotalams caudal dan rostal terjadi ketidakseimbangan. Sehingga hasil
akhir dari terganggunya hypotalamus ini akan mengarahkan pada tidak teraturnya
pola makan, produksi, dan panas tubuh. Semua hal tersebut akan bermuara pada
penurunan produktifitas (Johnson 2005 dalam Sampeang 2015). Menurut (Filip
2001) ternak yang memiliki bentuk rambut halus berkilau serta licin akan
mempermudah mengeluarkan panas, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam
memilih ternak yang akan dipelihara dalam lingkungan yang cenderung panas.

Sehingga proses dalam tubuh ternak yang diupayakan untuk mengatur suhu
tubuh tetap konstan dalam kata lain upaya tubuh ternak yang berusaha
mengembalikan suhu yang semula terlalu tinggi maupun rendah kembali normal.
Proses tersebut biasa disebut dengan proses thermoregulasi, yang mana terjadi dalam
2 cara yakni dengan melalui kontrol panas di kulit dan syaraf pusat (hypotalamus)
(Ingram, Mclean dan Whittow, 1960 dalam Yeates et al 1975)

3.2.3 Denyut Jantung


Denyut jantung merupakan proses pemompaan darah keseluruh tubuh lalu
kembali lagi ke jantung, kecepatan denyut jantung dipengaruhi oleh temperatur
lingkungan, aktivitas tubuh, suhu tubuh, letak geografis, penyakit dan stress (Duke’s
1995). Denyut jantung berkaitan erat dengan meningkatnya respirasi pernafasan.
Penyebab meningkatnya rata rata pernafasan hampir sama dengan denyut jantung,
hal terrsebut memang disebabkan oleh sistem yang berhubungan satu sama lain.
Penyebab meningkatnya pernafasan antara lain, suhu dan temperatur lingkungan,
aktifitas, umur, pakan, ukuran tubuh dan temperatur lingkungan ((Mostma, 1984)
pernafasan yang terlalu cepat akan menyebabkan meningkatnya kadar basa dalam
darah (alkalosis) sehingga terjadi imbalance pH dalam darah (Sampeang 2015)

Pengukuran denyut pada ternak ruminansia dapat dilakukan dengan


meletakan stetoskop pada dada sebelah kiri atau tepat pada apeks jantung ternak,
selain itu pulsus atau denyut juga dapat diukur dengan menempelkan tangan pada
pembuluh darah dibawah ekor (cocygeal) kurang lebih berjarak 10 cm dari anus
(kelly 1984) peningkatan denyut jantung pada dasarnya adalah mempermudah proses
pengeluaran suhu dari dalam tubuh kekulit (Subroto 1995) jantung yang sehat selalu
sinkron atas aktifitas tubuh, suhu, dan kelembaban udara. Sehingga tachycardia dan
bradycardia selalu dalam kondisi normal sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan

Menghitung frekuensi pernafasan pada sapi dlakukan dengan metode flanck


dan tulang rusuk yang bergerak naik turun (nafas) selama satu menit dengan
hitungan rata rata sapi dewasa akan bernafas 15-35 kali dan 20-40 kali permenit
untuk anakan sapi, laju pernafasan tergantung pada kondisi fisiologis ternak (Jackson
dan Cockroft 2002) respirasi merupakan proses pertukaran CO2 dan O2 untuk
metabolisme tubuh, proses respirasi sendiri terdiri dari eksternal (pada alveoli) dan
internal (selular) (Sutama et al 2009)

Table 1 panas lingkungan akan mengakibatkan perubahan pada hasil produksi,


reproduksi, tingkah laku, fisiologi ternak dibawah cekaman panas.
Variabel perubahan Referensi
Asupan pakan dan - Menurunkan asupan pakan Valente et al
air kering (dry matter intake)
(2015); Pereyra et
- Meningkatkan konsumsi air
al (2010)
Tingkah laku - Menurunkan kebiasaan Oliveira et al
berjemur dan lebih memilih (2014); Silva
untuk mencari tempat (2013); Malafaia
bernaung et al (2011);
- Lebih cenderung diam dan tidak Vilela et al
banyak gerak
(2013); Ferreira et
- Aktifitas memamah biak lebih
pasif al (2014); Titto
- Memilih untuk merumput (2006)
dimalam hari
- Malas untuk bergerak
Reproduksi dan - Menurunkan tingkat fertilitas Ferro et al
efisiensi baik ternak jantan maupun (2010); Rensis
reproduktif betina e Scaramuzzi
- Meningkatnya temperatur (2003); Couto
uterine (kandungan)
(2003); Gabaldi e
- Menurunkan laju pencernaan Wolff(2002);
dan kadar nutrisi yang Santiago (2006);
tersedia untuk rahim Gabaldi(2000)
- Kehilangan kandungan atau
keguguran
- Menurunkan kualitas semen
atau sperma, motilitas, vigor
dan kemungkinan hidupnya
spermatozoa
- Libido and
reproductiveperformance
reduced
Fisiologi rumen - terpengaruhnya faktor yang West et al (1987)
yang membuat rumen asam

Pertumbuha - Berubahnya ritme pertumbuhan Azevêdo e Alves


n dan janin dalam kandungan (2009); Tao et al
perkembang - Lemahnya daya imun dan (2012); Monteiro
an tubuh berat badan yang lemah et al (2014);
paska sapihan Roland et al
- Kurangnya kebebasan, (2016)
tingginya kemungkinan untuk
mati, terganggunya proses
menaikan berat badan dan
produktifitas
Produksi Daging dan - Penurunan jumlah produksi Collier et al
Susu susu (2014); Barbosa
- penurunan potensi produksi lain et al (2004);
lain Rodrigues et al
- sulit untuk mengembalikan (2010); Scholtz
hilangnya berat badan akibat
et al (2013);
panas
Mitlöhner et al
(2001)
Sumber : (Alves et al, 2017)
3.2.4 Perubahan konsumsi air dan pakan yang diberikan
Proporsi pakan yang dikonsumsi oleh ternak seiring dengan perubahan suhu
akan turut mengalami perubahan, dalam beberapa sumber yang dikemukakan
setidaknya 3-10% feed dairy intake akan mengalami perubahan selama terjadinya
cekaman panas (Ali et al 2015). Menurut penjelasan Jimenez Filho, (2013)
menerangkan bahwa perubahan kondisi lingkungan yang mengakibatkan cekaman
pada ternak dalam hal ini panas akan mempengaruhi kinerja hypotalamus, akibatnya
dry matter intake akan menurun, menurunya kinerja rumen dan berujung pada
menurunya produksi asam lemak volatil yang ada didalam rumen ternak.
Dalam penelitian yang Ali et al (2015) dijelaskan bahwa konsumsi air dan
hijauan kering (dry matter intake) berkorelasi satu sama lain, dalam hal ini penelitian
dilakukan pada 2 kelompok sapi angus. Meningkatnya konsumsi air merupakan
akibat dari terjadinya cekaman panas, yang mana respon fisiologis selanjutnya adalah
pendinginan rumen retikular sebagai pemegang kunci terjadinya termolisis tubuh
dengan cara evaporasi keringat dan peningkatan respiratory rate (Jimenez Filho,
2013)
3.2.5 Perilaku
Perubahan perilaku ternakakan berubah dengan menurunkan aktifitas dan
hanya beraktifitas seminim mungkin, selain itu ternak yang menghadapi cekaman
panas akan mempunyai kebiasaan untuk menghindari pancaran sinar matahari
langsung dan mencari tempat teduh untuk menghalangi panas matahari (Silva, 2013).
Kebiasaan dari merumput ternak juga turut berubah, ternak akan cenderung untuk
merumput diwaktu petang dimana tidak ada sinar matahari dan menghindari waktu
yang memiliki frekuensi terkena sinar matahari tinggi. Karena perubahan nafsu
makan dari ternak maka cara yang harus digunakan agar ternak tetap memiliki
nutrient pakan adalah dengan memilihkan makanan yang mengandung nutrisi tinggi
selama merumput, dan malam merupakan waktu yang tepat untuk ternak melakukan
grazing yang mana memiliki temperatur yang leih rendah (Viella 2013 dalam Alves
et al 2017)
3.2.6 Reproduksi dan efisiensi reproduktif

Cekaman panas yang dialami ternak akan menurunkan hasl reproduksi, hal
tersebut dijelaskan dalam (Ferro et al, 2010 dan Santiago et al 2006) bahwa
temperatur tubuh yang tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu di uterus, bersamaan
dengan itu darah yang harusnya menuju uterus harus disalurkan menuju kulit untuk
melakukan pendinginan dan menurunkan suhu, sehingga eek dari hal tersebut adalah
turunnya tekanan darah yang ada dalam uterus. Efek dari hal tersebut akan
mengakibatkan rata rata laju gestasi akan menurun, keguguran, hilangnya darah yang
menuju uterus akan membuat nutrien yang disalurkan pada janin menghilang baik
hormone maupun nutrisi lain. Selain itu dalam kondisi seperti ini sperma akan
mengalami kesulitan (unsuitable) untuk melakukan pembuahan pada ovum. Dalam
hubungannya dengan sistem hormonal jantan dan betina

a) Betina

Sistem hormon ternak betina dikontrol oleh 3 kinerja kelenjar syaraf pusat,
HPA (Hypotalamus-pituitary-adrenal). Hipotalamus akan menyekresikan CRH
(Crorticotrophin) yang kemudian akan menstmimulasi pituitary untuk meghasilkan
ACTH (Adrenocorticoid) hingga berganti ACTH yang akan menstimulasi Adrenal
gland untuk menstimulasikan Glucocorticoid(Ferro 2010, dan Vianna 2002).

Lalau axis HPA akan menstimulasi axis dari HPG untuk meng inhibisi
kelenjar hipotalamus yang menghasilkan Gonadotrophin hormone (GnRH),
akaibatnya terjadi supresi FSH dan LH yang bertugas sebagai hormon keseimbangan
ovum dan organ reproduksi ternak betina. Terjadi imbalance hormone dalam
mengatur reproduksi ternak betina. Akibat lebih lanjut sekresi estradiol akan
tereduksi akibat dari folikel yang dominan, mengakibatkan difungsi organ reproduksi
(Ovarium), menurunkan jangka waktu dan durasi estrus, terjadi silent estrus,
terbentuk formasi corpus luteum. Perbandingan kemungkinan masalah kehamilan
ternak betina yang terkena sinar matahari dengan yang tidak, sangat berbanding jauh,
yang mana kemungkinan berhasilnya kehamilan ternak yang terkena heat stress
51,85% dibandingkan dengan 70,37% ternak yang tidak mengalami heat stress.
Dimana faktor panas menjadi hal utama dalam mortalitas embrio, interupsi gestasi
dan penurunan level gestasi (Rensis dan Scramuzzi 2003: Couto, 2013)

b) Jantan

Dari hasil penelitian yang selaras dengan sapi betina, dapat dikeahui bahwa
kualitas semen dari sapi jantan menurun seiring dengan cekaman panas di
lingkungan. Cekaman panas membuat berkurangnya konsentrasi ejakulasi,
kemampuan vigor, berkurangnya jumlah spermatozoa yang dapat hidup. Terjadi
proses perubahan spermatogenesis dan fungsi steroidogenesis, yang mana akan
mengarahkan pada penurunan fungsi dari testis, dan terjadinya fibrosis, yang
kemudian akan bermuara pada sterilnya sperma, mutasi sperma, menurunya
kemampuan germinal epithelium dan infertilitas (Alves et al, 2015). Pada saat
terjadinya cekaman panas ternak jantan akan menurunkan konsentrasi libido dalam
tubuh dan berimplikasi pada menurunya kemampuan reproduksi. Dalam pengamatan
luaran tubuh ternak terjadi perubahan pada organ fisiologis ternak seperti berubahnya
diameter testis, tekstur testis, dan massa dari testis (Ferro et al 2010)

3.2.7 Perubahan fisiologis rumen

Rumen merupakan tempat fermentasi utama dala tubuh ternak untuk


menghasilkan energi. Sebagian besar energi yang digunakan ternak berasal dari hasil
VFA yang dihasilkan dalam rumen melalui saprofit mikrobiota yang ada dalam serat
hijauan pakan. Maupun surplus protein yang dihasilkan melalui mikroba yang mati
lalu terserap (Alves et al 2015) cekaman panas akan mengakibatkan terjadinya
acidosis dalam rumen, hal ini beriringan dengan terjadinya hyperventilation paru
paru dalam upaya menurunkan panas tubuh yang memaksa menurunya konsentrasi
CO2 dalam darah, hal tersebut menyebabkan terjadinya eritropoisis. Dalam ginjal
terbentuk HCO3 yang bertujuan untuk menghindari metabolik alkalosis yang dapat
menrunkan kadar O2. Makanisme tersebut akan berkaitan dengan menurunya kadar
bikarbonat dalam rumen yang digunakan sebagai penyangga pH, dari hal tersebut
cekaman panas akan membuat ternak kehilangan saliva yang digunakan sebagai
Buffer. Hal tersebut berkaitan dengan proses stimulasi saliva yang akan
mengaktifkan kerja rumen untuk mencerna nutrien (Cardoso et al 2016)

3.2.8 Pertumbuhan dan Perkembangan tubuh

Menurut Alves et al (2017) menyatakan bahwa semua yang berkaitan dengan


ritme pertumbuhan ternak baik ketika lahir, maupun sebelum dan sesudah sapihan
dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, kecepatan angin, radiasi termal akan
mengarahkan pada terjadinya heat stress. Yang kemudian lebih lanjut dapat
mempengaruhi asupan pakan, dan ketersediaan energi untuk proses produksi dan
penjagaan keseimbangan tubuh. Pada masa bunting tua sekitar kurang dari 45 hari
sebelum melahirkan, indukan yang terkena cekaman panas akan menyebabkan
ketidakseimbangan imun tubuh pedet nantinya hingga pada masa sapih. Serta dalam
Monteiro (2016) melalui pengamatan 6 minggu kebuntingan terakhir yang terkena
stres panas dapat menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh pedet, hal tersebut terjadi
sama pada pedet baik yang menerima kolostrum maupun tidak. Dan selama 60 hari
pasca kelahiran bobot badan pedet yang terkena cekaman panas tidak normal (kurang
dari normal) dibandingkan dengan pedet yang tidak terkena cekaman panas.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang diuraikan diatas, jelas melalui perubahan


fisiologis ternak dapat menyebabkan penurunan produktifias ternak. Perubahan
fisiologis dari suhu, denyut jantung, perilaku reproduksi dan efisiensinya, fisiologis
rumen, pertumbuhan dan perkembangan yang dialami ternak semua akan bermuara
pada penurunan kekebalan tubuh, dan berbagai jenis imbalance condition
dibandingkan dengan ternak yang tidak mengalami cekaman panas. Sehingga
mengakibatkan produktifitas dari ternak menurun. Hal ini memerlukan tanggapan
serius mengingat kawasan indonesia yang dialui garis equator sehingga cekaman
panas akan terjadi diseluruh wilayah indonesia.

Maka perlu adanya integrasi dari tenak dengan lingkungan, sehingga tercipta
kualitas pangan yang tinggi gizi, efisiensi produksi, hingga akhirnya dapat
meningkatkan sektor ekonomi negara

DAFTAR PUSTAKA Tanure CB, Peripolli V,


McManus C (2016) Heat
Ali A, Mustafa MI, Bilal MQ, tolerance in Curraleiro Pe-Duro,
Muhammad G, Lateef M, Ullah S Pantaneiro and Nelore cattle using
(2015) Effect of watering thermographic images. Animals
frequency on feed intake, milk 6:9.
production and composition in
Sahiwal cattle during summer. Cunningham JG. 2002. Veterinary
The Journal of Animal & Plant Physiology. Philadeplhia London:
Sciences 25:19-22. Saunders Company.
Alves, J.R.A. & Andrade, T.A. & Collier RJ, Rosemarie BZ. 2007. Heat
Assis, D. & Gurjão, T.A. & Melo, stress effects on cattle: what we
L.R. & Souza, B.B.. (2017). know and what we don’t know.
Productive and reproductive 22th Southwest Nutrition and
performance, behavior and Management Conference.
physiology of cattle under heat February 22- 23. Department of
stress conditions. Journal of Animal Sciences.The University
Animal Behaviour and of Arizona.
Biometeorology. 5. 91-96.
Couto RS (2013) Eficiência
Azevêdo DMMR, Alves AA (2009) Reprodutiva de Vacas Mestiças
Bioclimatologia aplicada à Leiteiras Criadas em Sistemas de
produção de bovinos leiteiros nos Criação Com e Sem
trópicos. Doc. 188, Embrapa Sombreamento, em Bajurá, Pará.
Meio-Norte, Teresina. Dissertação Universidade Federal
do Pará.
Barbosa OR, Boza PR, Santos GT,
Sakagushi ES, Ribas NP (2004) Direktorat Jenderal Peternakan dan
Efeitos da sombra e da aspersão Kesehatan Hewan. 2018. Upaya
de água na produção de leite de khusus sapi indukan wajib
vacas da raça Holandesa durante o bunting (UPSUS SIWAB).
verão. Acta Scientiarum Animal Direktorat Jenderal Peternakan
Sciences, 26:115-122. . dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian Republik
Bianca, W. (1965). Res. vet. Sei. 6, 33 Indonesia, Jakarta.
Cardoso CC, Lima FG, Fioravanti Djoni, P.R., 2010. Ilmu Lingkungan
MCS, Egito AA, Silva FCP, Ternak. Masagena Press,
Makassar Duke’s. 1995. Ingram, D. L., McLean, J. A. and
Phisology of Domestic Animal. Whittow, G. C. (1963). /. Physiol.
Camel: Comstok Publishing New 169, 394
York University Collage.
Isnaeni W. 2006. Fisiologi hewan.
Ferreira LCB, Machado Filho LCP, Yogyakarta: penerbit PT Kanisius
Hotzel MJ, Alves AA, Barcellos
AO (2014) Respostas fisiológicas Johnson. H.D. 2005. The Lactating
e comportamentais de bovinos a Cow In The Various Ecosystems:
diferentes ofertas de sombra. Environmental Effects On Its
Cadernos de Agroecologia Productivity.http//www.google.co
9:2014. m. Australian. Journal of
Agricultural Research. 24(5)775-
Ferro FRA, Cavalcanti Neto CC, 782. full text
Toledo Filho MR, Ferri STS, doi:10.1071/AR9730775.
Montaldo YC (2010) Efeito do
estresse calórico no desempenho Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical
reprodutivo de vacas leiteiras. Diagnosis. London: Bailliere
Revista Verde 5:1-25. Tindall.

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Lorenz MD, Larry MC. 1987. Small
Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Animal Medical Diagnosis.
Gadjah Mada University Press. Philadelphia: JB Lippincott
Company.
Gabaldi SH (2000) Alterações
espermáticas e dos níveis Malafaia P, Barbosa JD, Tokarnia CH,
plasmáticos de testosterona e Oliveira CMC (2011) Distúrbios
cortisol em touros da raça Nelore, comportamentais em ruminantes
submetidos à insolação escrotal. não associados a doenças: origem,
Universidade Estadual Paulista. significado e importância.
Pesquisa Veterinária Brasileira
Gabaldi SH, Wolf AA (2002) 31:781-790.
Importância da Termorregulação
Testicular na Qualidade do Sêmen Mayulu, H., & Sutrisno, I. (2016).
em Touros. Ciências Agrárias Kebijakan pengembangan
Saúde 2:66-70. peternakan sapi potong di
Indonesia. Jurnal Penelitian dan
Handayani, S., Fariyanti, A., & Pengembangan Pertanian, 29(1).
Nurmalina, R. (2016).
Swasembada daging sapi analisis Martello LS, Savastano Júnior H,
simulasi ramalan swasembada Silva SL, Titto EAL (2004)
daging sapi di Respostas fisiológicas e
Indonesia. Sosiohumaniora, 18(1), produtivas de vacas holandesas
57-64.Jimenez Filho DL (2013) em lactaçãosubmetidas a
Estresse calórico em vacas diferentes ambientes. Revista
leiteiras: implicações e manejo Brasileira de Zootecnia 33:181-
nutricional. Pubvet 7:1640. 191.
Mitlöhner FM, Morrow JL, Dailey University of Cambridge. UK.
JW, Wilson SC, Galyean ML, London.
Miller MF, Mcglone JJ (2001)
Shade and water misting effects Purwanto, Bagus P. 2004.
on behavior, physiology, Biometeorologi
performance, and carcass traits of Ternak1.Http//www.gfmipb.net/k
heat-stressed feedlot cattle. uliah/biomet/Biometeorologi_Ter
Journal of Animal Science 79:9. nak.htm - 130k -.

Monstma, G. 1984. Tropical Animal Rensis R, Scaramuzzi RJ (2003) Heat


Production I (Climats and stress and seasonal effects on
Housing). T20 D Lecture Notes reproduction in the dairy cow- a
E400-103. review. Theriogenology 60:1139-
1151. Rodrigues AL, Souza BB,
Monteiro APA, Tao S, Thompson IM, Pereira Filho JM (2010)
Dahl GE (2014) Effect of heat Influência do sombreamento e dos
stress during late gestation on sistemas de resfriamento no
immune function and growth conforto térmico de vacas
performance of calves: Isolation leiteiras. Agropecuária Científica
of altered colostral and calf no Semiárido 06:14-22.
factors. Journal of Dairy Science
97:6426-6439. Roland L, Drillich M, Klein-Jöbstl D,
Iwersen M (2016) Invited review:
Morais DAEF, Maia ASC, Silva RG, Influence of climatic conditions
Vasconselos AM, Lima PO, on the development, performance,
Guilhermino MM (2008) and health of calves. Journal of
Variação anual de hormônios Dairy Science 99:2438-2452.
tireoideanos e características
termorreguladoras de vacas Rosenberger G. 1979. Clinical
leiteiras em ambiente quente. Examination of Cattle. Berlin &
Revista Brasileira de Zootecnia Hamburg: Verlag Paul Parley.
37:3.
Sampeang. 2015. Pengaruh Shower
Pereyra AVG, May VM, Catracchia Terhadap Respon Sapi Potong
CG, Herrero MA, Flores MC, Pada Musim Kemarau. Skripsi,
Mazzini M (2010) Influence of Universiitas Islam Negri
water temperature and heat stress Alauddin. Makassar
on drinking water intake in dairy
Santiago LT (2006) Distúrbios
cows. Chilean Journal of
produtivos e reprodutivos em
Agricultural Research 70:328-
rebanho submetido ao estresse
336.
calórico.
Philips, C. J. C. 2001. Principles of http://www.agrolink.com.br/saude
Cattle Production. Head, Farm animal/pg_detalhe_noticia.asp?co
Animal Epidemiology and d=51728. Accessed in: May 1,
Informatics Unit. Departement of 2016.
Clinical Veterinary Medicine.
Silanikove N (1992) Effects of water com Recurso de Sombra e
scarcity and hot environment on Tolerância ao Calor. Dissertação
appetite and digestion in Faculdade de Zootecnia e
ruminants: a review. Livestock Engenharia de Alimentos-
Production Science 30:175-94. Universidade de São Paulo.
Silva GA (2013) Avaliação do Sistema Valente ÉEL, Chizzotti ML, Oliveira
de Resfriamento Adiabático CVR, Galvão MC, Domingues
Evaporativo na Melhoria do Bem- SS, Rodrigues AC, Ladeira MM
estar de Novilhas Leiteiras em (2015) Intake, physiological
Confinamento. Dissertação parameters and behavior of Angus
Instituto de Zootecnia, Nova and Nellore bulls subjected to heat
Odessa. stress. Semina: Ciências Agrárias
36:4565-4574.
Scholtz MM, McManus C, Leeuw KJ,
Louvandini H, Seixas L, Melo Vilela RA, Leme TMC, Titto CG,
CB, Theunissen A, Neser FWC Fantinato Neto P, Pereira AMF,
(2013) The effect of global Balieiro JCC, Titto EAL (2013)
warming on beef production in Respostas fisiológicas e
developing countries of the comportamentais de vacas
southern hemisphere. Natural Holandesas mantidas em sistema
Science, 5:106-119. adiabático evaporativo. Pesquisa
Veterinária Brasileira.
Sohrah, S., & Baba, S. (2019).
FAKTOR-FAKTOR YANG Webster, C.C. dan P.N. Wilson. 1980.
MEMPENGARUHI PERSEPSI Agriculture in Tropics. The
PETERNAK TERHADAP English Language Book Society
PEMANFAATAN JERAMI and Longman Group. London.
PADI SEBAGAI PAKAN DI Williamson, G. and W.J.A. Payne.
KECAMATAN 1993. Pengantar Peternakan di
BANTIMURUNG. Jurnal Ilmu Daerah Tropis. Gadjahmada
dan Teknologi Peternakan, 7(2). University Press. Jogyakar
Sutama I-K dan Budiarsana IGM. West JW, Coppock CE, Milam KZ,
2009 “Panduan Lengkap Kambing Nave DH, Labore JM, Rowe
dan Domba”. Penerbit Penebar Junior LD (1987) Potassium
Swadaya, Jakarta carbonate as a potassium source
and dietary buffer for lactating
Tao S, Monteiro IM, Thompson MJH, Holstein cows during hot weather.
Dahl GE (2012) Effect of late- Journal of Dairy Science 70:309-
gestation maternal heat stress on 320.
growth and immune function of
dairy calves. Journal of Dairy Yeates N. T. M., Edey T. N., Hill, M.
Science 95:7128-7136. K. 1975. Animal science ;
reproduction, climate, meat, wood.
Titto CG (2006) Comportamento de Australia. Pergamon press Ltd
Touros da Raça Simental à Pasto

Anda mungkin juga menyukai